11 | Keluar Batas

1823 Kata
"Ta?" "Ta?" Vino mengibaskan tangannya di depan wajah Cinta, tapi gadis itu tetap terbengong menatap ke depan tanpa menghiraukan panggilannya. "Cinta!" seru Vino tak sabar. Cinta langsung mengerjapkan mata dan menatap Vino dengan raut wajah bertanya. "Kamu aku panggilin dari tadi tau!" Cinta tersenyum simpul. "Maaf, tadi kamu mau ngomong apa?" "Nggak jadi, udah lupa akunya." "Iih, gitu aja ngambek." "Lagian kamu mikirin apa sih, Ta? Di langit bahkan nggak ada bintang. Adanya aku di samping kamu." Cinta langsung mendengus geli dan menyenggol bahu Vino sambil tertawa kecil. "Jadi ... tadi, kita udah sampe mana ngerjain tugasnya?" "Tugas aku udah selesai, kamu yang belum!" Mendengar Vino yang berteriak di depan wajahnya, Cinta langsung mendorong kening lelaki itu seraya berkata dengan bahasa isyarat, "Biasa aja!" balasnya penuh penekanan. Membuat Vino lantas terbahak melihat reaksi Cinta yang kesal padanya. Melihat Cinta yang akhirnya hanyut dalam tugas sekolahnya, Vino menatap wajah bening sahabatnya dari samping. Rambut hitam Cinta membuat tangan Vino terulur dan mengusapnya lembut. Aktivitasnya itu membuat Cinta menolehkan kepala dan melihat senyum Vino yang terukir manis di hadapannya. Entah mengapa, senyum manis Vino selalu berhasil memberanikan warna tersendiri. Melihat Vino tersenyum seolah memberikan kekuatan baru dalam diri Cinta. "Aku sayang kamu, Ta." Angin malam yang berembus di sekitarnya membuat leher Cinta merinding dingin, namun tatapan mata Vino yang lekat padanya membuat Cinta terpikat untuk sesaat. Seolah ia tak ingin kehilangan momen tatapan mata Vino padanya. "Kamu nggak sayang aku?" Cinta mengangkat satu alisnya sebagai pertanyaan balik. "Aku sayang kamu sebagai sahabat aku, kamu sayang aku juga nggak?" Cinta tersenyum samar. Cinta sangat memahami status mereka berdua. Hanya sahabat. Sejak kecil hingga sekarang, Cinta dan Vino memang hanya sepasang sahabat. "Sayang," kata Cinta pada akhirnya. Vino langsung tersenyum lebar. Ia menepuk puncak kepala Cinta dengan bangga. Cinta kembali berpura-pura fokus pada soal di buku paketnya. Ia mengabaikan tangan Vino yang terus saja membelai puncak kepalanya. Tak tahan dengan kelakuan Vino yang sebenarnya manis, Cinta langsung menyingkirkan tangan sahabatnya itu dari atas kepalanya. "Berat." "Masa berat, sih? Bukannya yang berat itu rindu, ya? Kayak rindu dari Dylan buat Milea." "Iih, geli banget!" "Berarti yang menggelikan itu Dylan, bukan aku. Aku mah nggak menggelikan, cuma kadang suka malu-maluin aja." Cinta dan Vino sontak tertawa bersama. Untuk sejenak, Cinta melupakan kekhawatirannya di sekolah karena kehadiran Vino di rumahnya. Untuk sejenak, Vino hanya ingin melihat Cinta tersenyum juga tertawa karena dirinya. Selama berdua, maka itu cukup untuk mereka. Saling mendukung kelebihan juga melengkapi kekurangan masing-masing. ☘️☘️☘ "Anjir! Bangke banget ah, Tama, mah! Ogah main lagi gue!" kesal Rendra dengan membanting stik PS milik Dewa di kasur. Dewa dan Tama hanya bisa tertawa puas melihat kekalahan Rendra bermain bola untuk yang ke sekian kalinya. "Cupu, lo!" ledek Tama. "Lo yang curang! Nge-cheat lo, ya?!" tuduh Rendra yang masih belum mengakui kekalahannya. "Sembarangan lo kalau ngomong! Ini itu bakat dari Tuhan buat gue," ujar Tama sok bijak yang membuat Rendra melayangkan tangannya memukul tubuhnya. "Najis lo, geli banget gue!" Dewa hanya bisa menggeleng melihat perdebatan Rendra dan Tama yang tiada hentinya hanya karena permainan PS. Ia memainkan ponselnya sendiri dan membuka akun i********: miliknya. "Cepet amat, udah ada yang post aja," kata Dewa berkata sendirian. Ia menemukan foto dirinya yang berdiri di pinggir lapangan kemarin, lengkap beserta tag pada akunnya. "Mas?" suara ketukan di pintunya membuat Dewa dan kedua sahabatnya sontak menoleh. "Gue masih main, nanti aja makan malamnya!" seru Dewa seolah bisa menebak apa yang akan pembantunya katakan. "Bukan itu, Mas. Bapak sudah pulang." Dewa mengerutkan keningnya samar. Kalau papanya pulang, lalu kenapa? Bukankah Bi Siti paling tahu jika ia bahkan tidak peduli dengan papanya? "Ya, terus? Masalahnya sama gue apa?!" balas Dewa dengan nada sarkasme. Tama yang ada di dekatnya langsung menoel bahu Dewa, memperingatkan sahabatnya itu agar bicara dengan lebih sopan kepada yang lebih tua. "Bapak datang bersama Mas Bastian, Mas." Dewa mengerutkan keningnya dalam sejenak. Mencerna baik-baik apa yang baru saja Bi Siti katakan padanya. Merasa jika itu kemungkinan benar, Dewa sontak berdiri dan menarik pintunya dengan keras. Tama dan Rendra yang juga tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bi Siti ikut berdiri dan berdiri di belakang Dewa. "Apa? Bastian?" ulang Dewa dengan sedikit ringisan di sudut bibirnya. "Iya, Mas. Sekarang mereka masih ngobrol di lantai bawah. Bapak minta Bibi untuk panggil Mas Dewa dan teman-teman turun ke bawah, makan bersama." Dengan rahang yang mengeras dan kedua tangan yang mengepal, Dewa langsung melangkah keluar dari kamarnya. "Udah gila apa mereka berdua?" lirihnya tak percaya. "Wa, sabar ...." Rendra meraih pundak Dewa yang mendapat respon tepisan langsung dari Dewa. "Lo berdua diem. Ini masalah gue, jangan ikut campur." Sesampainya di ruang tamu, Dewa melihat papanya sedang asyik mengobrol dengan Bastian sambil sesekali tertawa. Itu bukanlah pemandangan yang menyenangkan bagi Dewa. Yang ada ia justru merasa muak dan jijik. "Hei, Wa! Apa kabar?" tanya Bastian yang langsung menyunggingkan senyum kala melihat Dewa yang sudah menampakkan batang hidungnya. Adrian yang menyadari kehadiran Dewa dari Bastian, langsung menoleh dan tersenyum. Tersenyum? Apa Dewa tidak salah lihat sekarang? Kenapa papanya bisa tersenyum di saat seperti ini? Dan sudah berapa lama Dewa tidak melihat senyum papanya itu? "Kamu sudah turun rupanya. Duduk Dewa, ada yang mau Papa bicara-" "Maksud Papa apa?" sela Dewa tanpa memberi kesempatan untuk Adrian bicara. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan mereka bertiga saat melihat sebuah koper yang ada di samping sofa. "Duduk dulu Dewa. Papa baru akan bicara jika kamu duduk dan mau mendengarkan." "Nggak usah basa-basi. Aku cuma butuh jawaban, apa maksud Papa dan apa maksud koper itu?" Adrian menghela napas panjang, sementara Bastian masih tetap tersenyum santai menatap Dewa. "Mulai malam ini Bastian akan tinggal bersama kita untuk beberapa waktu ke depan. Jadi Papa harap kamu akan bisa menghar-" "Menghargai?" sela Dewa yang seolah tahu maksud ucapan papanya. "Padahal di sini Papa yang nggak menghargai aku. Terus sekarang Papa minta aku menghargai keputusan Papa?" "Pa, kalau Dewa nggak izinin aku tinggal di sini, nggak papa, kok. Aku balik ke rumah lagi aja kalau gitu." Dewa hanya bisa menatap geli Bastian yang bicara seperti itu. Rasanya ia ingin menghabisi lelaki detik itu juga. "Nggak, Bas. Kamu akan tetap tinggal di sini. Papa yang akan bujuk Dewa nanti." Dewa tersenyum miring. Satu tangannya masuk ke saku celana pendeknya. Bapak dan anak itu memang paling senang mempermainkan perasaannya. "Terserah Papa, deh. Aku nggak peduli lagi. Tapi kalau sampai Papa beneran bawa Bastian tinggal di rumah ini, aku yang nantinya akan keluar," ujar Dewa dengan langsung meninggalkan ruang tamu tersebut masuk ke dalam kamarnya. Adrian menghela napas panjang, sementara Bastian hanya menatap kepergian Dewa dengan tersenyum samar. Tama dan Rendra yang melihat Bastian saja sampai merasa kesal, jadi bagaimana perasaan Dewa, mereka berdua sangat memahami. ☘️☘️☘️ Mira dan kedua sahabatnya keluar dari kelas begitu waktu istirahat pertama berbunyi. Mereka bertiga ingin pergi ke kantin untuk membeli air mineral dan cemilan karena tak sempat sarapan di rumah. Jam istirahat pertama rasanya sama saja dengan jam istirahat kedua saat siang, karena nyatanya semua siswa tetap ramai pergi ke kantin. Bahkan siswa laki-laki juga tak segan menghabiskan jam istirahat pertama untuk bermain futsal walau hanya sebentar. Mira dan kedua sahabatnya harus melewati kelas X IPA untuk bisa turun menuju kantin. Ketiganya berjalan cepat sambil membincangkan cerita jika boygroup asal Korea Selatan, yakni BTS sebentar lagi akan melakukan comeback albumnya yang salah satu lagunya mereka akan melakukan kolaborasi dengan Hasley. Sungguh kabar yang sangat membahagiakan mereka sebagai bagian dari Army-sebutan untuk fans BTS. "Eh, Ra!" Melihat siapa yang ada di depan sana, Lia langsung menepuk pundak Mira cepat. "Apaan?" "Itu cewek yang lo benci, kan? Yang katanya bisu itu?" Mira langsung mengikuti arah telunjuk Lia. "Iya, dia. Dan sekarang dia rame diomongin di semua grup karena sering terlibat sama senior kita yang paling keren dan ganteng itu," timpal Siska yang ikut memanas-manasi Mira. "Iya ih, sumpah ya, kenapa bisa sih Kak Dewa itu ganteng gila? Bahkan Kak Tama dan Kak Rendra juga sama kerennya." Lia mendadak melupakan siapa yang ia bicarakan dan lebih memilih membicarakan 3 senior Angkasa yang mereka gilai. Tanpa mendengar kehebohan Lia dan Siska yang sedang membicarakan 3 senior terkenal di Angkasa, Mira berjalan lebih cepat. Begitu gadis yang ia targetkan berada di depannya, Mira langsung mencekal lengan gadis itu hingga gadis itu berbalik dan menatapnya dengan tatapan terkejut. "Lo, ikut gue!" bentak Mira dengan langsung menarik lengan Cinta ke lantai atas. Padahal dirinya dan kedua sahabatnya ingin pergi ke kantin, tapi ia urungkan begitu ia melihat seseorang yang ia benci ada di hadapannya tadi. "Eh, Mir, lo mau ke mana?!" teriak Lia. "Mira! Ih, tuh anak main pergi aja sih!" Siska juga jadi ikut bingung sekaligus kesal karena melihat Mira yang langsung menarik Cinta untuk naik ke lantai atas. "Samperin aja lah, Sis. Lumayan liat yang seru, tadi kan bosen banget habis pelajaran bahasa." "Ih, ogah, ah! Capek gue, mendingan gue ke kantin beli minum," tolak Siska atas tawaran Lia. "Yah, terus masa gue doang yang naik? Gue ikut lo aja, deh!" "Ya udah makanya, biarin aja Mira urus urusannya sama tuh cewek, kita mah jajan aja." Cinta yang dicengkeram lengannya berusaha menarik diri, tapi tenaga Mira terlalu kuat untuk ia tepis. Cinta masih terus berusaha untuk melepaskan diri, namun begitu Mira menghempaskan tangannya membentur dinding, Cinta langsung berhenti memberontak. Punggungnya sakit dan perih karena Mira yang terlalu kasar menghempas lengannya hingga kedua kakinya tak sigap menahan diri. "Lo tuh, ya! Masih aja berani liatin muka lo itu di depan gue?! Tau malu dikit kek, lo. Lo itu nggak pantes sekolah di sekolah normal dan besar kayak gini! Ngaca jadi orang tuh!" bentak Mira langsung di depan wajah Cinta. Mira sengaja membawa Cinta ke depan ruang gudang yang sudah tak terpakai. Karena pasti, tidak akan ada siswa yang berkeliaran di sekitar ruang gudang. Cinta yang masih sibuk menghilangkan rasa sakit di punggungnya, mencoba mengangkat kepalanya perlahan. Ia mensejajarkan kepalanya dengan kepala Mira. "Aku sekolah di sini untuk cari ilmu, bukan untuk diperhatikan sama orang seperti kamu." Mira sontak tertawa remeh begitu melihat bibir Cinta terbuka untuk berbicara, namun hasilnya tak ada sedikit pun suara yang terdengar dari bibir Cinta. "Lo belum sadar ya kalau lo tuh bisu? Lo tuh bisu! Nggak bisa ngomong!" bentak Mira lagi sambil terus tertawa penuh meremehkan. Panas rasanya d**a Cinta kala mendengar apa-apa yang meluncur dari bibir Mira. Ia tahu ia bisu. Tak perlu orang lain katakan pun, dia tahu kenyataan yang terjadi pada dirinya. Tapi perlukah Mira terus memperlakukan kekurangannya dengan hinaan seperti itu? "Hentikan," Cinta mencoba memberikan isyarat sederhana agar Mira mau berhenti mengatainya. "Gue nggak paham kalau harus ngomong sama orang bisu," ujar Mira dengan memainkan ujung rambut Cinta dengan jemarinya. Di ujung sisi gedung, berdiri Dewa yang sejak awal menyaksikan Mira dan Cinta. Ia bahkan melihat tiap-tiap apa yang dilakukan Mira pada Cinta. Tak sengaja Dewa melihat karena ia berniat untuk pergi ke atap sekolah. Namun siapa sangka jika ia malah melihat bullying di depannya? Tanpa berniat membantu, Dewa menolehkan kepalanya. Tak memedulikan Cinta yang mungkin saja membutuhkan pertolongannya.  *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN