Dewa melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam masuk sudah berlalu 30 menit, tapi ia baru akan menuruni atap sekolah dengan sepasang earphone yang masih menempel di telinganya. Sesantai hidupnya, ia juga santai menghadapi guru yang sudah pasti akan memarahi dirinya yang terlambat masuk kelas.
Lelaki itu menarik satu tali tasnya ke bahu ketika tali tasnya itu merosot. Tangannya memainkan ponselnya sambil mengangguk-anggukan kepala mengikuti alunan musik.
Kelasnya sudah terlihat. Koridor juga sudah tampak sepi dari anak-anak yang biasanya masih berkeliaran ketika jam pelajaran belum di mulai. Tadi saat ia melewati kelas Rendra dan juga Tama, Dewa sempat menunjukkan jari tengahnya pada kedua sahabatnya sebagai candaan yang rupanya benar ditanggapi dengan tawa oleh keduanya. Dewa hanya bisa tertawa diam-diam sambil terus berjalan begitu mendengar kedua sahabatnya itu dimarahi oleh guru.
Dewa menarik gagang pintu kelasnya dengan santai. Ia masih menunduk untuk melepas earphone ke dalam saku celananya. Dewa merasakan kelasnya itu jauh lebih hening dari biasanya. Begitu ia menutup kembali pintu kelas dan mengangkat pandangannya, matanya sedikit membulat. Kaget melihat sosok pria yang sedang berdiri di depan kelas.
"Untuk kalian semua, jangan pernah mencontoh siswa yang kelakuannya buruk. Angkasa bukanlah sekolah untuk anak malas yang selalu datang terlambat ke kelas."
Dewa masih berdiri di tempatnya. Ia sedikit tersenyum samar mendengar papa kandungnya yang saat ini sedang bersikap sebagai Ketua Yayasan memberikan petuah pada teman-teman kelasnya. Tentu saja, petuah itu adalah bentuk sindiran untuknya.
"Mulai minggu depan, siapa pun di sekolah ini yang melanggar tiap-tiap peraturan sekolah akan diberikan sanksi yang lebih berat. Pengurangan poin juga bentuk skors akan semakin masif dilakukan. Dan itu semua akan berimbas pada nilai rapot kalian dari segi akhlak juga kedisiplinan."
Berbeda dengan teman sekelasnya yang menatapnya khawatir, Dewa tetap berdiri santai dan terus memperhatikan papanya. Dewa tahu, pasti papanya sadar akan kehadirannya.
"Sekian pesan dari saya. Jangan pernah lupakan dan abaikan amanah saya maupun dari guru-guru yang lain." Adrian memutar tubuhnya. Begitu matanya bertemu pandang dengan mata Dewa, Adrian tersenyum kecil.
"Ikut saya ke ruangan. Kamu pasti tau, kan, jika kamu terlambat hampir 35 menit?"
Dewa menurunkan kepalanya, menunduk hormat. "Maafkan kesalahan saya."
"Ikut saya ke ruangan," kata Adrian dengan pengucapan yang lebih jelas dan tegas. Rautnya menggambarkan kondisi serius di mana seharusnya Dewa merasa bersalah, bukannya malah berusaha menyembunyikan senyumnya yang membuat Adrian semakin geram.
☘️☘️☘️
Cinta masih diam menatap seragam olahraganya. Ketika anak perempuan mulai ke kamar mandi berganti pakaian, Cinta masih duduk di kursinya. Tangannya menggenggam secarik kertas yang baru saja ia temukan di kolong mejanya.
Cewek bisu nggak pantes jadi bagian SMA Angkasa!
Cinta menelan salivanya gugup. Sebegitu bencinya kah orang-orang pada dirinya hanya karena ia gadis bisu? Apakah orang yang memiliki keterbatasan tidak boleh ada di lingkungan orang normal? Apakah orang yang memiliki keterbatasan harus selalu berada di lingkungan yang gelap tanpa boleh berteman dengan banyak orang?
Tak ingin menangis, Cinta meremas kertas tersebut di tangannya.
"Chyintia!"
Cinta sontak menyembunyikan kertas tersebut dan langsung mengangkat kepalanya. Ajeng sudah menunggunya di ambang pintu, mengajaknya ke toilet untuk berganti seragam.
Cinta tersenyum kecil lalu bangkit berdiri. Ia mengembuskan napas panjangnya untuk menghilangkan rasa takut yang kini mulai menghampirinya kembali. Apalagi sejak Dewa mempermalukan dirinya di kantin saat itu, teman sekelasnya menjadi lebih berani mengusili Cinta.
Setelah para murid berganti pakaian, semua murid 10 IPA 1 mulai berbaris di lapangan. Perkenalan singkat dilakukan oleh Pak Toni sebelum pemanasan dan olahraga dimulai. Ini karena selama 2 minggu sebelumnya ia digantikan oleh guru yang lain, karena terpaksa harus menetap di Malaysia untuk suatu hal.
"Kamu siapa namanya?"
Cinta hampir tidak sadar jika perkenalan sudah sampai di dirinya yang berdiri di barisan ketiga. Cinta menatap Pak Toni dengan tatapan bertanya. Di lapangan tidak ada papan tulis, lalu bagaimana Cinta bisa memperkenalkan diri.
"Iya, kamu. Kamu siapa namanya?" tanya Pak Toni mengulang pertanyaan.
Belum sempat Cinta berusaha menjelaskan, suara cekikikan teman sekelasnya sudah terdengar.
"Dia bisu, Pak." Celetuk salah satu siswa di barisan belakang, kemudian ia sendiri tertawa.
Cinta menghela napas pelan, sementara Ajeng yang berdiri di belakangnya langsung menatap tajam temannya yang tadi bicara tanpa memahami perasaan orang lain.
"Bisu?" ulang Pak Toni dengan sedikit tak percaya dengan celetukan salah satu siswanya barusan. Karena Cinta mulai menundukkan kepalanya, Pak Toni memilih maju mendekati gadis itu. "Yang dikatakan teman kamu benar, Nak?"
Cinta mengangguk pasrah mengiyakan. Menghindar dari pertanyaan itu pun tidak ada gunanya.
"Apa kamu bisa berlari?"
Cinta mengangkat kepalanya dengan ragu. Apakah Pak Toni bertanya seperti itu untuk meledek dirinya seperti yang dilakukan teman-temannya?
"Saya bertanya pada kamu, apa kamu bisa berlari?"
Cinta mengangguk pasrah, tanpa mengerti apa maksud pertanyaan Pak Toni.
"Kalau begitu kamu siswa yang hebat. Karena dalam olahraga, kita tidak diminta untuk banyak bicara. Jadi angkat kepala kamu, jangan takut dan merasa minder dengan apa yang tidak kamu miliki. Fokus dengan kelebihan kamu dan jadikan itu sebagai sebuah prestasi."
Rasanya baru kali ini, Cinta mendapat kalimat yang menenangkan hati dari lingkungan sekolah mengerikan itu. Rupanya Pak Toni tak seseram yang terlihat jika dibandingkan dengan tubuhnya yang besar dan kulitnya yang sedikit gelap.
Cinta menganggukkan kepalanya. Sepertinya Pak Toni masuk ke dalam list orang-orang yang ia sayangi di dunia ini.
☘️☘️☘️
Brak!
Gebrakan tangan di meja kerja Adiran membuat Dewa sedikit berjengkit kaget. Dewa melirik malas ke arah papanya yang sudah menatapnya tajam. Seolah ingin mengoyak mata Dewa yang berani membalas tatapannya.
"Masih berani kamu tatap Papa seperti itu setelah ulah kamu yang nggak ada habisnya di sekolah?!" bentak Adrian kepada putra semata wayangnya.
Dewa memilih menatap sepasang sepatu hitamnya yang baru ia beli minggu lalu dari luar negeri.
"Kalau orang tua ngomong itu didengarkan, Dewa!"
Dewa berdecak lalu beranjak berdiri. Telinganya panas mendengar suara papanya yang terus saja meneriakinya sejak mereka masuk ke ruang kerja pribadi Adrian. "Buat apa juga? Emangnya Papa mau dengerin penjelasan aku?"
Gebrakan meja yang megakibatkan beberapa alat kerjanya terangkat itu membuat suasana di ruangan tersebut semakin memanas. Tidak biasanya Adrian memarami Dewa habis-habisan jika di sekolah. Biasanya Adrian hanya berani memarahi Dewa ketika mereka berada di rumah. "Selalu saja mencari alasan! Mau jadi apa kamu kalau sudah besar jika sikap saja masih kekanakkan seperti ini?!"
Dewa membalas dengan senyum sinis tanpa takut. Ini bukanlah pertama kalinya ia dan sang papa bertengkar. Bahkan tak sekali-dua kali papanya akan bermain tangan jika dirasa butuh.
"Kamu itu anak Ketua Yayasan SMA Angkasa Dewa, harusnya kamu bisa lebih menjaga sikap kamu. Kamu itu bikin malu terus kerjaannya. Mau ditaro mana muka Papa di depan Dewan Pembina Yayasan?!"
"Papa selalu malu di depan orang lain, tapi Papa nggak pernah malu di depan anak sendiri." Dewa mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas panjang. Rasanya dadanya terlalu sesak dengan berbagai macam emosi.
Plak!
Inilah yang dimaksud Dewa, papanya itu tidak akan segan-segan bermain tangan padanya. Dewa meraba pipinya yang terasa panas. Ia langsung menatap tajam papanya yang kembali melayangkan tamparan keras di pipinya.
"Apa kamu liat-liat seperti itu? Masih ingin Papa tampar lagi?!"
Gigi-gigi dikatupkan rapat oleh Dewa. Tangannya terkepal erat. Harus berapa lagi ia tahan dengan semua ini? Dengan tangan terkepal erat di samping pahanya, Dewa memutar tubuhnya dan pergi tanpa pamit.
"Dewa, Papa belum selesai bicara!!" Adrian berteriak begitu melihat Dewa memutar badan dan naik ke lantai atas tanpa pamit.
"Dewa, dasar anak nggak sopan kamu!!" Dewa terus melangkahkan kakinya tanpa berniat untuk berhenti.
"Kamu persis Mama kamu yang nggak tau diri itu!!"
Begitu kalimat itu meluncur dari mulut papanya, langkah Dewa sontak berhenti. Beberapa detik ia menatap kosong lantai marmer di bawahnya, sebelum akhirnya ia keluar dari ruang Ketua Yayasan dan membanting pintunya kembali agar tertutup rapat.
Dewa berdecak pelan sambil meraba pipinya yang kebas dan panas. Entah mengapa pukulan papanya itu selalu saja terasa sakit dari dulu. Ia berjalan melewati perpustakaan untuk menuju ke lapangan. Karena terlambat masuk ke dalam kelas, Dewa diberikan hukuman lari sebanyak 10 kali putaran.
"Woy, cepet lempar bolanya!"
Dewa kembali berdecak kesal saat mendengar suara salah satu gadis yang ada di lapangan. Rupanya di lapangan sedang banyak siswa yang sedang olahraga. Bikin malu saja jika ia harus berlari di pinggir lapangan. Sudah pasti jika ia akan menjadi pusat perhatian. Bahkan yang lebih menyebalkannya adalah jika ada siswa yang mengabadikan momennya dihukum lalu dibagikan ke seluruh sosial media Angkasa.
"Woy, bisu! Cepet!"
Kepala Dewa sontak menoleh begitu mendengar kata 'bisu'. Ia berhenti melangkah dan memperhatikan satu persatu siswa perempuan yang sedang bermain bola basket di tengah lapangan itu, sedangkan siswa pria sedang giliran istirahat sejenak. Ia sibuk mencari gadis itu. Gadis yang disebut Rendra adalah gadis bisu. Benarkah yang disebut 'bisu' barusan adalah gadis itu?
Tak menemukan sosok yang ia cari, Dewa memutuskan untuk kembali melangkah maju. Ia hanya ingin berjalan santai, tapa berniat benar-benar berlari mengelilingi lapangan. Baru berapa langkah ke depan, Dewa kembali berhenti saat ia menemukan sosok yang ia cari berdiri di hadapannya memegang sebuah bola.
Cinta yang menyadari kehadiran Dewa di depannya hanya bisa diam menatap nanar ke arah depan. Kenapa ia harus kembali bertemu dengan lelaki itu? Kenapa?
Kesal dengan Cinta yang tak kunjung kembali membawa bola yang tadi keluar lapangan, salah satu gadis langsung berlari menghampiri Cinta. "Eh, bisu, lama banget sih, lo! Nggak tau apa orang udah pada nungguin?" gadis itu langsung mendorong bahu Cinta dengan satu tangannya setelah ia mendapatkan bola yang ia inginkan.
"Hei, kalian! Apa yang kalian lakukan?!" Pak Toni yang berada di sisi lapangan lainnya langsung berteriak saat melihat Cinta terjatuh.
"Nggak, Pak! Kita nggak ngapa-ngapain. Dia yang jatoh sendiri!" ketiga gadis itu langsung pergi menjauh dan kembali ke tengah lapangan. Meninggalkan Cinta yang hanya bisa pasrah karena kembali menjadi sasaran teman-temannya.
"Ta, kamu nggak papa?" Ajeng langsung mendekati Cinta dan membantu sahabatnya itu berdiri kembali.
Cinta tersenyum tipis seraya mengangguk. Memberikan tanda jika ia masih baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini.
"Masih sanggup untuk main satu kali lagi?" tanya Ajeng yang sudah melihat tanda lelah di wajah Cinta.
Cinta menganggukkan kepalanya. Sebelum ia benar-benar pergi karena genggaman tangan Ajeng, Cinta kembali memberanikan diri menoleh ke samping. Menatap Dewa yang sepertinya puas melihat dirinya. Semua dimulai dari Dewa. Karena melihat Dewa yang berani memperlakukan dirinya seperti saat itu di kantin, membuat teman sekelasnya jadi tak segan lagi jika ingin mempelakukan Cinta semena-mena. Walau belum separah apa yang dilakukan Dewa, tetap saja itu membuat Cinta lelah dengan semua orang yang di sekitarnya.
Melihat kepergian Cinta yang semakin menjauh dari posisinya semula, Dewa masih saja terus mengikuti kepergian gadis itu. Ia hanya masih sibuk berpikir, rupanya yang dikatakan Rendra benar adanya. Rendra tidak pernah bohong padanya. Rendra berbicara yang sebenarnya. Dan Dewa, tanpa sadar telah melangkah maju, masuk ke dalam takdir hidup gadis bisu itu.
*****