“Nanti saya jemput kamu, Temmy juga ikut ke sana.”
Lho? Kok Pak Temmy pake acara ikut juga?
“Pak, gimana kalau kita ketemuan di butiknya aja? Saya bisa naik transportasi lain.” Dibanding harus satu mobil lagi sama mereka. Aku harap Pak Darren dengar suara hatiku.
“Kenapa?”
“Ng, saya gak mau aja Pak Temmy anggap saya sebagai pelakor.”
Kudengar, suara tawa Pak Darren menggelegar di seberang sana. Kok malah ketawa, emang aku lagi ngelawak?
“Bapak saya mau nanya.”
“Tanya apa?”
“Bapak masih di apartemen Pak Temmy sekarang?”
“Ya.”
“Pak Temmy gak ngambek kan Bapak telpon saya kaya gini?”
“Dia lagi ada di kamar mandi sekarang.”
“Oh, jadi kesepakatannya gimana, Pak? Saya naik ojek atau taksi online aja deh, ya? Bapak share lokasi ke saya.”
“Kalau begitu saya tidak ajak Temmy.”
“Lah, kok? Nanti dia ngambek lagi gimana?”
“Tentu saja saya lebih utamain kamu hari ini. Kamu yang akan jadi calon istri dan ketemu mama di butik. Temmy pasti bisa mengerti.”
Aku gak yakin kalau bibirnya gak merengut lagi kaya kemarin di rumah sakit.
“Berisik,” sahut Pak Darren yang dengar suara hati aku dari balik sambungan telepon. ”Jangan lupa jam satu nanti. Jangan telat karena saya tidak suka orang yang hobi mengulur waktu.”
Abis ngomong kaya gitu, sambungan telponnya diputus sepihak. Dasar diktator, dia mulai lagi!
***
Aku masuk ke dalam mobil pas Pak Darren buka pintunya. “Makasih, Bee,” ucapku sambil melempar senyum tipis ke arah pria yang hari ini tampil rapi dengan kemeja warna biru muda dan celana bahan hitamnya.
Kulambaikan tangan ke arah mama yang lagi menyandar di pagar, dia nganterin aku sama Pak Darren sampai depan.
“Dadah,” kata mama sambil nyengir. Abis itu aku nutup kaca mobil dan membiarkan Pak Darren mulai mengendarai kendaraan ini menuju butik.
Di pernikahan kami nanti, tidak ada yang spesial. Padahal mamanya Pak Darren ingin diadakan pernikahan mewah dan besar seperti yang lain karena kejadian ini mungkin hanya terjadi satu kali seumur hidup. Tetapi, untuk menjaga perasaan laki-laki yang memiliki hubungan dengannya, Pak Darren bilang jika resepsi pernikahan bisa dilakukan lain waktu. Dengan alasan dia belum siap mengumumkan pernikahan ini ke hadapan publik.
Baik mamaku dan Mamanya Pak Darren tidak setuju, sebenarnya. Namun, aku dan Pak Darren cari alasan lain. Kami bilang, ingin pernikahan dilakukan sakral dan tertutup agar khidmat. Jadi ... hanya sedikit undangan yang datang untuk menghadiri pemberkatan pernikahan yang akan dilakukan dalam kurun waktu kurang dari seminggu ini.
Kebanyakan adalah keluarga, sisanya kerabat yang dekat dengan kita. Bahkan, seluruh karyawan di perusahaan pun gak ada yang diundang kecuali senior HRD yang juga teman dari Papanya Pak Darren. Jadi, tidak akan ada yang tahu jika sebentar lagi bos yang dielu-elukan di kantor sebagai bos muda badan kekar wajah cute itu resmi memiliki seorang istri yang tak lain tak bukan adalah karyawan baru, yaitu aku.
Entah harus senang atau sedih, aku bahkan gak bisa menyuarakan ekspresi dengan gamblang sejak bertemu Pak Darren. Kepalaku pusing, aku mau nangis meratapi nasib tapi percuma. Mau kabur dari kenyataan, tapi kuyakin sampai ke ujung dunia pun, Pak Darren akan ngejar aku buat jadi penampung benihnya sebagai bentuk pertanggungjawaban karena aku menyimpan rahasia besar dia.
“Kamu tipe orang yang selalu mendumel dan berisik,” celetuk Pak Darren saat aku menghela napas dan mengubah posisi duduk menjadi lebih tegak. Saat aku menoleh ke arah laki-laki yang ada di sebelahku, dia menarik satu sudut bibir ke atas.
“Kan saya bilang, kalau bapak dengar suara hati saya, pura-pura gak dengar aja,” sahutku malas. “Bapak gak ada kenalan perempuan lain yang dengan sukarela nukar posisi saya apa?” Aku masih coba negosiasi.
“Tidak, hanya kamu.”
“Kenapa saya, Pak? Bapak kan bisa nyewa wanita lain sampai dia melahirkan anak Bapak. Setelah itu kalian bisa bercerai.”
“Kamu ini cerewet. Bisa diam tidak?”
“Galak amat, sih,” dengusku. Cuma kasih saran juga.
Aku cemberut, lalu melipat kedua tangan di d**a. Memilih gak lagi bicara dengan Pak Darren karena akan selalu berakhir begini. Ujung-ujungnya aku dibentak, dimarahi, gimana kalau kita udah nikah nanti?
Bisa kurus aku kalau begini caranya, gak usah diet-dietan atau segala macam. Tinggal membatin dan makan ati aja sudah cukup buat body aku mirip kaya artis Korea.
Ketika sampai di parkiran butik, aku langsung keluar sendiri tanpa harus dibukakan pintu sama Pak Darren. Nunggunya lama, aku udah bosan ada di dalam mobil sama om-om itu.
“Kamu masih mau pasang wajah cemberut begitu saat masuk ke dalam?” tanya Pak Darren setelah berjalan mengitari depan mobil dan berdiri di hadapanku.
Gak tahu, bapak pikir aja sendiri, ucapku dalam hati.
“Ayo masuk ke dalam mobil lagi,” katanya.
Aku bersedekap, natap manik mata dia dan ngomong dalam hati lagi, ”Mau ngapain? Nganterin aku pulang ke rumah dan batalin pernikahan kita? Aku sih oke abis. Yuk anterin aku pulang lagi dan temuin mamaku, bilang Bapak gak jadi nikahin aku.”
Pak Darren tersenyum sinis. “Bukan mengantarmu pulang.” Lelaki itu menaruh kedua tangan ke saku celana. “Saya ajak kamu masuk ke dalam untuk membuat anak sekarang juga! Kalau kamu cepat hamil, kamu tidak akan banyak protes.”
“WHAT?” Aku gak habis pikir sama Pak Darren. Ini beneran yang ngomong sama aku sekarang adalah bos perusahaan besar dengan predikat lulusan terbaik di universitas terkenal luar negeri?
“Atau mau di dalam? Kalau tidak mau bercinta di dalam mobil, di ruang ganti saja. Kebetulan saya belum pernah melakukan hal itu di ruang ganti sebelumnya, sepertinya menantang. Benar begitu, kan?”
Aku cuma bisa nganga denger ucapan Pak Darren yang gamblang gak ada dosa.
“Emang bapak punya nafsu sama saya? Bapak kan gak suka perempuan!”
“Asal kamu menikmati permainan, benih saya masuk rahimmu lalu membuahkan hasil, saya rasa itu bukan hal penting.” Dia mengedikkan bahu. “Jadi bagaimana, kamu masih mau marah? Kalau iya, jangan salahkan saya jika saya akan bermain dengan kasar, Luna.”
Astaga, Tuhan, rasanya aku mau resign aja jadi manusia.
***