Disini lah aku berada disebuah kamar besar dengan ukuran ranjang king size yang di d******i warna ungu dan pink. Kamar yang sama sekali tidak aku ketahui, kamar yang bagiku sangat asing.
Aku tidak bisa berteriak, lidah ku seakan keluh bibir ku bergetar hebat "Aku dimana?" lirih ku pelan bahkan hampir tanpa suara. Air mata ku kembali jatuh mengingat kejadian beberapa jam yang lalu.
Kejadian di mana Kakak ku, Kakak kandung ku, tega menjual ku hanya karena uang. Apa sebegitu hinanya kah aku sebagai adik, hingga kakak kandung ku rela menjual ku.
Miris, Ini lah hidup ku sangat miris aku tidak punya keluarga selain Mba Dinda tapi sekarang Mba Dinda dia seperti penjahat bermuka dua yang rela menjual aku adik kandung nya.
Aku meremas d**a ku sendiri merasakan nyeri di bagian hulu hati, rasa nya aku ingin melempar sesuatu yang tengah menggerogoti tubuh ku, sesuatu yang mungkin tidak bisa disembuhkan.
"Kamu sudah bangun?" tanya seseorang yang berdiri di ambang pintu.
Wanita paruh baya itu menatap ku dengan tatapan selembut mungkin membuat ku merasa sedikit lebih tenang meski bagaimana pun aku masih tetap merasa takut, takut kalau wanita paruh baya ini sama jahat nya dengan Mba Dinda.
Sedetik aku diam, kemudian Aku melihat ke arah ambang pintu, melihat sosok wanita berbeda dari wanita semalam, wanita paruh baya ini masih terlihat muda dengan balutan dress navy ia berjalan mendekat ke arah ku.
"Apa kau Raina Annisah?" tanyanya lembut, ia ikut duduk di pinggir ranjang menatap ku masih sama dengan tatapan awal aku melihat.
Aku mengangguk pelan, berusaha bangkit dari atas ranjang "Ibu siapa?" Tanya ku dengan suara serak nan berat.
Ibu itu diam namun segaris senyuman bisa ku lihat terbit di bibirnya, tangan nya terulur mengusap lengan ku lembut seraya melihat ku dengan tatapan hangat.
"Saya Lisa Handoyo istri dari Bapak Bambang Handoyo pemilik rumah ini."
Jawab nya lembut. Ia memberikan ku segelas air putih, menyuruh ku untuk meminum nya hingga habis.
"Lantas kenapa Ibu membeli saya? Sungguh Bu saya bukan p*****r. Saya gadis baik-baik."
Aku mencoba menjelaskan semua permasalahan ku dari Mba Dinda yang menjual ku hingga aku bisa berada di rumah ini. Aku berharap Ibu Lisa mau berbaik hati untuk membebaskan ku tanpa imbalan.
"Saya tau Raina, Saya tau semuanya maaf kan saya, Saya tau kamu gadis baik-baik Maka dari itu saya membeli kamu." Jelas Tante Lisa.
Aku diam mencoba mencerna maksud dari perkataan Tante Lisa yang ternyata beliau lah orang yang telah membeli ku.
"Maksud Tante? Tante membeli ku? untuk apa?" Tanya ku heran.
"Oh .... Raina tau pasti Tente butuh pembantu kan. Kalau begitu Raina mau asal jangan beri Raina pekerjaan hina itu, Raina juga masih ingin kuliah Tante." Ucap ku memohon, Tante Lisa diam sejenak menatap ku lembut.
"Kamu bukan pembantu di sini. Biar Tante jelaskan pekerjaan mu hanya bersanding dengan anak Tante di pelaminan." Jelas Tante Lisa.
Aku masih sangat bingung dengan apa yang Tante Lisa jelaskan. Di pelaminan? di nikahkan? apa masudnya.
"Sungguh Raina tidak mengerti Tante?" Tanya ku lagi. Aku menatap wajah Tante Lisa harap-harap cemas pasalnya aku masih kurang mengerti dengan maksud Tante Lisa.
"Jadi begini, anak Tante dia mau menikah dengan Abel anak dari salah satu rekan bisnis kami, tapi sayangnya Abel calon istri Eza tidak bisa datang di acara pernikahan tersebut di karenakan Abel saat ini berada di Belanda dan sedang mengurusi masalah skripsinya, entah itu benar atau tidak tapi yang jelas Tante tidak bisa membatalkan pernikahan ini. Semua teman dan rekan bisnis tahu bahwa seorang CEO Handoyo grup, Mahreza putra handoyo akan menikah"
"Meski undangan belum di sebar tapi tetap saja Tante merasa malu, maka dari itu Tante meminta kamu menikah dengan putra Tante, walau pernikahan ini hanya sementara sampai menunggu Abel datang, bagaimana Raina?" Jelas Tante Lisa panjang lebar.
Sementara aku hanya diam tanpa suara mencoba memahami maksud dari ini semua.
Ada kilasan kesedihan dan harapan dari raut wajah Tante Lisa ketika menatap ku. Aku tahu beliau Ibu yang baik namun menurut ku dengan menjadikan ku menantu pengganti itu semua tidak akan menyelesaikan masalah yang menurut ku sudah terlanjur rumit.
"Hanya beberapa bulan saja Raina, kamu menjadi istri pengganti." Katanya lagi mencoba meyakinkan ku.
Aku masih diam dengan bibir mengatup rapat. Benar memang hanya beberapa bulan saja tapi rasanya di dalam pernikahan ini aku lah yang paling terluka.
Aku mencoba memikirkan masalah ini baik-baik karena bagiku pernikahan bukan lah hal yang mudah, bisa di ganti dan di putus sesuai keinginan kita. Aku ingin menolak permintaan Tante Lisa namun bagaimana lagi keadaan ku sekarang membuat ku mau tidak mau, suka tidak suka harus mengatakan iya.
"Iya Tante. Raina mau" jawab ku akhir nya.
Tante Lisa tersenyum puas, ia meraih tubuh ku dan memeluk ku hangat.
"Terimakasih Raina." lirih nya terbata seraya menahan tangisan.
Sementara aku hanya diam dengan bibir sengaja ku gigit agar tangis ini tidak semakin pecah.
Ingin sekali aku menolak tapi tidak bisa.Ingin sekali aku lari dari hujatan kehinaan ini tapi apalah daya tubuh dan hati ku seakan menolaknya. Aku memang hina .Aku sama sekali bukan wanita baik Harga diri yang sekian lama ku junjung tinggi dan ku lindungi kini hancur sudah.
500 juta? Itu kah harga ku? Semurah itu kah? Bahkan kalau aku boleh memilih aku tidak akan mematuk harga semurah itu karena harga diri itu sama sekali tak ternilai dengan lembaran uang bahkan tak ternilai harganya.
"Bersiap lah. Lusa kau akan menikah. Undangan akan segera tersebar hari ini." Ucap tante Lisa ia bangkit dari duduk nya meninggalkan ku yang masih duduk dengan perasaan yang seakan berkecamuk.
Ku remas d**a ini seakan menahan rasa perih yang menjalar di setiap rongga tubuh ku, aku ingin kuliah, Masa depan ku masih panjang aku bukan wanita cadangan.
"Masalah kuliah mu tenang saja, kau masih bisa kuliah dan semua biayanya kelurga ini yang akan menanggung."
ucapnya dari ambang pintu.
Tante Lisa masih berdiri di sana menatap ku seakan memberikan keyakinan bahwa aku masih bisa melanjutkan semuanya.
"Saya tahu kamu gadis baik-baik hanya saja kamu menjadi korban ke marukan kakak mu. Saya tahu semua tentang kamu jadi tenang saja saya tidak akan merendahkan mu." Jelasnya panjang lebar dan berlalu pergi meninggalkan ku dengan luka yang teramat dalam.
Aku merangkak turun dari atas ranjang berdiri di hadapan cermin besar. Ku tatap wajah ku di atas pantulan cermin astaga sungguh miris nasib wajah ku. Kusut,berantakan seperti gembel.
Jagan menangis Raina kamu harus kuat biarlah mba Dinda bersenang-senang dengan uang hasil menjual mu.
Tangan ku membuka lemari besar setelah sebelumnya aku terlebih dahulu membersikan tubuh. Ku pilih mini dress berwarna biru muda dengan motif bunga dengan panjang 6 senti di atas lutut, tak lupa sepasang flat shoes putih yang menghiasi kaki ku.
Aku mengenakan make up natural sangat tipis serta rambut panjang coklat yang sengaja ku biarkan tergerai dengan sedikit gelombang di bagian ujung rambutnya.
Aku menuruni setiap anak tangga melihat betapa indahnya rumah ini bahkan lebih indah dari rumah yang ku khayalakan selama ini.
"Non Raina."
Aku menoleh ke salah satu sumber suara, bibir ku tersnyum manis melihat sosok wanita paruh baya dengan pakaian pelayan yang melekat di tubuhnya.
"Panggil Ana saja Bi." ujar ku lembut.
Perempuan paruh baya ini mengangguk Paham "Perkenalkan nama Bibi Darmi" ucapnya mengenalkan diri.
Aku menyalami tangan Bi Darmi dan mencium punggung tangannya "Apa Ana boleh panggil Bi Darmi dengan sebutan Ibu?" tanya ku meminta ijin.
Bu Darmi langsung mengangguk setuju.
"Raina" panggil Tante Lisa sambil berjalan mendekat ke arah ku.
"Tante" balas ku dengan senyuman manis "Tante apa boleh Raina pergi ke kampus hari ini? kebetulan hari ini Raina masuk siang" pintaku meminta izin.
Tante Lisa nampak berfikir sejenak, menimbang-nimbang permintaan ku.
"Tante tenang saja Raina enggak akan kabur" ucap ku dengan senyuman manis.
Tante Lisa mengangguk pelan sambil tersenyum "Baiklah tapi kamu di antar supir yah" aku langsung mengangguk setuju dan segera pergi.
Disini lah aku sekarang berada di kedai es krim dekat dengan kampus. Mulut ku tak mau berhenti melumat bahkan menelan sendok tiap sendok es krim yang ku pesan.
Entah sudah berapa mangkuk es krim yang aku habiskan yang jelas saat ini sudah terdapat tiga mangkuk kosong di hadapanku. Pikiran ku kembali teringat akan istri cadangan dan menantu cadangan yang akan segera menjadi gelar ku.
Dengan langkah cepat aku segera berlari meninggalkan dua lembar uang di atas meja. Aku berjalan pelan menatap 'klinik bunda sehat' jantung ku seakan berdenyut jauh lebih cepat dari biasanya.
Aku menatap sekeliling klinik ini, klinik yang lumayan besar ada sekitar lima ibu hamil yang tengah duduk di kursi panjang yang di sediakan klinik ini. Sesekali aku melirik ke arah ibu hamil yang nampak cantik seraya mengusap-usap perut buncit nya membuat segaris senyuman tercetak jelas di bibir ku.
Setelah selesai mendaftar aku duduk di kursi panjang ini bersama ibu hamil lain nya. Menunggu giliran sebelum akhir nya nama ku di panggil dan di persilahkan untuk masuk.
Ragu ku langkahkan kaki masuk kedalam ruangan yang serba putih. Ruangan yang selama aku hidup belum pernah ku datangi, baru kali ini aku datang dan merasakan suasana ruangan ini.
"Ibu Raina." Sapa seorang wanita cantik yang memakai jas putih.
Aku mengangguk ramah sebelum akhir nya aku duduk di hadapan nya. Lama aku diam seraya meremas-remas kedua tangan ku sendiri, ada rasa takut dan juga ada rasa malu untuk menyampaikan keinginan ku.
"Saya ingin KB Bu Bidan." Ucap ku ragu-ragu.
Bu Bidan di hadapan ku tersenyum simpul menatap ku dengan tatapan ramah nya "Baru akan menikah yah, Mba. Ada banyak Kb Mba, Mba Raina mau KB apa?" Kata nya menanyaiku.
Aku mengernyit menatap dengan tatapan seolah bertanya balik. Pasal nya aku sama sekali tidak tau Manau tentang jenis-jenis KB.
Seolah ia paham akan kebingungan ku, ia mengangguk menjelaskan satu persatu mengenai KB. Aku hanya mengangguk saja mendengarkan penjelasannya lantas memilih KB apa yang ingin aku gunakan.
Aku memilih KB suntik satu bulan, Menurut ku KB ini aman dari pada KB pil yang harus ku minum setiap saat. Ia mengatakan bahwa setiap sebulan sekali aku harus datang lagi kesini dan aku menyetujui nya.
Aku melakukan KB bukan tanpa alasan, aku melakukan ini karena aku ini akan menjadi istri cadangan dan ketika mba Abel pulang bukan tidak mungkin aku akan segera di depak dari kelurga itu.
Aku tidak mau kalau aku sampai hamil aku belum siap. Aku harus sedia payung sebelum hujan meski anak dari Tante Lisa belum tentu akan menyentuh ku tapi aku harus waspada.
Setelah dari klinik aku memutuskan untuk datang ke wisma Mba Dinda berharap aku bisa bertemu dengan nya. Bola mata ku menatap kearah gembok yang tergantung di pagar depan "Seperti nya mereka sudah pindah." Gumam ku lesu.