"Apa kita harus melakukannya sekarang?" Aku kembali bertanya. Mungkin ini sudah yang kelima kalinya tapi perasaan gugupku membuat aku tidak peduli.
Aku setuju menikah dengan Andre. Itu membuat perasaanku senang tapi saat Andre mengatakan akan mengenalkan aku pada keluarganya hari ini juga, kesenangan itu berubah menjadi bencana. Apa yang akan di katakan mba Dea? Apa yang akan di pikirkan Lucas? Aku mengenal dua orang itu. Aku juga mengenal maminya Andre, walau kami tidak terlalu bisa di bilang dekat. Tapi wanita tua itu tahu aku. Dia beberapa kali mengajak aku bicara.
Andre sibuk dengan setir kemudinya tapi aku tahu dia mendengarkan. Mungkin dia terlalu capek menjawab tanyaku yang selalu sama setiap detiknya.
Saat mobil itu telah berhenti aku langsung menatap restoran di depan kami. Membuat aku menatap Andre bingung.
"Mami ngadain acara keluarga di sini." Jelasnya tanpa menunggu aku bertanya. Perasaan yang awalnya gugup berubah menjadi genderang. Ini buruk, benar-benar buruk. "Mereka akan senang denganmu, Luna. Jangan terlalu khawatir." Tambah Andre yang tidak mempan sama sekali di telingaku. Kata-kata menenangkan itu tidak juga bisa membuat aku tenang.
Andre sudah membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. Sementara aku masih tertunduk dengan tangan yang meremas sabuk pengaman.
Saat suara pintu di sampingku terbuka, aku terlonjak. Menatap nyalang seolah aku baru saja tertangkap tengah mencuri.
Andre memperhatikan tingkahku. Langsung mengulurkan tangan tanpa mengatakan apapun.
Aku menatap tangan itu dengan pikiran berkecamuk. Apa yang di tawarkan tangan itu adalah sebuah jalan menuju apa yang aku inginkan tapi kenapa aku merasa sangat takut? Kenapa aku merasa seolah tidak akan berdaya di sana.
"Luna." Saat Andre menyebut namaku, aku mendongak. Menatap mata hitamnya yang mengangguk samar. Meyakinkan diriku lewat diamnya.
Aku kembali menata diri dan degup jantungku. Membuka sabuk pengaman dan meraih uluran tangannya. Seketika itu kehangatan langsung membanjiri diriku. Membuat segala apa yang aku takutkan hanyalah sebutir debu. Pengaruh Andre terasa begitu nyata. Mungkin ini karena aku terlalu mencintainya sejak dulu.
Andre menutup pintu mobilnya untukku. Menarik aku berjalan di sisinya yang membuat aku malah mengalihkan tatapan. Aku takut saat mata kami bertemu, pria itu akan tahu seluruh diriku. Seluruh rasa yang aku miliki padanya.
Seorang pelayan yang berdiri di balik pintu kaca membukakan pintu untuk kami. Langsung menunduk dengan sapaan ramah. Aku mengangguk pada pelayan itu.
"Lucas Abigail." Andre menyebut nama kakaknya pada pelayan itu.
"Di sini, tuan." Suara pelayan itu terdengar ramah. Membawa kami berjalan bersama.
Beberapa belokan kami dapati dan berakhir di pintu putih dengan tulisan 'private'.
Pelayan itu mengetuk pintu dan beberapa detik kemudian pintu terbuka. Membuat aku bisa melihat ruang makan di dalam sana yang di desain seperti ruang makan rumah. Sangat kental dengan kekeluargaan.
"Andre?" Suara itu membuat aku langsung terlonjak. Kaget karena mba Dea sudah muncul di balik punggung kami. "Luna. Apa yang kalian lakukan di sini? Andre, kau bilang tidak bisa datang. Tapi.." suara mba Dea terhenti begitu di lihatnya tangan kami yang bertaut sempurna.
Aku ingin melepaskan tanganku dari Andre tapi pria yang menatap kakak iparnya dengan wajah datar itu nampak tidak mau melepaskan aku.
"Kami harus bicara." Ucapan Andre tidak membuat wajah mba Dea berubah. Rasa penasaran terlihat ada di wajah itu.
Andre sudah membawa aku masuk dengan mba Dea yang ada di sisiku. Menatapku bertanya dan yang bisa aku berikan hanyalah sebuah gelengan samar.
Mataku bisa menemukan Lucas yang menatap dengan wajah datarnya dan beberapa orang yang tidak aku kenal. Ada juga maminya Andre yang langsung bangun dan menatap pada tangan kami. Wanita paruh baya itu nampak tengah menebak apa yang tengah terjadi.
"Mami. Kak." Andre bersuara dengan ketenangan yang membuat aku menatapnya sebentar dan beralih dengan menunduk. "Kami akan menikah." Dengan telak pria itu mengumumkan bahkan tidak ada secuil basa-basi di dalamnya.
Suara semburan air itu entah keluar dari mulut siapa, yang pasti maminya Andre adalah seseorang yang tengah menjadi objekku. Wanita itu menatap putranya dengan tatapan bercampur rasa. Aku tidak bisa menjabarkan.
"Jika kalian serius. Silahkan." Suara yang sama tenangnya itu datang dari Lucas. Pria itu bahkan menyilangkan kakinya dengan tatapan setenang Himalaya. Kedua Abigail bersaudara ini nampak terlalu sama rupa.
"Mami, katakan sesuatu?" Tanya Andre ingin mendengar pendapat maminya. Akupun ikut berdebar.
Wanita tua itu berdehem. Entah apa yang mengganjal tenggorokannya. "Kau yang akan menjalaninya, Andre. Siapapun pilihanmu asal kau mencintainya maka silahkan." Suara maminya Andre membuat aku beku. Asal kau mencintainya? Ingin sekali aku berkata tidak. Dia tidak mencintaiku. Ini hanya bentuk tanggung jawab putramu yang dengan egoisnya aku terima demi memenuhi nafsuku untuk memilikinya.
"Terimakasih. Kami akan mulai mempersiapkan semuanya." Itulah jawaban Andre. Bukannya mengatakan pada maminya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya menutupinya.
***
Andre meminggirkan mobilnya di depannya rumahku langsung mematikan mesin dan menatapku. Aku membuka sabuk pengaman dan balas menatapnya.
"Besok kita bisa memesan cincin untuk kita." Ujarnya.
"Cincin?" Tanyaku langsung meraba jemariku yang polos.
Andre mengangguk. "Kita akan bertemu dengan keluarga besarku. Aku tidak mau ada gunjingan tidak jelas tentangmu. Jadi kita bisa mengatakan kalau kita sudah merencanakan semua ini dari dulu dan cincin yang akan kita beli akan memperkuat semuanya." Jelasnya membuat aku hanya mengangguk saja. Terserah seperti apa maunya dia.
Menikah dengan Andre seperti sebuah mimpi bagiku. Mimpi yang terasa sangat tidak nyata.
"Apa kamu menginginkan sesuatu tentang dekorasi pernikahannya?" Tanya Andre lagi.
Aku menggeleng. "Aku terima apapun keputusanmu." Jawabku seadanya. Yang aku butuhkan hanya dirinya jadi buat apa lagi.
Helaan nafas Andre membuat aku menatap dia bingung. "Luna. Aku tahu menikah denganku tidak pernah menjadi pilihanmu tapi aku tahu aku tetap pada keputusanku. Aku akan membuatmu menjadi istriku karena itu memang hal yang harus aku lakukan."
Itu hal yang harus ia lakukan tapi bukan hal yang ia inginkan. Sesakit itulah kata itu keluar dari bibirnya.
"Jadi Luna. Kumohon, walau ini sulit bagimu. Cobalah untuk menerimaku."
Tentu aku menerimamu. Dengan sepenuh hati tanpa ada kurang sedikitpun. Hatiku berteriak demikian. Tapi bibirku bungkam. Yang bisa aku lakukan hanya mengangguk seolah menyetujui semua argumennya.
"Baiklah. Sampai jumpa besok pagi. Aku akan menjemputmu."
Aku membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. Melihat Andre lewat kaca yang tertutup itu. Andre telah menyalakan mesin mobilnya dan melajukan kendaraan itu dengan sedang. Kutatap mobil itu sampai menghilang di tikungan. Langsung meremas dadaku yang terasa di rajam benda tajam.
Ini akan baik-baik saja.