“Bu, hari ini ada kunjungan ke museum hewan.”
“Oh, hari ini?”
“Ibu lupa? Bukannya ibu guru dua hari yang lalu sudah memberitahu ibu?”
“Hehe, maaf. Akhir-akhir ini, Ibu sering melupakan banyak hal,” jawab Melody, sembari membalik ayam di penggorengan.
Rambut di gulung menjadi satu. Mengenakan celemek kebanggaan, yang warnanya sudah hampir memudar. Sementara, Bintang sudah duduk dengan memakai seragam rapi. Piring berisikan nasi, telur, juga sayuran sudah tersedia di depannya. Segelas s**u putih hangat, juga.
“BEN! Cepat bangun! Nanti kamu terlambat, loh!” pekiknya, yang kesekian kali.
“Di sana nanti, kamu harus mendengarkan kata-kata Bu Guru. Jangan berjalan sendiri. Paham?”
“Ibu nggak ikut?”
“Ini hari Jumat. Kafe pasti ramai.”
“Ah, Bu.. Kan, semua Ibu di haruskan ikut.”
“Oh, sungguh?”
“Ibu, kan sudah di beritahu oleh Bu Guru.”
Melody menengok pada Bintang. Diam. Bola matanya berputar perlahan.
“Ah, benar juga. Hehe. Maaf.”
“Jadi, Ibu ikut, kan?”
Melody meniriskan ayam yang sudah di gorengnya. Duduk di sebelah Bintang.
“Ibu, akan ikut. Jika, kamu memakan sayuran yang kamu singkirkan itu.”
“Aku nggak suka sayuran.”
“Ibu nggak suka anak yang nggak makan sayuran.”
Bintang berakhir dengan decakan kesal. Menekuk wajahnya.
“Tapi, Ibu pasti ikut, kan?”
Melody mengangguk.
“Cepat makan sayuran mu.”
Bintang menyendok sayurannya, menggigitnya di ujung. Sangat sedikit. Hidungnya mengkerut kemudian.
“Nggak enak.”
“Tapi, menyehatkan. Cepat makan.”
“LODY! KAMU KOK NGGAK BANGUNIN AKU, SIH?!” pekik Ben, dengan raut wajah kesal. Membuka pintu dengan kasar.
Melody berdiri. Menghadap Ben.
“Aku sudah membangunkan mu sejak tadi. Kamu saja yang nggak dengar.”
“Aku sudah telat ini!”
Ben buru-buru masuk ke kamar mandi, yang ada di sebelah kamarnya.
“Masih pukul 07.30. Aku pesankan taksi, ya?”
“Aku harus menjemput klien di bandara pukul 07.00 pagi!”
“Apa?!"
“Ini proyek besar!”
“Tapi-“
“Sudah! Jangan banyak bicara!”
Ben mandi dengan super cepat. Bersiap-siap juga dengan super-super cepat. Sehingga, hanya menghabiskan waktu 20 menit saja.
“Seharusnya, kalau aku nggak bangun.. kamu terus bangunin aku!”
“Kenapa kamu terus salahin aku? Kalau saja, tadi malam kamu bilang ada janji dengan klien—pasti, aku sudah bangunin kamu lebih awal.”
“Aku.. nggak bilang ke kamu?”
Melody menggelengkan kepala. Ben jadi terdiam.
“Aku berangkat dulu.”
Ben meraih tas ranselnya di sofa depan TV.
“Kamu nggak sarapan dulu?”
“Nggak ada waktu,” kata Ben, sembari mengenakan sepatunya.
Lantas, meninggalkan Melody dengan desahan sedikit kecewa.
“Padahal, aku sudah susah payah memasak sejak pagi.”
“Bu.. Bekal Ayah ketinggalan.”
Melody menatap kotak makan berwarna cokelat di meja makan.
“Astaga.”
Buru-buru di ambilnya. Keluar dari rumah. Turun ke bawah.
“BEN! Bekalmu...”
Ben sudah masuk ke dalam taksi.
**
“BEN! Kau itu di mana?! Pak Johny sudah menunggu sejak tadi di bandara!”
“Iya, Pak. Maaf. Ini saya sudah di dalam taksi.”
“Kau ini sudah tak waras, Ben! Pak Johny ini orang penting! Dia akan menjadi penentu kelanjutan perusahaan kita!”
“Iya, Pak. Maaf. Saya sudah hampir tiba di bandara. Maaf sekali.”
“Lihat saja. Kalau, proyek ini sampai gagal—aku pecat kau!”
Si botak licin ; Pak Toni menutup telepon. Ben mendesah gugup kemudian. Meminta supir taksi untuk sedikit mengebut.
**
30 menit kemudian, taksi yang di tumpangi Ben tiba di bandara. Ponsel Ben yang berdering entah berapa belas kali, membuatnya berkeringat dingin.
“Halo. Iya, Pak.”
“Kau ini benar-benar tidak waras, Ben! Kenapa tak kau angkat teleponku?!”
“Saya baru saja tiba di bandara ini, Pak,” jawab Ben. Berlari masuk. Mengedarkan pandangan. Mencari sosok Pak Johny.
“Cepat cari Pak Johny! Dia sudah menunggu terlalu lama!”
“Baik, Pak.”
Mata Ben terus beredar. Setiap orang paruh baya, di perhatikan nya dengan teliti. Hingga, matanya tertuju pada sebuah kedai kopi di dalam bandara. Tepatnya, pada pria paruh baya, yang duduk menyilangkan kaki. Di dekat jendela kaca.
“Pak Johny. Maaf. Maaf sekali. Saya terjebak macet tadi. Jadi, saya terlambat untuk datang kemari. Maaf.”
Pak Johny yang memiliki wajah dan sikap yang sangat berwibawa, menatap Ben dengan senyum kecil.
“Duduklah dulu. Atur nafasmu. Kau ingin minum apa?”
“Oh, tidak. Saya baik-baik saja. Kita langsung pergi ke kantor sekarang?”
“Tunggu sebentar. Duduk di sini. Atur nafasmu. Wajahmu cukup pucat. Nanti, kalau pingsan akan merepotkan ku.”
Ben berdeham. Duduk kemudian.
“Justru aku ingin berterima kasih padamu.”
“Ya?”
“Berkat keterlambatan mu.. aku bisa menikmati sedikit waktu santai ini.”
“Seluruh masa mudaku.. aku habiskan dengan kerja dan kerja. Tak ada waktu libur. Tak ada kata istirahat. Bahkan, di hari pernikahanku dulu, aku hanya bersama istriku beberapa jam saja. Setelah itu, aku harus terbang ke Inggris untuk menemui klien. Hingga, kami tak sempat untuk berbulan madu. Namun, dia istri yang hebat. Ia tak pernah mengeluhkan hal itu. Sekalipun, aku sering kali mengingkari janji untuk mengajaknya jalan-jalan. Untuk pulang lebih awal, hanya sekadar ingin makan malam bersama. Tapi, aku tak pernah melakukan hal itu. Sampai, kita menua. Selama itu pula, aku tak pernah melihatnya menekuk wajah. Mengernyitkan dahi kesal. Atau pun, melontarkan kata menyesal telah menikahi pria yang memprioritaskan pekerjaan. Tersenyum manis. Itu yang selalu di lakukannya, saat bertemu denganku di rumah. Aku sangat beruntung, kan?”
Ben tersenyum kecil.
“Beberapa bulan yang lalu, untuk pertama kalinya—dia mengucapkan satu permintaan. Pulang ke Indonesia. Bersama denganku. Dan, lagi-lagi. Aku hanya menjanjikan itu. Karena, aku masih sibuk mondar-mandir ke Luar Negeri.”
“Jadi, saat ini Anda datang bersamanya?”
“Tidak. Dia sedang berada di Singapore. Dia beristirahat dengan tenang di sana.”
“Ah, begitu.”
“Dia sudah tiada.”
Ben terkejut.
“Oh, Maaf, Pak Johny. Saya tidak mengetahui itu.”
“Sama denganku. Aku juga tidak mengetahui, jika itu adalah permintaan terakhirnya. Selama ini, dia tersenyum manis padaku. Menyembunyikan penyakit ganas yang sudah menggerogoti dirinya. Well, yang tertinggal kini hanya penyesalan.”
“Tapi, setidaknya Anda sangat beruntung memiliki istri yang sangat luar biasa. Tentunya, dia akan mengerti kondisi Anda.”
“Sama dengan Istrimu?”
“Huh?”
“Bekerja dengan diktator seperti Tony, sangat sulit, kan?”
“Oh.. itu..”
“Tak perlu canggung denganku. Aku tidak akan menceritakan padanya.”
Ben hanya diam.
“Sudah memiliki anak?”
“Iya. Laki-laki. Masih TK.”
“Istrimu tidak bekerja?”
“Dia mempunyai kafe kecil. Di bawah rumah kami. Hehe.”
“Kau sering mengajak mereka jalan-jalan?”
“Tidak. Akhir-akhir ini, saya sering lembur. Jadi, tidak sempat.”
“Bahkan di hari minggu?”
“Di hari minggu, saya ingin tidur lebih lama. Jadi, biasanya saya bangun sore hari.”
“Dan, istrimu tidak pernah mempermasalahkan itu?”
“Tidak. Dia sangat pengertian.”
“Kau, yakin?”
“Ya?”
“Mungkin saja, dia hanya berpura-pura. Sebenarnya, dia sangat kecewa dan marah. Tapi, dia tak ingin menunjukkan nya padamu.”
Ben diam. Memikirkan kata-kata itu.
“Sesekali, ajaklah mereka jalan-jalan. Sekalipun, ke taman kota. Dengan begitu, mereka akan merasa bersyukur sudah memilikimu. Juga.. sebelum kau menyesal sepertiku.”
Kalimat Pak Johny, terus terngiang di benak Ben. Berjalan dengan tatapan kosong. Hingga, tak sadar. Dia sudah tiba di dekat kafe Melody. Menghentikan langkah. Melihat Melody berdiri di depan kafe. Dengan tangan saling bertautan.
“Oh, Ben!” sapa Melody, begitu mengetahui kehadiran sang suami. Berjalan mendekatinya, dengan tersenyum.
“Kenapa kamu nggak balas pesanku? Aku benar-benar khawatir dengan pekerjaanmu. Bagaimana? Aduh, maaf banget, ya. Aku nggak bangunin kamu tadi pagi.”
Ben mendesah berat.
“Kenapa? Ada masalah di tempat kerja? Gara-gara tadi pagi?”
“Nggak. Semuanya berjalan lancar.”
“Terus, kenapa kamu-“
Melody tak melanjutkan kalimatnya. Ben memeluknya tiba-tiba.
“Apa.. sikapmu selalu seperti ini? Setiap aku pulang kerja. Tersenyum manis. Meski, raut wajahku kadang menjengkelkan.”
Melody membalas pelukan Ben.
“Pekerjaanmu di kantor sudah sangat berat. Aku nggak mau menambah beban itu.”
“Kamu.. benar-benar wanita yang baik, Lody. Aku mencintaimu.”
“Aku juga.”