Bab 4

1734 Kata
*4* Angin yang menerpa, suara ombak menenangkan hati dan fikiran. Sinar mentari yang mulai tergelincir, menandakan waktu akan berganti. Slurrp... Meminum es klapa muda di waktu senja, membuat hawa dingin menjadi seolah-olah masuk ke dalam. Tidak dapat dipungkiri kelakuan Devan yang meminum es di waktu yang kurang tepat. Melihat ibunya yang tengah duduk di pasir pantai bersama Nandini, membuatnya menerka-nerka apa yang dibicarakan. Meski begitu, Devan sedikit khawatir pada ibunya. Karena setiap orang melewatinya, apa yang mereka lihat tidak sama dengan yang dilihat ibunya. Apa yang mereka ketahui adalah ibunya berbicara sendirian di bawah langit senja dan di atas pasir basah. Kring... Kring... Suara ponsel berdering, membuat Devan melirik ke arah Ayahnya. Raut wajahnya terlihat sedikit terkejut ketika membuka ponselnya. "Devan, kamu bawa hp?" tanya Ayah bingung. "Hah? Sebentar," ucapnya sembari merogoh saku mencari ponsel miliknya. "Kayaknya ketinggalan deh. Ada apa emangnya?" tanya Devan. "Hmm, sebentar. Ayah angkat dulu," ujarnya. "Halo?" "..." "Ya ampun, iya sebentar lagi. Sabar ya?" "..." "Oke, dah..." ucap Ayah mengakhiri sambungan. "Van? Putri di rumah kita?" tanya Ayah heran. Devan berfikir sejenak, "Oh iya, dia belum pulang ya?" ucap Devan yang baru ingat seseorang terkunci di rumahnya. "Kenapa gak ada yang sadar coba?" heran Ayahnya. "Ah, itu... Aku ngasih selimut ke Putri. Tadinya dia pingsan, tapi ujung-ujungnya tidur juga," jelas Devan. "Pingsan?" Devan sedikit terlonjak kaget, "Eh, nanti dijelasin di rumah aja," ucap Devan Ayahnya hanya mengangguk mengerti, "Ok, Ayah manasin mobil dulu. Bilang sama Ibu ya?" "Ok," jawab singkat Devan Devan bangkit melewati angin sepoi-sepoi yang menerpa menuju ke tempat Nandini dan sang ibu berada. "Devan," panggil Nandini sembari tersenyum ke arahnya. Splash... "Aah! Basah lagi? Ibu, aku udah ganti baju..." rengek Devan. Ibunya hanya terkekeh melihat Devan, "Yaudah ganti baju lagi aja," ucap Ibu enteng. "Bu, kita harus pulang nih," ujar Devan. "Loh, kenapa?" tanya Nandini kecewa. "Ada yang kekunci di rumah," ucap Devan yang sedang memeras bajunya. "Siapa?!" tanya Ibu dan Nandini secara bersamaan dengan raut wajah terkejutnya. "Putri," jawab singkat Devan. "Loh, kok bisa?" tanya Ibu keheranan. "Jelasin di rumah ajalah," ucap Devan yang kemudian pergi ke gubuk yang disinggahi tadi. "Ayo nak!" ajak Ibu. Nandini terlihat senang, baginya sudah lama sekali sejak terakhir kali ke pantai. Membuatnya bersemangat meski tidak bisa menyentuh air lautnya. Melihat pemandangan senja dan keluarganya sudah cukup baginya. "Bu, beli baju buat Devan yuk! Kasian dia, pasti kedinginan," ajak Nandini melihat Devan yang tengah duduk dengan baju yang sedikit basah. "Oke, ayok!" ucap Ibu antusias menerima ajakan Nandini mencari toko pakaian terdekat di pantai. "Wah, di sana aja bu," saran Nandini. Tanpa menjawab Ibu hanya tersenyum dan mengikuti kemana Nandini pergi. Karena hari hampir gelap, toko terlihat sepi. Banyak pakaian terpajang dan semuanya sangat berwarna. Tidak lama seorang penjaga toko datang menghampiri. Dengan ramah dia menanyakan dan menawarkan baju yang ada. "Wah, ini bagus ya bu?" tanya Nandini memandang baju yang terpajang. "Warnanya pink?" tanya Ibu heran. "Iya dong, ini kesukaan aku bu," ujar Nandini. "Ada warna lain bu," ucap wanita paruh baya menawarkan. "Kalo pink mah, kesukaan kamu," ujar Ibu kepada Nandini. "Hehe, emang iya sih," Nandini terkekeh mengakui hal itu. "Bu maaf, saya gak suka warna pink," ucap wanita paruh baya itu tidak enak. "Loh, saya gak tanya sama kamu. Ini anak saya," jelas Ibu sembari menunjuk Nandini. Tentu saja hal itu membuat bingung penjaga toko tersebut. Dia sama sekali tidak melihat orang lain lagi. "Ok, saya jadi beli ini," ucap Ibu menghamburkan lamunan penjaga toko. "Eh, iya bu. Sebentar," ucap penjaga toko. "Ini, bu. Makasih," penjaga toko menyodorkan baju yang dibeli. "Oh iya, sama-sama," balas Ibu. "Ini cocok banget buat Devan," ujar Ibu. "Oh? Hahaha... ada-ada aja kamu ini," Melihat pelanggan yang berbicara sendiri, membuatnya merinding. Ibu dan Nandini yang masih berbincang, tidak menyadari kalau apa yang mereka lakukan mengundang beberapa pasang mata tertuju padanya. Tidak, lebih tepatnya tertuju pada sang Ibu. "Devan, ganti baju sana!" perintah Ibu sembari menyodorkan kantung kresek berisi baju yang dibelinya tadi. Devan membuka kantung kreseknya, matanya menatap Ibunya seolah bertanya kenapa. "Itu dipilihin kakakmu loh," ujar Ibu. "Ayo pake!" seru Nandini. "Gak!" jawab tegas Devan. "Yaudah selamat kedinginan," ledek Nandini. "Itu belinya pake uang Van, bukan daun," ujar Ibu yang kemudian melenggang pergi. "Mau kemana bu?" tanya Devan. "Nemenin suami," jawabnya. Devan hanya bisa menggelengkan kepala, melihat kelakuan Ibunya itu. Dia kembali memandang kantung kresek hitam yang diberikan Ibunya tadi. "Udah pake aja," ucap Nandini enteng. "Tapi kak, ini bajunya warna pink. Aku gak bisa pake warna pink," jelas Devan. "Milih sakit karena kedinginan atau anget tapi pake baju pink?" ucap Nandini memberi pilihan. "Pilihannya gak ada yang bener," kesal Devan. Devan melenggang pergi ke toilet, untuk mengganti bajunya. Sangat terpaksa baginya, karena ini bukanlah kesukaannya. *** Kini semuanya telah masuk ke mobil, Ayah menyetir bersam Ibu di sampingnya. Sementara Devan, dibelakang bersama Nandini. "Kamu cocok banget pake baju itu," puji Ayah. "Tuhkan, pantes. Apa kubilang?" sombong Nandini. Ibu hanya bisa terkekeh melihat raut wajah Devan yang semakin kesal dan merah karena menahan malu. Sementara Devan, hanya memandang ke arah jendela mobil sembari melipat tangan di dadanya. "Ok siap ya... Kita pulang," ujar Ayah. Kemudian mobil melesat, menjauhi pantai. Terlihat banyak pepohonan bakau yang tertanam. Hari mulai gelap, hanya sedikit penerangan dari lampu jalan. "Main pantai liat pemandangan, emang seru. Tapi sayangnya gak bisa main air," kecewa Nandini. Ibu hanya tersenyum dan menjawab, "Keluarganya lengkap itu sudah menjadi kebahagiaan tersendiri dan itu kenikmatan yang gak bisa diganti oleh apapun," "Ibu?" panggil Devan lembut. "Apa nak?" tanya Ibu sembari menoleh ke arah Devan. "Sejak kapan Ibu bisa kayak motivator?" tanya Devan. "Ibu kira penting loh," ucap Ibu menepuk dahinya. "Anakmu itu," ucap Ayah kepada Ibu. "Anakmu juga," ucap Ibu tak mau kalah. "Yang ngelahirin siapa?" tanya Ayah. "Yang ngehamilin siapa?" tanya Ibu tak mau kalah lagi. "Eh... Kok pada ribut. Kalo gini, Devan berasa anak pungut," kesal Devan. "Perhatiin jalannya," ingat Devan. Namun perkataannya tidak digubris. Mereka masih asik meributkan hal yang tidak penting. "Hahaha... Udah lama gak kayak gini," ujar Nandini. "Kok, kakak ketawa sih?" heran Devan. "Aku rindu ramainya keluarga ini," balas Nandini sembari tersenyum di wajah pucatnya. Seketika Devan terdiam, mungkin dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kepada kakaknya itu. Meninggal dan bangkit dengan wujud hantu. Tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya. *** Setelah menempuh perjalanan selama satu jam. Kini mobil berhenti, di depan rumah. Keadaan luar rumah nampak sepi, hanya lampu terang yang menyala tidak terlalu membuat kesan menakutkan. Devan keluar dari mobil, seperti ada orang yang melihar di balik jendela rumahnya. Sekejap mata, bayangannya hilang. "Devan ini kuncinya," ucap Ibu menyodorkan kunci yang ada di tas merahnya. "Eh, iya bu," jawab Devan. Devan berjalan menghampiri pintu rumahnya. Dia berjalan kesamping untuk melihat ke jendela. Salah satu tangannya menutup sinar bias yang terpancar agar dapat melihat dengan jelas ke dalam jendela. "Woah!" Devan terkejut hingga jatuh terduduk. Seseorang tiba-tiba muncul di balik jendela. Ternyata dia adalah Putri, dirinya terkunci dalam rumah Devan. "Ngagetin aja!" kesal Devan. "Van, bukain!" seru Putri dari balik jendela. "I-iya sabar," pinta Devan. "Devan, bukain tuh," ucap Ibu. "Iya kita jadi gak bisa masuk nih," ucap Nandini. Seketika semua orang yang ada tertuju padanya. Tatapannya seolah bertanya-tanya. Tapi karena Nandini tidak peka, dengan polosnya dia bertanya. "Kenapa?" tanya Nandini. Ketika itu pula mereka yang mendengar pertanyaan Nandini hanya bisa menghela nafas panjang. Tidak ada yang berniat memberi jawaban. Karena, mungkin itu percuma saja. Sementara Nandini hanya bisa terdiam dan bertanya-tanya di dalam benaknya. Klek Pintu telah terbuka, kini Putri bisa bernafas lega. Meski ini bukan tempat asing baginya, tapi terkunci dalam tempat yang bukan miliknya sangatlah tidak menyenangkan. "Aku bisa keluar," ucapnya lega yang melangkahkan kaki luar dari rumah ini. "Aduh, maaf ya Putri," ucap Ibu tidak enak. "Ah iya tante, gak apa-apa," balas Putri. "Permisi om, tante saya pamit pulang," pamit Putri. "Eh, tunggu dulu. Kamu pasti belum makan. Ayo makan bareng dulu," ajaknya. "Em... gak usah tante, aku makan di rumah aja," tolak Putri. "Udah ikut aja," ucapnya menarik lengan Putri. Karena tidak enak hati, Putri hanya menurut saja. Putri anak piatu, ibunya meninggal dunia saat masih kecil. Dia hanya bisa melihat foto ibunya yang dipajang di rumahnya. Berada di rumah Devan, dan dianggap seperti keluarga di rumahnya sudah menjadi kebahagiaan baginya. Karena sudah lama dia tidak merasakan kehangatan dari sang ibu. *** Nasi gudeg yang di pesan via online kini berada di depan mata. Baunya yang khas, dengan nasi yang masih hangat. Membuat siapapun tergugah ingin segera mengabisinya. "Wah... Nasi gudeg!" girang Putri. "Andai bisa makan ya," kecewa Nandini. "Bisa deh, kayaknya. Tuh, rasuki si Putri aja," saran Devan sembari membuka bungkus nasinya. "Hah?" Putri sangat tidak percaya apa yang dikatakan Devan. "Ide bagus Devan," ucap Nandini setuju dengan saran Devan. "Ehh... Biarin Putri makan dulu," ucap Ibu. "Udah selesai," ucap Ayah Devan yang selesai makan lebih dahulu. "Kok cepet banget?" heran Ibu. "Iya dong," sombong Ayah sembari mengambil minum. "Ayo mana sini, yang gak abis. Mau saya makan," ucap Ayah. "Devan?" panggil Ayah. "Nggak, nggak akan. Ini jatah Devan," ucap Devan melindungi santapannya. "Ayah gak berubah," ucap Nandini sembari terkekeh. "Setannya ketawa lagi," ledek Ayah. "ishh," kesal Nandini. "Udah-udah, kalo mau becanda jangan di sini," lerai Ibu. "Loh, tumben banget Putri diem. Biasanya banyak omongnya," ucapnya kepada Putri. "I-iya... Ngeliat tante jadi inget mamah," ucap Putri. "Kamu ini, udah lama kita tinggal sebelahan loh. Kamu itu udah dianggep kaya anak sendiri sama tante. Jadi jangan sungkan-sungkan," ujar Ibu. "Keluarga itu gak harus terikat darah, asalkan mereka saling melengkapi itu namanya keluarga," sambung Ayah. "Nah bener itu," ucap Ibu membenarkan. "Kak," panggil Devan. "Apa?" tanya Nandini. "Sejak kapan orang tua kita pandai bikin quotes?" bisik Devan. "Entahlah," Nandini hanya menggeleng tidak tahu. Di meja makan ini mereka kembali bersenda gurau dengan mengingat masa kecil Devan dan Putri. Kebersamaan mereka ketika masih kecil seperti lem perekat, tidak bisa dilepas. "Dulu tuh ya, Devan sering banget minta Putri buat bareng ke sekolah waktu SD," ucap Ibu mulai bercerita. "Bu, jangan cerita. Lagi makan nih," ucap Devan berusaha menghentikan cerita masa kecilnya. "Sekarang, diajak ke mall bareng aja gak mau," sindir Putri. "Dasar tidak setia kawan!" kesal Putri. Seketika Devan menjadi bahan olok-olokan dalam satu meja makan. Membuat wajah Devan memerah karena malu. Makan malam hari ini terasa menyenangkan bagi Nandini, meski tidak bisa menyantap makanan kesukaannya. Baginya hari ini adalah hari paling menyenangkan. Bisa berkumpul kembali, meskipun dalam wujud berbeda. Dia hanya berharap waktu akan terhenti demi melihat orang yang disayanginya lebih lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN