Anna memasuki kamar Renan yang hampir sebesar rumahnya. Anna jatuh terpukau, kamar itu begitu indah dengan jendela kayu besar yang mengilap. Anna masuk lebih jauh dan melihat ranjang besar bewarna abu-abu tua di tengah ruangan. Renan duduk di deretan sofa besar yang tak jauh dari ranjang. Laki-laki itu duduk menyilangkan kakinya. Menunggu Anna berjalan ke arahnya.
"Segera selesaikan tugas kita dan keluarlah dari rumah ini," ucap Renan setelah Anna duduk di depannya.
Dengan senyum miring yang tersembunyi, Anna mengeluarkan bukunya. Anna tak merasa terluka dengan kata-kata Renan. Anak seperti Renan berhak untuk bersikap sombong. Anna sudah menemui banyak anak kaya dan sikap mereka lebih buruk daripada sikap Renan sekarang. Mereka bahkan tak mau hanya untuk satu ruangan dengan Anna. Padahal mereka menghirup udara yang sama dengannya, tapi anak-anak orang kaya itu seperti tak ingin udara di sekitar mereka tercemari dengan kehadiran anak miskin sepertinya. Seperti sikap Renan sekarang. Anna hanya perlu mengabaikannya. Ia harus selalu mengingat tujuannya mendekati laki-laki itu.
"Renan Zahard?" Anna mencoba membuka percakapan. Ia tak boleh menyia-yiakan waktu berdua dengan Renan hanya untuk mengerjakan tugas bodoh itu. "Namamu terdengar jahat. Apa ada orang yang memberitahumu tentang itu?"
Renan mengangkat alisnya. Laki-laki itu seperti enggan membuang energi untuk membuka mulutnya. Anna paling tidak suka dengan itu, tapi ia berusaha menahannya.
"Ada sebuah komik fantasi yang sedang terkenal sekarang. Salah satu keluarga antagonis di komik itu bernama Zahard. Dengan simbol tiga mata berwarna merah yang sangat dingin." Anna mencoba tertawa meskipun orang di depannya tampak tak peduli. "Kau seperti bagian dari keluarga Zahard di komik itu."
"Bisakah kita mengerjakan tugas sekarang?" tanya Renan.
Anna mengangguk dan membuka bukunya. Ia mengakui tak pandai membuka percakapan, tapi tetap saja Anna kecewa Renan sama sekali tidak menanggapinya. Anna melihat sekeliling kamarnya, matanya menangkap pemutar piringan hitam di pojok ruangan dan lemari kaca yang berisi banyak sekali piringan hitam. Anna melirik ruangan tertutup di balik lemari, Anna melihat piano hitam di sana.
"Kau bermain piano?" tanya Anna.
Anna tersenyum kecil ketika melihat dahi Renan mengerut. Matanya terlihat tidak fokus. Seperti ada yang menganggunya dan membuatnya kehilangan arah. Sesuatu yang baru bagi Anna. Setidaknya ia tahu kalau Renan bisa memiliki ekspresi.
"Apa yang kau mainkan? Mozart? Beethoven? Bach?"
Renan masih diam, tangannya mengepal di atas meja. Namun, Anna tidak merasa takut ataupun berhenti memancing laki-laki itu untuk berbicara. "Maaf, aku hanya tahu tiga orang itu. Aku tidak mengikuti musik klasik. Aku selalu berpikir musik klasik hanya bisa dinikmati orang sepertimu saja. Maksudku, orang kaya sepertimu."
Masih tak ada jawaban. Anna menghembuskan napasnya dengan berat. "Kau juga memiliki banyak piringan hitam," ucapnya sambil melirik Renan.
"Aku tebak harga satunya sama dengan sewa rumahku satu bulan. Apa aku terlalu menghinamu? Harga sewa rumahku -"
Renan memotong perkataan Anna, "Apa yang kau lakukan?"
"Apa?"
Renan berdiri, Anna mendongak melihat laki-laki tinggi itu menatapnya tajam. "Kalau kau datang ke sini bukan untuk mengerjakan tugas, pergilah dari rumahku sekarang!"
Anna berdiri dan membalas tatapan Renan tak kalah tajam. "Apa terlahir dari keluarga kaya membuatmu seperti ini? Kau pasti menganggapku orang bodoh, bukan? Kau tak pernah melihat orang mengagumi isi rumah seperti yang aku lakukan? Kau tidak pernah bertemu orang miskin sebelumnya?"
"Apa yang kau katakan?" tanya Renan tak mengerti.
Anna tersenyum miring, merasa bahwa akhirnya ia bisa memancing laki-laki di depannya. "Kau bersikap seakan tak tahan di dekatku. Apa aku mengeluarkan bau busuk? Apa aku mencemari udara yang kau hirup? Aku hanya bertanya apakah kau bermain piano dan lagu yang kau mainkan, Renan. Aku tidak mencuri barang-barang di rumahmu atau mengotori kamarmu. Kenapa kau mengusirku keluar? Kenapa kau bersikap seperti ini padaku?"
"Bukan itu maksudku."
Anna mendesah pelan. Anna pikir ia berhasil memancing Renan dan membuatnya menyesal telah memperlakukan Anna dengan dingin, tapi laki-laki itu tampak tak menyesal sama sekali. Wajah datarnya tetap sama.
"Lalu apa? Kalian terlihat sama saja di mataku. Aku juga sama kan di mata kalian? Kalian - anak keluarga kaya- menganggapku seperti sampah yang tak perlu kalian pedulikan." Anna menutup bukunya dan memasukkannya ke tas. "Aku akan pergi. Aku tidak akan datang ke sini lagi. Aku telah salah menilaimu, Renan. Kupikir kau berbeda, tapi kau sama saja dengan anak keluarga kaya sombong yang memandang rendah orang lain."
Anna meninggalkan kamar Renan. Tentu saja Anna tidak akan menyerah secepat ini. Jika laki-laki itu punya hati dan pantas untuk menjadi alternatifnya, besok Renan akan menemuinya dan minta maaf padanya. Jika tidak, Anna yang akan mencari orang lain. Membuatnya berbicara dengannya saja tidak bisa, apalagi memanfaatkannya untuk membantunya masuk kuliah. Renan terlalu dingin dan tidak bisa ia jangkau.
Langkah kaki Anna terhenti ketika ia tidak mengenali lagi bagian rumah tempat ia berdiri. Rumah itu begitu besar dan Anna tersesat. Ia melihat sekelilingnya. Tidak menemukan siapapun di sekitarnya. Anna sedikit merasa aneh kenapa di rumah sebesar itu ia tidak melihat seorang pun pelayan. Dorian juga mengendarai mobilnya sendiri untuk menjemput Renan. Bukankah hal seperti itu harusnya cukup diserahkan pada sopir saja?
Anna memasuki lorong rumah itu semakin jauh. Lorong itu begitu gelap dan seperti tidak memiliki ujung. Anna baru saja akan berbalik ketika ia melihat pintu di ujung lorong yang sedikit terbuka. Anna mendekati pintu itu dengan hati-hati. Hatinya bimbang, antara masuk ke dalam atau tidak. Anna merasa harus menyingkirkan rasa ingin tahunya dan membuat masalah di rumah ini. Tapi di satu sisi, ia harus memanfaatkan kedatangannya di rumah ini untuk mencari sesuatu untuk yang menguntungkannya.
Akhirnya Anna membuka pintu itu lebih lebar. Ada tangga menuju ke bawah tanah. Anna kembali mengingat perkataan Rena dan Dona, teman sekelasnya tadi pagi.
"Ada gosip bahwa ayah Renan menyimpan mayat perempuan di ruang bawah tanah rumahnya. Katanya, Ayah Renan adalah pembunuh berantai yang suka membunuh perempuan secara acak."
Anna tertawa kecil. Tidak mungkin. Dia yang dengan yakin menyangkal gosip itu dan menganggapnya cerita konyol. Tapi, kenapa rumah ini benar-benar memiliki ruang bawah tanah?
Kulit Anna seketika merinding. Sambil menjaga keseimbangannya, Anna turun melewati tangga kayu itu. Mencoba berjalan perlahan agar tidak terdengar kayu yang berderit ketika ia menginjaknya terlalu keras. Anna sudah berada di tengah tangga, sekitar sepuluh anak tangga lagi untuk sampai di ruang bawah tanah. Anna berhenti sejenak. Memegang dadanya yang berdetak dengan kencang. Apa ia harus kembali?
Anna baru saja akan berbalik untuk naik kembali ketika seseorang memanggilnya dari bawah. "Anna? Apakah itu kau?"
Suara Dorian terdengar dari lantai bawah. Kulit Anna semakin meremang. Anna tidak bisa melihat apa pun selain seberkas cahaya lilin di meja. Apa ia baru saja memergoki pria itu di ruang pembantaiannya?
"Kemarilah... Bukankah kau ingin tahu apa yang ada di bawah sini?" kata Dorian lagi.
Pria paruh baya itu mendekati lilin di meja hingga wajahnya terlihat. Pria itu memiliki kulit pucat yang melekat di kegelapan seperti seorang teman. Bola mata hitamnya lebih besar dari yang Anna ingat. Tangannya tersembunyi di belakang punggungnya. Dorian memakai jubah hitam panjang hingga menutupi kakinya. Tangannya terangkat, mengundang Anna mendekatinya.
Anna berjalan ke bawah dengan ragu. Naluri memperingatinya agar tak melangkah lebih dekat, tapi Anna seperti tersihir dengan bola mata hitam Dorian yang terus menatapnya. Ruangan itu terlihat tidak terawat dan beraroma besi yang kuat. Anna merasakan hawa tidak enak yang membuatnya napasnya sesak. Suara Anna tercekat ketika melihat dua kurungan besi di tengah ruangan, tak jauh dari meja yang memisahkannya dan Dorian. Mungkin ada beberapa lagi kurungan besi, tapi Anna tidak bisa melihat semuanya karena cahaya yang minim.
"Kau sungguh berani, Anna. Bahkan Renan dan Serena tidak pernah datang ke ruangan ini," kata Dorian dengan nada dingin, berbeda dari Dorian yang selalu tersenyum pada Anna.
Anna melangkah mundur ketika Dorian mendekatinya. Wajah pria itu penuh keringat, menambah ketakutan Anna pada pria itu. Anna membekap mulutnya sendiri agar tidak berteriak ketika mendengar suara gesekan dan melihat gundukan besar tertutup plastik di belakang Dorian. Gundukan itu bergerak-gerak kecil. Anna melihat darah mengalir di lantai ruangan itu. Anna bergidik ngeri.
"A-apa itu?" tanya Anna dengan tubuh bergetar.
Dorian tersenyum kecil. Tubuh Anna membentur lemari kayu di belakangnya ketika Dorian semakin mendekatinya. Tangan Anna masih membekap mulutnya. Apa ia harus berteriak sekarang? Bagaimana jika Dorian benar-benar seorang pembunuh berantai?
Tapi pria itu hanya melewati Anna untuk mengambil senter yang tergantung di belakang Anna. Anna menghembuskan napasnya lega. Dorian menghidupkan senter hingga ruangan tak lagi gelap. Dorian berjalan membawa senternya ke arah kurungan besi. Tangannya terulur meminta Anna untuk mendekat.
"Anna, aku akan menunjukkanmu sesuatu, tapi kau tidak boleh memberitahu ini kepada siapapun."
Dorian menyinari kurungan besi itu dan Anna terpekik kaget ketika melihat seekor rusa terkurung di sana. "Paman suka berburu rusa. Hutan di belakang rumah paman lumayan luas dan ada beberapa rusa yang hidup di sana. Paman tahu ini melanggar hukum karena rusa hewan yang dilindungi, tapi paman selalu mengembalikan rusa ini ke hutan. Paman hanya menembak mereka dengan obat bius. Kau tidak akan memberitahu hal ini kepada siapapun, kan?"
Anna memegang dadanya yang berdetak dengan kencang. Anna kembali bernapas dengan tenang. Menyadari kebodohannya karena percaya dengan cerita konyol tentang pembunuh berantai itu.
Itu hanya seekor rusa.
Anna berbalik untuk melihat gundukan yang tertutup plastik hitam itu, "Apa itu juga rusa?"
Dorian terlihat sedih, matanya berkaca-kaca memandang gundukan besar itu. "Benar. Kemarin paman berburu dan tak sengaja melukai rusa itu hingga mati. Kau ingin melihatnya?"
Dorian menatap Anna dengan mata cekungnya yang kembali menghangat. Anna menggelengkan kepalanya, ia tidak ingin melihat mayat rusa di ruangan menakutkan ini. "Tidak perlu, Paman. Maaf aku tersesat dan tak sengaja sampai di ruangan ini. Aku mencari pintu -"
"ANNA!"
Tubuh Anna tersentak kaget ketika mendengar seseorang berteriak memanggilnya. Anna mendongak dan melihat Renan berdiri di depan pintu. Dalam cahaya remang-remang, Anna melihat wajahnya mengeras dan terlihat marah.
"Naik sekarang!" perintah Renan dengan tatapan tajam ke arah Anna.
Anna mengerutkan keningnya bingung. Kenapa Renan terlihat marah setelah mengusirnya dari rumah ini? Laki-laki itu sungguh tidak bisa ditebak.
"Kembalilah, Anna. Paman akan menyusul setelah mengurusi mayat rusa ini," kata Dorian.
Anna tersenyum kecil lalu menaiki tangga dengan cepat. Melewati Renan yang masih diam membeku di depan pintu. Anna mendorong tubuh Renan dan keluar dari ruangan itu. Anna merasa bingung ketika Renan menarik tangannya dan membawa Anna ke kamar Renan. Anna merasakan tangannya memerah karena tarikan kuat Renan, tapi laki-laki itu tak sadar sudah menyakiti Anna.
"Kenapa kau bisa masuk ke ruangan itu?" tanya Renan dengan wajah pias.
"Aku tersesat. Kau mengusirku tanpa memberitahuku jalan keluar dari umahmu yang sangat luas ini."
Wajah Renan masih mengeras dengan bibir pucat dan sinar mata yang terlihat khawatir. "Apa yang kau lihat di sana?"
"Aku melihat rusa -" Kata-kata Anna terpotong ketika melihat wajah Renan memucat. "-dan mayat rusa."
Wajah Renan semakin pucat. Mata Renan sangat kosong dengan sinar ketakutan yang tertahan jauh dari permukaan. Anna memegang lengan Renan dan mencengkeramnya untuk menyadarkan laki-laki itu. Beberapa detik setelahnya, Renan sudah memasang wajah datarnya lagi dan memandang Anna dengan sinar lemah.
"Aku akan mengantarmu pulang sekarang," katanya Renan singkat.
"Benarkah?" Anna senang mengetahui Renan akan mengantarnya pulang. Setidaknya Renan tidak seburuk yang ia bayangkan. "Tapi, wajahmu masih pucat. Apa kau sakit?"
Anna melayangkan tangannya untuk menyentuh dahi Renan, tapi Anna tidak merasakan panas dari kulit Renan. Hanya keringat dingin yang membasahi pelipisnya. Anna menarik tangannya ketika Renan menatapnya dengan tajam.
"Aku tidak apa-apa. Kau keluarlah sebentar, aku akan bersiap-siap." Renan mendorong tubuh Anna keluar dari kamarnya. Sebelum menutup pintu, Renan berkata, "Aku hanya butuh lima menit. Kau tetap berdiri di sini. Jangan berkeliaran di rumah ini, apalagi masuk ke ruangan itu lagi, Anna."