Bab. 1 Malam Terkutuk
Bagian 1
Malam Terkutuk
****
Pagi itu hari kelima di sekolah menengah pertama. Di kelas satu ruangan favorit, aku berdiri di depan guru bahasa Indonesia.
Wanita setengah baya ini, membenarkan kacamata, dahinya mengkerut saat membaca selembar kertas dariku. Tanpa menatapku, ia bertanya, "Kolom pekerjaan ayahmu mengapa tidak diisi?"
Aku diam sampai wanita yang kupanggil Bu Rini ini mendongak, menatapku yang berdiri di depannya. Ia menunggu jawabanku sambil mengambil bolpoin, bersiap mengisi.
"Apa pekerjaan ayahmu, Haura?"
"Tidak tahu." Aku menjawab singkat.
Bu Rini kembali mendongak, satu alisnya terangkat. "Kamu tidak tahu pekerjaan ayahmu?"
"Ayahku tidak bekerja."
"Tidak bekerja?" Bu Rini terkekeh pelan. "Bagaimana mungkin ayahmu tidak bekerja? Lalu makan? Dari ibumu?"
"Ibuku sudah tidak ada."
"Oh. Lalu makan sehari-hari dari mana, Haura? Dari siapa?"
"Tidak tahu."
Bu Rini berdecak dan menghela napas panjang, meletakkan selembar kertas tersebut lalu fokus menatapku. "Bagaimana kamu tidak tahu? Kamu sudah berseragam putih biru sekarang, bukan merah putih lagi."
Aku diam tidak menjawab. Dalam hati ingin sekali berteriak dan bertanya, "Apakah bandar judi itu termasuk pekerjaan? Jika iya, maka dengan bangga akan kutulis sekarang juga!"
Sayangnya, aku tidak mungkin mempermalukan diri sendiri dengan pertanyaan bodoh seperti itu. Hanya bisa diam dan diam, hingga Bu Rini lelah sendiri bertanya dan menyuruhku duduk.
Apa yang bisa dibanggakan dari pekerjaan ayahku? BANDAR JUDI! Sedangkan di kelas ini, semua murid mengisi dan bahkan dengan lantang menjawab jika ayahnya adalah guru, polisi, tentara, dokter, atau bahkan pekerjaan satpam dan tukang ojek pun masih jauh lebih terhormat jika dibandingkan dengan pekerjaan ayahku.
Usiaku memang baru 12 tahun, tapi cara berpikir, jelas jauh berbeda dengan anak-anak seusiaku. Terlahir dari keluarga miskin dan berantakan, membuatku menjadi pribadi yang sedikit berbeda. Tertutup dan tak banyak bicara.
Aroma alkohol seolah menjadi parfum di rumah. Pagi buta sebelum berangkat sekolah, aku harus membersihkan ruangan yang dipakai untuk berjudi semalaman. Botol bergulingan, kulit kacang berserakan, puntung rokok berhamburan, melihatnya saja sudah sangat menjijikkan!
Semua itu harus kulakukan semenjak usiaku baru delapan tahun. Saat ibu memilih bekerja di luar negeri, dengan alasan mencari uang untuk masa depanku. Nyatanya, uang yang dikirimkan malah digunakan Ayah untuk berjudi.
Aku menjadi anak yang justru harus mengurus pekerjaan rumah. Lupa caranya merajuk meminta jajan atau mainan. Lupa caranya bermanja mesra dengan orang tua. Lupa caranya bermain dengan teman sebaya.
Ibu yang tahu uangnya habis digunakan untuk berjudi oleh Ayah, akhirnya tak lagi mengirimkan uang ke rumah. Lama-lama, tak ada kabar. Menghilang begitu saja, dan menurut berita yang kudengar, ibuku telah menikah lagi dengan lelaki Pakistan.
Usiaku saat itu baru sepuluh tahun, dan harus menerima amarah dari Ayah, hampir setiap hari walau hanya kesalahan kecil sekali pun.
Mendaftar di sekolah menengah pertama pun karena bantuan dari wali kelas enam, sekolah dasar. Katanya, "Kamu murid berprestasi, Nak. Sayang sekali jika tidak melanjutkan sekolah. Besok, Ibu antar mendaftar, ya?"
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kepalaku dibelai lembut dengan senyuman hangat, sesuatu yang kurindukan dari tangan Ibu. Sayang, Ibu lupa pada anak yang pernah dilahirkan.
Sebenarnya, untuk apa para orang tua itu melahirkan anak jika tidak pernah tahu dan paham akan kewajibannya. Tidak pernah memenuhi hak seorang anak. Lucu! Lebih baik tidak pernah dilahirkan sekalian.
Tiap malam, harus menyumpal kedua telinga dengan apa pun agar bisa belajar dan tidur. Di ruang depan, selalu berisik suara tawa dan seruan banyak orang yang berjudi. Harusnya aku sudah sangat terbiasa, tapi tetap saja memuakkan!
***
"Haura!"
Langkahku terhenti, menoleh pada suara yang memanggilku dari seberang jalan. Lelaki berseragam putih abu-abu itu melambaikan tangan dan tersenyum. Sebuah senyuman yang mampu membuatku lupa akan semua masalah yang ada.
Usiaku baru 12 tahun memang, tapi sungguh, perasaan aneh ini muncul pertama kali saat Bu Siska, wali kelas enam sekolah dasar yang membantuku sekolah, mengajak ke rumahnya. Memperkenalkanku pada suaminya dan ketiga anaknya. Kak Lutfi, usianya 19 tahun, berwajah dingin, jarang bicara dan terlihat sangat cuek. Kak Rafly, usianya 17 tahun, yang sekarang berdiri di seberang jalan itu, memiliki garis wajah nyaris sempurna, ditambah keramahan yang membuatku langsung merasa nyaman. Lily, usianya baru sepuluh tahun, sekaligus anak terakhir di keluarga Bu Siska.
Setelah melihat kanan dan kiri jalan, aku mulai menyeberang saat tak ada kendaraan dekat yang lewat. Berjalan menghampiri Kak Rafly yang berdiri di samping motornya.
"Mau pulang, kan?"
Aku mengangguk.
"Ayo bareng."
Aku diam, menatap wajah menyenangkan itu dengan perasaan tak menentu.
"Ayo, Ra. Daripada jalan kaki. Tadi Bunda juga pesan kalau pulang lewat depan sekolahmu, suruh ajak kamu sekalian."
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kak Rafly tersenyum sekali lagi dan menaiki motor, menyuruhku segera naik setelahnya.
"Pegangan gak apa-apa kok," katanya saat aku kesusahan menaiki motor besarnya.
Takut-takut aku memegang pundak Kak Rafly. Menahan senyum saat merasakan keanehan di dalam d**a. Motor mulai melaju, membawaku pada rasa yang semakin tak menentu.
"Udah makan?" Kak Rafly bertanya di tengah berkendara.
"Belum."
"Mampir ke rumah ya, makan dulu."
"Gak usah, Kak. Langsung pulang aja."
"Beneran gak mau mampir?"
"Enggak."
Untuk pertama kalinya, aku dibonceng seorang lelaki. Bodohnya aku, tidak menyuruhnya berhenti sebelum sampai di depan rumah.
"Dari mana?" Pertanyaan dingin dan ketus langsung menyambut saat baru saja aku sampai di depan pintu.
"Sekolah."
"Sekolah apa pacaran?"
"Tadi anaknya Bu Siska."
"Pacar kamu?"
"Bukan."
Dengkusan kasar terdengar lalu keluarlah kata-kata yang menyakitkan. "Ternyata bakat dari ibumu nurun juga ke kamu. Pinter godain laki-laki kaya!"
Aku tak menjawab, memilih masuk ke kamar dengan perasaan sakit yang kembali keluar.
"Cepat masak! Sudah jam berapa ini? Kamu mau lihat ayahmu ini mati kelaparan?"
Air mata yang tiba-tiba keluar karena sesaknya d**a, kuhapus dengan kasar. Gerakanku terhenti saat melihat meja belajarku kosong. Semua tumpukan buku, hilang. Membuka lemari pakaian, tidak ada. Langsung keluar kamar dan menghampiri Ayah yang duduk di ruang tamu sambil menghisap tembakau.
"Yah, di mana semua buku-bukuku?"
"Sudah Ayah kiloin tadi. Lumayan buat beli rokok."
"Yah!"
"Apa?" Matanya mulai melotot, tak terima saat aku meninggikan suara.
"Itu buku sekolahku!"
"Ya terus kenapa memangnya?"
"Itu buku sekolahku penting!" Aku balas melotot dengan air yang mulai menggenang.
"Lebih penting dari rokok Ayah maksudmu?!"
"YA!"
Wajah Ayah merah padam, berdiri dan menghampiriku. "Baik. Tidak usah sekolah lagi kalau begitu!" Ia menarik baju seragamku, lalu melubangi dengan rokok yang menyala di tangannya.
"Ayah jangan!" Aku menarik, memberontak, menjauhkan rokok itu tapi tenagaku kalah oleh Ayah. Akhirnya aku pasrah, menangis saat melihat banyak lubang di seragamku.
Tidak cukup hanya itu, Ayah berjalan cepat menuju kamarku. Aku berlari mengikuti. Ayah mengeluarkan buku-buku dari tasku, merobeknya. Aku berusaha menghentikan, mendekap sisa buku yang masih utuh dengan tangisan yang semakin menjadi.
"Nangis aja bisanya!" Tas yang tergeletak, diambil lalu ditimpukkan ke kepalaku. Setelah itu, Ayah keluar kamar.
Sungguh, saat itu aku melirik tajam sambil bersumpah dalam hati bahwa suatu saat jika Ayah sudah tua dan tidak bisa apa-apa, hanya terbaring di ranjang, aku tidak sudi mengurusnya!
Kukira, terlahir dari rahim Ibu yang hanya tahu cara melahirkan saja tanpa tahu cara membesarkan apalagi membahagiakan dan dibesarkan oleh Ayah yang tidak punya rasa iba, adalah masalah terbesarku. Luka yang tak akan pernah sembuh sampai kapan pun. Nyatanya, ada masalah yang lebih dari itu. Masalah yang membawaku pada kehancuran, tak punya masa depan, dan kehilangan harga diri sebagai perempuan.
Catatan kelamku justru bermula saat aku lari ke rumah Bu Siska. Ketika seharian aku hanya menangis di kamar sambil memeluk buku sekolah, Ayah kembali datang dan marah-marah. Mengambil paksa sisa buku, dan membakarnya.
"Masak sekarang!" bentaknya yang membuatku justru lari keluar. Tak peduli Ayah memanggil berkali-kali. Hanya sampai pintu, karena malam itu hujan deras mengguyur desaku. Petir menggelegar memekakkan telinga, tapi aku tak peduli tetap menerobos derasnya hujan.
Hanya ke rumah Bu Siska tujuanku. Tidak ada lagi. Hampir satu jam aku berjalan menuju rumahnya, sambil menangis yang ditemani hujan. Ya Tuhan, bahkan pikiranku saat itu adalah mengutuk petir di atas sana, mengapa tidak menyambar tubuhku saja?!
"Haura?" Kak Lutfi yang membukakan pintu. Menatapku dari atas sampai bawah lalu berteriak memanggil bundanya.
Tubuhku menggigil di depan pintu, saat Bu Siska keluar, ia terlihat terkejut, sebelum ia menyelesaikan pertanyaannya, aku sudah menghambur ke pelukannya. Menangis sejadi-jadinya sampai Kak Rafly dan Lily keluar melihatku.
***
Suara pintu diketuk, membuatku menoleh dari jendela. Kak Rafly melongok dan tersenyum, "Boleh masuk?"
Aku mengangguk.
Pintu dibuka lebih lebar. Terlihat segelas s**u cokelat di gelas bening yang dibawa Kak Rafly.
"Diminum, ya? Nanti sakit kalau perut kamu gak diisi setelah kena hujan."
"Makasih, Kak."
Kak Rafly meletakkan segelas s**u cokelat itu ke meja sebelah ranjang. Aku masih berdiri di depan jendela, diam memerhatikan. Tadi, Bu Siska hanya menenangkanku, menyuruhku mandi dan memberi pakaian Lily yang kebesaran untuk pakaian ganti. Menawarkanku makan, tapi aku hanya menggeleng. Tersenyum hangat dan menyuruhku istirahat di kamar Lily, sedangkan gadis kecil itu akan tidur bersama Bu Siska.
"Malam ini gak ada bintang dan bulan." Kak Rafly berkata dan masih berdiri di sana. "Tapi hujan tak kalah indah karena membawa ketenangan saat melihat air yang turun dari langit."
Aku diam tak mengerti.
"Berdoalah, Ra. Karena saat hujan turun, Allah mendengar doa kita. Kamu percaya?"
Aku menggeleng.
Kak Rafly tersenyum. "Aku juga gak tahu pasti sih. Tapi kata Bunda sih begitu. Gak ada salahnya kalau dicoba, kan?" Ia mengedikkan bahu. "Ya udah, jangan lupa diminum s**u cokelatnya, ya. Selamat tidur, Ra."
"Terima kasih, Kak."
Aku menoleh langsung ke jendela saat pintu kembali ditutup, menatap derasnya hujan yang belum berhenti juga. "Apa jika aku meminta kebahagiaan, Tuhan akan memberikan?"
Malam itu, aku tak percaya lagi dengan doa. Karena saat aku meminta kebahagiaan, justru diberikan kehancuran!
Malam semakin larut. Sampai jam satu malam, mataku mulai terpejam. Baru pertama kali setelah sekian tahun, aku merasakan kenyamanan saat tidur. Suasana tenang, tak ada suara berisik orang-orang yang berjudi.
Kukira, awalnya hanya mimpi, saat mulutku dibekap, mataku ditutup, dan tanganku diikat. Sebelum kemudian ….
***