BAB 02: Buku

1634 Kata
Hari sabtu, dimana hari libur tiba. Bisa bangun lebih siang, tapi tidak dengan Devan. Dia bangun pagi demi bisa melanjutkan novel yang kemarin. Devan masih asik membaca bukunya hingga tengah hari. Saking hobinya membaca buku, di kamarnya berisi rak buku besar dan semuanya sudah habis dibaca. Buku yang ia pegang ini adalah buku yang terakhir. Buk... Menutup buku dengan keras, Devan masih kurang senang dengan akhir ceritanya. "Harus beli buku baru," gumam Devan melihat rak buku besar berisi buku yang tertata rapi. Ceklek... Daun pintu yang diputar, membuat pintu terbuka. Devan keluar zona nyamannya untuk mengambil minuman. Ibu dan Ayahnya tidak ada di rumah, mereka sedang berkunjung ke tempat saudara sambil mengunjungi makam anak pertamanya. Greb... Pintu kulkas dibuka, tangannya meraih botol berisi air dingin dengan gelembung-gelembung kecil di dalamnya. Devan menutup kembali, setelah mengambil botol air putih dingin. Berjalan sembari memegangi botol di genggamannya. Sampai di ruang tengah, tangannya mengambil benda persegi panjang yang berisi tombol di meja. Devan duduk di sofa dan menyalakan televisi dengan remote yang diambilnya di meja. Dia mengganti channel televisi berulang-ulang. Belum lima menit, Devan sudah bosan dengan acara televisi yang tidak bagus menurutnya. "Aku ingin beli buku baru," gumam Devan menatap langit-langit. Dia baru teringat satu hal, Devan disuruh Ibunya untuk membersihkan kamar yang di atas. Kamar Nandini, kakaknya yang telah tiada lebih tepatnya. "Sudah jam satu siang," ucap Devan melihat jam dinding yang menunjukan angka satu di sana. Devan menaruh botolnya di meja. Dia berdiri mematikan benda persegi besar yang memunculkan suara dan gambar. Tangannya menaruh benda persegi panjang, berisi tombol dengan gambar angka di setiap tombolnya di meja. Kemudian meraih sapu yang tergantung dekat tangga. Devan melangkahkan kakinya ke anak tangga, dengan memegangi kayu yang berada sepanjang tangga untuk keamanannya. Tap... tap... tap... Deru langkah menaiki setiap anak tangga, berbelok mengikuti alur yang semakin naik. Hingga tiba di sebuah kamar dengan pintu kayu berwarna coklat. Ceklek Devan memutar daun pintu, untuk memasuki kamar tersebut. Masih terlihat rapi, hanya sedikit berdebu saja. Kedua tangan memegang sapu erat. Melangkahkan kaki lebih dalam, ia menemukan rak yang berisi buku cukup banyak di sampingnya. Matanya berbinar ketika melihat banyak buku novel dan komik. Telapak tangan meraba buku yang berjejer rapi, sembari meneliti setiap judul buku yang tertera. Hingga sampai pada buku komik Detektif Connor yang legendaris. Dengan penuh semangat Devan membawa buku tersebut ke kamarnya, meninggalkan sapu dan melupakan tujuan utamanya. Dia berjalan menuruni anak tangga, hingga masuk ke dalam kamarnya sendiri dan menutup pintunya untuk memasuki zona nyaman dalam membaca. Lembar demi lembar dibuka, demi mengetahui aksi dilakukan selanjutnya. Tak henti bola mata bergerak ke setiap aksi yang digambarkan dalam komik. Sampai pada akhir lembar cerita, dengan gembira hati Devan sangat puas dengan akhir cerita yang tak dapat ditebak. "Akhir ceritanya keren! Aku mau tau apa ada lagi seri bukunya?" gumam Devan pada dirinya sendiri. Devan berdiri dari duduknya dan melangkahkan kaki ke luar kamarnya. Sangat suka dengan komik tersebut, Devan berniat kembali menuju kamar kakaknya itu. Sebelum melangkahkan kaki ke anak tangga, mata Devan tertuju pada foto Nandini bersama orang tuanya dekat televisi. Dia hanya memandang sekilas dan tersenyum, seolah mengatakan rasa terima kasih padanya karena memiliki beberapa buku yang sekarang hampir tidak ada. Kemudian melanjutkan langkahnya, menaruh dan mengambil komik sampai puas membaca. Langkahnya menapaki anak tangga hingga sampai di kamar Nandini. Membuka pintu perlahan dan mencari buku komik seri lanjutannya. Berdiri di depan rak buku, dengan bola mata bergerak ke kanan dan kiri mencari benda yang diinginkan. Hingga pada buku yang dicari tertangkap oleh indera penglihatannya. Tangannya mencoba meraih buku yang dituju. Devan menarik buku perlahan tapi tak bisa, buku yang terhimpit buku lainnya membuatnya sulit untuk menarik keluar dari rak. Bruk... Bukunya berhasil diambil tapi membuat beberapa buku ikut terjatuh. Devan melihat buku yang terjatuh. Hanya ada beberapa buku novel dan satu buku diary, dan sepertinya itu milik Nandini. Satu persatu buku yang jatuh diambil dan ditaruh kembali ke rak buku. Hingga pada buku diary milik Nandini diambil. Jari-jemari Devan menyentuh buku berwarna merah muda diary Kakaknya. Devan sangat terkejut ketika melihat sepasang kaki putih pucat di depan matanya. Darah menetes di kaki yang putih pucat. Dengan menelan salivanya, Devan memberanikan diri menggerakan bola matanya ke atas perlahan. "Aaa!" teriak Devan keras yang terkejut dan ketakutan. Devan terduduk dengan kedua tangan menahan berat badannya di belakang, karena sangat ketakutan. "Jangan mendekat! Aaa!" Devan berlari keluar kamar Nandini, dengan secepat mungkin sembari berteriak kencang. Brak! Devan menutup pintu kamarnya dengan keras, kemudian melompat ke atas tempat tidur dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. Dengan gemetar, Devan berusaha menenangkan diri. Mencoba mengingat apa yang baru saja dia lihat. Seorang perempuan dengan rambut hitam, dan memiliki kulit putih pucat? Dengan wajahnya yang pucat pula? "Siapa gadis itu?" gumam Devan dengan kedua tangan yang gemetar. "Kenapa wajahnya tidak asing bagiku?" tanya Devan pada dirinya sembari kedua tangan yang gemetar memegang kepalanya. "Devan?" panggil seseorang dari luar kamarnya. Ceklek... Suara daun pintu diputar perlahan, membuat Devan makin takut. Devan tetap menutupi dirinya dengan selimut, meski sangat panas. Tap tap tap Hingga suara melangkah terdengar makin dekat ke arah Devan. "Devan, kamu kenapa nak?" rupanya sang Ibu dan Ayahnya telah pulang. "Dari tadi manggil-manggil gak kelihatan batang hidungnya. Kenapa tutupan selimut? Seperti habis melihat setan aja," ucap Ayah yang berada di pintu kamar Devan. Devan membuka selimutnya perlahan, Ibunya telah duduk di samping Devan. "Bu, tadi aku," ucapannya berhenti dan menatap Ibunya. "Apa?" tanya Ibu lembut sambil mengusap pucuk kepala Devan berusaha menenangkan. "Devan, lihat hantu bu," ucap Devan berharap kedua orang tuanya percaya. "Jangan konyol, Devan," ucap Ayahnya tak percaya. Devan merubah posisinya menjadi duduk, "Itu benar, aku lihat di kamar atas," ujar Devan. "Ya sudah, ayo lihat ke kamar atas!" ajak Ibu untuk mengetahui apa yang sebenarnya dilihat oleh anaknya. Mereka berjalan menaiki setiap anak tangga untuk menuju kamar Nandini. Ibunya berada di depan bersama Ayahnya, sementara Devan berlindung di belakang Ibunya. "Kamu itu anak laki-laki, masa takut sama begituan?" ledek Ayahnya yang berada di samping. "Hush, udah jangan mancing anaknya. Kalau kena karma baru tau rasa," ucap Ibu risih. Mereka sampai depan pintu, Devan masih ketakutan dan berlindung di belakang Ibunya. Ceklek... Ayahnya membuka pintu perlahan, kemudian memasuki kamar Nandini. Matanya mencoba menangkap yang dinamakan hantu di ruangan ini, tapi hasilnya nihil. "Mana? Gak ada apa-apa?" tanya Ayah menoleh ke arah Devan yang masih berlindung. "Devan, jangan sembunyi. Gak ada apa-apa," ujar Ayahnya. Devan masih setia di belakang Ibunya, dan tak mau melihat ke arah kamar. Ibunya hanya bisa menghela nafas. Ayahnya masih memperhatikan seisi kamar. Kakinya menendang sebuah buku berwarna merah muda, menatap lekat-lekat buku tersebut. Mengubah posisinya menjadi jongkok, meraih sebuah buku yang ia ketahui siapa pemiliknya. Seulas senyuman terukir di bibir ketika melihat bukunya. Suara tetesan terdengar di depannya, mencoba melihat lebih jauh lagi. Sang Ayah hanya bisa membelalakan mata, ketika melihat sepasang kaki berkulit putih pucat. Semakin ia melihat ke atas dia terkejut dan jatuh terduduk, dengan kedua tangan menahan badannya di belakang. "Na-Nandini?!" ucap Ayah terkejut melihat wajah pucat Nandini ada di depan matanya. "Apa?" heran sang Ibu mendengar suaminya menyebut nama anak pertamanya. "Nandini? Jadi dia Kakakku?!" ucap Devan terkejut sembari melihat ke arah hantu yang masih berada di tempat. "Mana?" tanya Ibu yang mulai kebingungan. Devan dan Ibunya berjalan mendekat ke arah Ayahnya yang masih terduduk tak percaya. "Yah, mana Nandini? Kok, cuma Ibu yang gak lihat?" tanya Ibu keheranan. "Ayah?" panggil hantu Nandini lembut. "Kamu Nandini anakku?" tanya Ayahnya yang mulai berkaca-kaca. "Setannya bisa bicara?" tanya Devan heran. "Siapa yang kamu panggil setan?" tanya Nandini kesal yang tidak suka dirinya dipanggil demikian. Sang Ibu makin keheranan, dan bertanya-tanya. Mengapa dirinya tak dapat melihat Nandini? Apa yang terjadi? "Ayah? Nandini mana?" tanya Ibu yang tak percaya. "Bagaimana Devan dan Ayah bisa lihat Nandini? Apa yang kalian lakukan?" tanya Ibu semakin penasaran. "Aku hanya menata buku tadi, tapi setelah itu aku melihat dia dengan jelas," jelas Devan. "Ayah hanya, mengambil buku ini bu," ucap sang Ayah menyodorkan sebuah buku diary milik Nandini kepada istrinya. Kedua tangan Ibu menggenggam sebuah buku diary berwarna merah muda. Kemudian melihat ke depan perlahan, seketika dirinya menganga tak percaya. Bruk... Buku terjatuh dari genggamannya, telapak tangan menutup mulut tak percaya apa yang dilihat. Hatinya terasa sesak, ketika melihat seseorang yang ia rindu kan ada di depan matanya. Matanya berkaca-kaca, perlahan mendekati Nandini. Sang Ibu mencoba memeluk erat, tapi bukannya mendapat pelukan hangat. Dirinya bahkan tak dapat menyentuh anaknya sendiri. Karena tangannya saja dapat menembus Nandini. Dia menjadi hantu. "Nak, apa yang kamu lakukan disini? Kenapa kamu tetap berada di dunia ini?" tanya Ibunya yang bingung harus senang atau sedih. Devan tetap berada di tempat, semua kebingungan ini membuat rasa ketakutannya hilang seketika. Ayahnya mencoba menenangkan Ibu di sampingnya. "Aku senang sekali bisa melihat kalian," ucap Nandini kegirangan. "Apa maksudnya?" tanya Devan tak mengerti. "Aku sudah lama terperangkap di sini. Aku selalu mencoba memanggil nama kalian, tapi tak ada yang mendengar," jelas Nandini. "Apa maksudnya, sejak kejadian itu kamu terperangkap di sini?" tanya Ayah yang membuka suara. "Apa yang membuat Kakak terperangkap? Biasanya di novel-novel, arwah yang terperangkap pada satu tempat karena urusannya belum selesai," ujar Devan. "Urusan apa yang belum selesai?" tanya lanjut Devan. "Apa Kakak buat janji?" tanya Devan lagi. Nandini tersenyum, dan menunjuk buku diary miliknya. Semua pasang mata, kini tertuju pada buku diary berwarna merah muda. "Bukalah lembar paling akhir," suruh Nandini kepada Devan. Devan mengambil buku diary Kakaknya, dia langsung membuka lembar paling terakhir. "30 daftar hal yang ingin kulakukan ketika Adikku lahir ke dunia," baca Devan perlahan. "Apa artinya kita harus melakukan hal ini supaya Nandini bisa bebas dari sini?" tanya Devan. Nandini hanya menampilkan senyum di wajah pucatnya, menandakan jika itu benar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN