***
Di belahan dunia lain jauh dari New York, tepatnya di Singapura. Evelyn dan Ethan sedang menikmati waktu berdua mereka. Evelyn sibuk memakan cemilan yang Ethan buatkan untuknya sembari menonton televisi yang menayangkan film romantis yang baru saja ia beli tadi siang. Sementara itu, Ethan kini sedang berkutat dengan peralatan dapur berencana membuatkan makan malam sederhana berupa nasi goreng untuk mereka makan bersama.
Tadi sore, Ethan bersama dengan Evelyn yang menjabat sebagai sekretarisnya sekaligus istrinya itu pergi menemui klien mereka yang berasal dari Indonesia. Saat itulah, terjadi percakapan mencakup seputar makanan sederhana bernama nasi goreng. Evelyn yang penasaran pun menanyakan lebih jauh tentang resep serta tata cara membuatnya. Setelah berbincang cukup lama tentang pekerjaan dan makanan, mereka akhirnya menyudahi pertemuan itu setelah tiga jam lamanya. Ethan dan Evelyn segera pulang dan berakhirlah dengan Evelyn yang merengek ingin membuat nasi goreng yang katanya enak.
Bagaimana tanggapan Ethan terhadap keinginan sekretaris— ralat, istrinya itu?
Tentu saja Ethan melarang Evelyn membuatnya. Pria itu melarang Evelyn agar tidak perlu menyentuh dapur lagi. Ethan tidak ingin istrinya itu semakin kelelahan akibat tak berhenti melakukan aktivitas sepanjang hari ini. Ethan tak tega saat melihat wanitanya memasak sendiri dengan keadaan begitu letih dan dengan inisiatifnya sendiri, Ethan yang pada akhirnya membuatkan nasi goreng itu.
“Apa sudah selesai, Dad?” tanya Evelyn yang sudah tidak sabar. Wanita yang sudah menginjak kepala empat itu berjalan mendekat ke arah meja makan yang berseberangan dengan dapur.
“Tunggu sebentar lagi, honey.”
“Kapan se–”
Sebelum sempat Evelyn menyelesaikan ucapannya, suara dering ponsel lebih dulu mendominasi ruang makan itu sehingga membuat fokus Evelyn serta Ethan teralihkan seketika.
“Siapa?” tanya Ethan dengan nada tak suka. Namun, bukannya menjawab pertanyaan Ethan, Evelyn malah lebih dulu menerima sambungan panggilan itu.
“Hello, Mom!" sapa orang di seberang sana. Dia adalah Nathaniel Vincent, anak pertamanya yang kini tumbuh menjadi pria tampan yang begitu menggemaskan.
“Yes boy. Ada apa, sayang?” sahut Evelyn dengan suara pelan.
Mendengar itu, Ethan menghentikan aktivitasnya membuat nasi goreng dan beranjak mendekati Evelyn yang terlihat sibuk sendiri.
“Siapa?” tanya Ethan sekali lagi. Dan lagi-lagi ia diacuhkan.
Baiklah, Ethan akui ia cemburu sekarang.
Ethan mendengus kasar dan segera merebut ponsel Evelyn hingga membuat sang empu terperanjat kaget.
“Hey! Siapapun kau, tolong berhenti mengganggu hubunganku dengan istriku! Apa kau dengar?! Dia sudah memiliki seorang suami yang lebih tampan dan mapan daripada kau! Dia juga sudah memiliki dua anak yang—”
“Daddy ini aku, anakmu!”
Ethan meringis saat mendengar suara Nathan di seberang sana. Dan matanya beralih pada Evelyn yang terkekeh geli sembari menjulurkan lidahnya untuk mengejek Ethan.
“Eh, s-son? Kau kah itu? Oh iya, ada apa nak?” Ethan berdeham untuk menutupi rasa malunya.
“Berikan ponselnya pada Mom, Dad!” tekan Nathan di seberang sana.
“Ck! Dasar anak—”
“Ini Mom, jangan dengarkan ucapan Daddy mu, dia sudah terlalu tua jadi jangan hiraukan. Ada apa, nak?” sambung Evelyn saat berhasil merebut ponselnya. Kini raut Ethan terlihat merengut kesal. Pria itu memeluk Evelyn dari belakang sembari ikut menyimak apa yang akan dikatakan Nathan pada Evelyn.
“Bagaimana dengan gadisku, Mom?” ucap Nathan langsung pada intinya.
Evelyn mengernyit dan segera menjawab, “Dia baik, kenapa?”
“Apa dia sudah punya kekasih, Mom?” Evelyn semakin mencuramkan alisnya saat mendengar pertanyaan Nathan yang tiba-tiba itu.
“Entahlah sepertinya tidak,” ucap Evelyn tidak yakin. Namun, saat mengingat beberapa hari lalu, Evelyn kembali berkata, “Tapi akhir-akhir ini aku pernah melihatnya pergi jalan-jalan bersama seorang pria. Dan apa kau tau? Pria itu sangat tampan dengan—”
“MOM!” Suara Nathan dan Ethan terdengar secara bersamaan. Evelyn memejamkan mata karena kaget dengan sahutan mereka berdua.
Ethan yang merasa hak miliknya terancam, semakin menguatkan pelukannya dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Evelyn. Rasa cemburu itu membakar hatinya hingga tanpa sadar timbul rasa was-was dalam dirinya. Walau umur mereka telah menginjak kepala empat, tetapi siapa sangka bahwa wajah mereka tampak awet muda bagai usia tiga puluhan. Bahkan rasa cinta semakin hari semakin besar untuk satu sama lain.
“Terima kasih, Mom.” Setelah beberapa saat hening, akhirnya Nathan mengakhiri panggilannya saat itu juga.
Evelyn menghembuskan napasnya pelan. Saat ingin bergerak, pelukan Ethan menahannya. Evelyn menatap ke samping dan wajahnya bertemu dengan wajah Ethan yang terlihat suram.
Ada apa dengan suaminya itu?
Evelyn berusaha melepas pelukan Ethan, akan tetapi Ethan semakin gencar memeluk erat dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Evelyn. Pria itu terlihat enggan untuk melepaskan pelukan eratnya. Ia berulang kali mengendus wangi tubuh Evelyn yang dengan ajaib membuatnya merasa tenang.
Evelyn lelah dengan posisi mereka saat ini. Wanita itu memutar tubuhnya menghadap Ethan. Ia mengangkat paksa kepala Ethan agar menatap padanya dan ketika pandangan mereka bertemu, Evelyn terkesiap. Mata Ethan terlihat begitu sendu. Ada raut suram terlihat jelas di wajah tampannya itu. Bayang-bayang kejadian bertahun-tahun silam membuat napas Ethan tercekat. Tatapan mereka sempat terkunci sejenak sebelum Ethan kembali memeluk erat tubuh Evelyn.
“Hey! Kau kenapa?” tanya Evelyn khawatir.
“Tidak.” Ethan menjawab dengan suara seraknya. Pria itu kembali mengeratkan pelukannya. Berkali-kali ia mengecup bahu terekspos Evelyn dan menyeruakkan wajahnya ke dalam ceruk leher sang istri.
“Lepas, Ethan!” tegas Evelyn tapi Ethan tetap bergeming.
“Lepas atau aku akan–”
“Jangan pergi!” potong Ethan cepat.
Ethan melepas pelukannya dengan cepat namun tidak dengan tangannya yang masih setia berada di pinggang Evelyn. Bahkan dapat Evelyn rasakan bahwa kedua tangan Ethan kini tengah memegang erat kedua sisi pinggangnya.
“Jangan pernah berencana pergi... lagi. Apa kau tahu? Aku akan mati jika itu kembali terjadi lagi. Kau itu napasku, belahan jiwaku dan segalanya bagiku. Jika saja kau pergi lagi seperti waktu itu, akan aku pastikan bahwa aku akan kehilangan kendali atas diriku sendiri. Kau mampu membuatku waras dan kau juga mampu membuatku gila.” Evelyn tersenyum kecil dengan pengakuan Ethan. Ia ikut merasakan apa yang suaminya itu rasakan. Ah, membicarakan itu membuatnya bernostalgia kembali. Kini ia paham, kenapa Ethan terlihat lesu dan sendu.
Apa rasa cemburu mampu membuat seseorang berfikir negatif seperti apa yang sedang terjadi pada Ethan saat ini?
“Mana mungkin aku pergi! Kau pikir, wanita berumur empat puluh tahunan ini masih bisa mendapatkan pria lain yang lebih tampan darimu? Yang bahkan lebih kaya darimu? Tentu saja tidak. Aku masih sadar umur, dasar Pak Tua!”
Ethan tersenyum saat mendengar perkataan Evelyn yang tersirat makna di dalamnya. Pria itu mengecup semua permukaan wajah Evelyn, mulai dari dahi, pipi kanan dan kiri, dagu beralih ke hidung lalu berakhir di bibir. Kecupan mesra itu hanya terjadi beberapa saat saja dan setelahnya dengan cepat Ethan menggendong Evelyn dengan gaya bridal style, membawa wanitanya pergi dari ruang makan itu.
“Hey! Mau kemana? Nasi gorengku, bagaimana?” pekik Evelyn.
“Kau makan setelah aku makan,” ucap Ethan sembari tersenyum menyeringai.
“Ha?” raut Evelyn tampak sedang berpikir keras di tengah kegundahannya terhadap memikirkan nasi goreng yang tertinggal di dapur.
Oh, makananku...
“Lalu, kenapa kita menjauhi dapur?” Dan hanya itu yang mampu Evelyn tanyakan.
Brugh.
Ethan menjatuhkan tubuh Evelyn di atas ranjang mereka dengan lembut dan segera menindihnya.
“Kau makan setelah ku makan.” Lagi-lagi Evelyn dibuat bingung dengan perkataan Ethan. Wanita itu menatap wajah Ethan dengan intens dan saat melihat senyuman m***m suaminya, barulah Evelyn sadar apa yang akan terjadi selanjutnya.
’Baiklah, sepertinya nasi gorengku belum bisa menyapa lambung kosong ini. Huh!’ batin Evelyn.
“Selamat makan, istriku.”
***
Beralih ke New York, tempat di mana Nathan berada.
Setelah pulang dari berbincang sejenak dengan Anya di restoran tadi, Nathan segera pamit pulang. Ia merasa ada yang berbeda dari Anya. Tatapan wanita itu terlihat begitu aneh dan seolah tengah memikirkan sesuatu yang begitu penting. Entahlah apa itu, tapi mengetahuinya membuat Nathan bergegas pulang saat itu juga.
Bukannya pulang, Nathan menyempatkan sedikit waktunya untuk mengunjungi sahabatnya yang tengah berkuda di rumah salah satu dari mereka. Hingga pukul tujuh malam barulah ia pulang. Saat tiba di rumah, ia segera membersihkan tubuhnya yang begitu lengket oleh keringat yang telah mengering.
“Ah, segar.” Nathan baru saja selesai membersihkan tubuhnya dengan guyuran air dingin yang menyegarkan. Dengan hanya memakai celana pendek selutut dan tanpa baju atasan sehingga menampilkan perut kotak-kotak miliknya. Ia berjalan sembari mengusap rambutnya yang basah dengan handuk kecil.
Nathan membiarkan tubuh bagian atasnya tanpa penutup dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Terdengar helaan napas berat keluar dari sela-sela bibirnya. Nathan menatap langit-langit kamar hingga tanpa sadar ia sudah menghabiskan sekitar dua puluh menit untuk melamun menatap langit-langit itu. Nathan kembali mendudukkan tubuhnya dan meraih ponsel berlogo apel digigit itu. Pria itu menatap jam yang tertera di ponsel miliknya dan raut lesu kembali menguasai wajah tampannya.
Pukul 8.00 PM, yang berarti di Singapura kini mulai menjelang pagi hari atau mungkin saja sudah pagi. Entahlah, seingatnya perbedaan waktu di New York lebih lambat 13 jam dari Singapura. Jadi bisa diperkirakan bahwa di Singapura kini pukul 7 pagi.
“Apa benar, dia sedang dekat dengan seorang pria?” Pikiran Nathan kini terpenuhi oleh berbagai spekulasi tentang para pria yang berusaha mendekati gadisnya.
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Gadisku tetaplah gadisku! Tidak ada yang boleh merebutnya.” Tanpa sadar Nathan mencengkram ponselnya dengan begitu erat. Rahang pria itu terlihat mengeras ditambah dengan pandangannya yang menyorot tajam pada dinding kamarnya.
Hening sejenak.
“ARGH! Aku tidak bisa berpikir positif! Bagaimana mungkin gadis secantik dia tidak menjadi incaran pria di sana!” Nathan mengacak rambutnya dengan frustasi. Pria dengan d**a bidang yang terekspos itu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Kepala yang berdenyut sakit membuat kepalanya seolah ingin pecah saat itu juga. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada gadisnya membuat ia gelisah tak menentu. Jantungnya berpacu dengan cepat.
Benarkah ini cinta? Namun, kenapa bisa ia mencintai seorang gadis masa kecilnya yang bahkan ia tak tahu bagaimana rupa gadis itu saat ini? Sekali lagi, Nathan mempertanyakan perasaannya. Apakah benar ini cinta atau hanya sekedar obsesi semata? Lalu jika benar ini cinta. Kenapa begitu menyiksa? Bukankah cinta ada untuk memberi rasa kebahagiaan di dalamnya?
Lalu sekumpulan pemikiran negatif tak beralasan tiba-tiba muncul di kepalanya.
Apa gadisnya sedang bahagia bersama pria lain sekarang? Apa gadisnya kini telah mencintai pria lain selain dirinya? Lalu, bagaimana dengan nasibnya ini? Lagipula gadisnya itu pasti sudah melupakannya. Melupakan sahabat masa kecilnya ini, yang ternyata kini begitu mencintainya.
Di tengah kekalutannya saat ini, tiba-tiba perkataan Alysia tadi siang terngiang di kepalanya.
“Kenapa tidak kau terima saja tawaran Daddy untuk segera mengangkatmu menjadi CEO? Dengan begitu, kau bisa pergi mencari gadismu dan membawanya kemari. Lagi pula aku penasaran dengan wujud kakak ipar.”
Senyum Nathan terbit layaknya matahari yang bersinar kala pagi datang. Raut wajahnya berbinar senang. Pria itu kembali meraih ponsel dan menghidupkan layarnya. Saat foto gadis berusia sekitar empat tahun terpajang jelas di wallpaper ponselnya, Nathan kembali tersenyum cerah.
Nathan segera membuka room chat untuk mengirimi ayahnya sebuah pesan singkat yang mana besok ia akan mulai belajar mengenal seluk-beluk perusahaan mereka. Ya, besok. Semakin cepat, semakin baik. Setelah selesai, Nathan kembali meletakkan ponselnya dan memposisikan tubuhnya agar nyaman untuk tidur.
“Quensya Anna Taheer, tunggu aku di sana. Ku pastikan setelah berhasil mengambil alih perusahaan Daddy dan cukup mapan dengan penghasilanku sendiri, maka akan ku bawa kau ke pelukanku saat itu juga.” Nathan berucap dengan tekat bulatnya.
***
Keesokan harinya, Nathan bangun dengan begitu semangat. Ia mandi pagi-pagi sekali dan segera mempersiapkan diri. Setelah selesai dengan aktivitas itu, ia segera turun menuju meja makan. Melihat arloji di pergelangan tangannya dan berdecak kesal saat terlihat di sana baru pukul lima pagi.
“Hey! Kemana semua pelayan? Aish, apa aku bangun terlalu pagi atau para pelayan yang bangun siang? Ck!” Suasana hati Nathan menurun seketika. Pria itu menggulung kemeja putihnya hingga ke siku lengannya lalu hendak bergegas memasak sendiri di dapur, namun karena suara langkah kaki yang berada di belakangnya membuat ia berbalik untuk menatap siapa gerangan tersebut.
“Kak Nathan? Kau kah itu, Kak?” tanya Alysia yang masih dengan wajah bantalnya. Bahkan gadis itu mengusap berkali-kali matanya yang masih mengantuk agar fokus penglihatannya terlihat jelas. Dan saat telah terlihat jelas, terpampanglah wajah Nathan yang menatapnya dengan satu alis terangkat, membuat Alysia berdecak kagum sembari bertepuk tangan tanpa disadari.
“Wow, ini langka!” ucap Alysia heboh. Gadis itu merogoh saku baju piyamanya dan mengambil ponsel di sana. Alysia membuka kamera dan mengarahkannya pada sang kakak.
“Lihat ke kameraku, Kak. Ini adalah momen langka, jadi harus aku abadikan segera.”
Nathan memutar bola matanya jengah dan kembali menuju dapur untuk memasak omelette, sarapan paginya.
Alysia menyimpan kembali ponselnya dan bergegas mendekati sang kakak. Gadis itu melupakan tujuan awalnya ke dapur hanya untuk memastikan sesuatu yang terjadi pada kakaknya. Setelah sampai di samping Nathan, Alysia mencolek dagu kakaknya itu dengan maksud menggoda Nathan.
“Katakan padaku, apa alasan yang membuatmu bangun di pagi hari seperti ini? Bahkan para pelayan belum bangun, sementara kau sudah rapi dengan kemeja berlapis jas milikmu itu.” Pandangan Alysia menyipit tajam menatap kakaknya.
“Berhenti menggangguku, bocah kecil!”
“Dasar tua bangka! Lagipula apa sulitnya menjawab pertanyaan adik kecilmu ini, Kak?” Alysia menaik turunkan alisnya. Senyum di bibir tipis itu mengembang saat menatap Nathan.
Terdengar helaan napas kesal, Nathan berusaha mengacuhkan keberadaan Alysia. Pria dengan tatapan tajam itu menatap fokus pada apa yang sedang ia lakukan.
“Apa kau ingin berkencan dengan seorang wanita di pagi buta ini?” tanya Alysia menyuarakan isi pikirannya.
“Oh, atau kau akan hangout bersama teman-teman mu?”
“Atau jangan-jangan kau ingin bertemu orang penting?”
“Ah, iya. Bisa jadi kau ingin menemani Kak Anya pergi ke—”
“Berhenti berbicara atau bibirmu itu akan aku sumpal dengan spatula panas ini?” ancam Nathan yang sudah kepalang kesal.
Mendengar ancaman itu, Alysia mengerucutkan bibirnya. Gadis itu terlihat kesal dan berjalan menjauhi Nathan dengan menghentakkan kakinya berkali-kali, menunjukkan jika dirinya sedang marah saat ini.
“Tingkahmu tidak cocok dengan usiamu saat ini, Al. Berhenti bersikap sok imut, aku mual melihatnya.” Nathan menatap dengan seringai jahil pada adiknya itu.
Alysia menatap sesaat pada Nathan dan kembali melengos menuju kulkas untuk mengambil cokelatnya. Sudah menjadi kebiasaan gadis itu untuk memakan cokelat sebagai menu sarapannya di pagi buta.
“Kau itu ibarat berkepribadian ganda, Kak. Kau tau kenapa? Karena ketika di luar rumah, kau selalu bertingkah layaknya seorang kakak yang baik. Dan ketika di dalam rumah, kau berubah layaknya setan yang terkutuk! Dasar menyebalkan,” aku Alysia tanpa raut berdosanya. Gadis itu fokus pada cokelatnya dengan terus menjelekkan perilaku Nathan, hingga tanpa disadari bahwa Nathan kini telah berdiri di hadapannya dengan tampang murka.
Tangan Nathan terulur mengarah pada Alysia yang terus berceloteh ria dan saat itu juga ia menarik telinga adiknya itu hingga Alysia meringis kesakitan.
“Aush... Sakit Kak!” pekik Alysia tak terima.
“Dasar adik durhaka, masih untung kau dijaga. Coba saja jika tak ada kakakmu ini, mau mencari perlindungan sia—”
“Daddy punya banyak pengawal, dan aku bisa meminjamnya satu untuk melindungiku. Wlee...” Masih dengan telinga dijewer, Alysia menjulurkan lidahnya untuk mengejek Nathan.
“Kau...” Nathan semakin geram hingga ia menarik kedua telinga Alysia.
“KAKAK,” teriak Alysia yang kesakitan. Kedua telinganya bahkan memerah karena tarikan dari Nathan.
“Apa? Berani kau pada kakakmu ini? Mau ku kutuk jadi nenek sihir jelek?”
“Lepas atau aku menangis keras sekarang juga?” ancam Alysia. Nathan awalnya mengabaikan ancaman konyol adiknya itu, namun saat melihat mata Alysia yang berkaca-kaca barulah Nathan melepaskan telinga Alysia dari tangannya. Nathan menahan kedutan senyum di bibirnya dan segera memeluk gemas tubuh mungil Alysia.
“ARGH, IMUTNYA ADIK KECILKU...” gemas Nathan.
“Dasar sinting. Awas saja jika Dad dan Mom pulang, akan aku adukan semua perlakuan jahatmu padaku.” Segera saja Alysia bergegas meninggalkan Nathan yang masih tertawa menang. Gadis itu menatap penuh permusuhan pada Nathan dan kembali menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Setelah Alysia pergi meninggalkan Nathan sendiri di dapur. Tiba-tiba sesuatu terjadi.
“Eh? Bau... apa ini?” Nathan mengendus-endus bau yang tiba-tiba tercium olehnya. Baunya seperti...
OH, TIDAK!
Nathan berbalik menatap omelette nya yang masih berada di atas wajan dengan api yang menyala. Pria itu segera berlari menghampiri masakannya.
“Yah, gosong.” Nathan mendengus sebal dan segera membuat omelette gosong itu ke dalam kotak sampah di sana.
Tepat saat itu juga, seorang pelayan atau lebih tepatnya kepala pelayan di sana memasuki dapur. Sempat ada rasa kaget saat melihat Nathan yang berdiri kesal di sana, tetapi pelayan itu kembali mengatur ekspresinya dan membungkuk hormat.
“Pagi, Tuan Muda. Adakah yang bisa saya bantu?” tanya kepala pelayan itu.
“Ah tepat sekali. Tolong buatkan aku sarapan, Bibi Zein.”
“Dengan senang hati, Tuan Muda. Anda bisa menunggu di meja makan. Lima menit lagi sarapan Anda sudah siap,” ucap Bibi Zein, kepala pelayan tadi.
“Terimakasih, Bibi.” Bibi Zein hanya membalas dengan anggukan, setelahnya ia bergegas membuatkan sarapan untuk Nathan.
Lima menit berlalu dan kini sarapan sudah siap di hadapan Nathan. Pria itu segera melahapnya hingga habis tak tersisa. Bibi Zein tersenyum melihat itu.
“Kalau boleh tau, kenapa Anda bangun lebih pagi dari sebelumnya, Tuan Muda?” tanya Bibi Zein masih dengan senyumnya. Nathan bahkan membalas senyuman itu.
“Aku ingin ke perusahaan Daddy, Bibi. Aku akan mempelajari sedikit seluk beluk perusahaan itu sebelum aku menjabat sebagai CEO baru nantinya,” ucap Nathan.
Bibi Zein kembali dibuat terkejut. Ia tak menyangka jika Nathan akan menerima posisi itu. Ia pikir anak dari majikannya itu tidak akan pernah mau untuk mengambil posisi Ethan saat dengan lantang Nathan berkata hanya akan menjadi seorang dosen di Universitas Oxford.
“Keputusan Anda begitu bijak, Tuan Muda. Semoga segala sesuatu dalam hal itu akan berjalan lancar.” Bibi Zein terlihat begitu senang dengan kabar itu.
Saat Bibi Zein hendak undur diri, Nathan segera menahannya dengan sebuah pertanyaan yang sejak tadi bersarang di kepalanya.
“Bibi Zein, apa menurutmu aku gila jika menyukai seorang gadis di mana ia adalah sahabat masa kecilku dulu? Yang bahkan parahnya aku tak mengenal rupanya saat ini.” Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulut Nathan.
“Menurut saya, hal itu wajar anda rasakan, Tuan. Bisa dikatakan jika itu adalah cinta pandangan pertama atau cinta pertama Anda. Dan bisa saja, ia adalah cinta sejati Anda,” jawab Bibi Zein. Jawaban itu membuat Nathan sedikit lega.
“Terima kasih, Bibi bisa kembali bekerja.”
“Baiklah jika tak ada lagi yang ditanyakan. Semoga harimu berjalan lancar, Tuan Muda.” Bibi Zein segera undur diri untuk mengatur pelayan lainnya agar bergegas untuk bekerja.
“Ah, bahkan Bibi Zein terlihat terkejut dengan keputusanku ini. Ck! Jika saja bukan karena gadisku, sudah kupastikan Daddy terus menjabat sebagai CEO hingga Pak Tua itu kembali memiliki anak laki-laki untuk meneruskan perusahaannya yang terbengkalai,” dengus Nathan kesal.
“Anna, tunggu aku beberapa saat untuk mengatur semuanya. Cepat atau lambat, kau akan menjadi milikku. Tidak peduli jika ada pria lain bersamamu, maka dengan tanpa rasa sungkan akan ku jauhkan dia darimu. Aku yang lebih dulu melihatmu, aku yang lebih dulu bersamamu maka aku juga yang akan berakhir bersamamu. Itulah janjiku.”
***