Tertusuk

1954 Kata
Malam indah tapi langit hanya ditutupi mendung. Bintang-bintang yang setiap hari bertebaran menjadi aksesoris langit malam, kini tidak ada satu pun yang muncul. Melodi terus melihat ke arah langit malam dari kamarnya. Meski cahaya bulan semakin redup, Melodi tidak ingin melewatkan sisa keindahan dan ketenangan yang tersisa di malam itu. Melodi sungguh tersiksa seperti ini, dia bukan hewan peliharaan yang harus menuruti apa mau ayahnya. Melodi juga ingin keluar, menghirup udara bebas. Tapi apa daya, ayahnya juga menunggu di depan teras sedari sore semenjak teman-teman Melodi mencoba membebaskan. Melodi merenung di dekat jendela dan menyentuh teralis besi yang menutupi jendelanya. Teralis itu sama seperti Melodi. Kuat tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa menunggu sampai seseorang melepaskannya dari ikatan jendela. Sama seperti Melodi yang terus berharap agar keluar dari hidup yang seperti ini. Tiba-tiba, saat Melody hendak berbalik menuju kasurnya, ada ketukan di jendela kamarnya. Awalnya Melody kira itu hanya rintikan air hujan yang menyentuh kaca jendela, namun lama-kelamaan semakin kerap dan keras. Melodi berbalik dan terkejut saat matanya menemukan Bian yang ada di balik jendela itu. Dengan gesit, Melodi mencoba mencari sesuatu di lacinya untuk mencongkel jendela. Namun, Melodi hanya menemukan raket nyamuk. Dia mendengus pasrah. Dia kembali ke dekat jendela agar Bian bisa mendengar suaranya. "Bi, nggak ada alat buat nyongkel jendela," kata Melodi keras. Bian mengangkat besi yang dibawanya. Senyum Melodi mengembang setelahnya. Ternyata Bian sangat cerdik. Dengan sekuat tenaga, Bian mencoba mencongkel jendela menggunakan besi yang ia bawa. Setelah usaha yang cukup lama, akhirnya dia berhasil. "Mel, cepet keluar!"  Melody menurut, dia keluar dari dalam kamar dengan tangannya dipegang Bian agar tidak jatuh. Melodi berhasil keluar dari kamarnya tanpa sepengetahuan ayahnya. Bian berhasil membawa Melodi naik ke mobil bersama ARION. Mereka akan pergi sebentar untuk menyelesaikan masalah ini. ***** Kafe Gema sengaja dibuka sampai malam hanya karena ARION dan Bian ingin menyelesaikan masalah yang sedang Melodi hadapi. Bagimanapun juga ayah Melodi tidak bisa menggantungkan hidupnya pada Melodi. "Kita laporin ke perlindungan anak gimana? Atau ke polisi?" usul Rey yang berusaha menemukan solusi. "Jangan Rey!" Melodi tidak mau ayahnya masuk penjara. Seberapapun kasar ayahnya, Melodi tidak mau hal itu terjadi. "Terus ada solusi apa lagi?" tanya Sera. Melodi menunduk dan terpaksa mengucapkan ini, "anterin gue balik aja. Gue yakin ayah pasti nggak akan nyakitin gue." "Tapi Mel," protes Bian. "Gue lebih sakit lagi kalau kalian masukin orang tua gue ke penjara." Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa melarang Melodi. Ini adalah mau Melodi, yang artinya gadis itu sudah mempertimbangkannya. "Biar Bian aja yang nganter lo Med," putus Gema pada akhirnya. "Sekalian jalan berdua," goda Leron. Sejurus kemudian, para cowok bertos ria. "Dasar cowok!" seru Sera dan Melodi bersamaan. ***** Melodi baru saja tiba di rumah dan ayahnya sudah menunggu di depan pintu. Ayahnya semakin marah karena melihat Melodi diantar Bian, cowok yang sama sewaktu mengantar Melodi dari kebun belimbing. Melodi berharap agar Bian tidak menemui ayahnya dan langsung  pulang. Tapi cowok itu cukup keras kepala sama seperti dirinya. "Bi, udah." Tapi Bian malah terus mencoba mendekati ayah Melodi. "Siapa kamu? Berani-beraninya bawa kabur anak saya!" "Saya Bian, pacar Melodi. Saya tidak membawa kabur Melodi, tapi saya menyelamatkannya," jawab Bian tegas. "Menyelamatkan dari apa? Dari saya? Saya itu ayahnya Melodi. Jangan ganggu anak saya! Pergi kamu!" Ayah Melodi mencoba mengusir Bian, tapi dia tetap bertahan. "Kalau Anda sayang Melodi dan tidak ingin Melodi terluka, kenapa Anda malah membuatnya tersiksa? Anda itu ayahnya, Anda berhak membuat Melodi bahagia. Saya tidak tega melihat orang yang saya sayang menderita. Kalau diizinkan, lebih baik Melodi ikut saya saja." "Dasar!" Tangan ayah Melodi hampir saja menyentuh wajah Bian, tapi Melodi berhasil menghentikannya. "Anda boleh menyakiti saya, tapi tidak dengan orang lain!" Lawan Melodi. "Maaf kalau semua tingkah saya membuat anda sakit hati," kata Bian kepada Ayah Melodi. "Pergi kalian!" Usir ayah Melodi. "Saya akan pergi jika dengan Melodi juga. Saya tidak mau Melodi kembali Anda pukul," tegas Bian. Namun ayah Melodi malah menyeret Melodi, dan itu membuat Bian semakin geram. Bian berusaha melepaskan Melodi agar tidak kembali dikurung. Namun, berkali-kali juga ayah Melodi mencoba menggagalkannya. Sampai akhrinya, Melodi berinisiatif untuk menginjak kaki ayahnya. Reflek, ayah Melodi melepaskan cekalannya. Melodi dan Bian memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur. Tapi terlambat, ayah Melodi menarik rambut Melodi. "Bi!" Bian berbalik dan membantu Melodi supaya bisa terlepas. Ayah Melodi sudah tidak tahu lagi mau berbuat apa agar Bian pergi. Dia mengambil pisau bekas untuk memotong kukunya di meja yang masih dalam jangkauannya. "Bi, awas!" Bian menghindar ketika ayah Melodi berusaha untuk melukainya. "Kamu keluar Mel, bahaya!" Melodi tidak mau Bian kenapa-napa. Melodi tidak ingin meninggalkan Bian. "Nggak Bi, nggak akan!" Bian menoleh ke Melodi dan sesuatu yang dingin menyentuh perutnya. Pisau itu berhasil menembus perut Bian. Di saat Bian lengah, ayah Melodi menusuknya. Sekarang tubuh Bian seperti mati rasa. Tidak meraskaan sakit, tapi darah terus keluar. Sedangkan ayah Melodi dia kabur entah kemana. Melodi yang tidak kuat menopang tubuh Bian akhirnya terjatuh. Bian jatuh di pelukan Melodi. Air mata Melodi jatuh seiring dengan tubuh Bian yang melemah. Melodi tidak mau kehilangan Bian, tidak karenanya. "Bi, bangun Bi." Melodi menepuk-nepuk pipi Bian, tapi cowok itu tidak kunjung membuka matanya. Air mata Melodi sudah membasahi puncak kepala Bian. Sama seperti darah Bian yang sudah mengotori pakaian Melodi. Apa yang harus dilakukan Melodi supaya Bian selamat? Bahkan untuk berteriak saja Melodi sudah tidak sanggup. Suaranya tercekat dan tidak mau keluar dari tenggorokan. Melodi memeluk tubuh Bian yang tidak kunjung bergerak, dia mengelus kepala Bian dan menenggelamkannya dalam pelukan. Bukan ini yang Melodi mau. Melodi tidak akan memaafkan dirinya jika terjadi sesuatu dengan Bian. Tangan Melodi menyentuh sesuatu di saku Bian. Handphone. Ya, Melodi bisa menggunakan handphone Bian untuk menghubungi ambulance dan ARION. Dengan tangan yang berlumuran darah, Melodi mencari kontak Gema. Mungkin Gema bisa membantu. Tapi setelah Melodi coba, nomor Gema sedang sibuk. Rey, ah iya dia mungkin masih bisa. "Rey ... Bian ... Bian, dia ..." "Kenapa Bian? Tenangin diri lo dulu Med, baru bicara." "Bian ditusuk sama ayah gue. Sekarang masih di rumah gue. Cepetan Rey, tolong Bian!" "Oke, lo cari cara lain supaya Bian nggak kehilangan banyak darah." Setelah Rey benar-benar memutuskan sambungan di telepon, Melodi meletakkan Bian di lantai. Dia berlari ke kamar dan mengambil kotak pertolongan pertama. Melodi tidak peduli lagi dengan penampilannya yang sudah berantakan dan kotor. Yang terpenting, luka Bian tidak menimbulkan infeksi atau kalau tidak bisa berbahaya. Melodi mengambil kasa dan alkohol, dia terpaksa harus membuka sedikit baju Bian yang terkena luka tusuk. Melodi membersihkan luka Bian, dia meringis, lukanya sangat parah. "Bi, tahan ya. Aku nggak mau kehilangan kamu, apalagi ini semua gara-gara aku," kata Melodi sambil terus membersihkan lukanya. "Mel," ucap Bian lemah. "Apa yang kamu rasain Bi? Sakit banget ya? Bentar lagi Rey datang bawa kamu ke rumah sakit. Kamu tahan ya Bi." Melodi berusaha terlihat kuat di depan Bian dan berusaha mengajaknya bicara terus. Padahal kalau bisa, Melodi ingin menghilang dari muka bumi karena telah menjadi musibah bagi orang yang dia sayang. Bian tidak bisa menjawab Melodi, matanya  membuka-menutup. Bian hanya mampu memegang tangan Melodi dengan sisa tenaga yang ia punya, Bian menggenggam tangan Melodi sebelum akhirnya genggaman itu terlepas dan Bian kembali tidak sadarkan diri. "Bi bertahan Bi, bertahanlah untuk gue." Melodi menciumi tangan Bian yang berlumuran darah. Terdengar bunyi gaduh dari luar. Rey dan sekelompok petugas medis datang dan mengangkat Bian ke ambulance. Sedangkan Melodi, dia ditenangkan oleh Sera dan Gema. Rey mengurus Bian, sedangkan Gema dan Leron mencari ayah Melodi bersama polisi. "Ser," "Husttt, Bian gapapa kok Bi. Bian kan kuat, ya kan Gin?" Serenata memberi kode ke Gina. Tapi Melodi bukan anak kecil, dia tau yang dimaksud tidak apa-apa itu berarti serius. "Ayo kita ke rumah sakit sekarang! Gue pingin nemenin Bian Ser." "Ganti baju dulu sama cuci muka Mel. Nanti yang ada di rumah sakit dokternya salah fokus ke lo. Ntar dikira lo lagi pasiennya." Gina mencoba membuat gurauan, tapi tidak mempan untuk Melodi. "Tunggu gue sebentar." Melodi masuk ke kamar dan berganti pakaian. Dia membawa beberapa uang tabungan jika diperlukan, juga ponsel Bian. Mereka bertiga pergi ke rumah sakit menyusul ambulance yang membawa Bian. Melody kalut dan takut. Dia tidak mau kehilangan orang yang ia sayang untuk kedua kalinya. Itu sangat menyakitkan. ***** Sampai sekarang, hampir pukul tiga pagi, dokter belum juga memindahkan Bian ke ruang rawat. Bian masih di ruang ICU. Keadaannya kritis, setidaknya itulah informasi yang Melodi ketahui sejauh ini. Selebihnya, tidak ada yang tahu. Kemajuan kesehatan Bian tergantung daya tahan tubuhnya dan mukjizat. Melodi sudah lelah berdiri, dia menunggu dengan duduk di kursi depan ICU bersama Gina dan Sera yang masih kuat berdiri. Hanya Rey, satu-satunya cowok yang menemani mereka. Leron dan Gema masih memburu ayah Melodi. Orang tua Bian juga sudah dihubungi sejak malam tadi, tapi karena mereka masih di luar kota, jadi sedikit memakan waktu untuk sampai ke rumah sakit. Melodi meremas baju yang ia kenakan. Melodi tidak sangggup menerima keadaan yang ia pikirkan sekarang. Semua akan menyalahkannya, Melodi tidak sekuat itu. Hatinya terlalu rapuh untuk menerima kenyataan pahit yang menumpahkan banyak air mata. "Melodi." Dinda tiba-tiba saja datang. Gadis itu memeluk Melodi dengan air mata yang terus merembes keluar. Hampir seperti Melodi, mata Dinda sudah bengkak sehabis menangis. Melodi tidak bisa merespon Dinda dengan cepat. Pikirannya kosong, pandangannya juga kosong. "Maafin gue Mel, gue terlalu egois. Gue terlalu mentingin kebahagiaan sendiri, gue nggak sadar kalau dibalik kebahagiaan itu ada banyak orang yang menjadi korban. Gue terlalu picik Mel." Dinda terus menangis dan memegang tangan Melodi. Berharap gadis itu segera membalas. "Sekarang lo ngerti sendiri kan Din. Ck, lo emang egois, tapi baru nyadar sekarang." Andai saja Sera jadi Melodi, dia sudah mengusir Dinda dari tadi. "Lo jangan gitu Ser, yang penting Dinda kan udah ngerti salah dia. Biarin dia berbenah diri, kasih kesempatan kedua," kata Gina yang tidak enak hati melihat rasa bersalah Dinda. "Lo nggak salah Din. Dalam cinta nggak ada yang salah. Kalau ada, semua orang bakalan salah juga. Kayak kita gini, sama-sama suka dengan satu orang," jawab Melodi datar. "Lo mau kan Mel maafin gue?" tanya Dinda sekali lagi. Melodi mengangguk. "Nggak akan ada yang bisa pisahin sahabat, apa pun itu, termasuk masalah hati kita." "Makanya, jangan sakitin temen lo lagi demi orang yang lo cinta. Belum tentu juga itu orang jadi suami lo ntar," sindir Sera. Mereka berpelukan, kembali seperti sahabat yang dulu. Akur dan tidak ada yang diperdebatkan.  Datang lagi beberapa orang yang Melodi tidak tahu siapa, tapi dia menebak mereka adalah orang tua Bian. Wajah Bian mewakili mereka. "Kalian temannya Bian?" tanya seorang pria paruh baya yang sebenarnya ayah Bian. "Iya, kami teman Bian. Kami yang membawa Bian kemari. Sekarang kondisinya masih kritis." Tangis mama Bian pecah lagi, anak satu-satunya sedang bertaruh nyawa di dalam sana, antara hidup dan mati. "Kenapa Bian bisa seperti ini?" tanya mama Bian disela-sela tangisnya. "Bian menyelamatkan saya." Melodi tidak tahu jawabannya ini akan diterima atau tidak. Tapi itulah kenyataannya. Jika orang tua Bian mau mneyalahkannya, Melodi terima. Jika mereka membencinya, Melodi tidak masalah. Asal Bian baik-baik saja, Melodi rela meninggalkannya jika orang tua Bian yang meminta. "Gara-gara kamu anak saya jadi begini! Pergi kamu!" Benar apa yang diprediksi Melodi, orang tua Bian membencinya. Melodi hanya menunduk dan terisak kembali. "Om, Tante, ini semua bukan salah Melodi. Ayahnya lah yang bersalah. Dia yang menusuk Bian. Mereka ingin pergi dari rumah Melodi, tapi ayah Melodi menghalanginya." Rey memberikan penjelasan kepada orangtua Bian yang semoga saja mereka bisa menerimanya. "Kami minta maaf ya Nak Meloiy, maafkan istri saya. Kami tidak bermaskud menuduh. Hanya saja kami sedang panik." Terang ayah Bian membawa sedikt kelegaan di hatinya. "Saya mengerti Om, Tante. Maafin saya juga." Dokter keluar dari ruangan. Dia memberitahukan kalau Bian sudah siuman dan mereka semua boleh masuk ke dalam. Hati Melodi kembali lega, setidaknya pikiran buruknnya sudah kalah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN