Anna mengikuti laki-laki itu dari belakang. Ragu apakah ia harus memanggilnya atau menunggu besok untuk berbicara dengannya. Ketika laki-laki itu berbalik dan menatapnya, Anna tersentak hingga jatuh terduduk di kursi di belakangnya.
Laki-laki itu menaikkan alis matanya yang tebal. Anna berdiri, merapikan roknya yang lusuh lalu mendekati Renan dengan langkah panjang. Berusaha tidak terintimidasi dengan tatapan dingin laki-laki itu.
"Apa ada masalah?" tanya Anna dengan nada polos.
Tak ada perubahan apa pun yang tampak dari wajah Renan. Laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan Anna dan kembali berjalan keluar kelas.
Anna mendengus kesal. Masih berada di belakang Renan. Tempat paling aman untuknya. Tidak ada lagi yang mencegatnya saat keluar kelas. Tidak ada lagi para perempuan dengan riasan tebal menyebalkan yang menjabak rambutnya dengan brutal. Anna sempat curiga bahwa perempuan-perempuan itu mengganggunya karena iri dengan kecantikannya. Setidaknya pikiran itu membuat Anna tidak terlalu membenci mereka.
Pikiran Anna melayang ke perlakuan orang di sekolahnya dulu hingga tidak sadar Renan sudah berhenti berjalan. Anna menabrak tubuh laki-laki itu.
"Maaf," ucap Anna pelan.
Laki-laki itu berbalik lagi, "Kau mengikutiku?"
Pertama kalinya Anna mendengar suara Renan dan ia terkesiap. Suaranya begitu dingin, ada nada kasar yang menakutkan, tetapi menyimpan misteri yang menarik siapapun untuk terus menginginkannya. Begitu juga Anna, ia ingin mendengar suara itu lagi.
Anna melihat sekelilingnya. Mereka berada di gang sepi samping sekolah. Tak ada orang lain di sana. Anna memberanikan dirinya mendongak dan menatap mata Renan. Pertama kalinya dia melihat wajah laki-laki itu dengan benar. Selain ekspresi datar yang membuat Anna selalu menebak apa yang sebenarnya laki-laki itu pikirkan, masih ada banyak yang membuat Anna tak bisa mengalihkan pandangannya. Anna tak pernah ingin menyukai siapapun, perasaan suka ataupun cinta hanyalah barang tak berguna untuknya. Anna tidak menyukai kekuatan Renan untuk mempengaruhinya seperti sekarang, tetapi Anna akan memanfaatkannya menjadi kelebihannya.
"Aku Anna. Kita satu kelompok untuk tugas ekonomi minggu depan," kata Anna.
Renan hanya diam sambil memasukkan tangannya di celana panjangnya. Anna berkata lagi untuk memecah kesunyian di antara mereka. "Pekan ini aku ada acara keluarga. Jadi aku tidak bisa mengerjakannya bersama. Aku hanya punya waktu hari ini. Bagaimana kalau kita mengerjakannya sekarang?"
"Tidak perlu. Aku akan mengerjakan tugas itu sendiri," balas Renan.
Anna tak suka dengan jawaban itu, "Tidak bisa. Itu tugas kelompok pertamaku di sekolah ini. Kita harus mengerjakannya bersama. Aku murid baru di sini, aku ingin berteman denganmu."
"Aku bisa mengerjakannya sendiri dan aku tidak tertarik menjadi temanmu."
Anna mengerucutkan bibirnya dengan kesal. Anna bukan seseorang yang ceria dan bersemangat, tetapi sekarang ia berusaha seperti itu. "Tapi aku ingin menjadi temanmu, Renan."
Renan tampak tak percaya dan meninggalkan Anna menuju pinggir jalan. Anna masih mengikutinya. Anna berteriak memanggil Renan ketika sebuah mobil berhenti di depan laki-laki itu. Mobil yang tadi pagi mengantar Renan. Seorang pria paruh baya berambut panjang dengan wajah pucat dan bola mata hitam keluar dari mobil itu. Anna membungkukkan tubuhnya. Dilihat dari kemiripannya, Anna menebak pria itu pasti ayah Renan. Anna segera mendekati dua orang itu dengan senyum sopan.
"Selamat sore, Paman. Perkenalkan nama saya Anna, teman Renan yang baru pindah ke sekolah ini. Kami akan mengerjakan tugas kelompok bersama, bisakah saya ke rumah Renan hari ini?" tanya Anna dengan penuh harap.
Kalau Anna ingin menjadikan Renan sebagai alternatifnya, Anna harus mengukur seberapa besar laki-laki itu akan berguna untuknya. Anna tak meragukan kekayaan Renan dari barang-barang bermerek yang Renan gunakan dan mobil ayahnya, tapi Anna butuh lebih. Anna ingin melihat semua yang laki-laki itu miliki. Anna ingin melihat rumah Renan.
Anna melirik Renan, laki-laki itu mungkin marah dengan ide yang baru saja Anna lontarkan. Tapi wajahnya masih tak berubah. Laki-laki itu dengan wajah datarnya melangkah masuk ke mobil.
"Jangan dengarkan gadis itu, Yah," ucapnya sama datarnya.
Anna berpikir untuk menyiapkan rencana yang lebih matang untuk mendekati Renan besok ketika ayah Renan bersuara. "Paman akan senang sekali jika kau mau berkunjung ke rumah Renan."
Anna tersenyum kecil lalu mengucapkan terima kasih ketika Dorian, ayah Renan membuka pintu untuknya. Anna melirik Renan yang masih diam tanpa ekspresi. Anna tahu laki-laki itu merasa tak nyaman dengan kehadirannya di mobilnya. Renan membuka tasnya dan mengeluarkan pemutar musik hitam sebesar telapak tangan. Pemutar musik yang dibicarakan Rena dan Dona saat di kelas tadi. Renan memasang earphone dan memejamkan matanya. Anna menghembuskan napasnya kasar, laki-laki itu sungguh tak menganggapnya ada.
"Renan memang begitu. Anak itu tidak pandai bergaul dengan orang lain. Kau orang pertama yang mengaku sebagai temannya," kata Dorian.
Anna sedikit tak menyangka Renan tidak memiliki teman sama sekali. Anna tersenyum kecil, ia menganggap hal itu tidak wajar sedangkan dirinya sendiri tidak memiliki teman. Namun, setidaknya Anna mempunyai Seira, anak pemilik rumah bordil yang seumur dengannya. Meskipun Seira tidak bisa ia katakan sebagai teman baiknya, tapi Seira membantunya ketika seseorang merundungnya.
Tapi, benarkah laki-laki di sebelahnya ini tidak memiliki teman sama sekali?
"Apa selama ini Renan tidak memiliki teman sama sekali? Kenapa?" tanya Anna menyuarakan pikirannya.
"Renan berbeda dari anak-anak lain. Selama ini ia mengikuti homeschooling dan baru masuk ke sekolah umum saat SMA. Dia memiliki masalah dengan emosinya, Nak Anna."
"Masalah emosi?"
"Paman tidak bisa menceritakannya kepadamu. Biarkan Renan yang menentukan apakah kau boleh mengetahui hal ini atau tidak. Renan tidak mudah mempercayai orang lain dan dia tidak ingin orang lain mengetahui dirinya."
Semakin banyak misteri tentang Renan. Anna tidak suka hal yang rumit, tapi laki-laki di sebelahnya seperti sebuah permainan yang ingin Anna menangkan. Tatapan matanya begitu dingin seperti tidak pernah ada seseorang yang datang untuk menghangatkannya dan Anna ingin menjadi orang pertama yang melakukan itu.
Anna terperangah ketika mereka memasuki gerbang besar menuju hutan kecil di tengah kota. Anna tidak tahu di tengah kota yang padat pemukiman itu ada hutan tersembunyi. Anna hanya melihat pohon-pohon tinggi di sekelilingnya yang anehnya terlihat rapi seolah bukan hutan sungguhan. Pohon itu menjalar dengan tinggi dan jarak yang sama dengan pohon di sampingnya. Tidak ada kesan menakutkan seperti ketika Anna melewati hutan sungguhan. Tempat itu terasa seperti taman yang segar dan indah.
Mereka berkendara sekitar lima menit sebelum Anna melihat sebuah rumah gaya Eropa menjulang di balik pohon-pohon itu. Rumah itu berwarna putih kusam dengan bagian atas hitam dan batu yang melekat di setiap dindingnya. Ada dua pilar besar di bagian kiri dan kanan rumah dua lantai itu. Jendelanya sangat besar dengan kain putih yang berkibar keluar dari jendela yang terbuka. Anna memandang rumah yang seperti kastil itu cukup lama sebelum Dorian memanggilnya untuk turun.
Renan berjalan ke pintu masuk meninggalkan Anna. Perempuan itu mengikuti Renan dengan langkah kecil. Matanya tak bisa tenang, melihat setiap rumah megah itu dengan terkagum-kagum. Anna hanya pernah melihat rumah seperti itu di film kartun waktu kecil. Anna tak menduga rumah seperti itu benar-benar ada hingga sekarang ia melihatnya sendiri.
"Kau orang pertama yang diajak Renan ke rumah. Anggaplah seperti rumahmu sendiri, Anna." Dorian menuntun Anna memasuki ruang tengah dan menunjuk kamar dengan pintu hitam. "Itu kamar Renan. Kalau Renan tak juga keluar, masuk saja ke kamarnya. Paman harus mengerjakan sesuatu."
Anna mengangguk pelan lalu duduk di sofa kayu di depannya. Rumah itu begitu indah dengan berbagai lukisan dan ukiran di dinding dalamnya. Anna berdiri ketika melihat lukisan besar di ruang tamu. Anna memiringkan kepalanya, lukisan coret-coret tak beraturan itu membuatnya berpikir cukup lama. Ketika mendengar suara langkah orang di belakangnya, Anna berbalik dan melihat seorang perempuan dengan tas lebar di pundaknya menatapnya dengan dingin. Perempuan itu menatap Anna tak suka. Anna melihat perempuan itu dari kepala sampai kaki dan terkesima dengan keanggunan yang perempuan itu miliki.
"Siapa kau?" tanya perempuan berambut panjang itu.
Anna yakin perempuan itu lebih tua darinya, jadi ia berusaha bersikap sopan. "Aku teman Renan," jawab Anna.
"Teman?" Alis perempuan itu terangkat seakan tak percaya dengan perkataan Anna. "Dimana Renan?"
"S-sepertinya masih di kamar," ucap Anna yang entah kenapa merasa gugup.
Perempuan itu langsung pergi menuju kamar berpintu hitam yang ditunjuk Dorian tadi. Anna melihatnya sampai pintu kamar itu tertutup. Perempuan itu tidak memiliki kemiripan dengan Renan dan Dorian, lalu siapa perempuan itu?
Anna kembali duduk di sofa ruang tamu dengan kikuk ketika suara kaki kembali terdengar. Kali ini, suara itu terdengar sangat beraturan dari lantai atas. Rumah itu entah kenapa membuat bunyi apapun terdengar lebih tajam, bahkan Anna sempat mendengar bunyi kicauan burung di luar sana.
Seorang wanita paruh baya bergaun merah muda turun dari tangga kayu di samping ruang tamu. Wanita itu memiliki rambut hitam yang sangat panjang hingga menyentuh pinggangnya. Anna berdiri, membungkukkan tubuhnya pada wanita yang kini tersenyum lebar padanya. Anna tidak mengerti dengan orang-orang di rumah ini. Mereka seperti berada pada dua kutub yang berbeda, Renan dan perempuan muda tadi berada di kutub yang dingin. Sedangkan, Dorian dan wanita paruh baya di depan Anna berada di kutub yang hangat. Mau tak mau, Anna membalas senyuman wanita itu.
"Kau pasti Anna. Dorian sudah menceritakanmu padaku. Kau teman Renan, bukan? Aku tidak pernah bertemu dengan teman Renan sebelumnya. Senang sekali bertemu denganmu, Anna."
Anna membalas uluran tangan wanita paruh baya itu. "Anda?"
Suara tawa yang halus menggeletik telinga Anna, "Benar. Aku belum memperkenalkan diriku sendiri. Namaku Arlind, ibu Renan. Meskipun bukan ibu kandung. Aku mendengar suara Serena tadi, apa kau sudah bertemu kakak Renan?"
Anna mengangguk sebagai jawaban. Serena, perempuan tadi adalah kakak tiri Renan. Mereka bukan saudara sedarah. Anna melirik pintu kamar Renan yang tak kunjung terbuka. Merasa ada yang salah dengan tatapan tak suka Serena kepadanya.
"Kau datang ke sini untuk mengerjakan tugas, bukan? Kenapa Renan tidak keluar dari kamar?" tanya Arlind.
Wanita itu sangat berlawanan dengan ibunya dengan semua keanggunannya dan Anna menyukainya. "Serena baru saja masuk ke kamar Renan. Mungkin ada yang mereka bicarakan," kata Anna dengan senyum yang ia buat semanis mungkin.
Arlind menyentuh pundak Anna, "Kalau begitu, Tante akan akan mengambil cemilan di dapur dulu untuk teman belajar kalian. Semoga kau nyaman di rumah ini, Anna."
"Terima kasih, Tante."
Arlind meninggalkan Anna menuju dapur. Anna berniat duduk kembali di sofa menunggu Renan menemuinya ketika mendengar pintu kamar Renan terbuka. Laki-laki itu sudah berganti pakaian. Renan mengenakan kaos putih dan celana jeans hitam, laki-laki itu terlihat santai, tapi wajahnya tetap tak berubah. Matanya masih dingin dan kosong, bibirnya terkatup rapat, dan tubuhnya berdiri sangat tegak hingga membuat Anna berpikir apakah laki-laki itu sedang tak bernapas.
"Masuk ke kamarku!"
Anna membulatkan matanya. Ia pikir Renan tidak akan mengizinkannya masuk ke kamarnya. Begitu pula dengan perempuan di sampingnya yang tampak terkejut. Serena melihat Renan tak percaya.
"Renan! Kau tak mengizinkan siapapun masuk ke kamarmu. Bagaimana bisa kau memperbolehkan perempuan yang baru kau temui itu?" tanya Serena.
Renan tidak menjawab Serena dan masih tetap memandang Anna dengan datar. "Masuk!" perintahnya lalu memasuki kamarnya dan membiarkan pintunya terbuka.
Anna segera mengambil tasnya. Melewati Serena yang yang masih menatapnya tak suka. Sebelum Anna menutup pintu kamar Renan agar Serena tak ikut masuk, perempuan itu sudah menjauh dengan langkah kesal. Anna tersenyum kecil. Apapun itu, Anna sudah berhasil membuat Serena cemburu padanya.