Bab 79

1611 Kata
Hari ini adalah hari di mana Dewa akan pergi ke acara pesta perayaan pernikahan kedua orangtua Harmoni. Sewa nampak sibuk memandangi tubuhnya dari atas sampai ke bawah. Pria itu melihat dirinya di depan cermin yang dengan raut wajah berpikir. "Baju apa yang harus aku pakai?" tanya Dewa pada dirinya sendiri dengan tangan yang ia letakkan di dagunya. Dewa melihat ke arah jam dinding yang berada di wall in closet-nya dan jam itu menunjukkan masih pukul 11 siang. "Ini masih siang, sementara acaranya nanti malam, apa aku harus ke mall saja mencari pakaian keluaran terbaru, ya?" tanya Dewa pada diri sendiri. Dewa bukannya tak bisa melakukan sihir pada penampilannya nanti malam namun, pria itu lagi-lagi tak ingin bertindak sebagai mahkluk lain di bumi ini. Dewa ingin menjadi dan berbaur dengan manusia bumi lainnya, termasuk menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya seorang manusia pada umumnya. Bekerja, berbelanja, menanam bunga dan melakukan pekerjaan lainnya seperti manusia normal lainnya. Karena sedang asyik dengan pikirannya sendiri, pria itu sampai tak sadar, jika ponselku berbunyi. Karena sudah dua kali ponsel itu berdering, akhirnya Dewa langsung mengangkat panggilan tersebut. "Ada apa, Sayang! apa kau sedang tak sibuk?" tanya Dewa pada si penelepon tersebut yang tak lain adalah Harmoni. "Jangan mulai, ini masih siang, jika kau ingin berakting, nanti malam saja, lakukan apapun yang kau inginkan untuk nanti malam karena aku tak ingin keluargaku curiga dengan hubungan kita, terutama ayahku," jelas Harmoni pada Dewa. "Baiklah, jika itu yang kau mau," terima Dewa atas permintaan Harmoni. Dewa tak pernah sekalipun berniat bersandiwara pada gadis itu, apa yang ia katakan dan sebut, semua itu karena ia sudah sadar dengan perasaannya sendiri dan hal itu masih belum bisa ia ungkapkan pada Harmoni karena Dewa masih tak tahu bagaimana perasaan gadis itu pada dirinya. "Apa kau sudah makan?" tanya Harmoni dari balik ponsel Dewa. "Belum! ini masih terlalu awal untukku karena aku ...." "Makan sekarang!" potong Harmoni atas ucapan Dewa. "Tapi aku masih kenyang," tolak Dewa yang memang masih kenyang. "Ini sudah hampir jam makan siang, hanya kurang sedikit lagi, cepat makan siang!" paksa Harmoni lagi. "Aku sungguh masih kenyang, Sayang!" tolak Dewa yang juga tak mau kalah dengan kekasihnya. Harmoni terdengar menghela napas dari seberang telepon milik Dewa. "Apa kau juga akan menolak, jika aku ke sana?" tawar Harmoni, agar Dewa mau makan. Wajah Dewa seketika berbinar kala ia mendengar tawaran yang diajukan oleh Harmoni sungguh meruntuhkan pertahanannya untuk tak makan. "Apa kau tidak berbohong?" tanya Dewa pada Harmoni. "Untuk apa aku berbohong, sekalian saja aku makan siang di sana," jelas Harmoni lagi. "Baiklah, jika kau memaksa," pasrah Dewa yang sebenarnya hanya sebuah alasan saja. Dewa tersenyum gembira karena Harmoni akan datang ke rumahnya dan kebetulan, hari ini ia libur, tak ada jadwal ke kantor untuk hanya sekedar melihat keadaan kantornya. "Kau ingin makan apa?" tanya Harmoni pada Dewa. "Semua bahan masakan sudah ada di kulkas, kau tinggal masak saja, apa kau mau membuatkan aku sesuatu yang enak?" tanya Dewa yang merengek seperti bayi besar. "Huh, baiklah bayi besarku! ibumu ini akan segera meluncur ke sana dan ingat! jangan kemana-mana karena kau pasti sangat dicari oleh gadis-gadis muda yang haus akan belaian" oceh Harmoni langsung membuat senyum Dewa terbit dengan begitu apiknya. "Kau masih yang pertama dan terakhir dalam hidupku," tutur Dewa dengan nada yang sangat serius dan mantap tanpa ragu sedikitpun. "Benarkah? apa kau yakin? bagaimana, jika kau mengingkari janji?" tanya Harmoni dengan segudang pertanyaan dalam benaknya. Dewa masih diam tak merespon pertanyaan gadis itu karena memang hal tersebut yang dari kemarin siang mengganggu pikirannya, setelah Hicob memberitahu dirinya, jika ia harus segera kembali ke planetnya dalam waktu dekat ini. "Kenapa diam! sudah sadar, jika semua perkataanmu itu penuh dengan kebohongan belaka," kesal Harmoni pada Dewa karena pria bermata biru itu tak lagi terdengar suaranya. "Jangan asal tuduh begitu, aku tadi masih ke kamar mandi sebentar," bual Dewa, agar Harmoni tak marah padanya. "Astaga, apa kau sungguh meninggalkan ponselnya di kamar dan membiarkan aku berkicau seperti burung yang baru saja di beri makan pepaya," semprot Harmoni pada Dewa. "Maaf, aku tak bisa menahannya, sama seperti ...." "Diam! jangan lanjutkan lagi, semuanya penuh kebohongan, aku tak ingin mendengar hal yang tak ada kepastian." "Kau marah?" tanya Dewa pura-pura tak sadar, jika Harmoni saat ini dalam mode merajuk. "Aku tak marah dan kita hentikan pembahasan ini karena aku akan segera berangkat ke rumahmu," jelas Harmoni pada Dewa. "Baiklah! aku menunggumu, Nona manis," goda Dewa dan Harmoni hanya diam tak menanggapi. "Aku berangkat sekarang! sampai bertemu di rumahmu," pamit Harmoni langsung mematikan sambungan teleponnya. Dewa tersenyum menatap pantulan dirinya di depan cermin. "Jadi begini rasanya diperhatikan oleh orang lain dan orang itu gadis yang kita cintai," gumam Dewa sembari menggelengkan kepalanya berjalan keluar dari dalam ruangan tersebut. Saat ini Dewa sudah berada di dapurnya, di mana, pria itu tengah sibuk memilih apron yang cocok untuknya. "Kemana apron milikku? biasanya aku meletakkan di sini?" tanya Dewa sembari terus mencari keberadaan apron miliknya. Setelah mencari barang itu namun, tak kunjung menemukannya, akhirnya Dewa mau tak mau, kali ini harus menggunakan kekuatannya, agar ia tak perlu repot-repot pergi ke toko hanya untuk membeli apron berwarna selain pink. Kini Dewa sudah mengenakan apron berwarna Milo dengan gambar senyum yang sangat lucu. "Aku kira kau di mana?" tanya seorang gadis yang masuk ke dalam dapur Dewa secara tiba-tiba tanpa meminta izin dulu pada pemilik. Dewa langsung menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum padanya. "Cepat sekali kau datang?" tanya Dewa pada Harmoni yang sudah berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah paper bag untuk Dewa. Paper bag itu menyita perhatian Dewa, sampai pria bermata biru tersebut tak memperhatikan gadisnya yang saat ini berjalan ke arahnya. Dengan tanggap, Harmoni melingkarkan tangannya pada pinggang Dewa untuk mengikat tali apron yang masih bergelantungan di belakang tubuh pria itu. "Memakai apron itu yang benar, jangan sembarang seperti ini," protes Harmoni menatap ke arah Dewa dengan kepala yang mendongak ke atas, menatap wajah pria yang kini berada tepat di hadapannya dengan tatapan yang sama seperti dirinya. Dewa tersenyum sembari mencubit ujung hidung Harmoni pelan. "Jangan coba memancing diriku, apa kau ingin aku menciummu lagi?" tanya Dewa melingkarkan tangannya pada pinggang Harmoni posesif. "Ini waktu memasak bukan waktu untuk ...." Cup cup cup Lagi-lagi kecupan manja mendarat di kening Harmoni. "Kau ini! sudah aku katakan, ini waktunya memasak, bukan kecup mengecup," kesal Harmoni langsung menjauhkan dirinya di Dewa dengan langkah menuju arah paper bag yang ie letakkan di atas meja bar. "Apa itu?" tanya Dewa penasaran dengan isi paper bag yang Harmoni bawa. "Ini setelan jas untukmu," sahut Harmoni mengangkat paper bag yang kini sudah berada di tangannya. "Cobalah! aku ingin melihatnya," pinta Harmoni pada Dewa sembari mengulurkan paper bag yang berada di tangannya. Dewa menuruti perintah Harmoni dan bergerak maju ke depan untuk mengambil paper bag tersebut. "Terima kasih, Nona! kau sepertinya sangat tahu aku sedang bingung mencari pakaian apa yang cocok untuk aku kenakan nanti malam," tutur Dewa menyentuh pipi Harmoni lembut. "Cobalah! aku akan memasak," pinta Harmoni langsung berjalan ke arah lemari pendingin mencari bahan makanan yang akan ia masak. Dewa dengan langkah kaki seribu, langsung tancap gas menuju ke arah kamarnya untuk melihat dan mencoba baju yang sudah dipilih oleh Harmoni untuknya. Sementara Harmoni masih sibuk dengan berbagai macam bahan makanan karena ia memang ingin memasak beberapa masakan sederhana namun, tetap enak di maka. Setelah beberapa jam bergulat dengan bahan makanan yang kini sudah terhidang di meja makam dengan rapi menjadi masakan lezat, Harmoni membuka apronnya namun, ia lupa tak membuka tali belakang apron itu, sehingga tali tersebut tersangkut di rambutnya. "Astaga! kenapa aku lupa membuka talinya," ujar Harmoni yang tak habis pikir dengan dirinya sendiri. Harmoni hendak membuka tali itu sendiri namun, tangan lainnya tiba-tiba membuka tali itu. "Aku bantu," tutur Dewa yang sudah berada di belakang Harmoni dan gadis itu spontan menoleh ke arah Dewa. Bagai melihat seorang pangeran dari negeri dongeng, kedua mata Harmoni rasanya tak ingin teralihkan ke arah lain karena pria yang saat ini berada di hadapan sungguh terlihat sangat tampan dan gagah. "Sempurna," tutur Harmoni sembari tersenyum dan mengacungkan jempolnya pada Dewa. "Apa aku setampan itu? sampai kau saja terpukau seperti ini," bangga Dewa pada dirinya sendiri. Harmoni langsung berbalik badan dan duduk di kursinya dengan apron yang ia letakkan di kursi sebelah kirinya. Dewa juga melakukan hal yang sama, duduk di samping kanan Harmoni sembari melihat menu makanan yang kini tersaji di atas meja makan dengan wangi yang sudah berbaur menjadi satu. "Apa ini?" tanya Dewa pada Harmoni yang nampak cukup asing melihat makanan yang dibuat oleh gadisnya. Gadis bertubuh ramping nan seksi itu sangat tahu, jika Dewa pasti menanyakan hal tersebut pada dirinya. "Ini sayur asam, ini sambal petai, ini jamur kuping tumis pedas, ini goreng tahu, tempe, dan yang ini oseng-oseng jengkol," jelas Harmoni pada Dewa. Pria bermata biru itu melihat ke arah Harmoni dengan tatapan yang cukup ragu akan rasa masakan yang dibuat oleh CEO cantik tersebut. "Apa aku yakin ini bisa di makan? bajunya menyengat sekali," ujar Dewa yang terlihat sedikit ragu dengan rasa masakan Harmoni. Gadis itu tanpa pikir panjang langsung mengambil jengkol dan sambal petai ke atas piring milik Dewa dan menyendokkan satu jengkol dengan potongan kecil yang sudah ia potong lebih dulu "Aaaaaak!" pinta Harmoni pada Dewa, agar pria itu mau membuka mulutnya. Dewa masih nampak ragu dengan makanan yang di berikan padanya. "Ini enak, cobalah!" kukuh Harmoni pada Dewa. "Tapi baunya cukup menyengat, aku tak suka," tolak Dewa halus. Gadis itu tersenyum pada Dewa dengan tangan yang masih memegang sendok berisikan sepotong kecil oseng jengkol. "Makan, Sayang!" pinta Harmoni yang baru kali pertama ini memanggil Dewa dengan sebutan sayang. Karena merasa di sayang, akhirnya Dewa mencoba memaksa dirinya untuk melahap makanan dengan mau menyengat itu sekali lahap dan ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN