3. Harapan kosong

1139 Kata
. SARAPAN kali ini Dee tak bertemu Darrel. Bahkan Papanya tak menggubris setiap pertanyaan Dee tentang keberadaan kakak juteknya itu. Ditanya pun ke Ivo, wanita paruh baya itu juga hanya diam. Dee kesal. "Apa kalo sepotong memori yang aku ingat, hal itu akan membuatku mati, Pa?" tanya Dee tiba-tiba. Dee sudah tak peduli tentang wanti-wanti yang dijejalkan Juna sebelumnya. Sang Papa menatap putri satu-satunya itu. Redup. Namun rahangnya tetap mengatup rapat. Tak bergeming dari atensi awalnya. "God blessing to you, Dee." sahut kepala keluarga Damanik itu. "Ta--" "Dee," tangan Juna sudah mengelus bahunya. "Baiklah, kalian... sembunyikanlah rapat-rapat segalanya dariku. Pada akhirnya semua akan terkuak dengan sendirinya. Bau bangkai akan selalu tercium," Dee mendorong piring sarapannya. Ia beranjak, sebelumnya sempat mengangguk memberi hormat sekedarnya pada kedua orangtuanya. Disusul Juna yang telah menjajari langkahnya. "Dear, dengerin dulu. Aku mau tanya, emang ada apa sih? Hm? Kamu nggak mau ngomong sama aku? Aku orang asing?" Juna menarik tangan Dee dan menggenggamnya. Dee menatap lelaki di depannya. Ya, lo asing buat gue. Lo bukan Juna yang gue kenal, batin Dee. Setelah aksi mendiamkan suaminya itu beberapa hari, barulah Juna peka kalau dia mendiamkannya? Apa ini? Setelah Dee tak lagi mengganggu malam-malamnya atau sekedar menungguinya pulang. Sekarang Juna baru peka dan bertanya. Saat menyadari itu Dee ingin sekali tertawa. Juna beralih menangkup wajah Dee, seulas senyum dia berikan. Dee mengerjap. Bukan ini yang dia harapkan. Suaminya seolah memberi harapan namun kosong, tanpa isi, tanpa realisasi. Juna mengecup kening Dee. "Aku berangkat dulu ya? Nanti kita ngobrol lagi," Dee menghembuskan nafasnya kasar. Benar kan? Juna hanya memberinya harapan kosong? Seolah perhatian, tapi tetap meninggalkannya. Tetap saja pergi, tak peduli. Bukannya dia sendiri yang mengatakan secara tersirat kalo Dee harus terbuka? Agar dia mau bicara. Tapi lihat, dia malah pamitan untuk pergi. "Pergilah. Dan... next, kumohon nggak usah nanya ada apa denganku. Berlagak perhatian, dan sok merasa dianggap orang asing. Bukankah itu kamu? Kamu yang nganggap aku orang asing, kan Jun?" Juna tercekat di tempatnya. Dia tak mengira Dee sepagi ini juga membahas hal yang sangat dihindarinya. "Kamu sekarang berbeda. Pergilah. Sebelum aku nuntut yang macem-macem dan bikin kamu makin senewen," tukas Dee. Dee berbelok, menaiki tangga menuju kamarnya. Juna diam. Tapi kemudian dia menyusul Dee dan menarik gadis itu dalam pelukannya. "Aku nggak maksud, Dee..." bisiknya. Dee mengangguk. Ya, Juna memang tak pernah bermaksud buruk terhadapnya. Tapi tetap saja, ada yang Juna sembunyikan darinya. Dee merasa terasing. Buliran itu lolos dari pertahanannya. "Sstt..." Juna membawa Dee masuk ke kamar. Mendudukkannya di tepi ranjang. "Liat aku, Dee..." Juna menyentuh dagu Dee. "Ada apa sama kita, Jun?" tatapnya. Mereka beradu tatap. Hembus nafas beraroma mint itu, membuat Dee mendadak kelu. Dee merasakan kecanggungan itu. Walau mata itu menatap dirinya, dan tangan lelaki itu kini menangkup wajahnya, Dee masih merasakan hal lain. Seolah semua itu drama! Juna mendekatkan wajahnya, mencoba membangun kemistri dengan sahabat sekaligus istrinya itu. Mencoba mengikis prasangka dari pasangan hidupnya selama kurang dari setahun ini. Mencoba mengikis jarak yang sebenarnya dia ciptakan sendiri dengan dalih untuk melindungi gadisnya itu. Untuk Juna, Dee-nya tak pernah berubah. Baik itu status maupun posisi gadis itu dihatinya. Keadaanlah yang memaksa Juna harus melakukan diluar keinginannya. Dan itu pun semua demi Dee. Dee terlalu terpesona akan apa yang dilakukan Juna padanya. Ini yang pertama. Seingat Dee. Pertama? Kilasan bayangan berupa slide dan puzzle tentang ingatan masa lalunya, menahan hasrat Dee untuk melanjutkan keterpesonaannya. Ini semu, ingatnya. Dee melepas tautan di bibir Juna. Menyentuhnya. Menatapnya. Lelaki yang kini menatapnya penuh damba, mengulurkan tangannya, mengusak rambut gadisnya. Tersenyum. "Makasih, udah ngasih ciuman pertama kita." ucap Dee. Reaksinya mungkin berlebihan andai saja Dee memperhatikan. Betapa Juna terlihat terkejut dengan mata yang membola. Ciuman pertama katanya... Juna mengulum bibirnya. Kembali tersenyum. "Udah ya, aku pergi. Nanti, nanti kita bicara." ujarnya. Dikecupnya pucuk kepala gadis itu. "I'm wait," sahut Dee. °°° Juna melangkahkan kakinya memasuki lift gedung itu. Di atas sana, dia yakin kedua lelaki tua itu tengah menantinya. Juna tersenyum pahit. Sekejap matanya memejam, mencoba menghimpun kekuatan untuk hatinya agar tak terluka lagi. Dia harus kuat demi Dee. Benar saja dugaannya. Dua lelaki itu tengah berdiri memandangi jendela besar diujung lorong kantornya. "Kau baru datang?" tanya ayahnya. Juna mengangguk,"Dee--" Lelaki tua itu mengangguk paham. Tangannya menepuk bahu Juna. "Dee nggak akan tinggal diam, kita sangat tahu sifat keras kepalanya itu." kata lelaki satunya lagi, Damanik. Papa Dee. Ananta terkekeh,"Anak itu... ck, seberapa berat beban yang harus ditanggungnya? Tetap saja, terlihat kuat, tegar. Damanik sekali," "Ya, makanya kumohon padamu, Jun. Usahakan, lindungi Dee. Papa tahu, kau tak nyaman dengan semua ini. Ayah tahu apa dan siapa yang kau harapkan. Maaf, sudah melibatkanmu sejauh ini Jun." Juna mengangguk,"Sejak awal pun aku sudah terlibat Pa. Yang kupikirkan cuma Dee. Nggak ada yang lain," "Bagus, bagus...." kini ayah mertuanya yang menepuk-nepuk bahunya. "Lalu gadis itu?" Ananta menyelidik. Juna diam. Lalu, "Biar aku urus, Yah." "Masalahnya, Darrel. Dia mulai memberikan stimulan-stimulan aneh pada Dee. Dia pikir kalau Dee mengingat semua apa akan berakhir baik? Oh ya, apa Dee menanyakan sesuatu padamu?" Juna menggeleng. Juna mendengus. Arres. Pedih hatinya kembali mengingat nama lelaki itu. Dia harus bersiap-siap, Dee bisa saja tiba-tiba bertanya tentang sosok itu. Juna harus punya jawaban. Inilah salah satu alasan yang membuat Juna harus menghindar dan pergi di saat Dee terlelap. Dee yang selalu bermimpi buruk dan semuanya tentang Arres. Bagaimana dia bisa hidup tenang, berjalan melenggang tanpa rasa bersalah sedikit pun? Dee tak akan pernah tahu sesakit apa itu. Dee tak akan pernah tahu bagaimana dia menahan semua rasanya. Dee bukan miliknya. Dee milik Arres. Selalu. "Jun, segera selesaikan semuanya. Atau... tinggalkan Dee. Itu pilihanmu," ucap Damanik. Matanya meredup. Meninggalkan Dee? Apa bisa? Seorang pria yang dipegang adalah janjinya. Juna tak mau mengingkari janjinya. Bila Juna menyegerakan keusaian hubungannya dengan gadis satunya lagi, bukan hal mustahil. Dia bisa melakukan itu tapi setelahnya, bisa dipastikan dirinya tinggallah nama saja. Dirinya bukan seorang pengecut yang takut mati. Melainkan pengecut sekaligus pecundang yang tak bisa mengakui perasaannya karena satu dan lain hal. Salah satunya adalah Jennie. Jennie. Juna mengusap wajahnya. Gadis itu kesalahannya. Dia yang tak sengaja menghadirkan Jennie di sana, dulu, yang sedianya sebagai pelengkap objek penderita, sebagai pelampiasan dan pelariannya. Tapi semua meleset. Semua tak sesuai skenario. Melenceng. Itulah takdir yang Tuhan inginkan. Yang tak ingin membuat umat kesayangan-Nya lebih menderita lagi. Tuhan pun sayang pada Dee. Tak ada yang bisa memungkiri itu. Hingga kini ingatannya sengaja Tuhan pulihkan untuk mendera dan menyiksa dirinya sebagai karma yang harus ia terima. Kedua lelaki tua itu telah pergi. Hanya meninggalkan satu jejak yang harus cepat Juna hapus. Jejak Arres. Dia kuatir Dee mengetahuinya. Tapi, dia berpikir lagi, apa salahnya bila Dee tahu? Ya! Biarkan saja Dee tahu segalanya. Namun setelahnya gadis itu hanya berupa seonggok daging tanpa nyawa! Tegakah kau, Jun? Juna menggeleng. Dee-nya tak boleh mengalami masa sulit lagi. Dee-nya terlalu berharga. Terlalu disayanginya. *** tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN