Dua hari liburku saat ini tidak berarti apa-apa karena sibuk buat mengurusi soal pernikahan. Gak ada acara resepsi besar dan mewah, hanya pemberkatan saja dan setelah itu selesai. Untuk masalah aku yang izin gak bekerja dua hari ke depan, sudah diurus langsung oleh Pak Darren dibantu orang HRD yang jadi satu-satunya orang yang mengetahui soal pernikahan ini di perusahaan.
Gak ada bulan madu, meski kedua orang tua kami menginginkannya. Alasannya, Pak Darren sedang sibuk dengan proyek membuat cabang baru dan aku juga masih anak baru di kantor. Gak masalah jika seandainya mereka tahu aku adalah istri Pak Darren, tapi kan di kenyataan, baik aku dan Pak Darren sepakat merahasiakan hubungan dan bertingkah seperti gak saling mengenal di kantor.
Meski hanya pernikahan karena ketiban sial, tetap aja pas hari berlangsungnya acara aku deg-degan parah. Dari tadi aku diam, membiarkan para penata rias yang datang berkarya memoles wajahku dan membuatku tampak lebih cantik sekarang.
Salah seorang dari mereka membantuku memakai gaun. Ada tiga model gaun yang dirancang khusus untukku oleh orang yang hari ini akan menjadi mertua. Aku memilih dress yang paling sederhana karena aku nyaman memakainya.
Gak banyak yang kukenal, semua terasa asing. Tapi aku bisa melihat keluargaku dan keluarga Pak Darren, Pak Abdi—orang HRD, juga Pak Temmy yang duduk di bagian depan. Pak Temmy duduk bersebelahan dengan mama dari Pak Darren.
Pak Temmy datang sebagai seorang sahabat yang ingin melihat sahabatnya menikah. Tapi di mataku, Pak Temmy terpaksa datang untuk melihat kekasihnya menikah dengan orang lain. Kuyakin rasanya sakit. Tapi mau bagaimana lagi? Ini bukan sepenuhnya salahku. Aku juga gak mau masuk ke dalam permainan yang entah sampai kapan ujungnya ini.
Kujalani prosesi pemberkatan sebaik mungkin. Setelah mengucapkan janji nikah, kami memakai cincin pernikahan. Kurasakan tangan hangat Pak Darren merengkuh pinggang, membuat jantungku berdetak keras sekali seperti ingin lepas dari tempatnya. Kututupi rasa gugup, tersenyum tipis ketika Pak Darren menyentuh pelan dan mendongakkan daguku hingga kami saling bertatapan beberapa saat.
Dia menempelkan bibirnya ke bibirku, lalu melumatnya pelan dan lembut hingga membuat kedua mataku ikut terpejam. Demi Tuhan, ini pertama kalinya aku dicium oleh seorang laki-laki. Sayangnya, laki-laki yang pertama kali mencicipi bibirku adalah seorang gay. Ya, gay m***m itu adalah suamiku sekarang.
Suasana mendadak heboh saat kami berciuman. Kilatan kamera menyambar, dan gak sedikit yang mengabadikan momen ini dengan cara merekamnya. Tetapi tenang saja, Pak Darren sudah memastikan jika video pernikahan ini tidak akan menyebar dan diendus oleh orang-orang satu kantor.
Aku menjauhkan tangan dari d**a Pak Darren saat dia melepas kontak kami. Gak lupa, senyum palsu muncul di wajah untuk memberitahu orang-orang jika kami bahagia, meski nyatanya gak begitu.
Kulirik sekilas ke arah depan, bangku yang awalnya diduduki oleh Pak Temmy sekarang kosong.
Pak Temmy pergi?
Mendengar suara hatiku, Pak Darren ikut menoleh dan gak mendapati pacarnya di sana. Dia kembali menatapku kemudian berbisik, “Saya ke luar sebentar.” Abis itu, dia ninggalin aku gitu aja.
Aku memilih menghampiri orang tuaku daripada sendirian seperti anak hilang. Mengobrol bersama keluarga besar Pak Darren juga dan berkenalan. Saat mereka bertanya kenapa Pak Darren gak ada di sisiku, aku bilang dia sedang ke toilet.
“Kenapa Darren belum juga kembali?” tanya mama mertua melihat anak laki-lakinya belum juga datang sejak selesai menikah. “Sesi pemotretan akan segera dimulai. Ke mana, sih?”
“Biar aku yang mencari Pak ... eh maksudnya Mas Darren, Ma.” Abis gak tahu lagi mau dipanggil apa, jadi aku panggil mas aja di depan ibu mertua.
Beruntung, dress yang kupakai sama sekali gak menyulitkan untuk bergerak ke sana ke mari. Aku menyusuri gedung lantai bawah tapi gak menemukan Pak Darren dan Pak Temmy, mau ke lantai atas, tapi tadi Pak Darren gak naik ke sana. Mungkin di luar.
Aku melangkah ke luar gedung dan mencari keberadaan mereka. Ternyata, Pak Darren dan Pak Temmy ada di bangku taman belakang, di dekat danau yang sepi dan gak ada siapa-siapa di sana.
Kulihat dari belakang, bahu Pak Temmy bergetar seperti menangis. Pak Darren mengusap-usap punggungnya dengan lembut dan mengucapkan kata yang tidak mampu kudengar karena jarak kami agak jauh.
Kulihat sekarang Pak Temmy menenggelamkan wajah di ceruk leher Pak Darren, memeluk orang yang kini berstatus sebagai suamiku, dia benar menangis ternyata.
Kalau aku menghampiri ke sana pasti akan sangat menganggu, jadi aku mencoba untuk menggunakan kelebihan Pak Darren.
“Pak, Pak Darren denger saya, kan?” tanyaku dalam hati.
Gak butuh waktu lama lelaki yang tengah memeluk kekasihnya itu celingukan ke kanan dan kiri. Kuyakin dia mencariku.
“Saya di balik tembok deket lampu taman, Pak. Di belakang Bapak,” unjukku.
Manik mata Pak Darren bergeser, sepertinya dia sekarang tahu keberadaanku.
“Ada sesi pemotretan sebentar lagi, bapak dicariin sama mama. Kalau udah selesai dengan Pak Temmy, segera masuk ke gedung lagi.”
Abis mengucapkan kata itu, kulihat anggukan kecil dari Pak Darren. Aku mengacungkan ibu jari dan memilih menjauh dari sana, kembali ke tempat di mana aku seharusnya berada.
Di saat-saat begini, aku merasa kelebihan ini menguntungkan karena gak perlu alat komunikasi lain atau mengganggu mereka secara langsung. Cukup bicara dalam hati, sampai ke telinga Pak Darren. Seandainya ada tombol on dan off otomatis, pasti kelebihan ini akan berguna karena bisa dipakai saat diperlukan aja.
Selesai sesi pemotretan dan berkumpul bersama keluarga besar juga kerabat, akhirnya kita pulang juga. Untuk malam ini, Mama dari Pak Darren memintaku untuk menginap di rumah. Besoknya kami baru akan pindah ke salah satu apartemen milik Pak Darren yang letaknya dekat dengan kantor.
Aroma parfum khas Pak Darren menguar ketika lelaki itu membuka pintu kamar warna putih gadingnya.
Pak Darren mempersilakan aku masuk lebih dulu, baru menutup pintu setelah dia juga ikut masuk. Kulihat di dalam, suasana kamar tampak rapi dan wangi. Didominasi oleh warna hitam dan putih di mana-mana.
“Bapak suka warna monokrom?” tanyaku, membuat lelaki itu menoleh.
“Ya,” jawabnya singkat. Lelaki yang menggeret koperku ke dalam, menaruhnya di dekat ranjang dan menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. “Kamu tidak lelah berdiri terus?”
“Capek, Pak.”
“Terus kenapa tidak istirahat? Ranjang saya masih luas, kok.” Pak Darren menepuk-nepuk bagian yang masih kosong. Membuatku mengangguk dan menghampiri lelaki itu. Berbaring di sampingnya. Jujur, ini canggung banget. Baru kali ini aku masuk kamar dan tidur sama lawan jenis yang bukan saudaraku.
Aku mendengar helaan napas Pak Darren.
“Capek banget ya, Pak?” tanyaku berbasa-basi sambil natap dia yang berbaring di sampingku.
“Hm, saya mengantuk,” jawab lelaki itu dengan nada beratnya.
“Mandi dulu, Pak. Kalau udah mandi kan enak mau tidur juga.”
“Nanti, mandi sama kamu,” sahut lelaki yang kini memejamkan mata dengan santai.
“A-apa?” Aku kaget. “Mandi bareng? Kaya anak kecil aja.”
“Sekalian transfer benih saya ke rahim kamu.” Pak Darren membuka kelopak matanya lagi, lalu membalas tatapanku. “Saya ingin cepat-cepat buat kamu hamil.”
Aku mendadak mulas. Ini orang kalau ngomong mulutnya gak bisa dikontrol, ya?
“Kita mau mulai dari malam ini, Pak?”
“Ya. Memangnya mau kapan lagi?” balasnya. “Saya kan menikahi kamu memang untuk itu.”
Kalau nanti kandunganku udah besar, ketahuan dong aku hamil sama orang-orang kantor. Nanti kalau mereka tanya bapaknya siapa, aku jawab apa?
“Saya yang akan mengurusnya,” kata Pak Darren yang dengar suara hatiku.
Suasana sempat hening sebentar, sebelum akhirnya aku memutuskan bertanya sesuatu karena penasaran.
“Sebelum kenal sama Pak Temmy, bapak pernah punya hubungan sama perempuan?”
“Ya.”
“Sama Pak Temmy udah berapa lama?”
“Saya kenal dia sejak kuliah di luar dulu, kalau dihitung-hitung hampir tujuh tahun.”
“Waw, udah lama banget.”
Kalau mereka straight, pasti akan dijuluki relationship goals banget karena bisa bertahan lama begitu.
“Pak, kayanya saya gak bisa tidur dalam keadaan belum bersih. Saya mandi duluan,” ucapku. Tadi baru sempat hapus make-up aja dan ganti baju jadi piama sebelum ke kamar.
“Saya juga ingin membersihkan diri.”
“Ih, saya dulu, baru Bapak.”
“Kan tadi saya bilang ingin mandi bersama kamu.”
“Jangan, Pak. Saya malu mandi bareng,” tolakku langsung. Yakali, udah kaya semasa bocah dulu, sekali mandi bareng bertiga atau gak berempat. “Pokoknya jangan!”
Aku mengambil handuk dalam koper, terus buru-buru masuk kamar mandi tanpa harus tanya dulu di mana karena udah tahu.
Kayanya berendam di bath up enak, ya? Apalagi pakai air hangat. Bodo ah, aku mau lama-lamain di sini. Aku belum siap dan sedikit takut buat menjalani ritual malam pertama. Kaya apa rasanya?
“Ahh,” desahku saat perubahan dingin ke hangat benar-benar kerasa di tubuh. Aku senyum dan refleks memejamkan mata. Gila, enak banget nih. Tanpa sadar aku malah ketiduran.
Aku bangun pas mendengar suara gemericik air. Aku kira hujan, tapi pas kubuka tirai jendela kamar mandi sedikit, kulihat ada Pak Darren yang tengah mandi di bawah kucuran shower sekarang.
Mata dan bibirku refleks membulat, kok dia bisa masuk gitu aja?
Aku bisa melihat tubuh atletis Pak Darren dari belakang yang basah terkena air dari shower. Punggung tegapnya, bokongnya ... yaampun mataku.
“Bapak kok main masuk-masuk aja?” ucapku yang membuat gerakannya yang tengah membilas busa sampo di bawah shower terhenti.
“Kamu sudah bangun?” Dia malah tanya balik tanpa repot menoleh.
“Ya. Omong-omong pertanyaan saya belum Bapak jawab.”
“Memang kenapa? Ini rumah saya. Saya bebas keluar atau masuk ke mana pun saya mau,” sahut Pak Darren yang kembali membilas rambutnya. “Kamu mandi terlalu lama, untung saja pintu kamar mandi tidak dikunci sehingga saya bisa tahu kamu tertidur di sini.”
Pak Darren matiin shower-nya saat udah selesai mandi, terus ngeringin badan pakai handuk putih yang tergantung gak jauh dari sana. Santai banget kaya gak ada dosa jalan-jalan dalam keadaan naked gitu. Aku yang malu liatnya.
“Ketiduran, Pak. Abis nyaman sih,” jujurku.
“Oh,” respon Pak Darren yang kini tengah melilitkan handuk yang menutupi bawah pusar sampai lutut. “Ketiduran sampai tidak sadar busanya menghilang.”
Saat aku menoleh ke arah depan, aku shock. Busa-busa yang tadi menutup tubuh naked-ku sekarang udah lenyap entah ke mana. Aku langsung menutup area d**a dan bawah pakai tangan. Ini keliatan jelas, astaga!
“Kenapa Bapak gak bangunin saya dari tadi?”
Pak Darren malah ketawa. “Tidak perlu malu, yang melihatmu dalam kondisi begitu kan hanya saya.” s**t, man! ”Ah, ya, Luna,” panggil Pak Darren membuatku kembali menatap dia.
“Apa?”
“Tadi saya sudah coba memegang dan meremas dadamu, tapi rasanya kurang pas di tangan saya,” kata Pak Darren santai yang membuatku melotot. Udah gila nih orang. “Mm, tapi tenang saja, walau punyamu sedikit kecil dari ekspetasi saya, tetapi saya suka dengan dadamu. Kenyal, seperti mainan squishy milik ponakan saya,” ucapnya dengan polos.
“Dulu ponakan saya pernah bilang kalau squishy digunakan untuk penghilang stress. Awalnya saya tidak percaya, karena merasa kalau benda-benda seperti itu tidak berguna. Tapi sepertinya sekarang saya percaya dengan anak itu,” kata Pak Darren. “Saat saya meremas dadamu, rasanya seperti main squishy karena buat penat saya hilang. Mulai sekarang, squishy-mu adalah bagian yang paling saya suka.”
SQUISHY? SQUISHY KATANYA? BANGKE.
***