Bab.1 - Abang Cilok

1609 Kata
Kadang... kita tidak tahu seperti apa sebuah kedekatan dimulai Yang pasti, ada harapan bahwa semua tak pernah akan ada akhirnya... nanti... *** Kenangan di masa lampau... Suara blender terdengar berisik di sekitaran warung kecil dekat gang rumah Disya. Sambil membenarkan gendongan tas raselnya, ia berlarian kecil menghampiri si penjual yang sibuk berkutat dengan Pop Ice. "Bang, minta cilok lima ribu aja," celetuk Disya sambil mengamati kegiatan seorang pria muda dengan kaus oblong warna putih tulang. Entah warnanya asli memang begitu, atau sudah pudar termakan waktu. "Minta apa beli, Neng? Di sini tidak melayani gratisan," kata si empu sembari menuangkan minuman segar ke wadah. Lalu memberikannya ke si pembeli. Uang disodorkan dan si pembeli pun berlalu sambil menyedot Pop Ice dinginnya. Disya mendelik menatap punggung seorang bocah perempuan yang baru pergi. "Woi! Bocah!" teriaknya lantang. Si anak spontan menoleh. "Iya Kak?" "Udah bilang terimakasih belum sama abangnya?!" pekik Disya. Si bocah tampak garuk kepala linglung. "Kata bundaku nih ya, orang yang nggak tahu rasa berterimakasih itu nanti bakal dikutuk jadi kodok tahu. Mau gitu?" selorohnya ambigu. Si anak kecil berkepang dua menggeleng takut. Buru-buru ia kembali mendekat dan mengatakan ucapan terimakasih pada Abrar, sang penjual cilok dan jajanan lain di situ. Kemudian permisi dengan senyum kikuk. Disya mengibaskan rambut panjangnya. Terasa gerah bukan kepalang. Ia minta sebiji karet pada Abrar. Masih menatap heran bercampur agak kagum, Abrar menyodorkan dengan wajah setengah sadar.  Sebentar dipandanginya gadis berseragam sekolah menengah pertama, yang tengah mengikat rambutnya asal-asalan. Meski terlihat berantakan tatanannya, tidak dipungkiri pemilik t**i lalat kecil di bawah mata kiri itu begitu menawan indra penglihatan Abrar. Hampir tiap hari Disya jajan di warung minimalis alias warung sederhana Abrar. Baru kali ini ia menyadari ada kecantikan hakiki dimiliki oleh salah satu pelanggan tetapnya ini. "Kok melamun sih, Bang?! Saya mau beli cilok tahu lima ribu!" tukas Disya menyadarkan lamunan ambigu Abrar. "Oh beli. Tadi bilangnya minta." "Minta sama beli sama aja asalkan bayar kan?" "Pinter banget Neng kamu ngomongnya." "Bisa nggak sih jangan panggil neng?! Saya Disya!" protesnya tiap kali Abrar memanggil sapaan neng padanya. "Lhah kamu sendiri bisa nggak jangan panggil saya Bang? Memangnya saya tukang kentut apa? Bang Bang Tut," guraunya garing. Selagi asik menusuk-nusuk cilok untuk dimasukkan ke plastik bening, tiba-tiba suara riuh para pemuda bergerombol mengganggu mereka. "Widih, juragan cilok tuh!" "Brar, gratisin buat kita-kita dong! Jangan pelit sama kawan sendiri!" "Bener tuh, ntar kuburannya sempit kalau pelit-pelit." "Gue mau cilok lima bungkus sama esnya sekalian. Lumayan buat adek kakak di rumah kan?!" "Tapi tuh cilok kagak ada jampi-jampi penglaris semacam kolor ijo kan ye?" "Hush! Demi bayar sekolah tuh. Daripada kena tegur pak kepsek lagi gara-gara nunggak?! Kasian kasian kasian." Celetukan lima orang pemuda bergantian terlontar. Telinga Disya jengah sekali mendengarnya. Tapi, Abrar hanya mesem saja seakan tak peduli. Padahal dari cara mereka bicara, jelas sekali ada nada sindiran apatis atau semacam rundungan terselubung. Disya tak senang. Ia berkacak pinggang layaknya orang dewasa menantang lawan. "Heh, abang-abang nggak punya sopan santun! Itu mulut apa kaleng rombeng sih?! Bahasanya klontang-klontang banget didenger. Di sekolahan pasti doyan tidur sama makan doang ya? Makanya nggak tahu mana bahasa baik dan mana bahasa buruk buat orang lain?!" ujarnya menggebu-gebu. "Dih, anak siapa nih? Berani amat ceramahin kita. Adek kecil yang unyu-unyu, mending kamu pulang gih, daripada kena culik p*****l jalanan," tukas salah satu pemuda berambut kemerah-merahan hasil semir murahan tentunya. "Udah, Dis. Jangan dilawanin-" Abrar berusaha menghentikan. Ia tak mau ada kericuhan berlanjut. Dirinya amat mengenal rekan-rekan satu sekolahannya itu. Mereka memang biang keladi dan berandalan tukang bikin onar di mana-mana. Targetnya kebanyakan adalah kaum-kaum tertindas seperti Abrar ini. "Ngalah aja, Dis," lanjutnya. "Enak aja ngalah! Perlu diadukan ini ke para punggawa!" Disya sibuk menekan ponsel Nokia 5300 yang tali pengaitnya menggantung di leher. Pada masa itu ponsel ini memang berjaya di kalangan papan atas saja. Bagi kebanyakan orang, siapa yang punya handphone tersebut sudah dianggap tajir melintir. Ia menyingkir sebentar untuk  menghubungi kakak kesayangannya. Salah satu dari mereka mendadak mengambil makanan ringan yang menggantung di warung. Memakannya tanpa mau membayar. Begitu saja kerjaannya tiap hari bila mendatangi tempat jualan Abrar. Satu orang lagi duduk di kursi panjang sambil mencomot tempe mendoan dan mengunyahnya tanpa sungkan. Yang lain ikut melakukan hal sama. "Bro, tolong dibayar ya kali ini. Buat balik modal." Abrar bicara dengan perlahan. Berharap bisa memberi pengertian pada teman-temannya. "Yaelah, parah banget sih lo sama temen sendiri! Palingan cuma berapa sih ini?! Lo mau gue hajar?!" balas ketua geng sok jagoan. "Bukan gitu, tapi-" "Kagak usah tapi-tapian deh! Lo bikin emosi gue naik tahu!" Suara teman lain meninggi. Dibantingnya beberapa toples tak bersalah sampai berjatuhan di lantai. Agaknya Abrar melakukan kesalahan. Ia tahu betapa brutal mereka, tapi malah sok-sokan berani meminta pembayaran. Bagaimana pun juga ia hanya ingin haknya dipenuhi. Mereka terlalu sering mengambil makanan ringan tanpa dibayar. Abrar juga butuh uang untuk beli jajanan stok besok. Tapi melawan pun percuma saja, malah makin menimbulkan kerugian begini. Usai melakukan panggilan telepon. Disya menoleh ke warung. Ia tadi berbincang di bawah pohon mangga dekat warung. Betapa kagetnya saat dirinya melihat para sosok preman sekolahan itu mengacak-acak jualan Abrar. "Heh! Apa-apaan nih! Kalian kelewatan banget!" Disya menahan ketua geng. Tapi ia malah didorong ke samping sampai jatuh. "Bocah ingusan, mending kagak usah ikut campur! Pulang sana! Nambah kesel gue aja lo!" bentaknya. Seumur-umur hanya ibunya yang berani mengomeli Disya dengan suara tinggi. Ia benci diperlakukan semena-mena oleh orang asing. Gadis itu bangkit dibantu Abrar . Kemudian dengan berani langsung menendang lutut si ketua geng dan menjambak rambutnya tanpa ampun. "Eh apa-apaan lo bocah! Lepasin gue k*****t!" protes ketua geng kuwalahan menangani serangan dadakan Disya. Ia belum tahu saja sisi buas macan betina bila muncul karena diganggu. "Waduh Yud! Lo kalah sama anak SMP? Pamor lo mau ditaroh mana?!" ledek teman lain. "b******k lo pada! Bantuin gue!" Akhirnya setelah sekian menit, ia berhasil meloloskan diri dari Disya usai menginjak sepatu gadis itu. Disya sontak mundur sambil membuang napas sebal. "Kalian mending pergi, gue nggak akan minta bayaran lagi," sela Abrar mengalah demi melerai pertikaian. Ia tak tega membawa seorang gadis masuk di antara masalahnya. "Nah gitu kek dari tadi. Repot amat jadi orang. Cabut!" Yuda, ketua geng memberi instruksi pada anak buahnya untuk beranjak. Sayangnya suara deru mesin motor Ninja mendengung bising  di belakang mereka. Tiga orang pria muda dengan kaus bermereknya turun bersamaan dari motor masing-masing. "Mau ke mana kalian?" Gibran bertanya dengan nada datar. Meski begitu, hal tersebut sukses menciutkan nyali para preman sekolahan. Padahal sebelumnya mereka sangat percaya diri. "Kak! Masa aku didorong sampai jatuh, lihat nih rok seragam sekolahku jadi kotor. Nanti bunda pasti ngira aku main nggak jelas. Padahal gara-gara cecungui resek ini! Trus itu tadi aku dibentak-bentak juga loh." Disya mengadu. Yuda dan teman-temannya melongo. Wajah penuh sesal terpancar nyata dari raut muka mereka semua. Rupanya mereka salah sasaran. Kalau tahu Disya adalah adik dari tiga serangkai yang tak bisa dilawan, mana mungkin kelimanya muda-mudi ini berani macam-macam. "Anu... anu... itu, sorry, bro. Kita kagak tahu kalau anak ini adik lo," ucap Yuda tergagap setengah menunduk takut-takut. "So, kalau dia bukan adek temen gue, lo bisa seenaknya menindas orang gitu? Yang lo lawan itu cewek. Lo semua banci? Hah?" Adrian maju selangkah. Akbar hanya nyengir sambil geleng kepala. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Benar saja, sebuah pukulan langsung mendarat di wajah Yuda. Sekali hantam saja pemuda songong itu limbung hampir terjungkal. Untung teman-temannya menopang, menghalau agar tak jatuh ke tanah. "Berapa kali kamu dijorokin Dis?" tanya Adrian. "Sekali. Tapi mereka ngancurin dagangannya abang cilok. Lihat tuh! Udah gitu nggak mau bayar pula," lapornya. "Sorry, sorry, bos. Maapin kita. Kita ganti rugi kok," teman Yuda langsung iuran dan menyerahkan lembaran uang ke Abrar. Tak lupa mereka minta maaf juga sebelum dapat bogem lanjutan dari para penegak keadilan. Itu sebutan anak-anak sekolah pada tiga serangkai. Wajar mereka ngeri, pamor tiga serangkai bukan hanya tenar. Namun, juga melejit hebat. Gibran sang juara umum, ditambah selalu juara dalam lomba karate tingkat nasional. Akbar sang penguasa Sains, jawara Ilmu Pengetahuan Alam, sekaligus juara taekwondo tingkat provinsi. Belum lagi Adrian, bidangnya adalah Ilmu Pengetahuan Sosial, plus jagonya boxing alias tinju tanpa tedeng aling-aling. Daripada Yuda dan para pengikutnya babak belur habis dihajar, besok jadi trending topik buah bibir di sekolah, lebih baik mundur teratur. "Udah, bro. Kasihan. Biarin aja mereka pergi. Udah diganti juga ini," timpal Abrar tak ingin ada lagi keributan. Ia harus lanjut membereskan dagangan sebelum ibunya datang menggantikan jualan sore. Gibran mengangguk singkat. Membiarkan Yuda cs lari tunggang langgang. Ia membantu Abrar merapikan sisa kekacauan bersama Akbar dan Adrian. Sementara Disya duduk santai makan cilok. Katanya ia sudah lelah dan kelaparan akibat emosi barusan. Alasan yang terlalu mengada-ada sekali. "Mulai sekarang, jangan sungkan minta tolong ke kita, kalau lo ada masalah sama mereka." Adrian mengingatkan Abrar. "Thanks." "Temen itu saling menolong. Bukan saling songong," kata Adrian lagi. "Kenapa kalian nggak masukin abang cilok jadi tim tiga serangkai sekalian sih? Biar genap jadi empat serangkai. Siapa tahu nanti abang cilok jadi punya motivasi hidup, supaya lebih berani bertindak kalau ditindas lagi," usul Disya di sela kunyahan cilok setengah pedasnya. "Boleh juga tuh. Lo gabung jadi sohib kita aja. " Akbar menyetujui. Gibran hanya manggut-manggut saja. Ia lebih tertarik pada bakwan yang sudah lahap dimakan. Rasanya lebih enak dari buatan bundanya."Dis, bayarin dulu ya. Aku nggak bawa uang," ujarnya santai pada sang adik. "Ish, bunganya seratus persen ya?!" "Kamu mau belajar jadi rentenir gadungan apa?" "Bukan rentenir, Kak. Tapi bisnis." "Sama aja. Nggak baik membunga-bungakan uang, nanti di akhirat dicemplungin ke api neraka. Mau?" Disya merinding. "Nggak mau! Aku anak baik kok!" pekiknya. Abrar mesem melihat polah tingkah Disya. Diam-diam tanpa ia sadari, ada suara ketukan di pintu hatinya yang belum pernah terjamah siapa pun jua.  =======♡ Really Lover ♡=======
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN