bc

Melodi Milik Ben

book_age12+
1
IKUTI
1K
BACA
revenge
HE
love after marriage
arrogant
goodgirl
heir/heiress
blue collar
drama
bxg
mystery
love at the first sight
actor
civilian
like
intro-logo
Uraian

Melody dan Ben yang tumbuh di panti asuhan yang sama, akhirnya saling jatuh cinta. Menikah. Dan, memiliki 1 orang anak laki-laki.Pernikahan yang semula nyaman, sedikit konflik, dan cukup bahagia, menjadi rumit saat semua barangnya di sita oleh Bank. Ben juga kehilangan pekerjaannya. Ben mendadak jadi aktor terkenal. Yang mengharuskan untuk menyembunyikan status pernikahannya. Hingga, berpacaran dengan artis cantik. Membuat hidup Melody hancur seketika. Dan, Melody pun kembali menekuni hobi lamanya ; menulis. Untuk balas dendam pada Ben.

chap-preview
Pratinjau gratis
PROLOG
PROLOG Ben mengetuk pintu biru muda dua sisi, sebelum masuk ke dalam ruangan. “Anda memanggilku?” “Aaah, Ben. Masuk.” Liliana menengok pada Ben, dengan tatapan kesal. “Ada apa?” “Duduk saja dulu.” Ben duduk di kursi tunggal, sebelah kanan Liliana. Memandang Pak Vigo dan Liliana bergantian. “Kamu tahu, kan? Tentang skandal foto pernikahanmu itu?” tanya Pak Vigo. “Keadaan menjadi sangat runyam, Ben. Banyak investor kita menanyakan hal itu. Bahkan, beberapa produk iklan yang kamu bintangi, menginginkan kita segera meluruskan permasalahan ini.” “Lalu?” Pak Vigo mendesah singkat. “Menurutmu.. kita harus bagaimana?” “Mau bagaimana lagi? Kita ungkap saja yang sebenarnya. Kalau aku sudah menikah. Dan, memiliki anak.” Liliana mendengus kesal. Melipat tangan di d**a. “Terus, kamu nggak mikirin aku? Bagaimana karirku?! Mereka semua akan mencemooh ku! Mereka akan menudingku pelakor!” “Kenyataannya memang seperti itu, kan? Kamu.. memanfaatkan semua ini, hanya untuk ketenaranmu.” “Ketenaranku? Hei, sebelum kamu terkenal, aku sudah lebih dulu terjun di dunia artis ini! Jangan asal bicara!” “Lalu, karena apa? Karena apa, kamu bertahan denganku?! Aku sedikit pun nggak ada rasa sama kamu! Aku tetap mencintai Istriku!” “Kamu pikir aku, nggak?! Aku juga mencintaimu, Ben! Sangat! Kamu juga mengatakan hal itu di depan publik. Kalau, kamu menyukaiku apa adanya!” Sungguh, suatu momen yang sangat tepat. Melody tengah berdiri di luar ruangan. Jari telunjuk yang tengah menekuk, ingin mengetuk pintu pun tertahan. “Itu karena-“ “Hei, hentikan,” sela Pak Vigo. “Perasaan kalian.. untuk saat ini nggak penting. Kalian, nggak dengar? Telepon di mejaku terus berdering? Bahkan, aku mematikan ponselku! Aku sudah cukup pusing sekarang.” “Semua ini terjadi, juga karena ulahmu,” tutur Ben. “Aku tahu! Maka dari itu, bantu aku! Anggap saja, kamu balas budi padaku, Ben.” Ben memejamkan mata singkat. Mendorong udara keluar dari mulut. “Anda ingin aku melakukan apa?” Pak Vigo memberikan amplop coklat besar pada Ben, yang sedari tadi ada di atas meja. “Buka.” Kernyitan terkejut ditunjukkan oleh Ben, saat mengetahui isi amplop tersebut. “Aku sudah menyiapkan berkas untuk perceraian mu.” “Pak Vigo.. Anda sudah tak waras rupanya. Anda menyuruhku untuk bercerai.” “Lagi pula, kalian sudah lama tak bertemu. Nggak mungkin, kamu masih mencintai dia, kan? Di samping itu, kamu juga menginginkan hal ini, kan?” Ben menundukkan kepala. Mengatupkan gigi erat-erat. “Benar kata Pak Vigo. Ceraikan saja dia. Toh, kalian sudah 3 tahun nggak tinggal serumah.” “Tapi-“ Kata-kata Ben terhenti, ketika mendengar suara pintu terbuka. Melody masuk dengan raut wajah sangat tenang. “Oh, Melody. Aku rasa, hari ini kita nggak ada jadwal rapat,” kata Pak Vigo. “Memang, nggak ada. Tapi, ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda.” “Melody.. bukan saatnya,” kata Ben. Berdiri seketika. “Memangnya, kamu tahu apa yang akan aku bicarakan dengan Pak Vigo?” “Aku nggak tahu. Tapi, aku yakin itu bukan hal yang baik.” “Bukan hal baik? Lalu, menurutmu hal yang baik itu seperti apa?” “Ah, meninggalkan anak istri untuk mencapai ketenaran? Demi uang? Atau.. bersenang-senang dengan gadis lain, sementara sang istri merasakan pedih sendiri?” lanjut Melody. “Kamu salah paham!” “Di mana letak salah pahamku?!” Melody menunjuk Liliana. “Gadis ini—apakah itu salah paham?” “Kita bicara di luar.” Ben menggandeng tangan Melody, yang sekejap di hempas. “Nggak. Bicara saja di sini.” “Melody.. aku mohon. Jangan memperumit keadaanku.” Melody menatap mata suaminya. “Sejak dulu... Kamu yang membuat rumit hidupmu sendiri.” “Hei, ada apa ini? Ada sesuatu yang nggak aku ketahui?” tanya Pak Vigo. Melody berjalan mendekati meja. Mengambil berkas perceraiannya. Membacanya dengan singkat. Mendengus kemudian. “Bahkan, Anda saja nggak tahu nama Istrinya. Apa.. berkas ini legal? Bisa di serahkan ke pengadilan Agama?” “Melody!” “Ya, asal di bagian nama yang kosong itu di tulis nama istrinya. Lalu, tanda tangan. Aku bisa mengurusnya.” “Ah, untuk apa aku bicara denganmu soal ini,” lanjut Pak Vigo. “Tapi, memang Anda harusnya bicara dengan Melody—Pak Vigo,” kata Liliana. “Apa maksud-“ Pak Vigo melebarkan matanya. Terkesiap. “Melody... Kamu istrinya Ben?” “Maaf, jika aku menyembunyikan hal itu. Tapi, seharusnya aku nggak perlu merasa bersalah. Anda juga melakukan hal yang sama, kan? Menyembunyikan status pernikahan Ben. Membohongi publik. Demi meraup untung.” “Melody! Hentikan!” “Aku nggak boleh memakinya? Haruskah, aku memaki gadis ini?” “Melody, aku mohon.” “Ah, nggak boleh juga.” Melody mengangguk berulang. “Baiklah. Berkas ini.. akan aku tanda tangani.” “Apa? Melody! Kamu gila?!” “Kenapa? Bukannya, ini juga yang kamu inginkan?” “Kita bicarakan ini dulu, hm?” “Sekarang, aku ingin menanyakan satu hal padamu,” ucap Melody. “Dia atau aku?” Ben diam. “Kamu nggak bisa jawab, kan? Baiklah. Aku butuh bolpoin.” “Ah, iya. Bolpoin.” Pak Vigo bergegas mengambil bolpoin di mejanya. Menyerahkannya pada Melody. “Aku.. sekaligus menandatangani surat pengunduran diriku,” kata Melody. “Apa? Lalu, bagaimana dengan naskah-naskah yang belum selesai?” “Jangan khawatir. Aku akan keluar dari perusahaanmu, setelah menyelesaikan itu semua. Aku bisa membedakan antara pekerjaan dan masalah pribadi.” Selesai menandatangani, Melody berjalan pergi. Di tahan oleh Ben. “Jangan pergi. Kita selesaikan masalah kita.” “Masalah kita sudah selesai, Ben.” “Apa?” “Kamu.. nggak mencegahku untuk menandatangani surat cerai itu. Seharusnya, kamu menghalangiku beberapa detik yang lalu. Entah, merobek surat cerai itu. Atau.. memelukku untuk meminta maaf. Tapi.. kamu nggak melakukan dua hal itu. Jadi, untuk apa kamu mencegahku pergi sekarang?” Ben hanya diam. Genggamannya di lengan Melody merenggang. “Sekarang.. kamu bisa dengan puas bermain dengan gadis jalang mu itu. Jangan pernah menemui ku. Atau, Bintang.” Melody keluar dari ruangan. Air matanya seketika jatuh. Ben mengikutinya. “Melody.. tunggu!” Di sisi lain, Jonathan melambaikan tangan pada Melody. Tersenyum manis. Sekejap senyumnya pudar, saat mengetahui jika Melody menangis. “MELODY!” pekik Ben. Melody berhenti tepat di depan Jo. “Ada apa? Kenapa kamu menangis?” Jo menatap sejenak pada Ben, yang juga menatapnya. “Karena dia lagi? Kalau kamu mengizinkan, biar aku buat dia babak belur sekarang.” Melody menahan tangan Jo, yang akhirnya mengurungkan niat untuk melangkahkan kaki. “Kamu.. pernah mengatakan padaku, kan? Kalau kamu suka padaku,” kata Melody, dengan nada sedikit tinggi. Sengaja. Agar Ben mendengarnya. “Oh.. Ya. Lalu?” “Kamu mau pacaran denganku?” tanya Melody. Membuat Jo dan Ben terkejut. “Baiklah. Mulai detik ini, kamu kekasihku.” 4 Tahun Sebelum Kejadian Suara berdenting dari lonceng kecil di atas pintu kaca itu menemani malam di pinggiran kota Bandung. Perempuan-perempuan duduk saling berhadapan. Tertawa lepas, sembari saling menunjukkan layar ponsel mereka. Lelaki-perempuan duduk di sudut, dengan kursi panjang yang agaknya sengaja mereka buat terlihat sempit. Terlihat dari jarak mereka duduk. Menempel. Sepasang lagi baru datang. Turut mengantre untuk memesan makanan. Kafe kecil milik Melody ini, cukup terkenal di kalangan kaum Milenial sekarang. Pohon rindang. Begitu kafe ini di sebut. Karena, ada satu pohon tua yang sangat rindang, di depan kafe. Satu lagi pengunjung masuk. Aroma parfum semerbak tercium darinya. Jaket denim. Kurus. Tinggi. Rambut ber-pomade. “Pesan apa?” tanya Melody dengan ramah. Senyum yang menawan. Pemuda yang terlihat gugup itu, membaca papan menu. “Es kopi. Tapi, yang manis.” “Oh, baiklah. 15 ribu.” Pemuda itu memberikan selembar 50 ribu pada Melody. Sesekali melihat ke arah luar. Di mana, beberapa kawannya menunggu. Seolah-olah mendesaknya untuk segera melakukan sesuatu. Pemuda itu mendesah panjang. Gugup. “Ini pesananmu. Dan, kembalianmu.” “Oh. Ya. Terima kasih.” “Terima kasih kembali.” Setelah kalimat itu di ucapkan, harusnya pemuda itu segera pergi. Namun, dia ragu. Tangan kirinya terus mengepal. Menggenggam sesuatu. “Ada yang bisa aku bantu lagi?” “Em.. itu..” Pemuda itu buru-buru meletakkan sebuah kertas yang sudah di remasnya dari tadi. “Buat kamu.” Lantas, dia pergi dengan cepat. Kawan-kawan yang ada di luar kafe, bertepuk tangan. Seolah, pemuda itu telah berhasil melakukan misinya. Dengan kernyitan di dahi, Melody membaca yang tertulis di kertas tersebut. Sebuah nomor telepon. Milik pemuda tadi. Dengan menyunggingkan senyumnya, Melody menulis sesuatu, lalu, menghampiri pemuda tersebut, yang masih berada di luar kafe. “Permisi..” Pemuda itu menoleh. Mendekat pada Melody. “Ya?” “Kertasmu tertinggal.” Melody mengulurkan tangannya. “Oh, iya.” Usai Melody kembali masuk, kawan-kawan dari pemuda itu mendekat. “Apa katanya? Dia memberikan nomornya? Atau, langsung mengajakmu berkencan?” Pemuda itu mengembuskan napas kecewa. “Aku sudah menikah dan memiliki anak.” Tulis Melody di kertas itu. Mau tidak mau, pemuda itu harus menyerah. Padahal, membutuhkan waktu yang lama untuk mengumpulkan keberanian itu. “Haha. Lugas dan menyakitkan,” kata salah satu kawannya, yang memakai anting bulat hitam di telinga kanannya. Lalu, menatap Melody. “Tapi.. memang dia sangat menarik,” gumamnya. “Hei, bukankah dia pemain band terkenal itu?” tanya seorang pelanggan kafe, pada temannya. Menatap pemuda ber-anting hitam itu. ** “Masih di kantor?” Melody mengirim pesan pada Ben—suaminya, satu jam yang lalu. “Iya. Pekerjaanku baru saja selesai. Bagaimana kafemu? Ramai?” “Kenapa balasnya lama sekali?” “Kan, sudah aku katakan—pekerjaanku baru selesai.” “Si botak licin itu selalu saja membuatmu lembur.” “Dan, si botak licin itu juga yang meng-gajiku. Kafenya sudah tutup?” “Belum. Masih ada beberapa pelanggan. Kamu, nggak kangen sama aku?” “Bintang sedang apa?” “Tidur.” “Di kamarnya?” “Nggak. Di kafe. Di sofa paling sudut.” “Oh. Ya sudah. Tunggu 30 menit lagi, aku tiba di rumah.” “Ya.” “Kenapa?” "Apanya?” “Balasanmu sangat singkat. Biasanya, kamu sedang marah atau kesal.” “Pertanyaanku nggak kamu jawab.” “Yang mana?” “Sudahlah. Cepat pulang saja.” “Baiklah. Tunggu aku.” Melody menarik sudut bibirnya ke atas. Sembari, berdecak kesal. Di saat yang sama, ponselnya berdering singkat. Tanda pesan masuk. “Aku juga merindukanmu.” Senyumnya merekah kemudian. ** Pukul 21.30. Pelanggan terakhir baru saja keluar dari kafe. Melody membersihkan meja. Mengumpulkan gelas kotor. Dan, mencucinya. Menggantung kursi-kursi pada meja. Mematikan mesin kopi. Membalik papan plat pada tulisan tutup. Mematikan lampu teras. Keluar dari kafe. Menengok kanan dan kiri. Ben masih tidak terlihat. Ia pun kembali masuk. Mengambil ponsel di dekat meja kasir. Menelepon Ben berkali-kali. “Ish, katanya 30 menit lagi sampai. Tapi, sudah satu jam belum juga pulang. Kemana sih?” gerutunya. “Bu.. banyak nyamuk.” Bintang tiba-tiba terbangun. “Oh, Bintang.. Maaf, ya kamu sampai terbangun. Ayo, Ibu gendong. Kita pergi ke kamar.” Melody mematikan lampu, sambil menggendong Bintang. Keluar. Belok ke kiri. Ada sebuah tangga hitam, sedikit melingkar. Dengan langkah hati-hati, ia menaiki tangga tersebut. Di mana rumahnya berada. Konsep rumah idamannya sejak kecil. Sampai ia kembali menidurkan Bintang pun, Ben tak terlihat. “Sudah hampir tengah malam. Sebenarnya, dia itu pegawai kantor atau apa, sih?” gerutunya kembali. Mengunci pintu kafe. “Lody.” Melody berjengit kaget, saat namanya di panggil. “Ah, maaf. Kamu sudah menunggu lama, ya?” Melody hanya melirik pria dengan rambut acak-acakan. Dasi yang sudah melonggar. “Di mana Bintang?” “Kamar. Kamu pikir, dia aku tinggal di dalam kafe yang sudah gelap.” “Oh, ya sudah.” Ben berjalan gontai melewati Melody, yang sudah menahan amarah. “Kamu nggak ingin menjelaskan apa pun padaku?” “Ah, iya. Maaf, tadi Pak Toni memberiku tugas tambahan. Dan, harus selesai malam ini juga. Mau tidak mau, aku harus lembur.” “Ben.. apa hanya kamu karyawan di kantornya? Kenapa setiap hari selalu kamu yang lembur? Bagaimana dengan yang lain?” “Sama saja. Terkadang.” “Hanya sesekali, kan? Nggak setiap hari.” “Lody.. aku sangat lelah sekali. Bisa nggak berdebatnya di tunda besok?” Melody mendesah singkat. “Kamu tahu ini hari apa?” Ben yang sudah berpijak di bordes, kembali menengok ke belakang. “Senin. Kenapa?” “Tanggal berapa?” “27.” “Bulan?” “Februari. Lody, kamu ini kenapa? Pertanyaanmu terlalu berbelit. Ada apa? Hari apa ini? Ada suatu peringatan khusus? Aku benar-benar capek. Bisa langsung ke intinya?” “Sudahlah. Tidur saja.” Melody berbalik badan. “Kamu mau kemana? Sudah malam ini.” “Minimarket.” “Kenapa wanita itu sulit di pahami,” gumam Ben. Naik ke lantai atas. ** “Dasar laki-laki pelupa! Nggak peka sama sekali! Nggak romantis!” Melody terus menggerutu, sambil minum soda. Duduk di kursi, depan minimarket. “Bibi.. Sedang apa sendirian di sini?” Melody melirik ke kiri. Tepatnya, pada Ben yang sudah berganti pakaian. Celana dan jaket olahraga. Biru muda. Dengan garis putih di samping. Tetap. Terlihat sangat tampan. Sekalipun, mengenakan baju sobek-sobek, ketampanannya tetap paripurna. “Kenapa kemari?” Melody membuang muka. “Istriku malam-malam nggak ada di kamar. Tentu saja, perasaanku nggak tenang.” “Pulang sana. Aku mau sendiri. Nanti kalau Bintang bangun bagaimana?” “Justru itu. Aku menyusul mu kemari. Pastinya, dia akan mencari mu. Bukan aku.” “Ck. Itu karena, kamu nggak dekat sama dia. Kamu selalu saja sibuk.” Ben mendesah panjang. “Aku juga nggak ingin sibuk. Tapi, kenyataan hidup, mengharuskan ku untuk melakukan itu.” “Ya. Terserah dirimu, Tuan sok sibuk.” Ben tersenyum kecil. “Buka tanganku,” pinta Ben. Meletakkan tangannya di atas meja, dengan mengepal. “Kenapa?” tanya Melody, mengernyitkan dahi. “Buka saja. Nanti juga kamu tahu.” “Kamu, nggak lagi bawa kecoa atau semacamnya, kan?” “Haha. Nggak mungkin.” “Benar juga, sih. Kamu bukan tipe laki-laki yang suka jahil.” Lantas, Melody membuka kepalan tangan Ben. Cincin berwarna perak, polos yg terlihat kemudian. “Ben.. ini,” kata Melody. Matanya melebar. Terkejut. “Aku tahu, ini tanggal pernikahan kita. Tadinya, aku mau memberikan ini saat kita mau tidur. Tapi, kamu dan perangai mu membuat rencanaku gagal.” Melody mendengus. Tersenyum senang. “Maaf, aku belum bisa membelikan mu cincin pernikahan lagi. Dan, ini pun bukan emas asli. Hanya monel.” Melody melentikkan jari manisnya. “Pakaikan.” “Cih, kamu ini kan bukan anak kecil. Bisa pakai sendiri.” “Ayolah. Biar romantis.” “Hah, kamu harus berhenti menonton drama pagi hari.” Meski begitu, Ben tetap memasangkan cincin tersebut. Melody terus menatap jarinya. “Bukan emas asli. Tapi, kamu suka?” “Sangat.” “Kenapa?” “Karena pemberianmu.” “Terima kasih, Melody. Aku.. akan berusaha dengan keras untuk membahagiakanmu dan Bintang.” “Jangan berusaha terlalu keras. Sesekali, kita harus menikmati kehidupan.” Ben hanya mengangguk. Tersenyum kecil, melihat Melody masih girang dengan cincinnya. “Cantik,” ucap Ben. “Tentu saja. Aku memang cantik.” “Cincinnya yang aku maksud.” Melody berdecak kesal. “Ah! Cincinmu? Kamu, hanya beli satu?” Ben mengangkat tangan kanannya. “Sudah aku pakai.” “Dengan begitu, teman-teman wanitamu akan berhenti mengirim pesan padamu.” “Haha. Kamu cemburu?” “Tentu saja. Aku Istrimu! Hanya wanita gila, yang nggak cemburu, kalau suaminya banyak yang suka.” “Hmm, baiklah. Kita pulang sekarang? Istriku?” Melody berdiri. Memutari meja. Berhenti di sebelah Ben. Melingkarkan tangannya pada lengan Ben. Dan, berjalan dengan romantis. “Kamu tahu? Tadi, ada pelanggan yang memberikan nomornya padaku.” “Lagi? Wah, mereka benar-benar harus memakai kacamata.” “Hei, aku memang secantik itu!” “Haha. Hanya di mata Bintang saja.”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.1K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
31.0K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.6K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
51.1K
bc

Desahan Sang Biduan

read
53.9K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook