8

1148 Kata
Semak-semak samping rumah duka yang di tinggal pemiliknya sesekali bergerak tak beraturan, beberapa pasang mata mengintai rumah kosong yang mendadak tampak ramai. Terlihat bendera warna kuning terpasang di salah satu dahan pohon, menandakan bahwa salah seorang penghuni rumah ada yang meninggal. Lagi, semak-semak itu bergerak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, nampaknya sang pengintip sedang riweuh masing-masing. Ketiganya sedang menggaruk-garuk anggota tubuh yang terasa gatal, ada ulat bulu yang sedang tertiup angin hingga helaian bulunya terasa gatal di kulit mereka. “Heh, seharusnya kita tidak mengintip seperti ini. Badan ku jadi gatal-gatal, lebih baik kita langsung saja berbela sungkawa ke rumah itu.” Sebuah suara menginterupsi, di lihatnya dua orang yang bersebelahan dengannya menggeleng tidak setuju. “Diam lah, nanti bisa ketahuan kalau berisik.” Cecar satu orang di antara mereka. “Kalau kalian tidak mau, biar aku saja yang kesana. Mengintip seperti penguntit saja, minggir aku mau lewat.” “DIAM, ARIS.” Bentak kedua perempuan secara kompak, membuat orang itu tidak jadi melangkahkan kakinya. Aris, Ara dan juga Dinda sama-sama berencana ingin mengetahui kasus kematian anak kecil yang di temukan di sungai, mereka melakukan ini karena ada keterkaitan antara kematian itu dan buku kisah desa ini. Ara dan Aris tidak melakukannya hanya karena rasa penasaran belaka, bukan. Kedua kakak beradik itu menaruh curiga dengan kakeknya yang tidak mau pindah dari desa ini, padahal jelas-jelas di sini tidak aman untuk pria tua itu. Juga merasa ketidak adilan yang di alami anak itu, seharusnya warga desa melaporkan kasus ini ke pihak berwajib agar korban mendapat keadilannya. “Baiklah-baiklah. Tapi ingat! Setelah anak itu di kubur, kita langsung pulang.” “Hmm.” Gumam Ara dan Dinda yang sepakat mengabaikan ucapan Aris. Kedua perempuan itu masih fokus melihat rumah si jenazah, tak banyak orang yang datang meskipun hanya sekedar takziah. Ara menatap lekat rumah yang di intainya, aura tidak mengenakkan dan terasa sesak membuatnya bergidik. Mereka merapat satu sama lain ketika ada dua bapak-bapak yang duduk di kursi dekat semak-semak, ketiganya menunduk agar tidak ketahuan. Terdengar perbincangan antara pria paruh baya itu dengan pria yang juga seumuran dengannya. Ketiga bersaudara itu mendengarkan dengan seksama apa yang di bicarakan bapak-bapak tadi, sesekali di luruskan punggungnya yang terasa pergal karena terus menerus menunduk. “Orang itu sudah sangat keterlaluan, bisa-bisanya mereka menumbalkan darah dagingnya demi egonya. Aku rasa desa ini sudah tidak aman lagi, semakin hari semakin bertambah kegilaan yang mereka perbuat.” “Kamu benar, desa ini sudah tidak aman. Bisa di hitung dengan jari, siapa saja yang masih memiliki kewarasan dalam dirinya.” “Tidak ada yang bisa kita perbuat selain menunggu, mbah Utomo pun sepertinya kuwalahan menghadapi mereka yang semakin banyak saja pengikutnya.” Begitulah beberapa penggal kalimat yang di dengar ketiga remaja itu, Ara mengernyit ketika kakeknya di ikut sertakan dalam masalah ini. Memangnya apa yang di perbuat kakeknya untuk menghentikan kasus pemujaan iblis desa ini? Ara sama sekali tidak menahu, sudah pasti Utomo menyembunyikannya dari cucu-cucunya. Di lihatnya bapak-bapak itu pergi setelah jenazah siap untuk di makamkan, ketiganya menghela napas lega. Punggungnya terasa nikmat setelah di luruskan, bahkan Aris terlihat bersandar di salah satu pohon sambil tangannya menghapus peluh. “Jenazah anak itu sudah di kubur, ayo kita pulang.” Ajak Aris, lagi-lagi mendapat penolakan dari dua saudarinya. “Belum, kita harus mengikutinya sampai pemakaman.” Ujar Dinda yang segera di angguki oleh Ara. “Heh, aku tidak mau. Kalian saja yang pergi, tubuhku sudah bau dan berkeringat.” Ara serta Dinda serentak memelototi tajam remaja itu, Aris hanya diam mengabaikan sambil menggaruk tangannya yang terasa gatal. “Aku mau mandi, lanjutkan kalian saja, Bye.” Aris ngacir lari tunggang langgang setelah mengatakan kalimat terakhirnya, setelah jarak agak jauh ia menoleh melihat Ara yang memasang ekspresi kesalnya. Aris terbahak-bahak, ia melanjutkan langkahnya untuk pulang ke rumah. “Anak kurangajar.” Gerutu Ara, adiknya itu benar-benar menyebalkan. “Sudahlah kita berdua saja. Ayo, rombongan sudah mulai jauh.” Kedua gadis itu berjalan agak jauh dari rombongan pengantar jenazah, memasang jarak aman agar tidak ketahuan. Sesekali Ara dan Dinda bersembunyi di balik rindangnya pepohonan desa, Ara sangat menyayangkan ketika mengetahui bahwa desa ini terjangkit kasus tak manusiawi. Rombongan itu mengarah ke jalanan sempit, bukan ke arah makam desa. Ara mengernyitkan dahi, kenapa jenazah itu tidak di kebumikan di tempat pemakaman umum biasanya. “Din, ini bukan arah menuju pemakaman desa.” Bisik Ara pada Dinda. “Lalu?” Ara menggeleng. “Entah lah, kita terus ikuti saja.” Jalanan sempit yang tanahnya di penuhi oleh lumut licin membuat siapapun yang melewatinya harus ekstra hati-hati, samping kanan kirinya di tumbuhi oleh semak belukar serta rumput yang tingginya mencapai ukuran pundak orang dewasa. Ara menunduk dalam langkahnya, gadis itu tidak berani toleh menoleh karena saat ini dirinya seolah di kepung oleh makhluk yang hanya bisa ia lihat. Beberapa kali Ara mendapati sosok-sosok mengerikan berada di dekatnya, seolah ingin menerkamnya namun terhalang oleh sesuatu. Sulur-sulur tanaman tak kasat mata hampir berhasil menjerat kakinya, namun selalu gagal. Ara bisa melihatnya, tidak dengan Dinda. Itu lah yang menyebabkan Ara diam menyembunyikan ekspresinya, agar Dinda tidak ketakutan. “Ugh.” Dinda hampir terpeleset karena tak sengaja menginjak sulur itu, Ara dengan sigap meraih lengan Dinda agar tidak terjerembab ke bawah. Sekarang Ara tahu satu hal, sulur itu memang tidak berhasil mengenainya. Namun, bisa menjerat kaki Dinda. Bagaimana bisa? Padahal ia dan Dinda sama-sama berjalan melewati sulur itu, tapi hanya Dinda yang kena. Dengan begitu, Ara memegang tangan Dinda kuat-kuat untuk bisa menahan tubuh Dinda agar tak terkena jeratan sulur. Syukurlah cara itu berhasil. Semakin Ara bersentuhan dengan kulit Dinda, maka sulur itu tidak bisa mengenai Dinda. “Terimakasih, kak.” Ujar Dinda, Ara mengangguk sambil tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanan yang semakin lama terasa seperti menembus hutan belantara. Sampai akhirnya rombongan itu berhenti tepat di salah satu tanah yang sudah tergali, mereka meletakkan jenazah anak kecil itu di dalam sana. Ara melihat jika prosesi pemakaman tidak seperti yang ia lihat sebagaimana umumnya, jenazah hanya di letakkan di dalam galian lalu di kubur, tanpa ada doa-doa ataupun membuka tali kafannya. Bulu kudu Dinda dan Ara meremang, sekitarnya terasa sesak namun juga sepi. Ara menoleh ke samping, di sana ada sosok anak kecil yang baru saja di kebumikan. Anak itu menatap Ara dengan tatapan sayu, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan. Jari-jemari Ara meremas tangan Dinda secara tak sadar, membuat gadis itu memekik. Seolah tersadar, Ara menatap Dinda yang saat ini juga menatapnya. “Kenapa, kak?” Tanya Dinda, menatap Ara yang berwajah pucat pasi. Ara buru-buru menggeleng, ia menormalkan eskpresinya lalu kembali menoleh ke tempat tadi. Kosong! Kali ini ia tidak berhalusinasi, hanya Ara yang melihat anak itu tadi. “Kak, ayo kita pulang. Warga yang lain sudah pergi, aku merasa merinding berada di sini.” “Ha? Ah iya, kita pulang.” Jawab Ara linglung, ia masih bingung dengan penampakan anak kecil yang memperlihatkan dirinya tadi. Sekali lagi Ara menatap ke arah gundukan tanah yang masih terlihat baru, matanya membulat terkejut. Ya, di sana ia mendapati anak itu berdiri memandangi makamnya sendiri, tubuh Ara menegang. Dinda yang juga melihat ke arah itu hanya berekspresi biasa saja, seolah tak ada siapapun yang berdiri di samping makam. Matanya menyipit ketika netranya bertubrukan dengan netra anak itu, memasang wajah sedih yang amat kentara. Bibirnya bergumam tanpa suara, hembusan angin bahkan lebih terdengar keras di banding suara bocah laki-laki itu. Satu yang pasti, Ara bisa melihat gerak bibir yang mengucapkan suatu kata. TOLONG.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN