Oseng-oseng jengkol yang sudah masuk ke dalam mulut Dewa masih setia berada di sana karena pria itu tak ada niatan untuk mengunyah makanan tersebut.
"Kunyah! jangan hanya di diamkan di dalam mulut saja, nanti bisa meledak baru tahu rasa," jelas Harmoni hanya ingin menggodanya Dewa.
Mata Dewa melotot ingin keluar karena ucapan Harmoni yang hanya ingin menggoda dirinya.
Dengan gerakan mengunyah yang cepat, Dewa langsung menelan jengkol tersebut setelah ia merasa makanan yang memiliki bau menyengat tersebut sudah halus.
Sedangkan Harmoni masih sibuk mengambil makanan dan meletakkan ke atas piringnya.
Setelah selesai mengambil beberapa makanan ke piringnya, Harmoni kembali menatap ke arah Dewa.
"Sudah ditelan?" tanya Harmoni pada Dewa.
Pria itu hanya mengangguk kepala tanpa ingin membuka suara.
"Bagus," puji Harmoni tersenyum manis pada Dewa dan kembali fokus dengan piringnya sendiri.
"Enak?" tanya Harmoni dengan mulut yang sudah terisi dengan makanan.
Tak ada jawaban dari mulut Dewa dan hal itu lagi-lagi membuat Harmoni harus menoleh ke arah pria bermata biru tersebut.
"Kenapa? apa kau kurang?" tanya Harmoni pada Dewa dan dengan gerakan secepat kilat, pria itu tak mau menerima tawaran Harmoni dengan gelengan kepalanya.
Kening Harmoni mengkerut sempurna karena lagi-lagi Dewa tak mengeluarkan suaranya.
"Kau ini kenapa, sih! apa kau sudah kenyang atau masih lapar? tak mau bersuara sama sekali saat aku tanya," heran Harmoni pada Dewa.
Gadis itu mengambil gelas dan mengisinya dengan air, kemudian meminumnya.
Setelah selesai meminum air putih itu, Harmoni kembali menatap ke arah Dewa dengan sedikit menggeser piringnya.
Kedua tangan Harmoni sudah terlipat indah di atas meja makan rumah Dewa.
"Kau ini kenapa? apa kau sedang mogok makan karena aku memaksamu makan siang?" tanya Harmoni pada Dewa dan Dewa hanya menggelengkan kepalanya.
"Kalau orang bertanya itu dijawab, bukan diam saja seperti itu," tutur Harmoni masih sabar pada tingkah Dewa.
Karena sudah tak tahan dengan gadis di hadapannya yang sedari tadi mengoceh seperti burung beo, akhirnya Dewa menggunakan kekuatannya dan memejamkan matanya.
Saat kedua mata Dewa sudah terbuka, pria itu langsung mendekat ke arah Harmoni, lebih tepatnya ke arah wajah gadis itu.
"Apa aku sengaja ingin mengerjai aku?" tanya Dewa pada Harmoni.
Gadis itu masih menatap lekat kedua manik mata Dewa yang pastinya sangat ia puja karena keindahan lensa mata itu sungguh bisa menariknya semakin dalam sampai rasanya CEO cantik tersebut tak ingin berpaling ke arah lain.
"Aku tak ada niatan mengerjaimu," sangkal Harmoni atas tuduhan Dewa padanya.
"Lalu kenapa kau memberikan aku makanan yang sekiranya bau di mulutku ini tak hilang sampai acara pertemuan aku dan ayahmu nanti? apa kau ingin ayahmu langsung pingsan di tempat, saat aku berbicara padanya?" cicit Dewa pada Harmoni.
Harmoni yang sudah tak dapat menahan tawa, akhirnya gadis itu langsung mengeluarkan semua rasa geli yang menggelitik di dalam perutnya.
"Hahahaha! apa kau sedang melawak? aku rasanya ingin terkencing," tutur Harmoni yang masih tertawa karena ucapan Dewa yang cukup menggelitik perutnya.
"Tertawa saja sampai kau puas dan kemarilah, aku akan memberitahu bagaimana wangi makanan yang kau buat itu masih melekat di mulutku sebelum aku menghilangkannya dengan kekuatanku tadi," ucap Dewa menarik tengkuk Harmoni namun, gadis itu menundukkan kepalanya tak mau mencium wangi khas jengkol tersebut.
"Ampun! aku tak berani lagi, maafkan aku, Tuan Dewa!" mohon Harmoni pada kekasihnya dengan wajah yang masih menunduk ke bawah.
Dewa yang memang sudah terlanjur jatuh cinta pada gadis dengan tubuh sempurna tersebut, akhirnya memilih mengalah, jika saja mereka masih seperti dulu, jangankan sekedar mengalah pada Harmoni, semua apa yang diucapkan oleh Dewa harus dilakukan tanpa terkecuali.
Saat pria bermarga Abraham tersebut sudah di serang penyakit b***k cinta, semua hal yang ia tegaskan di hadapan Harmoni, sekarang sudah tak berlaku lagi.
Hati Dewa seakan melunak untuk gadis itu karena hatinya saat ini sudah ikut berbicara, bukan hanya lisan saja yang bekerja.
"Lihat aku!" pinta Dewa pada Harmoni.
"Tidak mau!" tolak Harmoni karena ia tahu, jika Dewa pasti akan mengerjai dirinya.
"Lihat aku!" pinta Dewa kembali.
"Tidak mau!" tolak Harmoni yang tak mau kalah dengan Dewa.
"Sayang!" panggil Dewa dengan suara yang sangat lembut seakan membuat telinga Harmoni digelitik oleh helaian kelopak bunga mawar yang indah.
Harmoni masih tak mau menatap ke arah Dewa karena menurutnya, pria itu pasti akan membalas dirinya.
"Aku tak mau!" tolak Harmoni lagi dan lagi.
"Aku tak akan memberikan hukuman apapun padamu, tapi angkat kepalamu dan tatapan aku," pinta Dewa dengan suara lembutnya.
Harmoni akhirnya mendongakkan kepalanya menatap ke arah Dewa karena ia yakin, jika pria di hadapannya ini tak mungkin berdusta dengan perkataannya.
Saat ini kedua mata mereka saling tatap satu sama lain.
"Ada apa?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Jangan seperti itu lagi, aku tak ingin malu saat bertemu dengan ayahmu, apalagi dia sepertinya orang yang sama sepertimu, tak gampang diajak berkompromi," tebak Dewa atas sikap Jordan, ayah dari Harmoni.
Bukkkk
"Sudah berani menghujat ayahku seperti itu ya? apa kau ingin dipecat menjadi kekasihku?" ancam Harmoni pada Dewa.
Pria itu hanya tersenyum sembari mengambil tempe yang digoreng tepung oleh Harmoni.
"Coba saja kalau kau bisa," tantang Dewa pada Harmoni dan tempe krispi itu sudah masuk dalam mulut Dewa.
"Ini baru enak," gumam Dewa masih terus melakukan proses kunyah mengunyah dalam mulutnya.
Harmoni meletakkan kedua tangannya di pinggang, dengan sorot mata menatap remeh Dewa.
"Kau pikir aku tak berani," pikir Harmoni dalam diamnya.
"Siapa takut," tantang balik Harmoni terhadap ucapan Dewa.
Bibir Dewa menyunggingkan senyum penuh tipu muslihatnya.
"Aku yakin kedua orangtuamu pasti tak akan membiarkan aku meninggalkanmu," tutur Dewa.
"Tidak mungkin! kau jangan terlalu percaya diri, Tuan Dewa!" celoteh Harmoni dengan nada suara cukup dingin karena rasa kesal kini mulai menghampiri Harmoni.
"Mereka pasti akan berada di pihakku, jika dalam dirimu sudah ada benihku," jelas Dewa membuat mulut Harmoni tiba-tiba menganga karena ucapan Dewa.
Gadis itu spontan menutup bagian tubuh depannya dengan tatapan tajam ke arah Dewa dan tatapan itu bisa saja mematikan bagi pria lain.
Karena Dewa bukan pria seperti biasanya, ia tak takut sama sekali dengan tatapan yang cukup menantang tersebut.
"Apa maksud dari perkataanmu itu?" tanya Harmoni dengan desisan yang mengisyaratkan akan sebuah ancaman.
"Tak ada maksud apa-apa," kilah Dewa tersenyum tampan dengan jakun yang sudah naik turun menelan tempe krispi yang sudah dibuat oleh Harmoni.
"Jangan macam-macam, ya! aku bisa saja membuatmu pingsan," ancam Harmoni pada Dewa.
"Wah, ternyata kau garang juga," celetuk Dewa masih terus mengumbar senyumnya pada Harmoni.
Wajah Harmoni sudah masam bukan main, gadis itu hendak pergi dari meja makan itu namun Dewa menahan pergelangan tangannya.
"Jangan pergi!" pinta Dewa pada Harmoni.
Harmoni menatap Dewa masih dengan tatapan sengit.
"Aku tak suka pria yang seenaknya seperti dirimu, mengaku sudah ada benihmu di dalam diriku, itu bukan hal baik karena kita saja tak melakukan apapun," celoteh Harmoni langsung pada pokok permasalahannya.
"Itu akan aku lakukan, jika kau sampai melengserkan kedudukanku sebagai kekasihmu, apalagi sampai menggantikannya dengan Jason!"
Dewa menyentuh rambut Harmoni dan menyentuhnya sembari menggulung rambut itu di jari telunjuknya.
Harmoni menyentuh pipi Dewa lembut dengan bara api dalam hatinya yang sudah sedikit memadam.
"Jadi kau bersikap seperti seperti tadi bukan hanya karena jengkol yang aku berikan? kau terpancing karena cemburu pada Jason?" tanya Harmoni pada Dewa.
Lensa mata biru milik Dewa akhirnya kembali dapat Harmoni nikmati karena pria itu saat ini berada dekat dengannya.
"Aku hanya ingin dalam hubungan kita, ada kau seorang dan ada aku seorang, tak ada orang lain yang mampu memasukinya," jelas Dewa pada Harmoni.
CEO cantik tersebut mengerti ketakutan Dewa dan dengan gerakan lembut, gadis itu memeluk tubuh Dewa cukup erat sembari mengelus punggung Dewa.
"Meskipun hubungan kita tak senyata hubungan orang lain pada umumnya, tapi aku akan menjamin, kesetiaan akan ada dalam hubungan ini," jelas Harmoni.
"Karena aku juga tak ingin mendua, kau sudah terlanjur membuatku nyaman, sampai aku tak bisa berpaling pada pria lain," lanjut Harmoni bergumam dalam hatinya.
"Apa kau janji?" tanya Dewa membalas pelukan Harmoni."
"Ya, aku janji!"
"Meskipun ... aku sudah tak ada di sini lagi?" tanya Dewa membuat pelukan Harmoni sedikit merenggang.
Gadis itu kembali menatap wajah Dewa. "Apa maksudmu?" tanya Harmoni dengan hati yang sudah tak tenang dengan pertanyaan yang diajukan oleh Dewa padanya.
Dewa tersenyum kecil dengan tangan yang masih menyelipkan anak rambut yang mengganggu wajah Harmoni.
"Suatu saat, aku akan kembali ke tempat di mana aku berasal dan mungkin ...."
"Kau tak akan kembali lagi? kau akan menetap di sana meninggalkan aku di sini? kau akan menikah dengan gadis lain? kau juga akan melupakan semuanya?" tanya Harmoni menahan rasa nyeri dalam lubuk hatinya saat gadis itu mengatakan hal tersebut pada Dewa.
"Maaf!"
Satu kata itu yang dapat Dewa keluarkan karena memang semua itu benar apa adanya.
Harmoni yang masih menahan sakit, mencoba tersenyum manis, senyum yang ia paksakan.
"Jangan pernah merasa bersalah seperti itu, bukankah hubungan kita hanya sebatas sebuah sandiwara saja? jadi jangan pernah berpikir terlalu jauh karena setelah hubungan ini berakhir, kita akan berada dalam jalan takdir yang berbeda dan tentunya akan bertemu dengan pasangan masing-masing namun, sebelum hubungan ini benar-benar berakhir, aku tak akan berhubungan dengan pria lain karena hanya dirimu yang aku mau untuk saat ini," lontar Harmoni pada Dewa.
Entah mengapa ucapan Harmoni seperti sebuah pukulan yang begitu perih bagi Dewa.
"Kau yang akan selalu menjadi gadis terbaik dalam hidupku, kau juga yang akan selalu menjadi kekasih sempurna dalam hidup ini," tutur Dewa tersenyum pada Dewa dengan rasa sakit pada bagian hatinya.
Keduanya saling tatap mencari kebenaran satu sama lain dan semuanya itu nyata, bukan hanya sekedar bualan semata saja.
Dewa tanpa sungkan lagi langsung menarik tengkuk Harmoni dan menempelkan bibirnya pada bibir gadis yang saat ini sudah berhasil membuat hatinya porak-poranda karena rasa cinta yang tumbuh seiring berjalannya waktu.
Dewa menarik tubuh Harmoni, agar duduk dalam pangkuannya dengan mata keduanya saling terpejam.
Tanpa Dewa sadari, air matanya dan air mata Harmoni sama-sama luruh menetes tepat pada kristal milik Dewa.
Cahaya biru pekat timbul dari tetesan air mata keduanya dan menampilkan sebuah ilustrasi di udara.
Ilustrasi yang pasti akan membuat mereka berdua tak akan berpikir mengenai perpisahan karena mereka memang sudah ditakdirkan bersama.
Ilustrasi sebuah pernikahan megah dan masa depan yang sangat bahagia dengan kehadiran seorang putra tampan bermata biru seperti Dewa.
Setelah kecupan lama itu berakhir, ilustrasi yang melayang di udara juga perlahan mulai memudar dan hilang setelah Harmoni dan Dewa sudah sama-sama menjauhkan wajah mereka.
Dewa memeluk tubuh Harmoni yang masih berada di pangkuannya.
Pria itu diam dalam pelukan Harmoni dengan setetes benda bening yang lagi-lagi menetes dari kelopak matanya dan hal tersebut tak sengaja diketahui oleh Harmoni.
Air mata yang awalnya ingin Harmoni tahan, sudah tak dapat ia bendung lagi.
Harmoni menangis dalam diam dan mengusap air matanya sendiri sebelum air mata itu luruh mengenai bagian kepala Dewa karena posisinya saat ini duduk di pangkuan Dewa membuat tingginya lebih dari pria bermata biru tersebut.
Di istana Amoora, Darren dan Dorotta sudah siap dengan beberapa dekorasi untuk acara putranya beberapa hari lagi, di mana sang putra akan melangsungkan pemilihan calon istrinya.
"Sebentar lagi semua persiapan akan segera selesai, putra kita akan segera menikah dan kau sudah waktunya untuk beristirahat, Yang Mulia!" jelas Dorotta pada Darren sang suami.
"Kau benar! aku sebentar lagi harus beristirahat dengan semua urusan kerajaan karena Dewa sudah waktunya mengambil alih kedudukan raja Amoora."
Dorotta menggenggam tangan Darren penuh kasih. "Kau sudah melakukan hal yang baik untuk kerajaan ini selama ratusan tahun jadi, jangan pernah berpikir kau itu tak cukup baik dalam memimpin kerajaan hanya karena ulah Kakak ipar yang memberontak," jelas Dorotta pada sang suami.
Darren menatap ke arah sang istri sembari tersenyum dan menarik Dorotta ke dalam pelukannya.
"Entah apa yang terjadi, jika kau tak berada di sampingku selama ini, kau yang selalu membuatku kuat dan menjadi cahaya penerang dalam hidupku saat rasa kalut menyelimuti setiap keseharianku karena ulah Kakak yang tak mau berdamai dengan kenyataan," gumam Darren semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh sang istri.
"Tugas seorang istri bukan hanya di atas tempat tidur saja, tugas istri adalah menenangkan suaminya saat dia berada dalam hati gundah gulana, menjadi teman, sahabat, orangtua, kakak, bahkan adik yang kapan saja ingin di manja jadi, tugasku sudah aku lakukan dan sudah aku praktikkan padamu," urai Dorotta dengan sangat jelas.
"Aku tahu itu dan aku juga berharap, Dewa mendapatkan istri yang sama baiknya seperti dirimu, kalau ada, cerminan dari dirimu yang selalu menyayangi putra kita sampai akhir hayat dan bersama membuat kerajaan ini makmur," harap Darren semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Dorotta.
"Aku hanya bisa mendoakan Dewa dan masa depan kerajaan kita," sahut Dorotta membalas ucapan suaminya.