Sore harinya Ara mendapati kakeknya yang baru pulang, sekedar berbasa-basi ia menanyakan apa kepentingan Utomo dengan Andi. Tentu saja Ara mendapati sebuah kebohongan dari kakeknya, tapi Ara berpikir positif bahwa kakeknya tidak mau melihat cucunya itu ketakutan.
Faktanya, Ara memang cukup takut.
Otaknya terus terngiang kejadian tadi, tapi kenapa tidak ada pihak berwajib yang datang untuk mengotopsi jenazahnya. Seolah warga desa ini sepakat untuk menyelesaikan kasus ini secara tertutup, apa jangan-jangan ini adalah hal biasa bagi warga desa.
Ara memang tahu jika tidak ada tanda-tanda warga desa yang ingin melaporkan kepada polisi, tapi apa alasan yang mendasari? Bukankah kejadian tadi sudah termasuk dalam tindak kriminal.
Walau begitu Ara tidak bisa mengoreknya lebih dalam, tak mungkin juga ia menanyakan pada Utomo yang jelas-jelas menyembunyikan hal ini darinya. Sebelumnya ia ingin bertindak gegabah dengan menghubungi kakak temannya yang seorang polisi, bahkan Ara sudah memanjat dahan mangga agar mendapatkan sinyal terbaik, tapi ia urung melakukan itu.
“Kamu masih ingat pesan kakek, kan?” Tanya Utomo, kini kedua orang itu sedang duduk di ranjang Utomo yang penuh anyaman rotan. Ara sengaja mendatangi kakeknya berniat mencari tahu, tapi sayangnya Utomo tidak mau berkata jujur.
Ara berpikir sejenak tentang pesan Utomo, ah ya pesan yang malam itu sempat dibicarakannya.
“Ara ingat kek.” Jawab gadis itu yakin.
Utomo menganggukkan kepalanya, ia tahu cucu perempuannya ini lebih jenius di banding adiknya. Haruskah Utomo mengatakan sejujurnya tentang kisah kelam desa ini, atau menutupinya dengan rapat agar cucunya tidak ketakutan.
“Bagus, selalu tanamkan pesan itu kapan pun.”
Ara menghela napas kasar, di pikirnya Utomo akan sedikit saja memberinya sebuah cela untuk bisa mengetahui seluk beluk kejadian tadi. Ara harus benar-benar bersabar, tapi keinginannya sudah kuat.
Ia juga mengkhawatirkan Utomo jika kejadian tadi menimpa orang tua itu, ia jadi ingat pada gerutuan Aris sepanjang jalan sebelum sampai di sini. Mengapa kakeknya tidak mau pindah saja bersama anak dan cucunya di kota, apalagi desa ini sudah tidak aman. Utomo selalu kekeuh menolak ajakan Amina dan Hardi agar pindah ke kota, padahal kedua anak dan menantu itu lebih bisa leluasa merawat Utomo jika tinggal satu rumah.
Setelah perbincangannya tadi Ara memutuskan untuk keluar dari kamar Utomo, berakhir lah ia di sini—duduk termenung dengan tangan menopang dagu. Jika benar buku itu bukan di tangan Utomo, maka ia harus lebih jeli mencari benda itu yang mungkin saja terselip di sudut-sudut kamarnya.
Beberapa saat lamunannya buyar karena Dinda datang dengan membawa dua piring mi instan di tangannya, dari aromanya saja dapat membuat perut Ara bergejolak minta di isi.
Ia baru ingat bahwa terakhir kali ia makan adalah saat pagi sebelum memutuskan mengikuti kakeknya, siang tadi ia bahkan belum memasukkan makanan atau minuman sama sekali.
Gadis itu duduk di depan Ara, lalu menyerahkan makanan itu. “Makan kak, aku sengaja memasakkannya untukmu.”
Ara mengangguk sambil berterimakasih, ada untungnya juga Dinda bisa memasak walau hanya sekedar mi instan, yang penting gadis itu tidak semanja saat di rumah.
“Aku mendengar ada kasus pembunuhan yang terjadi di desa ini, korbannya anak kecil berusia sepuluh tahun.”
Baru saja Ara ingin menyuapkan sesendok mi yang aromanya menggoda, ia di kejutkan dengan ucapan Dinda.
“Kamu tahu darimana?” Tanya Ara menyelidik, ia manatap Dinda dengan seksama.
Sedangkan yang di tatap sedang menyuapkan sesendok mi goreng ke dalam mulutnya.
“Tetangga sebelah, mereka bilang bahwa kejadian seperti itu sudah biasa terjadi di sini.”
Ara memincingkan matanya, ia mendengar ucapan Dinda dengan baik.
“Kamu tidak takut?” Tanya Ara, yang di balas gelengan kepala oleh Dinda.
“Sama sekali tidak, aku malah ingin mencari tahu penyebabnya.” Ujar Dinda enteng, membuat Ara terbengong mendengar ucapan sepupunya.
Ya, walaupun Dinda bersikap manja, tetapi jauh di lubuk hatinya ia memiliki rasa penasaran tinggi. Darah orangtuanya yang memiliki kemampuan penyedia jasa keamanan mengalir dengan baik di tubuh anak semata wayangnya, sering kali Dinda mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrim yang tentunya dapat membahayakan nyawanya.
Ara akui, mental dan keberanian Dinda jauh lebih besar di banding dengan dirinya. Sifat manja berlebihan serta kekanakan Dinda di tunjukkan ketika ada kedua orangtuanya, karena Dinda merasa bahwa orangtuanya hanya sibuk bekerja tanpa bisa memberikan kasih sayang pada anaknya.
“Kamu yakin?” Tanya Ara ragu.
“Tentu saja, apalagi ketika aku menemukan benda ini.” Dinda mengeluarkan suatu benda dari dalam saku celana, benda itu di gulung rapi.
Ara membulatkan matanya, itu benda yang ia cari-cari sedari kemarin.
“Dimana kamu menemukannya? Buku itu milik kakek, serahkan pada ku.” Ara memberondong kalimat-kalimatnya pada Dinda, lalu dengan cepat merebut buku itu dari tangan gadis di hadapannya.
“Aku menemukannya di bawah kolong sofa kamarmu, saat aku menggeser sofa lalu benda itu jatuh ke bawah.”
Ara mengangguk mengerti, mungkin saja benda itu terselip di antara dinding dan sofa. Ia memang tidak sempat menggeser sofa saat mencarinya, untung saja ketemu!
“Aku sudah membacanya.” Ujar Dinda.
“APA?”
Ara merengut tidak suka, Dinda tetap lah gadis yang menyebalkan. Seharusnya ini menjadi rahasianya dengan Aris, tapi sudah ada yang tahu mengenai buku itu selain mereka berdua.
Ya sudahlah!
“Santai saja, tidak perlu ngegas. Aku tidak akan menceritakannya pada siapapun, termasuk kakek Utomo.”
“Sampai mana kamu membaca buku ini?” Tanya Ara, ia menyuapkan sesendok mi goreng ke dalam mulutnya.
“Semuanya.” Jawab Dinda, Ara memelototi anak itu. Benar-benar lancang, Ara mendengus kesal.
Dinda meletakkan sendok di piring kosong yang telah tandas tak tersisa, ia menatap Ara dengan seksama sebelum mengatakan ide gilanya.
“Ayo kita cari tahu kisah desa ini, aku tertantang melakukannya.”
Ara memelotot galak. “Jangan mencari masalah, rasa penasaran mu bisa membunuh mu.”
Terdengar hela napas pelan dari Dinda.
“Aku tidak mencari masalah, kak. Apa kamu tega melihat anak sekecil itu menjadi korban ambisi orangtuanya agar mendapatkan apa yang mereka inginkan?”
“Maksudmu?” Tanya Ara bingung, ia tidak mengerti ucapan Dinda.
“Bisa ku tebak, pasti kamu belum membaca buku ini sampai selesai.”
Ara menganguk cepat. “Memang, buku ini terlebih dulu hilang sebelum aku membacanya sampai selesai. Tapi tunggu— apa maksud mu tentang anak yang menjadi korban ambisi orangtuanya?”
Jentikkan tangan Dinda membuat Ara semakin bingung. “Baca buku ini sampai selesai, setelah itu kamu akan mengerti maksud ku.”
Setelah itu Dinda mengembalikan piring kotornya ke dapur, meninggalkan Ara hanya diam, ia mencerna setiap ucapan Dinda. Misteri ini semakin membuat kepalanya berdenyut bingung, sepertinya memang ada yang tidak beres dengan desa ini. Gadis itu mengerjapkan mata, membawa buku itu ke dalam kamarnya untuk di baca nanti.
Selain itu ia harus memberi tahu adiknya bahwa buku ini sudah ditemukan.
---
Malam harinya ketiga remaja itu kumpul di kamar Ara, sesaat setelah di beri tahu kakaknya bahwa buku itu telah di temukan, dengan semangat Aris mendatangi kamar kakaknya setelah memastikan bahwa Utomo telah tidur tentunya.
Dinda yang memang tidur dengan Ara juga sudah duduk di tepi ranjang, melihat dua kakak beradik sedang membaca halaman demi halaman buku.
Ketiganya menahan kantuk yang menyerang, tapi memutuskan agar bacaan mereka tuntas hingga malam ini. Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua dini hari, pertanda bahwa saat ini benar-benar larut malam.
“Ya tuhan, bagaimana mungkin.” Lirih Aris yang sedang membaca deretan huruf di sana.
Ara membuka halaman terakhir dengan mata yang di kucek berharap agar bisa menahan kantuknya, matanya mulai membulat terkejut tak menyangka jika tempat seindah ini mempunyai sejarah kelam.
Ia menyandarkan tubuhnya di kepala sofa, ia bisa melihat ekspresi yang di tunjukkan dua manusia lain di kamarnya. Aris dengan wajah keterkejutannya, dan Dinda dengan wajah seriusnya.
“See, kalian sudah tahu bagaimana sisi kelam dari desa ini.”
Baik Aris maupun Ara hanya diam mematung, sesekali mengangguk mendengar ucapan Dinda.
“Jadi, apa kita harus melakukan sesuatu?” Tanya Aris, ia mendongak menatap Ara dan Dinda bergantian.
“Tentu.” Jawab Ara dan Dinda bebarengan, nampak kental keyakinan di antara dua gadis itu.