***
Sebuah mobil mewah keluaran terbaru memasuki perusahaan ternama dengan begitu gagahnya. Mobil berwarna hitam mengkilap dengan diiringi empat mobil di bagian depan dan belakangnya itu kini berhenti tepat di depan pintu masuk perusahaan seolah menunjukkan seberapa bersinarnya dia. Semua karyawan bahkan berkumpul membentuk barisan panjang menyamping yang seolah siap menyambut orang yang sedang berada dalam mobil gagah itu.
Saat pintu mobil dibuka dari luar, sepatu hitam mengilap serta celana hitam berbahan sutra lembut itu mulai terlihat saat kakinya menapak, hal itu semakin membuat para karyawan menduga-duga bagaimana rupa pria yang akan menjadi atasan mereka di masa depan. Seseorang yang katanya akan menggantikan posisi CEO mereka yang sekarang. Pria itu akan memimpin perusahaan mulai hari ini. Namun, terdengar kabar bahwa ini hanya jabatan sementara untuk sebagai bahan uji coba calon penerus perusahaan mereka.
Saat sosok pria di dalam mobil itu sudah seutuhnya menampakkan tubuhnya, semua karyawan wanita maupun pria menjadi terpana seketika. Mereka tak mampu mengalihkan pandangan mereka barang sejenak saja, tapi ketika sadar akan posisi mereka yang menjabat sebagai bawahan, otomatis kepala mereka kembali menunduk.
“Selamat datang, Mr. Vincent!” Semua karyawan itu berseru dengan lantang menyambut kedatangan anak CEO mereka, Nathaniel Vincent, anak sulung dari Big Boss mereka.
Nathan berdecak pelan saat menerima sambutan yang begitu berlebihan menurutnya. Padahal baru semalam ia berpesan pada sang ayah ingin menerima tawaran menjadi penerus perusahaan dan ingin mempelajari seluk-beluk perusahaan, tetapi ia rasa keputusannya tadi malam begitu bodoh. Harusnya ia tak perlu memberitahukan ayahnya agar kejadian ini tak terjadi.
Rencananya hanya untuk melihat-lihat, tetapi sambutan staff karyawannyanya tak main-main. Antara berlebihan dan profesional, menurutnya.
“Naikkan pandangan kalian,” ucap Nathan tegas.
Semua karyawan dengan ragu-ragu mengangkat kepala mereka menjadi menatap lurus ke depan tanpa harus kembali menunduk. Suara bariton Nathan yang mendominan beserta wibawanya yang menguar melingkupi mereka, membuat atmosfer berubah tegang sekarang. Berbagai spekulasi buruk tentang Nathan berlalu-lalang di pikiran mereka.
“Jangan pernah menunduk begitu dalam seolah kalian merendahkan diri kalian pada mereka yang berada di atas segalanya,” ucap Nathan tenang. “Saya, Nathaniel Vincent tidak akan pernah sudi memiliki karyawan seperti itu! Dan saya harap kalian tidak mengecewakan saya,” sambung Nathan kembali.
Nathan berjalan dengan tegap memasuki perusahaan ayahnya, menuju tempat seharusnya ia kunjungi berada. Bukan raut datar dengan tatapan dingin seperti halnya Ethan Vincent, sang CEO yang terkenal dengan aura seperti itu. Namun, Nathan kebalikan dari ayahnya. Tatapan teduh dengan senyum tipis yang terpatri di bibirnya itu membuat mereka semakin berdecak kagum dengan sosok Nathan.
“Apa kau lihat senyumannya?”
“Apa benar ini anak dari CEO kita?”
“Dia berbeda dari Pak Ethan, CEO kita.”
“Selain tampan, dia juga begitu ramah!”
Bisik-bisik karyawan wanita memenuhi pendengaran Nathan. Pria itu tak marah atau protes tentang sikap lancang karyawannya. Namun, ketika akan memasuki lift, tak sengaja Nathan mendengar bisikan yang bernada bercanda namun begitu lancang baginya.
“Anak CEO kita terlihat begitu menggoda, apa dengan tubuhku dia bisa tergoda? Bukankah itu tandanya aku bisa memperbaiki keturunanku,” bisik karyawan itu dengan terkekeh di akhir ucapannya.
Nathan sedikit mengeraskan rahangnya. Beginikah kualitas karyawan ayahnya? Sangat buruk. Nathan menahan amarahnya dan berbalik menghadap para karyawannya.
“Saya memang tak suka karyawan yang merendah, tetapi saya semakin tak suka dengan karyawan yang tak memiliki etika. Paham?” Semua karyawan wanita yang tadi sibuk membicarakan Nathan, kini bungkam. Apalagi wanita yang tadi begitu lancang terhadapnya. Pria itu menatap tajam ke arah wanita yang berdiri dengan wajah pucatnya.
“Baik, Pak.”
”Jangan sampai saya mendengar gosip simpang-siur yang merugikan pihak manapun. Baik itu saya maupun karyawan saya yang lainnya,” ucap Nathan dengan raut wajah berubah dingin.
Nathan kembali melanjutkan langkahnya memasuki lift ditemani sekretaris utama sang ayah. Ia memang tahu jika ayahnya itu memiliki dua sekretaris. Pertama, ibunya yang selalu menemaninya ayahnya jika tugas sang ayah harus ke luar kota ataupun negara. Dan kedua, ia bernama Dean, sekretaris utama ayahnya yang mengatur segala jadwal berat dan mengatur perusahaan jikalau ayah dan ibunya pergi. Pria yang ia ketahui merupakan mantan calon suami ibunya itu terlihat sangat kompeten. Dan sekedar info bahwa pria itulah yang menjadi panutannya selama ini. Pria yang mengajarkannya arti cinta tak harus memiliki. Jika saja bukan karena kemurahan hati Dean dulu, mungkin saat ini ibu dan ayahnya tak akan bisa bersama.
Tapi, apa dengan panutan seperti Dean, Nathan akan merelakan gadisnya dengan pria lain? Oh tentu saja jawabannya tidak. Tidak akan dan tidak boleh terjadi!
“Boleh saya membacakan tugas pertama Anda, Mr. Vincent?” ucap Dean sembari memegang sebuah tablet yang berisi jadwal yang perlu dipelajari Nathan hari ini.
“Cukup panggil Nathan saja, Paman.” Nathan tersenyum sopan menatap pria seumuran dengan ayahnya itu.
“Itu tidak sopan bagi saya,” sahut Dean yang berasa janggal dengan panggilan itu.
“Berhenti bersikap seperti itu, Paman. Kau adalah pria panutanku sejak kecil, jadi jangan panggil aku seperti itu. Jangan anggap aku sebagai atasan, tapi tetap anggaplah aku seperti Nathan mu dulu.” Nathan menyorot intens bola mata Dean. Wajah yang sedikit memiliki kerutan itu tersenyum simpul. Anak yang pernah ia jaga dulu telah tumbuh menjadi pria tampan nan bijaksana sekarang.
“Baiklah jika itu maumu, Nak.” Dean baru saja ingin membacakan tugas pertama Nathan, akan tetapi Nathan lebih dulu keluar dari lift saat tepat pintu itu terbuka.
“Sepertinya aku harus beradaptasi sebentar dengan sekitar, Paman. Bisakah tugasnya ditunda nanti?” Nathan bukan bermaksud menghindari tugas itu, ia memang sedang ingin mengadaptasikan dirinya terlebih dahulu sebelum memulai mengerjakan tugasnya sebagai pengganti CEO sementara. Yea, walau ujung-ujungnya tetap ia yang akan menjadi CEO nantinya.
Nathan mengamati setiap sudut dari ruang itu. Ruangan yang sepertinya merupakan ruang yang sama dengan ayahnya. Dan ketika menuju di meja kerja di sana, tertera jelas nama lengkap ayahnya, Ethan Vincent.
“Ini... ruang CEO?” Nathan mendengus saat baru menyadari akan suatu hal. Padahal ia berpesan untuk memberinya ruang lain khusus tempatnya sendiri. Aish!
“Baiklah, sepertinya gelar CEO sementara hanya embel-embel Daddy saja untuk membujukku agar tidak ragu menggantikannya. Pak Tua itu memang sengaja mendorongku agar cepat mengambil alih perusahaannya, dan menikmati masa tua lebih panjang bersama Mom,” ketus Nathan. Pria itu mendengus kasar. Tubuhnya ia jatuhkan tepat di kursi kebesaran milik ayahnya, begitu nyaman dan begitu mendominan. Kursi itu seolah menunjukkan jika yang duduk di tempatnya adalah orang berkuasa.
Nathan mengambil salah satu berkas yang tergeletak di sana dan membacanya. Beberapa berkas sudah Nathan baca dan itu membuatnya mengernyitkan dahi bingung. Kenapa ayahnya itu belum juga mengerjakan urusan ini? Bukankah ini penting? Nathan berdecak dan segera meraih pena di sana. Mencari jalan keluar dari laporan permasalahan yang ada.
Hingga tanpa sadar, Dean yang sejak tadi berdiri mengamatinya tersenyum tulus. Walau ia tahu bahwa Nathan tidak berminat dalam dunia perbisnisan tetapi pria itu terlihat begitu cocok menggantikan jabatan Ethan.
Nathan baru saja memecahkan satu permasalahan yang ada. Pria itu berdecak bangga dan membatin meremehkan sang ayah yang begitu lambat dalam memecahkan permasalahan sepele seperti ini.
“Paman, apa menurutmu ulasanku ini cukup bijak jika diterapkan?” ucap Nathan sembari memberikan lembar kertas yang menjadi perhatiannya sedari tadi.
Dean berjalan mendekat dan meraih kertas itu. Tanggapan Nathan serta solusi yang pria muda itu berikan membuatnya berdecak kagum. Dan saat membaca kalimat terakhir dalam ajuan solusi yang dipaparkan Nathan, membuat Dean mengernyit.
“Apa ini harus? Maksudku, mengganti hampir tiga puluh persen pegawai tenaga kerja di bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja? Apa tidak ada cara lain?” tanya Dean yang berpikir solusi Nathan sedikit mainstream.
“Apa kau tidak lihat laporan itu, Paman? Di sana tertulis jelas bahwa kecelakaan dalam kerja rawan terjadi. Walau kita telah mempunyai tenaga kerja khusus dalam menjaga keselamatan kerja para karyawan yang bekerja di lapangan maupun dalam kantor, tapi tetap saja kecelakaan saat bekerja rentan terjadi. Dan bagaimana bisa kecelakaan itu sering kali terjadi padahal kita mempunyai banyak tenaga kerja di bidangnya.”
“Tapi bukankah—”
“Baiklah, aku beri kesempatan. Berikan masa uji coba selama tiga puluh hari pada mereka semua. Jika sampai batas waktu tidak juga mengurangi rawannya kecelakaan kerja, maka dengan terpaksa mereka harus dipecat. Perusahaan Daddy sudah menanggung satu juta dolar lebih, hanya karena kinerja mereka yang begitu buruk. Walau uang itu bukan seberapa dari uang Daddy, tetapi bukan berarti harus dibiarkan begitu saja. Hal sepele jika terus dibiarkan maka akan membahayakan nantinya.” Nathan menatap tepat pada bola mata Dean. Ia sedikit merasa marah saat hal seperti keselamatan kerja karyawan disepelekan. Untung saja dalam laporan itu hanya luka-luka bukanlah korban jiwa. Jika sampai adanya korban jiwa, Nathan akan memecat semua karyawan K3 nya.
Dean mengangguk patuh mendengar penuturan tegas yang Nathan ucapkan. Pembawaan yang begitu tenang, lugas serta tegas itu membuat Dean kembali teringat sifat Ethan saat muda dulu. Ayah dan anak itu ternyata sifatnya tidak jauh berbeda.
Nathan kembali melihat laporan keuangan, dan ia mengernyitkan dahinya. Memang jika dilihat tak ada yang salah dalam laporan itu, namun saat melihat dengan begitu teliti, ada sedikit kejanggalan dalam anggaran masuk.
“Yap!” decak Nathan saat menemukan titik angka yang berbeda.
“Ada sekitar tiga ribu lima ratus dolar yang hilang. Walau dilihat sekilas tak terlihat keganjalan, tapi jelas-jelas di sini terlihat ada yang berbeda. Perusahaan kehilangan tiga ribu lima ratus dolar! Ini kesalahan teknis atau penggelapan dana? Aish! Sepertinya Pak Tua itu semakin tua semakin tak teliti.” Dean menatap Nathan dengan sorot kagum. Tak disangka, pria yang katanya tak berminat dengan bisnis tetapi skill yang ditunjukkannya jelas-jelas cocok dalam bidang bisnis. Dean sedikit menggaruk keningnya yang gatal karena tingkah Nathan yang begitu.
“Baiklah, nanti akan aku katakan pada—”
“Jangan!” potong Nathan cepat. Pria itu bersandar pada sandaran kursinya dan mengusap dagunya perlahan. Senyum menyeringai tiba-tiba muncul di bibir seksinya itu. Nathan memiliki sebuah ide untuk memancing pengkhianat dalam perusahaan ayahnya itu.
“Jangan untuk sekarang, Paman. Biarkan orang itu menikmati hasilnya, setelah dia puas, baru kita yang akan menikmati permainan selanjutnya. Daddy ku memang terlalu kaya untuk dikuras uangnya, tapi bukan berarti harus mencuri untuk mendapatkan uang itu. Ck! Tikus-tikus berdasi itu mencoba bermain-main dengan seorang CEO dari Vincent Company. Paman tinggal duduk diam saja, dan mari kita lihat beberapa minggu setelah hari ini. Akan kupastikan mereka menangis berlutut di kaki ku untuk meminta maaf.” Nathan menyeringai kejam dan Dean yang melihatnya menjadi bergidik ngeri. Sangat paham betul dengan senyuman itu. Senyuman yang sama persis seperti yang pernah Ethan tunjukkan waktu ia kepergok mendekati Evelyn kala itu.
“Ba-baik,” ucap Dean sembari sedikit membungkuk hormat.
***
“Daddy...” rengek seorang gadis sembari menempatkan ponselnya di telinga miliknya. Gadis itu menampilkan wajah cemberut dengan sangat memelas sekali. Menggemaskan sekaligus cantik di waktu bersamaan.
“Kapan kau dan Mom akan pulang? Aku tidak betah dengan hanya bersama Kak Nathan di sini! Pria jelek itu sangat menyebalkan! Semua aktivasi ku dilarang! Aku hanya ingin jalan-jalan bersama teman-temanku saja, masa tidak boleh? Bahkan aku ke kampus harus dijaga dua bodyguard, huaa! Aku ingin Mom pulang dan memberi ocehan padanya!” adu Alysia yang sekarang tengah begitu jengah dengan sikap overprotektif sang kakak, Nathan.
“Apa? Benarkah dia memberimu dua bodyguard, Nak?” ucap Ethan yabg terdengar di seberang sana.
Alysia menegakkan tubuhnya untuk duduk dengan benar. Gadis itu mengangguk, tetapi saat menyadari jika ayahnya yang berada jauh di sana tidak bisa melihat anggukannya, segera ia berkata, “Iya, Dad!”
Alysia tersenyum senang. Seringai cantik miliknya membuat wajah itu semakin menggemaskan bukannya menyeramkan.
“Ck! Anak bodoh!” kesal Ethan di seberang sana.
“Iya, Dad! Dia sangat bodoh.” Alysia memberikan sedikit hasutan.
“Sangat bodoh sekali! Kenapa hanya memberimu dua bodyguard? Seharusnya dia memberikan delapan bodyguard untuk menjagamu di setiap sudut. Aish, anak itu!” decak Ethan di seberang sana.
Alysia menganga tak percaya. Apa-apaan perkataan ayahnya itu? Bagaimana bisa ayahnya lebih menyebalkan dari kakaknya? Tahu begitu, lebih baik ia bungkam saja sejak awal.
“Agar mereka bisa menjagamu di segala sisi. Satu depan, satu belakang, satu samping kanan, satu samping kiri, satu lagi tenggara laut, sa—”
“DADDY!” pekik Alysia geram. Jika saja ayahnya itu sedang berada di depannya, sudah dipastikan Alysia akan menggigit kuat tangan pria paruh baya itu. Sangat menyebalkan melebih sifat overprotektif Nathan terhadapnya.
“Kenapa?” tanya Ethan tak berdosa dengan nada bingungnya.
Alysia memutar bola matanya malas dan segera izin untuk mematikan panggilan teleponnya.
“Anak dan ayah sama saja, huh...” keluh Alysia dengan menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu rumah mewah keluarganya.
“Padahal seharusnya aku sudah duduk manis bersama Dera dan teman-teman lainnya sembari menikmati menu coffe terbaru.” Alysia memukul bantal sofa dengan sangat geram. Membayangkan jika bantal itu adalah wajah kakaknya.
Alysia kelelahan sendiri dengan aksinya dan tanpa menunggu waktu lama, ia menjadi tertidur di sofa itu. Seorang bodyguard yang sejak tadi mengamati aksi Alysia mendekat dengan raut datarnya. Pria yang dipekerjakan oleh Nathan itu memiliki tubuh kekar namun tak berlebihan, sangat atletis nan indah dengan kulit sedikit kecoklatan. Sangat kontras dengan kulit Alysia yang begitu putih. Saat lengan kekar itu menyelinapkan satu tangannya di bagian tengkuk Alysia dan satu tangannya lagi di lipatan lutut, pria itu sedikit tersenyum tipis. Lalu, pria itu mengangkat tubuh mungil Alysia dengan begitu mudahnya, membuat Alysia mampu sedikit meringkuk dalam gendongan pria tampan berprofesi bodyguard itu. Mereka terlihat sangat serasi.
Hanya ada satu orang yang berani melakukan itu pada anak majikan mereka, Alysia Berliane Vincent. Seorang bodyguard yang bernama Zack. Karena hanya Zack yang diberikan izin untuk melakukan kontak fisik pada Alysia. Nathan dan juga Ethan mempercayai gadis mereka padanya.
Saat Zack menaiki tangga untuk menuju kamar Alysia, gadis itu tiba-tiba bergerak dalam gendongan Zack. Dengan terpaksa Zack menghentikan langkahnya dan menatap wajah Alysia yang terlihat terganggu. Pria itu menatap lekat wajah Alysia hingga tanpa sadar senyum tipis muncul di bibirnya.
“Tidurlah, Princess.” bisik Zack tepat di samping telinga Alysia. Dan mengejutkan adalah tubuh serta raut wajah Alysia kembali tenang seperti semula. Dan saat itu juga, Zack kembali melanjutkan langkahnya.
“Tunggu, beberapa saat lagi. Dan...” Zack membuka pintu kamar Alysia dan membaringkan tubuh mungil itu di atas ranjang di sana. Zack mendekatkan wajahnya pada wajah Alysia yang tertidur dan melanjutkan kalimatnya.
“Kau akan menjadi gadisku.”
***
Nathan baru saja selesai dengan tugasnya di perusahaan. Pria itu memilih untuk lebih dulu singgah di cafe depan perusahaan ayahnya. Sembari menikmati coffe yang tersedia, pria muda itu tak henti-hentinya membuka tutup layar ponsel miliknya. Semua rasa letihnya seolah hilang tak berbekas saat ia menatap wajah gadis kecilnya. Anna nya.
Nathan mengelus penuh rasa sayang pada wallpaper ponsel yang menampilkan wajah Anna saat kecil. Senyum di bibirnya tak pernah luntur. Entah kenapa pengaruh Anna begitu besar baginya, padahal mereka sudah bertahun-tahun tak berjumpa.
Terbersit dalam hatinya untuk menelepon ibunya yang masih berada di Singapura. Ada rasa rindu yang menggebu dalam dirinya karena belum menanyakan kabar gadisnya di sana.
Saat percobaan panggilan pertama ia lakukan, saat itu juga Evelyn menerima panggilan telepon itu dengan segera.
“Ada apa, Son?” tanya Evelyn yang sepertinya baru bangun tidur.
“Pukul berapa di sana, Mom?” tanya Nathan yang penasaran. Apa ia menelepon di waktu yang salah? Atau ia lupa jika selisih jam antara di New York dan Singapura itu berbeda jauh?
“Pukul empat pagi,” balas Evelyn yang terdengar mengantuk.
Nathan tak tega mendengar ibunya yang terus saja menguap di telepon. Dan akhirnya Nathan mengurungkan niatnya untuk menanyakan gadisnya di sana. Akan lebih baik jika malam nanti saja, pikirnya.
“Baiklah, sepertinya aku perlu menahan rindu lagi untuknya.” Nathan terkekeh sendiri dengan ucapannya barusan. Sangat bukan Nathan sekali, jika dibandingkan dengan sikap tegasnya tadi di kantor.
“Hm,” deham Evelyn yang sepertinya sudah kembali ingin tertidur lagi.
“Kabari aku jika kau sudah bangun, Mom. See you, mine.” Nathan memutuskan sambungan teleponnya lebih dulu. Tanpa disadarinya bahwa minumannya sudah habis sejak tadi.
“Nathan?” panggil seseorang.
Nathan mendongakkan wajahnya menatap siapa gerangan yang memanggil namanya itu. Dan saat matanya dan milik orang itu bertemu, Nathan sedikit terkejut.
Anya? Kenapa gadis itu kemari? Dan saat melihat ada sahabatnya juga bersama gadis itu, sepertinya Nathan bisa menyimpulkan jika para sahabatnya itu sedang hangout. Dan parahnya, mereka tak mengajaknya? Nathan berdecak kesal.
“Ugh, tak ku sangka ternyata kau akan di sini. Bagaimana hari pertamamu, Pak CEO?” ucap salah seorang sahabat Nathan. Dia bernama Gabriel Aland Early.
“Cih, memang apa peduli?” ketus Nathan.
“Hey, tenang bro. Kau sedang sensi? Kenapa wajahmu menakutkan sekali?” ucap Gabriel dengan sedikit nada dibuat seolah ketakutan.
“Ck, terserah.”
Anya yang peka jika Nathan sedang merajuk pun bertanya, “Apa kau kesal karena kami pergi keluar tanpa mengajakmu?” Jawaban Anya terbukti benar saat Nathan menatap sinis pada mereka.
“Heh! Siapa suruh kau mematikan ponselmu, bodoh!” Gabriel yang kesal memukul keras tengkuk Nathan hingga membuat Nathan menatap tajam pada sahabatnya itu.
“Terserah.”
“Sepertinya tugasmu di kantor hari ini cukup bagus. Apa menyenangkan?” tanya Aaron yang mengubah situasi mereka saat ini.
“Biasa saja, tidak ada yang menyenangkan. Semua tampak monoton,” keluh Nathan. Pria itu kembali fokus pada ponselnya. Saat akan mengirimi pesan untuk ibunya, sesaat terlintas dalam benaknya tentang rencana waktu itu. Rencana untuk segera mengambil alih perusahaan ayahnya. Dan saat menghitung tanggal, tepat dua minggu setelah hari ini, ia akan berulang tahun menjadi berusia dua puluh lima tahun bersamaan dengan Anya. Ya, karena ia dan Anya lagi di hari yang sama.
Bukankah waktu perayaan ulang tahunnya yang ke dua puluh lima tahun itu adalah waktu yang tepat untuk membuatnya naik tahta menjadi CEO segera?
“Bagaimana pendapat kalian jika dua minggu ke depan aku mulai menjabat sebagai CEO? Apa itu baik?” tanya Nathan pada tiga sahabatnya.
Anya, Gabriel dan Aaron terlihat sedang mempertimbangkan pemikiran Nathan. Dan dengan kompak, mereka mengangguk setuju.
“Menurutku, itu pilihan bagus. Semakin cepat, semakin baik. Bukankah Paman Ethan tidak ada anak laki-laki penerus lagi selain kau? Lalu sepertinya tidak ada alasan untuk ditunda-tunda lagi.” Aaron memberikan pendapatnya.
“Aku setuju dengan ucapan Aaron. Kau itu sudah cukup umur untuk memimpin perusahaan Daddy mu, dan apa kau tidak kasihan melihat Daddy mu itu yang terus bekerja setiap harinya? Dia sepertinya begitu lelah dengan tugas kantor yang menumpuk, tapi mungkin karena dia tak ingin memaksamu untuk menggantikan jabatannya, makanya dia memaksakan dirinya untuk menjalankan perusahaan itu sendiri. Kalau saja kau itu adalah aku, sudah kupastikan aku menjabat sebagai CEO sejak umurku dua puluh tahun,” ucap Gabriel panjang lebar.
“Tunggu, dua minggu lagi?” tanya Anya memastikan.
“Ya,” balas Nathan singkat.
“Bukankah itu bertepatan dengan ulang tahun kita?” kejut Anya.
“Ya, memang. Aku berencana di hari ulang tahunku nanti, akan segera mengabulkan keinginan Daddy ku itu. Aku akan mengambil jabatannya segera mungkin,” dan dengan segera pula membawa Anna kepelukanku. Sambung Nathan dalam hati. Perutnya berbunga-bunga saat membayangkan hal itu.
Senyumannya, tawanya, matanya dan seluruh bagian dari diri Anna, sungguh menggetarkan hati Nathan. Ia akui, ia tak pernah tahu bagaimana rupa Anna nya sekarang. Namun dengan keyakinan hatinya, ia sangat yakin jika Anna adalah sosok tercantik dan terindah dalam sejarah hidupnya. Bahkan kecantikan itu melebihi siapa pun wanita yang pernah ia jumpai sebelumnya.
Melihat wajah Nathan yang melamun sembari tersenyum bahagia, membuat Anya, Gabriel dan Aaron menjadi bergidik ngeri. Apakah karena hari ini Nathan melakukan tugas pertamanya sebagai CEO mampu membuat pria itu berubah menjadi gila?
Anya tanpa sadar mendekati Nathan dan menepuk kencang punggung sahabatnya itu.
“Aush!” aduh Nathan kesakitan. Pria dengan setelan kantornya itu menatap tajam pada Anya yang menepuk punggungnya kuat dengan cara tiba-tiba. Membuatnya terkejut setengah mati.
“Lain kali jika kau ingin tersenyum misterius seperti itu, jangan pernah tunjukkannya di depan orang ramai, bodoh! Kau membuat kami takut, dan membuatmu seperti orang gila!” Nathan mencibir ucapan Anya untuknya.
‘Jika saja membunuh diperbolehkan, sudah ku cincang habis tubuhmu, Anya!’ batin Nathan kesal.
***