Bab 3

1557 Kata
*3* Sinar mentari masuk melalui celah jendela. Dengan enggan Devan membuka mata perlahan. Dia bermimpi aneh semalam, meski sedikit menakutkan. Devan bangkit dari tempat tidurnya. "Hari minggu?" ucap Devan bertanya-tanya. Krieet... Devan menarik pintu, keluar dari tempat istirahatnya. Berjalan menuju dapur mengambil air mineral, seperti biasanya. Secarik kertas tertempel di kulkas. Di sana tertulis, 'Hajatan'. Kertasnya dijatuhkan begitu saja, kemudian membuka pintu kulkas dengan sedikit tenaga. Botol air mineral diraihnya, rasa dingin terasa di telapak tangannya ketika memegang botol tersebut. Glek Glek Glek... "Ahh... segarnya, tadi malam aku mimpi apa sih? Apa aku kebanyakan baca novel horror?" ucapnya sambil berfikir. "Ya udahlah," Tanpa fikir panjang dirinya pergi menonton tv seperti biasanya. Tombol remote tv ditekannya berkali-kali mencari acara yang bagus baginya. Dia menoleh ke arah tangga, mengingat jalan cerita yang dianggap mimpi tadi malam. Dia menghadap anak tangga menuju kamar kakaknya. Takut? Iya, Devan takut. Tapi rasa penasarannya lebih besar dan mampu mendorongnya. Dia hanya ingin membuktikan, apa yang terjadi dalam mimpinya atau kenyataan? Devan meneguk salivanya, tapi rasa penasarannya membuat kakinya melangkah perlahan. Sepi, hanya suara bincang-bincang di televisi. Membuat ruangan yang hening tak terlalu mencekam. Langkah demi langkah, Devan menaiki tangga. Hingga sampai di depan pintu. Tangannya memegang gagang pintu. Krieet... Suara pintu yang jarang dibuka sangat khas. Membuat bulu kuduk merinding, Devan mengintip dari celah pintu yang dibuka. Kosong dan hening, itulah kesannya. Dengan keberanian yang berhasil dikumpulkan, Devan membuka pintu lebar-lebar. Rasa penasarannya membawa Devan memasuki kamar tersebut. Dia memandang sekeliling kamar. Banyak buku di rak membuat, matanya tertuju pada benda kesukaannya. Devan mulai meraba buku-buku yang terpajang rapi. Matanya berbinar, seolah lupa apa tujuannya kemari. Bruk! Buku berwarna pink jatuh di sampingnya. Seperti hal yang familiar baginya. Devan jongkok untuk mengambil buku itu. Devan melihat ke depan, sesosok gadis berpakaian putih lusuh dengan wajah pucat. Matanya mengerjap beberapa kali. Seolah mencoba mencerna apa yang dia lihat. "Aaaaa!" teriak Devan kencang. Devan bangkit dan berlari tunggang-langgang menuju tempat yang dianggap aman, yaitu kamarnya. Brak! Klek Pintu kamar ditutup keras dan dikunci. Kemudian dia menutup dirinya dengan selimut. Ting! Suara pesan singkat diponsel berbunyi, Devan membuka sedikit selimutnya. Tangannya meraih ponsel di dekat meja. Dengan gelisah dia membuka ponsel secara terburu-buru. "Putri?" gumamnya. Devan langsung menghubungi Putri tanpa membaca pesannya. "Ha-" "Put Put Put! Ke rumahku cepetan! Tolong aku Put!" suara dari seberang terputus oleh perkataan Devan yang melaju seperti kereta cepat "Loh, kamu kenapa Van?" tanya Putri yang mulai khawatir. "Udah buruan! Cepetan! Aku butuh bantuan, emergency!" ucap Devan lagi. "Ah, oke. Aku ke sana sekarang. Tunggu aku Van," ucapnya menutup telepon. Devan menatap ponselnya berharap Putri segera datang. Dia kembali menutup dirinya dengan selimut tebal yang membuat gerah. Sementara itu... "Aduh, kenapa lagi Devan? Ah, aku bawa ini sama ini aja deh," ucap Putri sembari mengambil sebuah pemukul kasti dan alat pertahanan kejut listrik. Klek Pintu rumahnya telah dikunci, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Sekaligus menjalankan pesan ayahnya, untuk selalu mengunci pintu jika ingin pergi. Dengan menggunakan pakaian santainya, Putri siap mengalahkan siapapun yang mengganggu Devan. "Devan, tunggu aku!" ucapnya percaya diri. Putri melangkahkan kakinya menuju rumah yang ada di sebelahnya, "Devan! Kamu di dalam?" Tok tok tok! putri mengetuk pintu rumah Devan keras. Krieet... "Gak dikunci?" gumamnya. Putri memasuki rumah Devan, dia mencari keberadaan Devan dengan sesekali memanggil namanya. Matanya mencari sosok Devan, tapi hasilnya nihil. "Devan dimana sih?" gumamnya kemudian. "Kok sepi banget? Udah bawa pemukul kasti segala juga," ucapnya melihat sekeliling ruang. "Devan, kemana kau? Awas kalo aku nemu kamu," ucap Putri yang merasa diberi panggilan palsu. "Apa di kamarnya?" gumam Putri yang dilanjut melangkahkan kaki menuju kamar Devan. Tok tok tok "Devan, ini aku Putri," panggilnya. Kriet... Pintu dibuka sedikit dari dalam, membuat Putri tambah geram. "Devan, buka!" seru Putri. "Janji, setelah kubuka pintunya kamu akan percaya apapun yang aku katakan," ucapnya memberi syarat. "Bu-ka sa-ja!" perintah Putri menarik pintu untuk membukanya. "Van, buka!" serunya lagi. Pintu menjadi ajang tarik-menarik layaknya hari kemerdekaan. Jika Devan tidak mau mengalah, itu artinya ada sesuatu hal yang penting. Membuat Putri mau tidak mau harus mengalah. "Oke, aku janji paham?" ucap Putri mengalah. Kemudian Devan membuka pintunya lebar-lebar. "Dengar, tadi aku bertemu hantu berpakaian putih dan lusuh berambut panjang di kamar atas," jelas Devan dengan wajah ketakutan. "Hah? Hantu?" tanya Putri tidak percaya. "Dan aku pernah bermimpi kakakku yang meninggal berubah jadi hantu," jelas Devan berharap Putri mempercayainya. Drrt Drrt Stun gun yang dibawa Putri ditekan-tekannya. Seolah-olah mengatakan jangan bercanda. "Jangan macam-macam dengan benda itu Put. Bahaya!" ingat Devan. Drrt Drrt "Siapa yang bercanda? Harusnya aku yang bilang," ucap Putri geram. "Hah?" "Van," panggil Putri. "Kamu tau gak sih? Aku buru-buru ke sini, dan aku pikir ada suatu hal yang sangat berbahaya. Tapi, kamu bilang cuma karena lihat hantu?" jelas Putri panjang kali lebar. "Lagian, rumah kita sebelahan. Apa salahnya bantu sesama tetangga?" ingat Devan. "Oke," ucap Putri memegang lengan Devan. "Mau ke mana?" tanya Devan. "Samperin setan!" seru Putri. "Eh, ta-tapi Put," ucap Devan terbata-bata. "Ikut aja!" perintah Putri. Mau tidak mau Devan harus mengikuti langkah kaki Putri. Sedari tadi, Devan hanya bisa bersembunyi dibalik punggung Putri. Devan selalu berada di dekat Putri sampai di depan pintu kamar kakaknya. Klek... Krieet... Putri memutar daun pintu dan membukanya secara perlahan. Kosong, tidak apapun di kamar. Sedangkan Devan masih bersembunyi dan tidak berani membuka matanya setelah memasuki kamar. "Van, mana?" tanya Putri tidak melihat keanehan apapun. Perlahan Devan mulai membuka matanya. Sekejap kemudian Dia kembali menutup matanya. "Masih ada Put," ucapnya menunjuk hantu yang sudah di hadapannya. "Eh?" Putri tidak sengaja menendang buku di bawah kakinya. "Putri, kamu kemana?" tanya Devan mengetahui punggung Putri mulai menjauh. "Aku masih disini, buka matanya!" seru Putri yang sedang mengambil buku berwarna pink. "Udah aku bilang gak ada apa-apa," ujar Putri yang memegang buku berwarna pink itu dengan menghadap Devan. "Tapi Put, di sana," ucap Devan menunjuk ke depan. Putri menoleh ke belakang, "Aah... Si-siapa?" tanya Putri yang terkejut dan ketakutan. "Selamat pagi?" sapa Nandini, hantu itu yang menunjukan senyum di wajah pucatnya. "Hantunya bisa ngomong?!" ucap Putri terkejut. "Devan, siapa ini? Kenapa wajahmu ikut taku begitu?" tanya Nandini yang masih melayang tanpa menyentuh lantai. "Van, kamu kenal?" tanya Putri yang mundur beberapa langkah untuk bersembunyi di balik punggung Devan. "Van, kita baru ketemu kemarin. Masa kamu lupa?" tanya Nandini tak percaya. "Eh?" dahi Devan berkerut seketika. Dia mulai berfikir kembali, kejadian aneh yang dianggap mimpinya adalah kejadian nyata atau bukan. "Ah, benar. Putri, ini kakakku yang telah tiada 16 tahun yang lalu Nandini. Nandini, ini tetatangga sebelah," ucap datar Devan setelah mengetahui yang kemarin adalah kenyataan. "Nandini?" ucap ulang Putri mendengar nama yang sering disebut oleh ibunya Devan. "Jangan takut, dia gak jahat kok," ucap Devan meyakinkan. Wajah Devan yang tadinya ketakutan berubah menjadi biasa. Seperti melihat manusia biasa yang dia kenal. Putri yang bersembunyi dibalik punggung Devan, mulai menunjukan dirinya dihadapan Nandini. Mencoba meraba apa yang dilihat di depannya. Tapi tangan Putri menembus tubuh Nandini, dia mulai mengibaskan tangannya untuk mengecek berulang kali ke tubuh Nandini yang tidak dapat disentuhnya. "Hentikan," ucap Nandini yang mulai risih meski tangan Putri tidak dapat menyentuhnya sedikitpun. "Hentikan!" seru Nandini yang tanpa sadar telah memasuki tubuh Putri. "Eh, kok?" heran Nandini dapat melihat tangannya yang tidak tembus. "Putri?" panggil Devan memastikan. Putri menoleh ke arahnya, raut wajahnya yang terkejut. Dia bukan Putri, Dia Nandini kakaknya. "Kakak?" panggil Devan memastikan kembali. "Aaa! Aku bisa menyentuh benda!" girang Nandini yang bisa menyentuh benda-benda disekitar. "Wah, aku bisa menyentuhmu," ucap Nandini sembari menyentuh lengan Devan. Nandini melepas lengan Devan, dia melewatinya dan keluar dari kamar. Dengan girang menuruni anak tangga, seperti seorang anak kecil yang menemukan taman bermain. Dia memegang banyak barang di ruang keluarga. Sampai dia menemukan foto dirinya sebelum benar-benar pergi. Nandini memegang dan memandangnya lekat-lekat. Senyumnya terukir meski bukan di tubuh aslinya. Matanya melihat ke arah foto lain, terdapat foto Devan saat masih kecil. Tap tap tap Devan menuruni anak tangga, suara gaduh yang ada di bawah lenyap seketika. Membuat Devan ingin mengetahui segera. "Kak Nandini?" panggil Devan lembut melihat kakaknya memandangi foto yang terpajang. Seketika Nandini meninggalkan tubuh Putri. Devan terkejut, dia langsung menghampiri tubuh Putri yang tidak sadarkan diri. "Berat," ucap Devan mengangkat tubuh Putri ke sofa. Setelah berhasil menaruh tubuh Putri ke sofa. Devan melihat ke arah kamar lantai atas. Cukup banyak hal yang difikirkan Devan tentang kakaknya itu. Devan melihat ke sekitarnya, banyak barang berserakan. Mau tidak mau Devan harus membersihkan kekacauan ini. "Hufft..." Devan menghela nafas panjang. 15 menit kemudian... "Fyuh... Selesai, aku bisa istirahat," ucap lega Devan yang duduk di lantai dekat sofa. Melihat ke arah tangga, membuatnya teringat kakaknya. Dia memutuskan bangkit dan menuju ke kamar kakaknya itu. Langkah demi langkah, menaiki tangga tak sedikit kecemasan yang melanda Devan. Tok tok tok "Kak Nandini? Aku masuk ya?" tanya Devan tanpa menunggu jawaban langsung memasuki kamarnya. Devan melihat Nandini yang memandang jendela. Dia mendekatinya, memposisikan dirinya tepat di sebelah Nandini. "Kakak baik-baik aja kan?" tanya Devan. "Iya, sepertinya. Nanti siang kita mau ke pantai," ucap Nandini. "Pantai?" ucap Devan tak percaya. "Jangan bilang kamu lupa apa yang dibilang Ayah kemarin?" tanya Nandini. Devan nampak berfikir, "Aku ingat, tapi aku pikir itu cuma mimpi," jawab Devan. "Apa kamu gak senang liat kakakmu ini?" ucap Nandini melayang menembus tubuh Devan. Devan sedikit terkejut, meski begitu dia tetap tenang. Percaya atau tidak, yang ada di depan matanya adalah kakaknya. Meski berwujud hantu, dia tetap kakaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN