9 | Dia Perempuan Bisu (2)

1284 Kata
Cinta keluar dari dalam lab bahasa begitu kelas berakhir. Sepanjang pelajaran berlangsung, gadis itu hanya banyak melamun di dalam lab. Sibuk memikirkan 'Benarkah Dewa yang sudah melakukan kejadian tadi pagi itu padanya?'. "Ta?" Ajeng merangkul bahu Cinta dan tersenyum. "Nggak usah dipikirin lagi. Yang penting sekarang, kan, meja sama kursi kamu udah diganti sama yang baru." Cinta hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tipis. Ajeng mengambil sepatunya dari dalam rak, kemudian memakainya, sedangkan Cinta mengikuti dari belakang. Setelah ini untungnya jam makan siang, sehingga Cinta bisa sedikit bernapas lega. Byurrr!! Bukan hanya mata Cinta yang membulat karena kaget setengah mati, tapi juga Ajeng dan teman-teman sekelas mereka. Air kotor dengan beberapa sampah di dalamnya baru saja mengguyur Cinta dari lantai atas. Tubuh Cinta basah kuyup, kotor, dan bau. Siswa yang menyaksikan adegan menjijikan itu hanya bisa histeris dan berlari menjauh dari Cinta. Semuanya kompak menutup hidung. Menatap Cinta dengan tatapan jijik dan tak ada yang mau mendekatinya. Cinta merasakan matanya memanas, begitu melihat kotor dan baunya tubuhnya saat ini. Mengapa ada orang yang tega berbuat seperti ini padanya? Mengapa ada orang yang tak pernah mengizinkan Cinta untuk bisa bersekolah dengan tenang? Di belakang ruang lab, berdiri Dewa yang sejak tadi memperhatikan Cinta yang disiram dengan air kotor berisi sampah, tersenyum puas. Ini adalah balasannya kalau gadis itu berani main-main dengannya. ☘️☘️☘️ "Pokoknya gue nggak mau tau, ya, Wa. Gue nggak ikut-ikutan soal nasib cewek itu." "Bawel lo!" hardik Dewa pada Rendra yang masih terus saja mengoceh saat mereka sudah berada di kantin. "Cewek siapa yang lo maksud?" tanya Tama bingung. "Pokoknya gue nggak mau lagi ikut campur masalah cewek itu. Udah cukup 2 kejadian hari ini yang langsung buat gue ngerasa bersalah sama dia. Itu cewek emang ngeselin, tapi dia nggak sepadan sama kita, Wa. Dia cewek, kita cowok." "Bawel lo, anjing!" kesal Dewa saat Rendra terus saja mengeluh padanya. "Wa, apa-apaan sih, lo?" bingung Tama yang masih belum mengerti mengapa Dewa harus semarah itu pada Rendra. Dengan menatap tajam Rendra, Dewa memutuskan bangkit berdiri. Baru ia memutar langkah kakinya, Dewa merasakan tubuhnya menabrak seseorang. Dewa sontak membuang wajahnya ke samping saat mencium bau tidak sedap barusan. Begitu matanya melihat bahwa gadis yang menabraknya adalah 'gadis itu', Dewa mengeluarkan senyum miring. Sepertinya memang berjodoh. Karena tak perlu dicari pun, gadis itu yang mendekat ke arahnya dengan sendirinya. Cinta masih meringis sakit saat merasakan sikutnya yang langsung membentur dasar. Sepiring nasi goreng miliknya juga tumpah berantakan karena Dewa. "Ih, najis, bau banget, sih!" "Iya ih, bau apaan sih, ini?!" "Yang merasa bau mending keluar dari kantin, deh!" Mendengar suara-suara yang menyindirnya, Cinta lantas menundukkan kepala. Ia sadar betul jika bau yang dibicarakan oleh teman-temannya memang berasal dari tubuhnya. Padahal Cinta sudah mandi di toilet dan mengganti bajunya dengan seragam olahraga. Tadi Ajeng sempat meminta izin pada guru agar Cinta diperbolehkan pulang, tapi rupanya guru tidak mengizinkan. Rendra yang melihat betapa menyedihkan kondisi Cinta mendadak merasa bersalah dan tidak enak. Sifat bar-bar yang biasanya melekat dalam dirinya, bisa melemah juga jika melihat perempuan yang tersakiti. Apalagi di sini, Rendra ikut mengambil alih kesedihan Cinta. "Wa, maksud lo apa?" tanya Tama dengan menarik mundur lengan Dewa. Ini bukan Dewa yang biasanya. Selama ini Dewa tidak pernah main kasar atau mengusili siswa perempuan di sekolah. Yang biasanya menjadi target Dewa di sekolah selalu kaum lelaki yang berani macam-macam dengannya. Dewa menepis tangan Tama seraya berkata, "Ini urusan gue, lo nggak usah ikut campur," ujarnya dengan kembali menatap lurus ke arah Cinta. Tentu saja Dewa tak segan melangkah mendekati Cinta. Ia bahkan juga tidak peduli dengan beberapa siswa yang mulai mengeluarkan kamera ponsel mereka yang begitu penasaran dengan masalah Cinta pada Dewa saat ini. Suara retakan piring yang diinjak oleh kaki Dewa membuat mata Cinta semakin bergetar takut. Ia tidak bisa berteriak minta tolong. Ajeng pasti masih di toilet dan Vino entah kenapa belum juga sampai di kantin. Piring pecah yang diinjak oleh kakinya, membuat Dewa berjongkok di hadapan Cinta. Mata Dewa menatap tajam wajah Cinta di hadapannya. "Jangan pernah lo ikut campur urusan gue, kalau lo nggak mau kena imbasnya. Paham?" tanya Dewa dengan suara pelan yang cukup membuat Cinta takut setengah mati. "Kejadian waktu itu bukan cuma merubah nasib lo di sekolah ini, tapi juga hidup lo yang nggak akan pernah tenang lagi di sini. Jadi gue ucapin, welcome to the jungle." "Maksud ucapan lo barusan apa?" tanya Tama dengan mencengkeram lengan Dewa. "Lo juga berniat buat nggak jawab pertanyaan gue, Ren?" Tama ganti bertanya pada Rendra, namun Rendra juga memilih untuk diam membungkam bibir. Dewa menepis kasar tangan Tama di lengannya. "Dia yang milih masuk ke kandang singa, jadi gue akan mempesilakan dia masuk," ujar Dewa dengan langsung pergi tanpa meminta maaf terlebih dahulu pada Cinta yang kini menjadi bahan tertawaan semua siswa. ☘️☘️☘️ Setelah kemarin Dewa berdebat cukup sengit dengan Tama karena membully Cinta, Dewa tetap tidak mau mengalah. Ia terus melancarkan aksinya untuk membuat gadis itu menangis, dipermalukan, dan ditertawakan oleh banyak orang. Tapi untuk kali ini, Dewa sendiri yang menjalankan aksinya, Rendra terlalu berisik dan bawel untuk diajak mengerjai perempuan. Dan Tama, seberapa marahnya ia, Dewa tetap tak akan mau mendengarkan. "Dewa." Dewa mengabaikan panggilan Rendra yang kelima. Ia lebih asik dengan komik di tangannya. Berbeda dengan Dewa yang asik membaca komik, Tama justru terpejam di atas kursi dengan bersandar dan mendengarkan musik melalui earphone. Setelah perdebatan mereka bertiga tentang Cinta, ketiganya tetap berkumpul di atap sekolah untuk membolos pelajaran. "Dewa, gue mau ngomong serius," ujar Rendra yang malah terlihat sok serius. "Ya ngomong aja," balas Dewa santai. "Ini tentang cewek sok pemberani itu." "Ganti topik, gue nggak tertarik." Rendra berdecak sebal. "Tam, lo juga nggak mau denger? Ini berita penting loh." Tama diam tak menjawab. Mungkin lelaki itu memang benar sudah tertidur. "Gue seriusan loh ini, guys. Ini berita yang sangat penting buat kita bertiga." "Nggak tertarik, Ndra. Lo buang-buang waktu," kata Dewa yang masih malas dengan apa yang mau Rendra ungkapkan. Gadis itu, gadis bernama Cinta yang sok pemberani itu, Dewa masih belum puas mempermalukan gadis itu. Ingin rasanya Dewa melalukan hal lebih yang bisa membuatnya merasa puas dan cukup. "Dia nggak bisa ngomong. Dia bisu." Dewa menurunkan buku komiknya, begitu juga Tama yang ikut membuka kedua matanya begitu mendengar apa yang baru saja Rendra katakan. "Siapa?" tanya Dewa. "Si cewek itu. Yang dipanggil Cinta sama temennya, yang udah ikut campur sama urusan lo dan cewek yang udah lo kerjain berhari-hari sampai dia nangis. Dia bisu, Wa. Dia nggak bisa ngomong kayak kita," ujar Rendra yang mendapatkan respon kosong dari Dewa. "Apa?" tanya Tama. Rendra hampir saja melayangkan sepatunya ke arah Tama yang ternyata pura-pura tertidur jika saja tak melihat Dewa yang kini menatapnya dengan serius. "Lo bercanda?" tanya Tama. Rendra menghela napas panjang sambil menggeleng. "Lo berdua bisa liat ekspresi gue kalau saat ini gue sama sekali nggak bercanda. Gue serius, dia cewek bisu. Katanya dia nggak bisa ngomong dari lahir." Dewa tersenyum sinis. "Nggak mungkin. Di sekolah ini, mana ada terima murid bisu?" tanyanya. "Gue nggak bercanda cuy! Gue serius! Berita ini bahkan udah nyebar ke satu sekolah. Tapi yang buat gue heran, kenapa kita bertiga nggak ada yang tau berita ini padahal beritanya udah rame dari pertama kali anak baru masuk. Kita itu ibarat berada di antara terlalu polos atau bego." "Lo yakin, Ndra?" Rendra langsung mendesis tajam menatap Tama. "Gue yakin 100%! Lagian lo pikir lagi deh berdua, itu cewek nggak pernah ngomong apapun ke kita. Bahkan sekedar ngomong sehuruf aja emang pernah? Mau dia dibentak, dimaki-maki, dikerjain, dia nggak pernah bales kita pakai kata-kata." Dewa dan Tama kompak terdiam sambil berpikir untuk mengingat-ingat kebenaran ucapan Rendra. "Ya kan? Nggak pernah, kan?" tanya Rendra frustasi yang tak kunjung mendapat jawaban apa-apa dari Dewa maupun Tama. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN