Latihan

2770 Kata
Chandra sedang melihat tempat latihan yang akan digunakan untuk latihan bersama kliennya besok. Di jam kerja, biasanya mereka memang sibuk latihan. Makanya Chandra mendengar suara yang pukulan dan juga tendangan, suara mesin gym yang berbunyi dari depan pintu. “Em!” Fariz berdehem dan atensi mereka semua langsung pada sumber suara, di mana ada atasan mereka yang menatap. Semuanya langsung berkumpul, sedangkan Chandra menatap mereka saja. Tentu Fariz yang akan melakukannya, melakukan pekerjaan untuk mengumumkan bahwa akan ada klien penting untuk mereka. “Saya akan to the point saja, besok akan ada klien yang latihan bersama di tempat ini. Dan untuk seminggu ke depan, jadi mohon bantuan kalian.” mereka semua bersikap tegap dengan berkata 'siap' secara bersamaan. “Dan mulai besok, latihan untuk senior dan junior yang terpilih akan dilakukan bersama.” tambah Fariz, dan mereka lagi-lagi menjawab 'siap' dengan kompak. Fariz mulai melihat tabnya, dia sudah membuat daftar nama bodyguard yang akan bekerja dengan klien. “Saya akan ikut dalam pertemuan itu, Kennan, Simon, Raul, Bastian, Roy,” Fariz mulai menyebut sepuluh bodyguard senior, dan lima belas bodyguard junior yang besok mulai memusatkan latihan di tempat mereka saat ini. “Dan untuk yang lainnya, kalian bisa latihan di tempat latihan junior sementara. Jadikan diri kalian coach atau asisten coach di tempat latihan junior.”. “Siap!” jawab mereka kompak, Chandra lalu memutar kakinya. Meninggalkan tempat itu setelah mendengar ucapan Fariz, dan Fariz mengikutinya. “Tuan tidak ikut latihan?” Chandra menghentikan langkahnya. “Untuk? Saya tidak akan ikut dalam misi itu.” Fariz tahu jika ialah uang bertugas. “Baik.” jawab Fariz seadanya, sepertinya mood Chandra sedang tidak baik sejak pagi. Sehingga ia hanya bisa menatap punggungnya saja saat ini. “Selesaikan berkas Tuan Ken, Tuan Nando akan datang sebentar lagi.” mata Fariz melebar, ia ingin berlari tapi takut tidak sopan mendahului bos. Meski Fariz bisa bersikap sahabat, namun ini diluar kantor keduanya. Chandra tahu, ia menepikan tubuhnya. Lalu memutar kepalanya pada sahabatnya itu. “Duluan saja.” dan syu, Fariz berlari melebihi hewan dalam sebuah film kartun. *** Tara mendengar suara tepuk tangan dari arah belakang tubuhnya. Tara tersenyum dengan mengusapkan ibu jari pada hidung mancungnya, sikap tengilnya sudah kambuh lagi. "Hebat kan Gue?" ucap Tara bangga, lalu pandangannya beralih pada Ihsan. Sebelum Nando membalas nada angkuhnya tentang kehebatannya. Tara mendekat kearah Ihsan yang menunduk, tidak berani menatap Tara sama sekali. "Lo enggak apa-apa?" tanya Tara, Ihsan yang ditanya hanya mengangguk. Dan Tara melihat tampilan Ihsan yang sangat berantakan. "Lo kenapa jam segini belum sampai sekolah? Bukannya Lo anak teladan?" Ihsan merasa terkejut karena Tara tahu mengenai dirinya. Tara terkekeh dengan keterkejutan Ihsan, ia menyadari bahwa ia bukan orang yang terbuka dan ia juga sama sekali tidak mempunyai teman. Entah karena apa semua enggan untuk sekedar mengenalnya, mereka tidak mengucilkannya. Namun seperti mereka dalam bahaya jika bersama Tara. Padahal Tara tidak menakutkan seperti apa yang mereka pikirkan, dan Chandra hanya berwajah datar tidak dengan tindakan pria itu yang lebih rasional. Mungkin karena ke manapun Tara harus bersama Chandra, dan Tara sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari penjagaan Chandra selama ini. Tara malah kesal ketika memikirkan Chandra yang selalu menempel padanya, dan Tara harus memikirkan berbagai macam cara lagi agar setidaknya sehari saja ia bisa bebas dari Chandra. Ihsan menatap Tara lalu beralih ke Nando, Tara mengikuti arah pandangan Ihsan. "Bang sini deh!" panggil Tara dengan lambaian tangan pada Nando yang masih berjarak beberapa langkah dari Tara. "Ini kenalkan, Abang Gue." Ihsan tersenyum, Ihsan kira itu kekasih Tara nyatanya hanya Kakak. Entah Kakak yang bagaimana? Ihsan tidak mau ambil pusing. Lagian Ihsan hanya perlu berterima kasih pada Tara karena gadis seangkatannya itu mau menolongnya. "Bagaimana? Lo enggak mau jawab Gue?" tanya Tara, Ihsan berdehem setelah berkenalan dengan Nando. "Gue tadi harus antar kue Bunda Gue ke toko langganan. Em, Gue mau mengucapkan terima kasih karena Lo sudah tolong Gue." Tara tertawa mendengar nada gugup dan canggung Ihsan padanya, gelagat Ihsan juga sangat menggemaskan. "Santai saja kali sama Gue, terus Lo mau ke mana? Lo enggak mungkinkan mau ke sekolah?" Ihsan menggaruk tengkuknya, lalu membenahi posisi kacamatanya. Dengan pakaian yang kusut dan berantakan seperti ini, sekarang itu juga tidak mungkin. Apalagi jika Ihsan pulang, Ihsan adalah tipe murid teladan yang tidak akan mungkin bolos ke sekolah. Mungkin Ihsan juga akan bingung jika pulang dan memberikan alasan apa pada Bundanya. "Bagaimana kalau Lo ikut Gue?" tawar Tara, mata Nando melebar. "Tara, bukannya Kamu mau ajak Abang jalan-jalan?" tanya Nando, Tara mengangguk. "Iya Bang, sekalian sama Ihsan juga ya?" Ihsan dengan cepat menggeleng. "Enggak usah Tara, Gu-gue mau pulang saja." Tara menggeleng tidak setuju, kali pertama ada orang dari teman seangkatannya yang mau bicara padanya dan Tara tidak mau menyia-nyiakannya. "Lo ikut Gue, enggak ada bantahan! Ikut Gue pokoknya. Yuk Bang!" dengan cepat Tara mengapit lengan Nando dan Ihsan, yang mampu membuat keduanya mendesah pasrah akibat ulah Tara yang memaksa. **** Sepanjang perjalanan Ihsan hanya menjadi pendengar bagi Nando dan Tara, mereka tidak hentinya bercerita apa saja yang dapat mereka ceritakan. Memang Tara lebih mendominasi, tapi Nando juga tidak mau kalah dengan terus menanggapi celotehan Tara. Seolah Nando adalah orang yang tidak akan pernah bosan dengan semua tingkah Tara, dan Nando selalu menanggapi semua ucapan Tara dengan senyuman. Ihsan dapat mengerti sekarang, bahwa Tara adalah gadis yang manja di atas sifatnya yang misterius. Tidak semua orang tahu kalau Tara adalah gadis ceria dengan segudang rahasia. Mereka telah sampai di gedung pusat intelejen di Jakarta, dengan bermodal sebuah tanda pengenal milik Nando mereka semua dapat masuk dengan mudah. Bahkan beberapa laki-laki dengan sengaja menatap Tara dengan pandangan yang memuja, kecantikan Tara tidak pernah diragukan oleh siapa pun termasuk para penghuni kantor yang telah mengenal Tara sejak Tara kecil. Kenzaro Dowman telah dikenal para petinggi atas kinerjanya, saat Tara kecil juga sering berada di tempat ini. Entah menemani Daddynya tugas atau pun hanya untuk menemani berada di ruang kerja saat Daddynya bertugas di Indonesia, itupun hanya tiga hari saja. "Kamu mau ikut Abang atau keliling? Kamu sudah lama bukan enggak datang ke tempat ini?" Tara mengangguk menyetujui saja ucapan Nando. "Gue keliling saja deh Bang, yuk San." Tara langsung menggeret tangan Ihsan menuju ke lift, lift yang akan membawa keduanya ke sebuah tempat yang Ihsan tidak tahu tempat apa itu. Keamanan di sini sangat ketat sekali, dari Ihsan masuk sampai sekarang ini. Mata CCTV sudah memutar terus menerus, mengidentifikasi para orang-orang yang masuk. Dan Tara seperti sudah mengenal tempat ini dengan baik, lift yang mereka gunakan dengan Nando juga berbeda. "Nona Tara." kaget salah satu orang pria dengan perawakan sama seperti Chandra, Tara tersenyum. "Hai Om gemes." pria itu terkekeh, menghampiri Tara. Lalu matanya menangkap sosok pria berkacamata yang masih memandangi ruangan tersebut. "Ini kekasih Nona?" Ihsan memutar kepalanya menatap pria itu dan Tara yang sedang tertawa secara bergantian. Apa Ihsan tidak salah dengar? Kekasih katanya? Ihsan menilai penampilannya dan penampilan Tara. Apakah ada nol sekian persen dari penampilan Tara? Sama sekali tidak ada. "Bukan Om, ini teman Gue yang Gue ajak bolos." mata Ihsan melebar, Tara tertawa kecil. Begitupun dengan pria yang terus menatapnya itu, sudah sejak lama Tara baru kembali ke tempat ini. Dan sekarang Tara sudah beranjak dewasa serta cantik, Chandra benar-benar bisa menjaga Tara sampai pada tahap yang luar biasa ini. Ihsan berpikir apakah Tara selalu berbicara pada orang dengan tidak sopan? Ini pria di hadapannya dengan tanda pengenal Arman lebih tua dari mereka jauh dan Tara bicara dengan bahasa Elo-Gue. Enggak sopan sekali menurut Ihsan, dan sepertinya pria di hadapannya ini juga sudah biasa dengan cara bicara Tara padanya. "Enggak masalah, siapa nama Kamu?" seolah tahu apa yang ada dipikirkan Ihsan, Arman mengulurkan tangannya. "Ihsan Om, eh Kak." Ihsan salah tingkah, Tara tertawa. Hingga para orang yang ada di sana menghadap kearah mereka berdiri. Arman dan Tara yang biasa dan Ihsan yang hanya mampu menunduk tidak tenang saat menjadi pusat perhatian. "Kamu mau ikut ke tempat latihan atau keliling?" tanya Arman, Tara mengetukkan dagunya lalu menatap Ihsan. Tara mendekati Arman lalu mensejajarkan tubuhnya agar bisa menyamai Arman. "Om, Lo bisa ajari Ihsan seni bela diri dasar enggak?" tanya Tara dengan suara pelan, Ihsan menatap sekeliling. Menghindari suara Tara yang mungkin sangat rahasia untuk ia dengar, Ihsan begitu waspada terlebih tempat mereka ini bukanlah tempat yang main-main. "Kenapa Enggak bawa ke tempat Chandra saja?" tanya Arman, Tara berdecak. "Males banget sama Om Chandra terus, bagaimana Om?" tanya Tara lagi dengan menampilkan puppy eyes nya, Arman mau tidak mau mengangguk. "Ok, Gue ajari dia hari ini. Gue lagi kosong juga kebetulan." Tara mengepalkan tangannya ke atas dengan ucapan 'yes' yang membuat Arman terkekeh. Tara kemudian menarik lengan Ihsan membuntuti ke mana Arman melangkahkan kakinya, Ihsan yang bingung hanya mengikuti ke mana langkah Tara. Ihsan melihat sekitar, tempatnya sekarang ini seperti arena latihan untuk beberapa macam olahraga bela diri. "Hiya." Ihsan melihat beberapa arena yang sudah terisi dengan orang-orang yang memiliki tubuh yang sangat bagus. Ihsan meneguk ludah saat melihat arena lain, di mana sedang melakukan bantingan. "Ta Ra, kenapa Kita ke sini?" tanya Ihsan, tangan Ihsan memegang Tara dengan erat. Tara menatap Ihsan, Tara juga menahan tawanya melihat bagaimana Ihsan yang sangat takut. "Mau latihan." jawaban Tara membuat Ihsan menghentikan langkahnya. "Katanya Lo mau jalan-jalan?" tanya Ihsan, Tara ikut berhenti. "Bukan Gue yang latihan." jawaban Tara membuat Ihsan membuang nafas lega, namun hanya beberapa saat sebelum Ihsan kembali melebarkan matanya. "Tapi Lo, San." Ihsan segera menatap Tara. "Gue?" tanyanya pada diri sendiri dengan menunjuk wajahnya, anggukan Tara membuat Ihsan meneguk ludah. "Gue-Gue pulang saja." Tara terkekeh. "No, Lo harus latihan di sini. Kebetulan Bang Arman lagi free." Arman sudah keluar dari sebuah ruangan dengan pakaian khas salah satu cabang olahraga bela diri. Ihsan yang ingin kabur juga sudah ditahan oleh Tara, Tara menatap Ihsan meyakinkan. Ini kali pertama mereka bertemu dan Ihsan harus dihadapkan pada sifat Tara yang keras kepala dan memaksa. "Ta, Lo enggak salah?" tanya Ihsan, berharap bahwa Tara salah mengambil keputusan. "Enggak, mulai hari ini Lo jadi sahabat Gue. Jadi Lo harus bisa lindungi diri Lo sendiri selama Gue enggak ada sama Lo." ucap Tara begitu serius, Ihsan yang mendengar ucapan Tara mendadak diam. Otak Ihsan sudah memutar kembali ucapan Tara, apa Ihsan bisa bersahabat dengan Tara?. "Lo- Lo, anggap Gue sebagai sahabat Lo?" tanya Ihsan, yang akhirnya mengeluarkan apa yang ia pikirkan. Tara menaikkan sebelah alisnya dengan pertanyaan Ihsan. "Ada yang salah? Jangan-jangan Lo enggak mau jadi sahabat Gue?" ucap Tara dengan wajah sedih, benar! Semua orang tidak akan mau berteman dengannya, apalagi bersahabat. "Heh, bukan Ta. Tapi Lo yakin mau sahabatan sama Gue?" tanya Ihsan yang menunjuk dirinya sendiri lagi, apa pantas? Tara tersenyum, wajahnya menampilkan rona ceria. "Kenapa? Gue yang enggak punya sahabat ini, enggak tahu bagaimana harus memulai pertemanan. Gue harap Lo maklum sama apa yang Gue lakukan ini ke Lo, Gue enggak mau sahabat pertama Gue terkena penindasan lagi." ucap Tara menjelaskan. "Ok, Gue akan turuti Lo. Tapi Lo memiliki banyak penjelasan ke Gue." Tara mengangguk saja, Tara akan menjawab apapun yang ingin Ihsan ketahui. Entah kenapa Tara merasakan bahwa mereka sudah sangat dekat, walau ini kali pertama mereka berkomunikasi secara langsung. "Ok, Gue janji. Apapun yang ingin Lo tahu." Arman hanya menyaksikan tingkah kedua remaja di hadapannya, Arman juga berpikir bahwa Chandra memiliki saingan yang cukup berat. Siapa yang tidak tahu jika Chandra sangat membatasi pertemanan Tara, dengan alasan demi keamanan. Banyak orang yang mengincar Tara karena statusnya dan juga kerahasian Perusahaan, kelemahan Kenzaro Dowman ada pada kedua puterinya, dan terlebih Tara. "Jadi?" tanya Arman, keduanya menatap Arman. Tara mengangguk dengan senyum khas dirinya. "Lo ajari dia Om, Gue mau latihan sendiri." ucap Tara menyerahkan Ihsan pada Arman, Tara sudah berjalan kearah tempat arena boxing. Tara melepaskan kemeja yang tidak dikancingkan, memperlihatkan tubuh Tara yang hanya ditutupi oleh sebuah tank top olahraga berwarna hitam. Tara juga melepaskan tasnya dan menaruhnya begitu saja, Ihsan menggeleng dengan kelakuan ceroboh Tara. "Lo enggak usah takut, Tara sudah mengenal sebagian anggota." Ihsan mengangguk, Ihsan juga menerima seragam khas bela diri yang sama dengan yang Arman kenakan. "Lo harus ganti dulu, itu ruang gantinya." Ihsan menatap tempat yang ditunjuk Arman lalu mengangguk, melangkahkan kakinya ke ruang ganti. Tara menyapa salah satu coach di sana, dia mengenalnya walau tidak begitu akrab. "Tara." Tara memberikan salam khas atlet dengan membungkukkan badan setengah. "Iya coach." pria yang umurnya sekitar di bawah Daddy Tara itu tersenyum. "Kamu apa kabar? Mau latihan?" tanyanya, Tara mengangguk namun juga menggeleng. "Kebetulan antar Bang Nando coach, sekalian keliling ke sini." jawab Tara, pria itu mengusap puncak kepala Tara. "Daddy Kamu tidak ikut?" tanyanya, Tara tersenyum getir dengan gelengan kepala. "Belum coach." jawab Tara, Tara ingin sekali lari dari pertanyaan yang menyangkut tentang Daddynya. Namun ia tidak ingin merasa tidak sopan pada pria di hadapannya ini, toh ini kali pertama bertemu setelah puluhan tahun, dan pria itu masih sangat ingat dengannya. Tara bukan sama sekali tidak pernah datang ke sini, sering namun Tara hanya mengantar Chandra yang diberi tugas oleh Daddynya untuk mengambil atau mengirimkan tugas penting dengan keamanan yang dimiliki oleh Perusahaan Dowman. Tara selalu merenung, apa Daddynya tidak pernah merasakan rindu padanya? Memberi tugas pada Chandra selalu bisa, namun mengabarinya selalu tidak pernah. Tara tahu jika jabatan Daddynya sangat dijaga kerahasiaannya, namun untuk mengabari kedua puterinya apa begitu sulit?. "Tara?" Tara terlonjak menatap pria yang dipanggilnya dengan sebutan Coach itu. "Melamun kan apa?" tanyanya, Tara menggeleng. "Kalau begitu Tara pinjam satu muridnya Coach untuk berlatih dengan Tara." izin Tara, pria itu tersenyum. "Tentu, Dani!" pria yang dipanggil Dani oleh coach itu segera mendekat, dengan sikap siap dan tegap. "Siap coach.". "Temani Nona Tara latihan." Dani mengangguk. "Siap Coach." jawabnya patuh, coach mengambil sarung tangan untuk Tara. Sedangkan Dani mempersiapkan diri dengan punching bag yang akan digunakan Tara, Tara menaikkan sebelah alisnya. "Untuk apa benda itu?" tanya Tara, Dani menatap Tara. "Siap Nona, bukannya Anda ingin latihan?" tanya Dani, Tara berdecak. "Gue mau latihan langsung sama Lo." Dani melebarkan matanya. "Maksud Nona adalah, Saya dan Anda bertanding?" tanya Dani tidak percaya. Tara tidak menjawab, setelah Tara dibantu oleh coach dengan sarung tangan yang lebih dulu diberi pelindung yang dipasang pada kedua tangannya. Tara langsung naik ke dalam ring boxing, Dani menatap coach nya yang sudah duduk ditepian arena boxing itu. Coachnya malah tersenyum, seolah tahu apa yang sebetulnya terjadi. "Nona yakin?" Tara memutar matanya saat Dani malah kembali bertanya. "Kenapa? Lo takut?" tanya Tara, Tara sudah kesal karena pertanyaan sensitif soal Daddynya. Semakin ingin melampiaskannya dengan adu jotos dengan Dani. Dani tidak punya pilihan lain, yang harus ia lakukan adalah pura-pura mengalah nantinya. Sepertinya Tara bukanlah orang sembarang, terlebih coachnya begitu dekat dengan Nona muda itu. Tara melakukan pemanasan dengan tinjuan di udara, menunggu Dani yang naik setelah memasang sarung tangannya. Badan Dani bukan kecil, namun juga tidak begitu besar. Sepertinya, Dani anggota baru di kantor ini. "Lo siap?" tanya Tara, Dani mengangguk. Keduanya saling memberi salam dengan tinjuan kedua tangan, wasit dalam pertandingan latihan ini adalah seorang pria yang sepertinya senior dari Dani. Tara mulai mengambil inisiatif menyerang, Tara tidak akan menghindar ataupun mengalah. Hari ini ia ingin tenang, namun pertanyaan tentang Daddynya benar-benar mengusiknya. Walau Tara berusaha untuk mengabaikannya. Tara mengambil tinjuan dengan tangan kanannya, kekuatan tangannya terkumpul hingga otot lengannya berkembang. Memang sedikit meleset, namun Tara bisa menyunggingkan senyum miringnya pada Dani. Dani juga tidak mau kalah setelah mendapat serangan Tara yang terus menerus, Dani tidak mungkin terus menghindar. Bisa-bisa semua tubuhnya memar hari ini hingga beberapa hari, dan Dani tahu jika Tara juga tidak main-main dengan pukulannya. Dani menyerang, namun Tara lebih lincah dari perkiraannya. Tara seperti sudah sangat mahir dengan olahraga berbahaya dan keras ini. Mereka saling menyerang dan tidak ada yang mau mengalah, mereka juga tetap menjaga jarak dengan lawan. Tidak ingin kehilangan point, meskipun ini hanya latihan semata. Karena ini juga hanya sebuah latihan, maka yang digunakan bukan sistem Ronde pada umumnya. Melainkan menggunakan waktu yang juga diatur oleh wasit, setidaknya 45 menit yang Tara miliki untuk melampiaskan pikirannya yang sedang sangat kesal ini. Wajah Tara sama sekali tidak ada yang luka, namun ada beberapa bagian tubuhnya yang mengalami luka memar. Mulai dari tulang bahu yang memar dan juga tangannya, Dani sepertinya juga sedikit mengasihi Tara. Tara hanya fokus pada lawan, tidak melepaskan pandangan dari Dani sama sekali. Seolah Dani adalah seonggok daging yang siap untuk ia mangsa sebagai makhluk pemburu. Di dalam kantor ini ada juga anggota wanita, namun jumlahnya tidak banyak dan hanya bertugas di kantor. Jadi tidak diharuskan untuk memiliki kemampuan dalam semua cabang olahraga bela diri. Hanya satu bela diri saja yang mampu membuat mereka berlindung dari ancaman, itu sudah cukup. Tara mengayunkan tinju yang sangat bertenaga untuk mengakhiri latihan ini, namun suara keras memanggil namanya menginterupsi. "Tara!".
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN