4. Puzzle

1122 Kata
"JENNIE?" Dee mengerutkan dahinya. Siapa Jennie? Maka dengan satu sentuhan terpampanglah semua. Jennie_Jun Jun, thanks ya jalan-jalan ke Bangkoknya. Next time, kita ke Paris, atau ke pegunungan Andes. Kutunggu undangannya.. Dee meringis. Mengepalkan tangannya. Jadi ini alasannya selama ini? Dee mengusap dadanya. Sakit. Belum genap setahun mereka menikah, bersama. Baru tadi pagi Dee merasakan ciuman pertama dari suaminya. Dee menatap langit-langit kamarnya, menahan segalanya di sana. Dee harus kuat. Ranjang yang selalu dingin. Sedingin dua insan yang menidurinya. Dee mengacak rambutnya. Terngiang kembali celotehan nakal Darrel. ~"...lo yang harus agresif, lo yang harus nyosor duluan..."~ Dee pun diam saat Juna keluar dari kamar mandi. Dee berjanji dia tak akan menagih penjelasan apapun pada suaminya itu. "Kirain udah tidur," ucapnya. Dee diam. Ya, dia cemburu. Dia marah. Juna duduk dengan handuk masih menyampir di bahunya. Pemandangan segar di depan mata saat ini, sungguh tak membuat Dee berselera. Yang ada malah ingin mengacak-acak wajah tampan suaminya itu. "Dear..." Juna menyentuh bahu Dee. Tapi gadis itu hanya diam. Menatap lurus langit-langit kamarnya. "Kenapa sih? Hm?" Juna merebahkan tubuhnya di samping Dee. Menopang kepalanya dengan sebelah tangannya. Dee berbalik menghadap tembok. Juna bingung. Ada apa dengan istrinya? Dee merasa Juna egois. Juna tak mau ditanya-tanya. Tapi dianya sendiri nanya terus dari tadi. Ugh! Juna meraih pinggang Dee dan membalik tubuhnya. Dia pikir Dee tengah merajuk. Sebersit senyum membias di bibirnya. "Kok kamu gini sih? Ngambek ya? Gara-gara aku? Maaf... Aku selalu nggak punya waktu buat kamu. Aku bener-bener sibuk, Dee." katanya. Dee diam. Berusaha untuk menutup mulutnya agar tak menanggapi apapun yang tengah dibicarakan Juna. Dee tahu betul Juna sedang memancingnya saat ini. Dan Dee tak mau terjebak karenanya. Percuma, Juna juga tak akan menjelaskan apapun padanya. Tapi sosok Jennie, yang berharap sekali Juna undang kembali, itu sangat mengganggu! Selingkuhkah dia? Atau... semacam teman biasa, yang nebeng jalan? Dee tanpa sadar menggeleng keras. "Aku pengen ketemu Darrel." kata Dee tegas. "Eoh? Kamu nggak tahu, Darrel tadi pagi udah terbang ke Swiss?" Dee tersentak. Ini pasti ulah Papanya. Dee bangun. Tapi Juna menahannya. "Mau kemana? Mau nyari ribut lagi sama Papa?" Juna menatapnya. "Saat ini aku cuma butuh kakakku. Darrel," cetus Dee. "Cuma Darrel yang kamu butuhkan? Kamu nggak butuh aku?" "Kamu terlalu jauh aku gapai, Jun. Lagian kamu nggak butuh aku," Juna ikut duduk, merasa kalau Dee sedang tak baik-baik saja. Tangannya menyibak anak-anak rambut Dee yang menghalangi pandangan. Diusapnya pipi tembem itu. "Siapa bilang? Aku selalu butuh kamu, sayang kamu. Aku sekarang nggak akan jauh-jauh deh," sahut Juna, berusaha mencairkan suasana canggung. "Aku--" Chuup.. Juna tersenyum di sana. Dee terpaku. Kenapa suaminya kini bersikap manis? Dulu, seingatnya Juna memang manis dan selalu menjadi moodbooster-nya, di awal-awal tahun persahabatan mereka. Sekelumit bayangan waktu itu mampu mencubit hatinya. Mengingat Juna berubah setelah mereka menikah. Walau tak semanis dan sehangat ketika mereka bersahabat dulu. Wait. Dee benar-benar terdiam sekarang. Dia memaksa ingatannya berjalan mundur setahun lalu.... Dee mendapati dirinya terbangun di ranjang rumah sakit, lengkap dengan alat-alat yang Dee tak tahu apa itu. Pelukan dari seorang Arjuna Arzea kala itu mampu mengenyahkan bertumpuk tanya dalam dirinya. Apa yang terjadi pada dirinya dan lain sebagainya, tak mampu terucap. Saat itu Dee merasa rindu sekali pada sosok itu. Arjuna. Sahabat di masa SMP dan SMAnya. Tapi seketika Dee pun merasa terhempas ke dasar jurang begitu Damanik mengatakan bahwa Arjuna adalah suaminya. ~"Kalian mengalami kecelakaan sepulang dari honeymoon,"~ ~"Kamu mengalami amnesia. Sebagian dari masa lalu dan masa kinimu, hilang dari ingatanmu..."~ ~"Aku mencintaimu, Dee... Kita akan punya anak kembar, kamu pasti seneng."~ ~"Pernikahan kita, pernikahan ter-spektakuler di tahun ini..."~ Dee memegangi kepalanya sambil menggeleng. Kepalanya sungguh sakit seperti ditimpa beton. Telinga pun sampai berdenging. Kilatan memorinya bak puzzle yang mencari pasangan berseliweran di otaknya. "Arres..." lirihnya sebelum gadis itu jatuh pingsan. °°° Matanya masih tertutup. Bahkan denyut nadinya tak terdeteksi. Dokter tengah berjibaku di dalam sana, mengerahkan segala kemampuan dan pengetahuannya demi seorang Dearesta Damanik. Juna mondar-mandir didepan pintu IGD. Sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. "A-apa Dee mulai mengingatnya? Semua? Ya Tuhan..." monolognya gusar. Tampak panik, kuatir dan segala macam perasaan mengaduk dihatinya hingga terpancar satu ekspresi di rautnya. Frustasi! Salahkan dirinya dan hukum dirinya bila itu mampu membuat Dee-nya kembali sadar dan sehat. Itu doa terdalam dari seorang Arjuna Arzea. "Jun!" seorang sahabat lama tergopoh menghampiri. Utara. "Gimana, Om Eru udah kasih kabar? Dee nggak apa-apa kan?" berondong lelaki kurus itu. "Doain aja, Ta." "Si Darrel kemana sih? Telpon gue nggak digubris sama sekali," sungutnya. "Ke Swiss," "Kok bisa sih? Adeknya kritis gini!" Utara menghentakkan kakinya kesal. "Udah, dia pergi juga buat kepentingan Dee kok," sahut Juna. "Ini serangan kedua loh Jun setelah kecelakaan itu. Lo kudu ati-ati, jagain Dee bukan pacaran mulu! Gue enek sama lo, you know?!" Tara menatap tajam sahabatnya itu. Tara tak bisa membayangkan kalau hal buruk terjadi menimpa Dee. Demi bulu keteknya Woojin yang lebat, kalau sampai kejadian, dia akan mengobrak-ngabrik perusahaan Damanik dan Ananta. Lihat saja. Juna tahu, seprotektif itu sahabatnya, Utara, pada Dee. Seolah ada rasa. Tapi tidak. Tara mengaku kalau Dee jelmaan adiknya yang meninggal. Tara itu salah satu orang yang percaya akan reinkarnasi. Sedang selama ini Tara tak pernah memperlihatkan perlindungannya di hadapan Dee. Karena Dee ternyata tak mengingatnya sama sekali sejak terbangunnya Dee dari koma. Poor Tara! "Eru! Gimana Dee?" Damanik langsung menghampiri dokter yang baru keluar ruang IGD tersebut. "Sabar ya? Yang terpenting... Dee saat ini sudah melewati masa kritisnya. Dan, bukannya sudah kubilang agar Dee dijauhkan dari hal-hal yang mengingatkannya tentang masa lalu?" Eru terlihat gusar. "Aku sudah berusaha. Tapi Darrel yang berusaha mengungkit kejadian itu," sesal Damanik. "Kenapa bisa?" Eru menatap ke sekeliling dengan tatapan marah. "Juna? Bisa kamu jelaskan? Kenapa bisa kamu setidak-becus ini?" Eru menatap lelaki muda di depannya. Juna menunduk,"Kalo soal Darrel aku juga nggak ngerti, Om. Tapi... Dee emang akhir-akhir ini berbeda. Mimpi itu sepertinya datang lagi selama tiga bulan ini. Dee sering melamun," Eru menghembuskan nafas seraya melepas kacamatanya. "Dan selama Dee mimpi buruk, kamu nggak ada di sisinya? Kamu biarkan Dee melawatinya sendiri, begitu? Bagus, bagus sekali..." kekeh Eru dengan nada sarkas. Atensinya kembali pada dua lelaki lainnya. "Hal ini rentan terjadi komplikasi, Dan. Aku kuatir... Hm.. sebelum itu kita tunggu hasil CT-scan. Apa perlu kupersiapkan hipnoterapi lagi?" "Lakukan apa pun yang terbaik, Eru," isak Ivo, bunda Dee. Eru mengangguk. Dia masih menatap pada Juna. "Aku belum selesai denganmu," Eru kembali masuk ke ruang IGD. Juna diam. Tara sempat terkejut melihat amarah yang tersimpan di netra Eru. "Lo ada masalah sama Om Eru, bro?" tanyanya. Juna tak menjawab. Menurutnya tak penting kemarahan Eru. Tak perlulah ia ladeni lelaki yang selalu memandang rendah dirinya itu. Saat ini hanya Dee yang menjejal di pikirannya. Juna ingin Dee-nya, sahabatnya itu baik-baik saja. Juna tak peduli kalau seandainya Eru membunuhnya sekalipun! *** tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN