.
"APA nggak bisa dateng sebentar?" suara merajuk di seberang sana hampir membuat Juna tergoda.
"Jun... Aku udah lama ngerencanain ini loh. Masak harus gagal?"
Juna memejamkan matanya.
"Jen, ini yang sakit Dee..." tandas Juna.
"Apa peduliku? Bukannya selama ini kamu nggak peduli sama dia? Kenapa sekarang?" perempuan di sebrang sana sama sekali tak mau mengerti situasi Juna.
Terkadang Juna dibuatnya kesal dengan sikap semaunya perempuan itu.
"Jen!"
Akhirnya. Juna terpaksa membentaknya.
"Ma-"
Tut. Tut. Tut.
Jennie memutus sambungan, padahal Juna berniat minta maaf. Juna menyandarkan tubuhnya ke dinding. Sungguh dia lelah lahir batin. Juna melepas kacamatanya. Ada riak perih di hati juga mata lelaki muda itu.
"Dee..." yang akhirnya dia malah mengisak, seraya menangkup kedua lututnya.
"Lo bego, Jun!"
Tara mendorong Juna hingga tubuhnya kembali membentur dinding.
"Ta?" henyak Juna.
"Berenti nggak lo? Ngapain sih lo ikutin apa kata mereka? Lo nggak kasian sama Dee? Dee yang jadi korban disini, Jun! Dee! Sadar nggak sih lo?!"
Tara sampai mencengkram krag jaket lelaki itu.
"Sejak awal gue nggak pernah setuju lo ikut campur! Kalo emang lo sayang sama Dee, please, berenti. Berenti Jun... Atau tinggalin Dee," pinta Tara.
"Andai lo tahu, Ta..." lirih Juna.
"Bilang gue, apa yang mesti gue tahu, hah?" dengkusnya.
Juna menggeleng dan Tara tersenyum sinis lalu setelahnya meludah.
"Gue jijik sama lo!" telunjuknya mengacung di depan wajah Juna.
"Tinggalin Dee kalau gitu,"
Juna menggeleng lagi,"Gue nggak bisa. Gue harus lindungin dia,Ta."
"Ngelindungi? Kayak gini? Kayak yang lo lakuin selama ini? Main belakang lo sama si Jennie? Gue nggak pernah suka ya sama tuh anak! Lo yang mulai, jadi lo juga yang harus akhiri, Man. Gentle dikit 'napa?" bentak lelaki itu.
"Lo nggak bakalan ngerti posisi gue, Ta." lirih Juna.
"Bomat gue! Terserah lo! Kalau sampe Dee kenapa-napa... awas kalian!"
Tara bergegas kembali. Dia tak mungkin meninggalkan Dee, adik tersayangnya. Andai manusia yang bernama Juna itu bukan kesayangannya Dee, tentu dia sudah habis di tangan Tara. Mendadak Tara berharap Arres masih hidup.
Res, Dee butuh lo!
Juna masih tercenung di lorong basement rumah sakit. Dia terima caci-maki sahabatnya. Dia terima hujatan yang mungkin akan dia terima esok hari dari Darrel, Om Eru juga yang lainnya.
Tapi setidaknya Juna senang, begitu banyak orang yang menyayangi Dee-nya. Begitu banyak yang mencintainya, memperhatikannya, mendukungnya. Begitu diberkahi. Secara tulus dan konsisten.
Dengan langkah gontai, Juna melangkah kembali ke ruang IGD. Di sana orangtuanya dan mertuanya masih duduk.
"Bun, kalian pulang aja. Biar aku yang nungguin Dee." kata Juna.
"Iya Bun, yang disini biar para lelaki. Bunda berdua pulang aja," sela Tara.
"Ini udah pagi juga, Bun. Istirahat gih," Juna mengusap lengan bunda mertuanya.
"Baiklah. Bunda titip Dee ya? Terlepas dari perjanjian keluarga kita,"
Juna mengangguk lemah. Dia juga letih. Kenapa bisa serumit ini? Padahal dia tahu Dee adalah sosok pengertian. Jadi kalau kedua orangtua itu mengatakan yang sebenarnya, pasti Dee mengerti. Gadis itu mempunyai hati yang sangat baik. Tak sulit rasanya membuat Dee memahami kejadian sebenarnya. Ini malah dibuat rumit sedemikian rupa.
"Andai masih ada Arres..."
"Bun, aku juga menyayangi Dee. Aku sekarang suaminya, bukan Arres!"
Wanita itu tersentak. Tak mengira Juna mendengar gumamannya.
"Apa karena aku, Bunda sampai nggak rela kayak gini? Bun, aku juga sakit liat Dee kayak gitu. Dee istri aku, Bun." seru Juna.
"Juna!" Ananta menarik lengan anaknya.
"Sakit, iya? Tinggalkan Jennie. Perbaiki sikapmu yang memalukan itu!"
"Bunda nggak pernah tahu kalau kamu juga cinta sama Dee, Jun. Bunda cuma nggak mau, Dee sakit. Terlebih olehmu, karena Bundanya sedekat apa kalian dulu," kata Ivo.
Juna mengisak. Juna benci semua ini. Benci pada dirinya yang cengeng, yang mudah menangis layaknya perempuan! Cih! Juna benci kala semua orang membandingkan dirinya dengan Arres.
Arres is perfect!
°°°
"Kau harus mulai melupakannya, menghapus jejaknya dalam ingatanmu. Arres bukan siapa-siapa. Melainkan Arjuna. Sahabat baikmu yang kini menjadi suamimu. Kamu ingat dimana kalian bertemu pertama kali?" sebuah suara seolah mendikte.
"Ya, di kantin sekolah. Jus yang dia bawa tumpah mengenai rok sekolahku. Aku memarahinya. Tapi ternyata dia lebih cerewet dari yang kuduga,"
~"Matanya di pake buat liat bukan jelalatan kesana-kemari!"
"Heh, gue jelalatan karena gue cowok. Trus, kenapa? Lo cemburu? Lo pengen juga gue perhatiin, gue liatin? Dan, makanya lo nggak usah terlalu cantik kalo jadi cewek. Lo bisa ngalihin dunia gue," kata Juna.
"Biar temen gue cariin rok bersih di ruang guru. Mau gue temenin ke toilet?"~
"Bagaimana perasaanmu?"
"Senang. Tapi aku menolak melupakan Arres,"
Dee sudah sadar. Dee juga masih terlihat bingung. Dia dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Papa Mamanya dan mertuanya. Ada Juna juga.
Lama Dee menatap laki-laki itu, yang sejak Dee siuman tadi, tangannya masih menggenggam jemari Dee.
Tangan Juna terulur membelai rambut Dee. Dia teramat senang Dee-nya baik-baik saja. Bibirnya yang pucat tak henti tersungging.
"Makan dulu gih," ucap Dee.
"Nanti." Juna menggeleng.
"Jun, makan dulu. Kalau kamu sakit siapa yang ngurus? Aku kan lagi sakit juga. Atau... emang udah ada yang ngurusin kamu?"
Deg!
"A-apaan Dear...? Nggak lucu ah,"
"Makanya makan dulu. Gih, biar aku sama Tara. Udah lama aku nggak ngobrol sama dia," Dee melirik Tara.
"Oke," Juna berdiri.
Sebelum pergi Juna mengecup kening Dee.
Dan disinilah ia kini. Kantin rumah sakit. Juna hanya memesan secangkir kopi dan roti isi. Mulutnya sudah asam dari tadi, ingin menghisap nikotin. Apalagi seperti saat ini, saat dia tertekan dan gelisah.
Juna lega, sekarang Dee baik-baik saja. Dee gadis yang kuat. Juna tau itu. Sejak SMP, gadis itu selalu menjadi ikon penyemangat harinya. Dee yang ramah, suka menolong, walau kadar cerewetnya sama dengan dirinya.
Benaknya mengembara, mengingat hal-hal yang lucu dan menyenangkan saat bersama Dee. Dan, saat dia mengingat surat cinta tanpa nama yang dia kirim untuk Dee. Ahh, Juna sempat malu akan hal itu. Sungguh anak ingusan sekali!
Juna tersenyum mengingatnya. Sampai sekarang pun Dee tak pernah tau siapa si secret admirer itu. Karena Juna enggan untuk bercerita. Juna tak berani mengakui perasaannya. Juna lebih memilih persahabatannya daripada cinta yang mungkin saja bertepuk sebelah tangan. Juna tak mau ambil resiko. Dia memang pengecut!
"Everything is ok," Juna menyemangati dirinya sendiri.
"Apanya yang ok?"
"Jennie?!" mata Juna melebar begitu mendapati perempuan itu.
Perempuan yang tengah berdiri di depannya kini tersenyum kearahnya. Mengambil tempat duduk di sebelah Juna.
"Karena kamu nggak dateng, jadi aku aja yang nyamperin kesini," ujar Jennie dengan nada sumringah.
"Jen,"
"Juna, ini udah hampir mau setahun. Nunggu apa lagi? Kamu bilang kamu butuh waktu kurang dari setahun buat memperbaiki semuanya. Dan kamu akan kembali sama aku seudah cerein Dee." kata Jennie enteng.
"Tapi ternyata nggak semudah itu, Jen." pasrah Juna.
Jennie menangkup wajah Juna,"Nggak ada yang sulit kalau kamu niat,"
"Please, kita ditempat umum. Ok?" Juna melepas tangkupan tangan Jennie.
Gadis itu merengut tak suka.
"Jangan-jangan kamu malah mau ingkar janji. Ingat kamu udah janji Jun," sela Jennie.
"Kalau aku bisa, aku udah ingkarin Jen." balas Juna sarkas.
Jennie tersenyum miring. Menyeruput kopi Juna. Lelaki itu hanya memandangi gadis yang menurutnya setengah gila itu.
"Mudah buatku buat nyingkirin kerikil macam Dee. Sekali tiup, dia akan terbang..." Jennie melayangkan tangannya ke atas.
"Berhenti niru Dee dan jangan pernah nyentuh dia," cetusnya.
"Hm? Siapa yang niru? Dia yang jadi sok keganjenan. Dia yang udah rebut kamu dari aku. Bisanya emang sirik aja tuh cewe! Udah bikin Arres mati aja masih banyak tingkah! Cuih!"
"Jennie!"
Tara menderap mendekat. Entah dari mana dia tahu Jennie bakal muncul di sini.
"Ngapain lo disini?! Cari penyakit lo ketemu sama gue. Dee nyariin lo. Sana. Biar ulet keket ini gue yang urus! Eit, mau kemana lo?" Tara menarik lengan Jennie ketika gadis itu akan mengikuti Juna.
"Lepasin Taraaaa!! Sakit tahu?!" Jennie meronta tapi Tara tak bergeming.
"BODO!" Tara setengah menyeretnya. Dia harap gadis itu tahu diri.
Andai bisa Tara akan membenamkan perempuan penyihir itu ke rawa-rawa.
***
tbc