Satu pukulan itu berhasil Tara ayunkan, tidak peduli dengan suara teriakan yang memanggil namanya.
'Bukk'.
Wajah Dani sampai menyamping dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya, peluit sudah dibunyikan dan Tara sampai tidak menyadari jika di bawah ring latihannya terdapat puluhan penonton.
Telinga Tara sampai tuli akibat kemarahannya yang segera ingin Tara salurkan pada Dani, Dani memang tidak tahu apa-apa. Namun Tara yang tidak pedulian tetap melampiaskan amarahnya. Tara memberi salam pada Dani dengan tinjuan kedua tangan mereka, Tara tersenyum.
"Lo enggak apa-apa?" tanya Tara, penonton juga sangat histeris menyoraki Tara dan juga Dani yang kalah dari wanita. Dani tersenyum lalu menyeka darah di sudut bibirnya.
"Tidak masalah Nona, biasanya lebih dari ini. Nona sangat kuat dan bertenaga." Tara terkekeh, Tara segera mengalihkan tatapannya ketika tangannya ditarik.
Tara tersenyum kala melihat wajah Nando yang sangat panik, Nando juga memutar-mutar tubuh Tara. Melihat luka apa saja yang didapatkan oleh Tara, mata Nando seperti mata elang kala melihat luka-luka di tubuh Tara.
"Kamu apa-apaan sih, Tara?" tanya Nando dengan kelakuan Tara, Tara menaikkan sebelah alisnya.
"Latihan, Bang." jawab Tara enteng, Nando begitu kesal dengan dirinya.
"Kamu sampai terluka, bagaimana Abang jelasinnya ke Chandra?" tanya Nando yang terlihat begitu frustasi juga.
"Bilang saja kalau Tara latihan, bantu Tara buka ini sarung tinju." Tara tersenyum garing saat meminta bantuan pada Nando, tahukah jika saat ini Nando begitu khawatir pada Tara. Dan gadis itu malah cuek bebek dengan apa yang akan terjadi nantinya.
Nando yang ingin protes kembali menelan ucapannya, sekarang ini dia membantu Tara melepaskan sarung tinju. Tara tidak memakai gigi silikon tadi, jadi Dani memang sengaja tidak mengincar wajah cantik Tara.
"Sudah." ucap Nando cuek dan kesal, Ihsan sudah selesai berganti pakaian saat melihat Nando yang sudah berada di ring dengan wajah kesal dan khawatir yang tidak bisa pria blasteran itu tutupi sama sekali.
"Ta." Tara menatap Ihsan, Tara duduk di pinggiran ring. Mengabaikan Nando yang masih berdiri dengan sarung tinju yang ada di tangannya, Nando hanya bisa membuang nafas.
"Bagaimana latihannya?" tanya Tara dengan senyum cerianya, seolah olahraga berat yang baru saja ia lakukan tidak pernah terjadi. Ihsan melihat beberapa luka di tubuh Tara, selain itu banyak juga keringat yang bercucuran hingga membasahi sebagian rambut Tara.
"Ta, Lo enggak apa-apa. Lo luka semua tuh." Tara menggeleng.
"Gue enggak apa-apa, Lo harus mandi air hangat nanti. Ini kali pertama Lo latihan, tubuh Lo akan kaku." ucap Tara menasehati, mengalihkan pembicaraan Ihsan mengenai lukanya.
Ihsan menatap Tara, sepertinya luka Tara itu akan lama keringnya. Ada beberapa luka memar juga yang di derita. Lebih banyak luka memar, dan satu luka yang terbuka di bagian bawah tulang bahu. Ihsan berinisiatif untuk mengompres luka memar Tara dari kompres yang ada di tangannya, Arman memberikannya pada Ihsan setelah latihan.
“St!” Tara mendesis, tubuhnya benar-benar kaku. Tapi ia tidak ingin Nando dan yang lainnya khawatir, soal Chandra. Tara juga bingung akan menjelaskannya seperti apa, Tara mendadak lupa dengan pria itu ketika mendengar pertanyaan soal Daddynya.
"Beneran?" tanya Ihsan, tidak percaya jika tubuhnya nanti akan terasa sakit semua. Memang dia merasa saat ini saja tubuhnya sudah seperti remuk, Arman masih mengajarinya teknik dasar. Belum sampai tahap latihan fisik, apalagi bantingan seperti yang ia lihat saat pertama kali masuk ke ruangan latihan ini. Tara mengangguk, upayanya untuk mengalihkan pembicaraan memang sangat berhasil.
Tara juga membiarkan saja Ihsan mengompres luka yang ia dapat, memang rasanya sangat sakit. Tara menatap Nando yang terlihat kesal namun tidak bisa melampiaskan kekesalannya itu.
Nando menengadahkan kepalanya melihat bahagianya Tara berinteraksi dengan sahabat barunya. Nando membuang nafas berkali-kali, menetralkan amarahnya yang mungkin bisa saja meledak di kepalanya.
"Kita pulang." Tara menatap di mana Nando sudah berdiri menjulang di belakangnya, dengan wajah tidak bersahabat.
"Bukannya Kita mau jalan-jalan?" tanya Tara, sama sekali tidak merasa bersalah dengan kelakuan yang membuat Nando kesal sampai seperti ini.
"Lupakan jalan-jalannya, Kita pulang sekarang." ucap Nando mutlak dengan menatap kearah luka-luka Tara, Tara membuang nafas dengan bibir mengerucut.
"Kalian sudah mau pulang?" semua mata kini mengarah pada sumber suara.
"Iya coach." jawab Tara, Ihsan hanya menatap saja, sedangkan Nando sudah turun dari ring. Membantu Tara turun dengan mengangkat kedua sisi pinggangnya yang ramping. Tidak ingin melukai Tara lagi, padahal Nando juga tahu jika Tara memiliki luka juga di pinggang. Reflek tubuh Tara tidak bisa membohongi siapapun.
"Kita pulang." pamit Nando dengan menarik tangan Tara, tidak lupa juga dengan mengambil tas serta kemeja Tara yang tergeletak dengan satu tangannya yang lain.
Nando membuang nafas ketika menarik tangan Tara, lalu menatap Ihsan.
"Lo ambil berkas Gue itu." Nando memerintah Ihsan yang mengekor, Ihsan sendiri menurut. Memungut berkas yang ada di dalam map coklat yang jumlahnya ada sekitar empat, dan itu sangat berat sekali.
Sepertinya Nando benar-benar kesal karena memakai panggilan Lo-Gue dengan nada yang seperti itu. Nando biasanya adalah pria hangat dan sabar.
***
Tara menunduk saat seseorang sudah berdiri di hadapannya dengan tangan bersidekap d**a, Nando ada di kursi yang lain. Nando hanya serius melihat berkas dan seolah melimpahkan segala kesalahan padanya, apanya yang tersayang. Tara kesal bukan main saat ini, terlebih pada pria yang terus menatapnya seperti memiliki mata laser yang siap memotong-motong tubuhnya.
"Bisa jelaskan?" tanya Chandra dengan mata elangnya, Tara juga bersidekap d**a dengan angkuh tidak mau mengalah sama sekali.
Tubuhnya sudah dibersihkan dan kini Tara memakai kemeja kelonggaran milik Chandra yang ada di kamarnya. Tara sudah biasa memakai pakaian Chandra. Entah itu karena pakaian Tara yang kotor, hingga Chandra harus mengorbankan jas atau kemejanya yang lain untuk sang Nona. Hingga pakaian Chandra begitu banyak di dalam lemari pakaian Tara.
"Apa yang harus dijelaskan? Gue cuma luka karena latihan." Chandra membuang nafas, habis sudah kesabarannya. Tara tidak akan mungkin berkata jujur, Tara bukanlah orang yang akan adu boxing tanpa adanya sesuatu yang memantik amarahnya.
Chandra juga sudah bertanya pada Nando, jika lawan Tara adalah seorang junior di pusat CIA. Bukan hal mudah melawan pria dari anggota itu, meskipun pria tersebut adalah seorang junior sekalipun.
"Bagaimana bisa sampai terluka?" tanya Chandra, Tara meniup poninya. Kesal juga menjelaskan sesuatu yang sudah pasti namun ditanya berulang-ulang.
"Namanya juga olahraga boxing, kalau enggak mau luka main saja itu papan catur." jawab Tara yang kesal, Chandra membuang nafas. Chandra menekuk kakinya di hadapan Tara, meski sekarang memakai kemeja. Namun Chandra masih dapat melihat tulang selangka Tara yang memar.
Chandra menatap Tara dalam dan lama, sehingga Tara dibuat salah tingkah. Alis Tara berkerut, ditatap seintens ini oleh Chandra membuat Tara juga mati kutu.
"Bi." Chandra memanggil Sandra yang juga berdiri di sana, menyaksikan Nona mudanya dihakimi dan melihat bagaimana wajah Chandra yang teramat sangat khawatir melihat Nona mereka yang terluka.
"Ya Tuan." jawab Sandra.
"Ambil kotak obat, lalu obati luka Nona Tara." perintah Chandra, Tara mendengus. Terlebih Sandra yang ikut membantunya berdiri, Tara tidak lumpuh dan sepertinya perlakuan semua orang begitu berlebihan padanya. Chandra juga sudah berdiri, membiarkan Tara mulai dibantu oleh Sandra.
"Gue mau di obati asalkan Om mau belikan Gue rujak yang ada di sebelah jalan sana." Tara menunjuk tempat yang dimaksud, meski Tara hanya menunjuknya saja.
Chandra membuang nafas, harus lebih sabar menghadapi Tara. Sedangkan Nando menatap keduanya bergantian, melihat sisi Chandra yang tidak bisa apa-apa saat menghadapi Tara benar-benar luar biasa.
"Saya akan membelikannya." Tara tersenyum puas dengan tepuk tangan, Chandra tersenyum sangat tipis. Membahagiakan Nonanya begitu mudah, tapi membuat Chandra jengkel juga mudah bagi Nonanya. Chandra melihat tubuh Tara hingga tidak terlihat, Nando berdehem.
"Orangnya sudah tidak ada." Chandra menatap Nando dengan wajah datar.
"Kenapa membiarkan Nona terluka?" tanya Chandra, Nando meneguk ludah. Nando tahu jika Chandra tidak akan melepaskannya juga.
"Kenapa Lo ikut hakimi Gue?" tanya Nando, mengalihkan matanya kembali ke berkas. Nando tahu jika ia akan sulit untuk menghindari Chandra, namun Chandra bukanlah orang yang berpikiran sempit.
"Lalu?" Nando sibuk memasukkan berkas, sebentar lagi ia harus kembali ke Washington.
"Gue sudah mau kembali, Gue mau temui Tara dulu." ucap Nando, Nando segera mengambil langkah, menaiki tangga dengan sedikit berlari. Chandra sendiri hanya mampu membuang nafas, lalu melangkahkan kakinya keluar Mansion. Chandra mengambil mobilnya yang masih terparkir di halaman, Chandra akan membelikan apa yang Nonanya inginkan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 20:00, semoga penjual rujaknya masih ada. Chandra melajukan mobilnya dengan pelan, melihat apakah ada makanan lain yang bisa membujuk Nonanya nanti jika rujak pesanannya tidak ada. Chandra tersenyum saat melihat bakso langganannya, Chandra menghentikan mobilnya di depan gerobak bakso yang selalu ramai itu.
"Bang." panggil Chandra.
"Eh Den Chandra, mau bakso?" tanya Abang bakso.
"Iya, dibungkus ya Bang. Biasa." si Abang bakso mengangguk, biasanya Chandra memesankan bakso untuk para pekerja. Termasuk Sandra, hari ini walau Tara mungkin mau. Chandra akan memberikan bagiannya untuk Nonanya, jadi Dia tidak akan melebihkan pesanan.
Seharusnya memang sudah makan malam, karena Tara tidak ingin makan di rumah sejak pulang dan Chandra hanya mampu menatapnya terus. Biasanya para pekerja di Mansion akan makan setelah Nonanya makan malam, kalau Nara lebih sering makan diluar dari pada makan di rumah, jadi semua orang hanya memprioritaskan Tara.
Chandra tersenyum kala menatap makanan yang sudah banyak ia kumpulkan, termasuk rujak yang ternyata masih ada. Walau bumbunya tidak sebanyak biasanya, hari ini si Abang penjual rujak agak sepi pembeli. Sehingga di jam malam seperti ini masih ada rujaknya, itu yang Chandra tahu dari si Abangnya sendiri.
***
Tara sudah duduk diam di ruang makan dengan makanan yang penuh satu meja, Tara melihat semua makanan itu. Rujaknya hanya satu mangkuk kecil dan itu malah membuat Tara tidak berselera.
"Nona ingin makan apa?" tanya Chandra, Tara melihat kembali makanan yang Chandra belikan.
"Om mau makan ini semua?" tanya Tara, Chandra mengangguk meski tidak sepenuhnya benar.
"Tara boleh minta baksonya?" tanya Tara, Chandra tersenyum sangat tipis, lalu mengambil garpu dan sendok untuk Nonanya. Menggeser mangkuk rujak dengan mangkuk bakso berkuah yang masih mengepulkan asap panas.
Tara mulai melahap baksonya, Tara sampai memejamkan matanya saat merasakan daging giling yang sangat kaya dengan bumbu bakso yang khas. Aroma bawang gorengnya benar-benar membuat Tara berselera untuk makan. Sepertinya ia ingin makan bakso sampai lupa dengan makanan yang ia mau pada awalnya.
"Bi, ini untuk semua orang." ucapan Chandra membuat Tara menatap pria dewasa itu, lalu pada tumpukan bungkusan bakso dalam satu kantong kresek putih. Sandra mendekat, mengambil kantong kresek yang Chandra ulurkan padanya.
"Terima kasih Tuan, Tuan tidak mengambilnya?" Chandra tersenyum tipis dengan gelengan kepala.
"Tidak Bi, Chandra masih kenyang. Bibi bagi saja dengan yang lainnya." Tara terus menatap interaksi keduanya, terlebih Sandra sudah pergi ke dapur. Sepertinya Sandra menyiapkan bakso itu untuk semua orang, Tara melihat Chandra yang juga menatap kearahnya.
"Om sudah makan?" tanya Tara, Chandra mengangguk.
"Sudah Nona." Tara tidak percaya, dia belum makan. Mana mungkin Chandra juga sudah makan?.
"Duduk." pinta Tara, Chandra tidak paham. Tara menggenggam tangan Chandra, menarik Chandra untuk duduk begitu saja di sampingnya.
"Om suapi Gue." pinta Tara, Chandra menurut, mulai menyuapi Tara. Hal ini sudah biasa Chandra lakukan, sejak kecil. Chandra lah yang menyiapkan segala keperluan Tara, tentu selain mandi dan berganti pakaian. Karena itu akan dilakukan oleh Sandra, ketika Tara sakit pun Chandra yang akan merawat Tara. Karena Tara juga lebih nyaman dengan Chandra dari pada dengan Sandra ataupun ART lainnya.
"Sekarang Om yang makan." ucap Tara dengan mengunyah bakso di dalam mulutnya, Chandra tentu saja terkejut.
"Nona, ta-." Tara segera memotong ucapan Chandra yang belum bisa pria itu selesaikan.
"Sekarang Gue sudah makan, Lo harus makan juga Om." Chandra ragu saat melihat bakso yang sudah di atas sendok.
"Ta-." Chandra diam, ketika Tara begitu saja mendorong sendok yang masih ragu Chandra masukkan ke dalam mulutnya.
"Bagaimana Om? Enakkan?" tanya Tara, Chandra meneguk ludah. Rasanya Chandra ragu ketika akan mengunyah bakso di dalam mulutnya, apakah gadis bernama Tara ini tidak sadar dengan apa yang dia lakukan? Chandra pria dewasa yang sudah lama mengalami berbagai macam keadaan, dan memasukkan sendok ke dalam mulutnya, sendok yang sama yang dipakai Nonanya. Chandra merasa ada hal yang tidak biasanya yang Chandra rasakan, apa ini sopan? Chandra terus menatap Tara, lebih tepatnya kearah bibir Tara yang terus bersuara dengan mengunyah bakso.
***
"Nona." Tara terkejut, saat ia baru bangun dari tidurnya dan suara Chandra mengalun di indera pendengarannya. Tara mengusap dadanya karena begitu terkejut melihat adanya Chandra di samping ranjangnya. Padahal Tara baru saja membuka matanya, nyawanya saja belum penuh terisi. Entah ke mana lagi perginya nyawa Tara dan Chandra bisa saja membuat nyawanya semakin tidak terkumpul.
"Gila Lo Om! Kalau Gue jantungan bagaimana?" omel Tara, Chandra hanya menampilkan wajah datarnya. Seperti omelan Tara adalah lagu rock yang mengalun di telinganya, meski dapat merusak pendengarannya. Chandra sungguh sudah kebal dan terbiasa akan suara itu.
Tara mendesah, ia tidak lupa kalau ia sedang berhadapan dengan manusia kutub. Tapi setidaknya pria itu minta maaf dong, Tara juga tidak akan lupa kalau pria itu tidak akan mengucapkan kata yang bagi pria itu sangat sakral. Pria yang sudah menjalani hidupnya selama tujuh belas tahun bersama Tara itu sudah sangat antipati dengan kata maaf dan kata-kata lainnya, bahkan sebuah kalimat pun akan mustahil bagi pria berpostur tinggi bak model itu.
Jangankan untuk kata maaf yang begitu mahal bagi sebagian orang, membuka mulutnya saja mungkin di luar planning seorang Chandra, selain saat Chandra ingin mengomelinya karena membuat masalah. Tara mendesah pasrah saat pria yang dimaksudnya ini adalah pengasuhnya sejak ia kecil. Kenapa Tara tahan dengan pria itu? Jawabannya adalah entah, karena Tara sendiri juga bingung akan menjawab apa jika pertanyaan itu muncul untuk dirinya. Tidak ada yang istimewa dari Chandra selain bentuk tubuh dan rupanya, sikapnya sering kali menyebalkan dan hal itu sering juga membuat Tara marah-marah. Jadi di sini siapa yang menyebalkan? Tara ataupun Chandra, bahkan keduanya tidak tahu.
"Bakal Gue ganti besok kata sandi kamar Gue." gumam Tara yang masih sangat di dengar Chandra.
Chandra hanya menghembuskan nafas kasar, ia harus memikirkan banyak cara untuk membongkar keamanan yang telah terpasang oleh Tara jika ancaman itu benar terjadi. Bisa lebih dari tiga hari ia lembur hanya untuk kata sandi pintu, dan setelahnya kamar Tara akan berubah seperti kapal pecah. Karena tidak ada seorangpun yang dapat masuk untuk membersihkan kamar gadis berambut panjang itu.
"Nona harus segera bersiap." ucapnya datar, agar Tara tidak berlama-lama di dalam kamar mandi. Padahal Tara baru saja akan beranjak dari ranjang empuknya, belum juga masuk ke kamar mandi loh ini? Menyebalkan benar si Chandra, pikir Tara.
Tara menatap Chandra dengan mata menajam sinis.
"Diem Lo Om, pergi sana! Gue dijemput sama teman." Chandra memiringkan kepala, menatap Tara dengan pandangan bertanya.
"Enggak usah kepo sama urusan Gue, gih sana cari pacar." usir Tara dengan beranjak dari kasur queen size nya, ia mengambil handuknya, menutup pintu kamar mandi tanpa lagi menatap Chandra.
Chandra tersenyum kecil, ia memang selalu terhibur dengan tingkah Tara. Walau ia harus menyiapkan telinga dan hatinya. Sering kali ucapan Tara tidak difilter dan itu bisa saja menusuk hatinya dengan kata-kata gadis itu yang tajam. Seperti menyuruhnya mencari pacar, Chandra tidak marah karena memang ia tidak punya pacar dan tidak dekat dengan seorang wanita. Tapi bisakah gadis itu tidak menyinggungnya secara langsung? Tentu jawabannya tidak sama sekali.
Chandra akan selalu ada untuk Tara kapanpun selain di sekolah, namun jika Tara pulang Chandra pun akan pulang dari kantornya. Sepenting apapun itu pekerjaannya menjadi tidak penting jika terjadi sesuatu dengan Tara, karena ia masih punya tangan kanan yang dapat dia andalkan untuk mengurusi AlNaTa Inc, sedangkan Tara adalah tanggung jawab Chandra sepenuhnya.
AlNaTa INC adalah Perusahaan khusus keamanan, seperti penyedia tekhnologi keamanan dan juga penyewaan jasa bodyguard. Kenzaro Dowman mendedikasikan Perusahaan tersebut untuk kedua buah hatinya yang tidak pernah lepas dari ilmu tekhnologinya. Tapi entah mengapa keduanya sama-sama tidak mau menjalankan bisnis itu dan malah mempercayakannya pada Chandra. Awalnya Tara sangat marah ketika Kakaknya itu mengangkat Chandra sebagai wali sementara juga. Hello? Chandra adalah wali dan tangan kanan Tara bukan Nara, mana mau Tara berbagi meski itu pada Kakaknya sendiri?.
Tara mematut dirinya di cermin, tidak hiraukan keberadaan Chandra di ambang pintu. Ia menyemprotkan parfum mahal kesukaannya pada telapak tangannya, lalu menghirupnya dalam. Tara tersenyum kecil melihat tingkahnya, mungkin urat malunya sudah putus. Hingga ia tidak sekalipun menutupi semua hal dari Chandra. Termasuk ketika ia berdandan, bahkan ketika ia baru bangun tidur dengan wajah jeleknya.
"Om, Gue cabut." Chandra mencekal tangan Tara saat gadis itu akan turun tangga melewati dirinya.
"Hari ini Saya antar dan seterusnya." Chandra lebih datar dari biasanya, Tara tahu itu, tapi kenapa? Ada apa? Tadi pria itu baik-baik saja. Saat Tara berkata di jemput teman juga Chandra tidak meresponnya, biasanya pria itu akan langsung melarangnya jika memang tidak mengizinkan.
Tara masa bodoh dengan perubahan sikap Chandra, Tara hanya menatap punggung Chandra yang lebar dengan alis terangkat.
"Kenapa Om ganti pakaian?" gumam Tara, seingatnya tadi Chandra pakai pakaian formal saat membangunkan Tara. Sekarang pria itu memakai pakaian santai dengan celana pendek dan kaos hitam polos yang ditutupi kardigan merah.
Tara mengejar Chandra yang sudah berada di ujung tangga dan sialnya Tara malah tersandung kakinya saat dua tangga terakhir, karena berlari.
"Argh!" Tara mengaduh saat keningnya menubruk punggung Chandra yang bidang dan liat, Chandra membalikkan badannya menatap Tara datar.
Tara berdecak melihat sikap Chandra yang hanya diam saja, padahal posisi tubuhnya sangat tidak mengenakkan. Tangan Tara juga sudah berada di kedua bahu Chandra karena reflek akan jatuh. Chandra memegang tangan Tara agar tidak jatuh saat membalikkan badannya.
"Om, jangan gerak! Gue jatuh entar!" Tara berkata keras saat Chandra akan melangkahkan kakinya, kaki Tara sudah di ujung tangga. Kalau sampai Chandra menghindarinya bisa terpeleset Tara, Chandra membantu Tara hingga Tara bisa berdiri tegak.
"Ini Nona muda Lo, bantuin Gue dong?" kata Tara ketus, ia tetap mengusap keningnya.
'Keras juga punggung Om.' batin Tara terheran. Chandra menggeser badannya, Tara ingin sekali mengumpati sikap pria itu. Bukannya lebih bagus di film-film, si pria akan bantu atau usap kening si cewek dengan lembut.
"Silahkan Nona, makanan sudah siap.” ucap Chandra tenang dan datar.
'Sial!' umpat Tara dalam hati, tidak jadi menahan kekesalannya. Bukannya meminta maaf ataupun menolong Tara, Chandra semakin membuat Tara ingin memotong tubuh tegap Chandra yang sialnya atletis itu.
Dengan terus menggerutu Tara berjalan kearah ruang makan dengan Chandra di belakangnya. Semua pelayan hanya mampu menatap Chandra dengan tatapan prihatin. Nona mereka terlalu unik untuk dapat ditebak apa maunya.
"Nara ke mana?" tanya Tara pada seorang pelayan.
"Nona Nara sudah berangkat tadi Nona." Tara mengangguk, duduk di kursi makannya dengan malas. Ruang makan yang hanya ada dirinya juga Nara jika ada, jika tidak hanya para pelayan yang menungguinya makan.
Tara menusuk sandwich yang telah dipotong dengan garpu nya, lalu memasukkan ke dalam mulutnya dengan malas. Chandra? Pria itu berdiri di belakang Tara dengan terus menatap Nonanya.