6

1096 Kata
Kemarin sore Dinda benar-benar datang ke desa, gadis seumuran Aris itu membawa banyak barang-barang mewah seperti akan berpiknik saja. Aris yang kebagian membawa koper dan barang-barang Dinda menggerutu sebal, anak manja itu benar-benar menyusahkan Aris bahkan di hari pertamanya disini. Saat ini ketiga remaja itu duduk di ruang keluarga, televisi menjadi hiburan mereka sekarang. Sinyal ponsel yang sulit di dapat menjadikan ketiganya melupakan benda canggih itu, apalagi Dinda yang sedari tadi mengeluhkan hal ini. Televisi sedang menyiarkan tentang acara berita pagi hari, Ara menonton dengan seksama. Berbeda dengan Aris yang sesekali memainkan game offline, atau Dinda yang berdandan dengan make up tebalnya. Suara gaduh dari halaman depan mengganggu aktivitas mereka, Ara dengan sigap berjalan ke depan. Di sana ada beberapa orang yang merupakan tetangga samping rumah Utomo sedang berjalan tergesa, beberapa saat Ara mendapati seorang pemuda yang berjalan menuju rumah kakeknya. Pemuda itu adalah orang yang sama sekali tidak ingin di lihat oleh Ara, ia adalah Andi. Ketika sudah berada di hadapannya, Andi menatap Ara sejenak sebelum mengatakan apa tujuannya. “Panggilkan kakek Utomo.” Pinta Andi dengan gamblang, bahkan tak ada kesan ramah yang di tunjukkan. “Ada urusan apa sama kakek?” bukannya menjawab, Ara kembali bertanya. Andi mengernyit tidak suka, wajahnya yang datar semakin bertambah dingin. “Bukan urusan mu.” Tandasnya. Tentu saja membuat Ara ingin menyumpah serapah pria di hadapannya. Baiklah itu memang bukan urusannya, tapi ia tidak mau membahayakan Utomo jika dekat-dekat dengan Andi. “Cepat panggilkan!” "TUNGGU SEBENTAR, TUAN PEMAKSA." Sarkas Ara yang sama sekali tidak menunjukkan keramahannya pada tamu, ia tidak sudi beramah tamah pada pria di hadapannya ini. Ara segera beranjak untuk memanggil Utomo. Bukan karena takut pada tatapan menusuk dari Andi, tapi karena ia ingin tahu mengapa pria itu mencari kakeknya. Meninggalkan Aris yang menatap punggung Ara dengan tersenyum miring. “Tidak berubah.” Gumamnya pelan. Sedangkan Ara di dalam rumah sedang mencari keberadaan Utomo, dilihatnya orangtua itu sedang berkutat dengan anyaman rotan yang akan di jadikan kipas tradisional. Ara jadi tidak tega jika harus mengganggu kakeknya, ia benar-benar menambah rasa tidak sukanya pada Andi itu. Utomo tersenyum mendapati cucu perempuannya masuk ke dalam kamar, dilihatnya Ara berjalan menuju ke arahnya. “Ada Andi menunggu kakek di depan.” Ujar Ara. “Eh ada nak Andi? Baiklah kakek akan segera menemuinya.” Ucap Utomo dengan tergesa berdiri dari duduknya, ia meletakkan rotan yang tadinya berserakan di pangkuannya. Ara yang melihat itu hanya diam memperhatikan, begitu semangatnya Utomo ketika bertemu dengan Andi. Gadis itu mengekori kakeknya sampai di pintu depan, ia akan menguping pembicaraan keduanya. Jika terjadi sesuatu pada kakeknya, maka dengan sigap Ara akan memukulkan balok kayu yang di pegangnya pada Andi. Ara merapatkan tubuhnya ke tembok, telinganya di pasang baik-baik untuk menguping pembicaraan kakeknya dengan Andi. Sedangkan kedua tangannya memegang balok kayu kuat-kuat, sebagai antisipasi. “Ada korban lagi kek, kali ini anak itu di temukan di sekitaran sungai.” “Kita tidak bisa tinggal diam, mereka memang keterlaluan." "Ayo kita kesana." Begitulah yang di dengar Ara, setelahnya ia mendapati Utomo berjalan menjauh dengan di pegangi oleh Andi. Ara berinisiatif membuntuti keduanya, ia penasaran dengan korban apa yang dimaksud. Diletakkannya balok kayu yang sedari tadi di pegang, Ara berjalan ke depan rumah untuk mengekori Andi dan kakeknya. Baru satu langkah ia menapaki halaman, sebuah suara menginterupsi. “Kak Ara, mau kemana?" Seru Dinda dengan suara cemprengnya, Ara mengumpat dalam hati. Semoga saja Andi atau kakeknya tidak mendengar suara Dinda, dilihatnya Andi dan Utomo sudah jauh di depan. “Aku ada urusan sebentar, kamu di rumah saja.” Setelahnya Ara berlari pelan agar tidak tertinggal, meninggalkan Dinda yang mengernyit heran. Ara mengendap-endap di belakang kedua orang yang di ikutinya, untung saja ia tidak kehilangan jejak. Tentu saja Ara memasang jarak aman, agak jauh dari Andi yang berjalan di depannya. Terlihat Andi masih setia memegangi Utomo dengan sabar, pemuda itu membantu memapah tangan dan bahu Utomo agar lebih mudah berjalan jauh. Walau begitu tidak serta merta membuat Ara kagum, tidak sama sekali. Ara bersembunyi di balik semak-semak, ia sudah mirip seperti penguntit ulung sekarang. Sedangkan jauh di depan sana kedua orang itu berbelok ke arah tempat yang di ingat Ara dengan baik, membuat Ara mengernyit bingung. “Sungai?” Ara berpikir, jangan-jangan Utomo akan di celakai oleh Andi dengan membawanya ke sungai. Bergegas membuat Ara semakin menambah kecepatan langkah kakinya, tapi ia tetap berhati-hati agar tidak gegabah. Dari atas sungai sudah terlihat banyaknya orang yang sedang mengerumuni sebuah entah apa itu, Andi dan Utomo bahkan di beri ruang ketika mendekatinya. Saat itu Ara bisa melihat dengan jelas di antara kerumunan orang yang memberikan celah Utomo untuk mendekat, ia mendapati seonggok tubuh kecil terbujur kaku disana. JENAZAH. Gelenyar aneh menjalar di tubuh Ara, ia merasa menggigil di seluruh tubuhnya. Mengetahui bahwa ada kasus kematian di tempat favorit yang selalu ingin di kunjungi adalah sebuah ketakutan yang cukup membuatnya berdiri gemetar. Disana terlihat Andi sedang membuka tasnya yang berisi perlengkapan khas dokter, Ara tak tahu pasti apa saja namanya. Yang ia fokuskan adalah saat matanya tak sengaja menangkap benda bergerak yang mulai perlahan terbentuk menjadi bayangan hitam berdiri tak jauh dari kerumunan itu, sosok itu keluar dari derasnya arus sungai. “Ya tuhan, apa itu.” Kaki Ara melemas seperti jeli, tubuhnya semakin bergetar ketika sosok itu menatap tepat pada korneanya. Terbukti bahwa ia atau sosok itu sama-sama bisa melihat satu sama lain, mata itu seakan menancapkan sebuah belati yang mampu melukai mata Ara. Segera ia memalingkan wajah, mengambil pasokan udara sebanyak-banyaknya. Itu hanya halusinasi mu Ara. Bukan, itu bukan hantu. Seorang Ara tidak percaya hantu! Berkali-kali ia merapalkan kalimat itu bagaikan mantra, dengan perlahan ia menoleh ke tempat tadi. Kosong. “Ya, aku hanya berhalusinasi.” Gumamnya, ia menghapus peluh di dahinya. Kembali menatap kerumunan orang yang terlihat meletakkan sebuah tandu yang ia yakini untuk membawa jenazah anak kecil itu, Ara bergegas pergi dari tempatnya berdiri. Ia tidak ingin di lihat oleh oranglain, apalagi jika itu adalah kakeknya atau Andi. Sepanjang perjalanan ia masih memikirkan kronologi kejadian yang menimpa anak itu, betapa malangnya anak sekecil itu mati terbunuh. Ara memikirkan bagaimana nasib orangtuanya, pasti mereka sangat sedih melihat anaknya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Di sisi lain, ia juga memikirkan siapa sosok bayangan yang muncul dari dalam air sungai. Ia sudah menanamkan persepsi di otaknya bahwa itu hanya halusinasi, tapi tetap saja Ara kepikiran terus menerus. Sampai di dalam rumah, Ara hanya duduk melamun disana. Ia tersenyum kecut, keadaannya sudah seperti Aris saat itu. Bahkan ia menertawakan adiknya, benar-benar kejadian tadi membuatnya syok. Apa jangan-jangan makhluk tadi juga turut andil dalam meninggalnya anak kecil itu? bagaimana mungkin, sangat tidak masuk akal di zaman seperti sekarang. Tapi Ara sempat mendapati makhluk itu tersenyum sinis menatap jenazah anak kecil yang terbujur kaku, seakan puas dengan hal yang di alami anak malang itu. Kejadian tadi sangat-sangat membuat kepala Ara penuh dengan teka-teki yang harus di ungkap, seakan ada benang merah yang menghubungkannya. Saat-saat seperti ini ia teringat dengan buku kuno yang sempat di bacanya, sayang sekali buku itu hilang entah kemana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN