***
Hari ini adalah tepat seminggu sejak perencanaan Nathan waktu itu di dalam cafe bersama ketiga sahabatnya. Satu minggu sudah ia lewati dan tinggal menunggu satu minggu lagi, maka ia akan menduduki posisi CEO menggantikan sang ayah. Dan hari ini pula, Ethan dan Evelyn pulang dari perjalanan bisnis mereka dari Singapura. Nathan sudah membicarakan hal ini pada Ethan sebelumnya mengenai kemantapan hatinya untuk segera mengambil alih perusahaan ayahnya kala di telepon waktu itu, akan tetapi sekarang ia akan kembali membicarakannya langsung dengan sang ayah. Ia pikir ayahnya akan terkejut dan bisa saja tidak mengijinkannya mengambil posisi CEO dalam waktu dekat.
Dan di sinilah ia sekarang. Duduk bertiga di sebuah taman belakang milik ibunya. Nathan berdeham untuk segera memulai obrolannya. Ada rasa gelisah pada diri Nathan saat melihat raut wajah tak terbaca milik Ethan. Ia takut rencana untuk membawa gadisnya segera setelah ia menyandang status CEO sukses akan gagal saat ayahnya menolak keinginannya yang secara tiba-tiba itu.
“Dad... lalu bagaimana?” tanya Nathan yang mulai was-was.
Ethan menyesap perlahan teh yang dibuatkan oleh Evelyn barusan. Pria paruh baya itu merangkul bahu Evelyn untuk membuat wanitanya bersender manja di bahu kekarnya.
“Bagaimana apanya?” Ethan menatap Nathan dengan sangat intens. Dan kemudian kembali menyesap tehnya hingga kandas tak tersisa.
“Ck, ayolah Dad! Aku serius,” ucap Nathan yang mulai jengah dengan drama kecil ini. Pria itu mengacak rambut belakangnya frustasi.
“Kenapa tiba-tiba? Apa alasannya? Apa kau punya hutang yang begitu melimpah hingga berniat— Auh! Sakit, baby!” Ucapan Ethan terpotong saat jemari kecil Evelyn mencubit mesra pinggangnya. Cubitan yang begitu kecil, tetapi sangat mematikan.
“Mana mungkin anakku melakukan seperti itu!” kesal Evelyn.
“Anakmu? Dia juga anakku. Tanpa a—”
“Tolonglah berhenti. Hentikan drama manis kalian ini, okay? Aku anak kalian, jadi stop membahas yang tidak penting. Sekarang yang jadi permasalahannya adalah...”
Ethan dan Evelyn terdiam menatap anak mereka yang kini tengah menggantung ucapannya.
“Boleh atau tidak, kalau aku menggantikan posisi CEO Dad minggu depan? Tepat saat acara bertambahnya umurku?” tanya Nathan dengan rasa penasaran berbalut kecemasan.
Ethan menatap serius pada wajah Nathan, anaknya. Tatapan dingin dengan wajah datar itu membuat diri Nathan menjadi ketar-ketir ketakutan. Takut semua hal yang telah ia susun menjadi berantakan atas penolakan Ethan.
“Kenapa mendadak? Bukankah, kau sendiri yang bilang tidak ingin mengemban tugas CEO di usia yang KATAMU cukup muda?” Ethan menatap sinis putra sulungnya itu. Sangat aneh mengetahui hal itu dari mulut Nathan sendiri.
“Aku tarik ucapanku, Dad. Aku tahu, bagaimana pun nanti di masa depan, tetap saja yang akan menggantikan posisimu adalah aku.” Nathan berhasil menyembunyikan rasa gugupnya dengan kalimat tegas yang baru saja ia ucapkan itu.
Ethan mengelus dagunya perlahan sembari menatap tubuh Nathan dari atas ke bawah lalu naik lagi ke atas, berulang-ulang seperti itu. Evelyn yang merasakan tatapan penuh harap Nathan pada Ethan dan tatapan jahil Ethan pada Nathan menjadi gemas sendiri akan tingkah laku anak dan ayah itu.
“Baiklah, saran diterima. Minggu depan kau akan menjabat sebagai CEO baru perusahaan kita. Jika perlu, besok pun bisa kita lakukan segera. Lebih cepat lebih baik.”
Nathan dan Ethan dengan kompak menatap pada Evelyn yang tadi menyela. Nathan dengan wajah sumringahnya sedangkan Ethan dengan wajah cemberutnya. Pria itu menatap sengit pada Nathan dan menjauhkan Evelyn dari Nathan yang hendak memeluk wanitanya itu.
“Terima kasih, Mom! Kau wanita terbaik yang pernah ada. Aku sangat mencintaimu.” Nathan merentangkan tangannya untuk memeluk Evelyn, nun seketika terhenti saat Ethan menyentil keras dahi pria muda itu.
“Jangan. Pernah. Sentuh. Milikku!” ucap Ethan dengan nada penuh kepemilikannya. Pria itu memeluk tubuh Evelyn erat hingga tak ada celah untuk Nathan memeluk istrinya.
“Dasar Pak Tua!” hardik Nathan dengan wajah dibuat cemberut.
“Pergi sana! Dasar anak durhaka!” balas Ethan tak kalah ketus dengan anaknya itu.
Evelyn terkekeh melihat aksi anak dan suaminya itu. Keduanya sangat menggemaskan hingga ia tak tahan untuk tidak tertawa. Wanita itu mengelus rambut Nathan perlahan dengan senyum keibuannya.
“Mom tau apa yang sedang kau rencanakan, Nak.”
Nathan terkejut. Pria itu menatap ibunya dengan tatapan seolah itu adalah rahasia yang tak boleh bocor ke siapapun itu.
“Mom tau? Tapi, bagaimana bisa? Aku hanya menceritakannya pada Aaron... ahh iya, apa Aaron memberitahumu, Mom?” Melihat Evelyn yang mengangguk mengiyakan pertanyaannya, Nathan mendengus kesal. Sahabatnya itu sangat tak bisa menjaga rahasia.
‘Awas saja kau, Aaron! Akan ku jahit mulutmu itu! Aish!’ batin Nathan bersumpah.
Dan tanpa sadar, Aaron yang sedang meminum teh panas di balkon kamarnya menjadi bersin seketika dan membuat teh panas dalam cangkir itu tumpah menyentuh bibirnya serta dadanya.
“Panas! Panas! Argh!” Aaron berlari menuju kamar mandi dan membasuh bibirnya yang terlihat sedikit membengkak.
“s**l sekali!”
Kembali pada Nathan.
“Mom, tolong jangan beritahu pada siapapun termasuk pria tua di sampingmu itu. Okay?” mohon Nathan menampilkan puppy eyes nya.
Evelyn mengedipkan matanya tanda setuju. Ethan mendelik tak suka. Pria itu terlihat sangat penasaran sekaligus kesal.
“Apa-apaan ini? Kalian menyembunyikan sesuatu dariku?” ketus Ethan.
“Rahasia...”
“Heh, dasar a—”
“Mom, aku ada urusan sejenak. Kalian beristirahatlah lebih lama. Bye, Babe.” Nathan segera melarikan diri sejauh mungkin dari jangkauan Ethan. Bisa gawat jika nanti pengangkatannya dibatalkan oleh sang ayah.
“Ah, akhirnya gadisku sudah semakin dekat untuk ku jangkau. Tunggu aku, Anna.”
***
Suara lembut alunan musik menggema di seisi rumah mewah itu. Namun, hanya ada seorang gadis yang terduduk dengan begitu tenang dengan raut datarnya. Alunan musik yang merdu saja tak mampu membuatnya tersenyum barang sejenak saja. Gadis itu terlihat sedang berpikir serius hingga tanpa sadar bahwa ada seseorang sudah duduk di sampingnya.
“Ada apa denganmu, Anya?” tanya Aaron, sahabat Anya sekaligus sahabat Nathan juga.
“Tidak, hanya sedang memikirkan perkara hati yang sepi penghuni.” Anya menghembuskan napas kasar. Gadis itu menundukkan kepalanya untuk menatap kakinya yang menapak pada lantai.
“Karena Nathan?” tebak Aaron yang berhasil memberikan reaksi dari Anya. Gadis itu menegang dalam duduknya. Ia menatap Aaron dengan hati-hati.
“Ha?” ucap Anya untuk memastikan sekali lagi, kalau-kalau ternyata ia salah dengar barusan.
”Aku tau kau menyukainya,” ucap Aaron dengan tersenyum lembut. Pria seumuran Nathan itu mengusap pelan puncak kepala Anya. Aaron bangkit dari duduknya dan berdiri menjulang di hadapan Anya.
“Apapun keinginanmu, itu pantas untuk diperjuangkan. Lagi pula gadis Nathan itu sedang jauh dari Nathan, apa salahnya jika kau berusaha mengejar cinta Nathan?” ucap Aaron menyemangati.
Anya terharu, ia merasa begitu tersanjung dengan kalimat semangat dari Aaron. Sangat membantu untuk dirinya yang pengecut ini. Dirinya yang bahkan takut untuk memperjuangkan cintanya untuk Nathan.
Anya berdiri dari duduknya dan tersenyum lebar. Gadis itu memeluk tubuh tegap Aaron dan menempelkan pipinya di d**a bidang Aaron. Tanpa sadar membuat tubuh Aaron menjadi kaku seketika, bahkan Anya tak sadar jika sekarang jantung pria itu berdetak sangat kencang.
“Terima kasih, kau benar. Aku harus berjuang untuk mendapatkan apa yang aku mau.” Dengan senyum lebarnya, Anya menatap Aaron yang terpesona dengan senyuman itu.
“Ya,” balas Aaron singkat.
“Ah, aku belum mandi. Sebaiknya aku mandi dulu. Oh iya, kenapa kau kemari?”
Aaron mengerjapkan bola matanya berkali-kali dan segera berusaha menyadarkan dirinya dari lamunan.
“A-aku hanya ingin bertemu Papa mu,” balas Aaron sedikit gugup.
“Yah, kau terlambat. Papa dan Mama pergi pagi-pagi sekali untuk mengurus bisnis Papa di Inggris. Kata Mama, di sana ada krisis keuangan karena adanya penggelapan dana perusahaan.” Anya menjelaskan dengan raut kesalnya.
“Benarkah? Semoga kau tak jatuh melarat nantinya.” Anya mendelik kesal dan mencubit keras perut kotak-kotak milik Aaron.
Aaron meringis dan Anya tertawa jahat.
“Rasakan itu, dasar bocah!” Anya berbalik sembari mengibaskan rambutnya dengan begitu kasar hingga menampar wajah Aaron. Gadis itu menatap ke belakang atau lebih tepatnya Aaron yang berada di belakangnya dengan tatapan mengejek dan menjulurkan lidah lucu.
“Bye!”
Aaron masih menatap punggung Anya yang hilang di balik pintu kamar mandi di kamar gadis itu. Tangan kanannya tak disadari merambat naik memegang daerah sekitar jantungnya dan berujung meremas tempat detak jantungnya terdengar.
“s**t! Kenapa begini?” umpat Aaron.
Pria itu segera menjernihkan otaknya dan dengan cepat meninggalkan ruangan itu.
“Jika saja tak ada perasaan yang terselib untukmu, mungkin aku tak akan sesakit ini mengetahui mau mencintainya. Cinta memang bodoh,” dengus Aaron kesal.
***
Alysia sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya. Ia sudah tiga jam tidak beranjak dari hadapan laptop miliknya itu. Gadis dengan rambut dicepol, baju sebatas siku ditambah celan pendek sebatas paha itu duduk di depan meja ruang keluarga terus mengamati laptop tanpa ada niatan untuk beranjak barang sejenak dari sana.
“Nona, silahkan nikmati makan siang Anda. Pagi tadi kau melewati sarapanmu dan kuharap sekarang kau menghabiskan makan siangmu,” ucap seorang pelayan sembari membawa beberapa menu makan siang.
“Hm, ya ya ya. Pergilah,” usir Alysia yang merasa terusik. Gadis itu bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari laptop yang menampilkan sejumlah kalimat panjang dengan sejenis rumus tertentu.
Pelayan itu undur diri dan segera menuju dapur, meninggalkan Alysia yang tak berniat memakan itu semua.
Dua orang bodyguard terus mengamati gerak-gerik Alysia dengan intens. Zack serta teman seprofesi nya itu mengawasi Alysia namun masih dengan sikap siaga.
Satu jam berlangsung, tetap saja Alsyia tak kunjung memakan makanannya. Zack sedikit menggeram kesal. Ia takut jika Alysia jatuh sakit karena tak makan sejak pagi tadi. Dan dengan inisiatif nya sendiri, Zack mendekati Alysia untuk memberikan sedikit ocehan pada gadis itu.
Saat Zack berada di hadapannya, Alysia tak terkejut. Ia sudah paham betul dengan sikap para bodyguard sang ayah. Pasti setelah ini, ia akan diancam atau paling tidak akan dimarahi lagi.
Saat bodyguard yang dikenalnya bernama Zack itu sudah ingin membuka mulut. Alysia lebih dulu membuka lebar mulutnya.
“Aaa...” Alysia membuka mulutnya lebar di depan Zack. Zack mengernyit dan mengangkat satu alisnya pertanda jika sekarang ia tengah bingung.
“Suapi aku, aku tidak bisa makan sendiri untuk saat ini. Tugasku sebentar lagi akan deadline,” jelas Alysia.
Zack tetap bergeming di tempatnya berdiri. Tatapan datar itu ia layangkan pada Alysia yang masih terus sibuk dengan tugasnya.
“Nona, makanlah lebih dulu.” Suara bariton yang terdengar berat itu menggetarkan hati Alysia. Gadis itu terkejut dan mendongak menatap Zack, bodyguard nya.
“Kau... bisa bicara?” tanya Alysia yang terlihat cengo.
Zack menaikkan alis bagian kanannya. Ada apa dengan Alysia ini? Kenapa begitu aneh?
“Hm,” deham Zack menanggapi.
Alysia tersadar dari kekagetannya dan segera menggeleng perlahan. “Tidak, aku pikir kau bisu.” Alysia kembali sibuk pada laptopnya.
“Nona, saya harap Anda memakan makan siang ini sekarang juga.”
Alysia cemberut dan mendelik tak suka.
“Yang menjadi bos itu aku atau kau, ha?” amuk Alysia karena terganggu.
“Tuan besar,” balas Zack dengan enteng. Pria itu bahkan menatap tepat pada retina mata indah milik Alysia.
“ARGG! DADDY!” jerit Alysia frustasi. Gadis itu melirik sejenak pada jam tangan yang ia kenakan. Dan rasanya ia ingin menangis. Waktu tugasnya tinggal tiga puluh menit lagi dan ia bahkan baru mengerjakan tak sampai setengahnya.
“Antara dosen itu yang gila atau aku yang banyak dosa. Kenapa dia menghukumku seperti ini? s**l sekali,” Alysia memukul pelan kepalanya dan hendak membenturkan kepala itu di meja akan tetapi terhenti saat tangan Zack menjadi pemisah antara kepalanya dan meja.
“Bisakah aku tenang?” Alysia mendongak menatap Zack dengan tampang kusutnya. Gadis itu terlihat frustasi sekali.
“Kenapa? Apa hanya kau yang diberi tugas ini?” tanya Zack dengan kening berkerut.
Alysia mengangguk lemah dan menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan di atas meja.
“Salahkah aku jika menolaknya menjadi kekasihku? Aish, bisa-bisanya dosen itu memanfaatkan profesinya untuk mengancam ku!” aku Alysia. Suara gadis itu sedikit terdengar samar karena ia menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan. Namun, Zack mampu mendengarnya dengan jelas. Rahangnya sedikit mengeras, hanya sedikit.
“Siapa namanya, Nona?” tanya Zack dengan suara rendahnya.
Alysia mendongak menatap Zack dengan senyum sinisnya. “Jangan macam-macam dengannya. Aku tidak ingin nilaiku dipertaruhkan hanya karena kalian memberikan pelajaran padanya,” ketus Alysia.
“Lalu inikah hukuman yang dia berikan?” tanya Zack lagi.
“Hm,”
“Lalu apa yang akan terjadi jika kau tak mengerjakan tugasnya tepat waktu?”
WOW!
Alysia sedikit terkejut dengan cara bicara Zack yang tak seperti biasanya. Bodyguard nya itu berbicara panjang lebar dengannya? Hah, apa itu benar?
“Aku...” Alysia menggantung ucapannya. Ia bingung ingin mengatakannya atau tidak.
“Aku akan jadi kekasihnya,” ucap Alysia dengan cepat.
“s**l!” desis Zack pelan.
“Ha? Kau bicara apa?” tanya Alsyia heran.
“Berikan tugasmu, Nona. Dan kau habiskan makan siang itu segera,” perintah Zack yang tak mau dibantah.
Zack mengambil alih posisi Alysia dan segera mengerjakan tugas itu dengan tangan yang bergerak lincah. Sangat lincah bahkan melebih Alysia dan Nathan. Alysia tak menolak ataupun menghentikan perbuatan Zack. Ia membiarkannya begitu saja sembari memakan makan siangnya.
Selama Zack fokus pada layar laptopnya, Alysia berulang kali menatap jam tangannya dan beralih pada wajah Zack. Waktunya tinggal sekitar dua menit dan sepertinya tidak mungkin Zack akan selesai dalam waktu sesingkat itu.
Alysia meletakkan kembali piringnya dan menghela napas pelan, “Lebih baik kau kembali ke tempatmu, sepertinya tidak mungkin un—”
“Selesai,” ujar Zack dengan wajah dingin namun sorot mata penuh rasa lega.
“Mana mungkin!” Alysia begitu kaget dan melihat hasil yang Zack kerjakan. Bahkan file nya sudah dikirimkan ke email dosennya satu menit sebelum deadline. Alysia menatap Zack dengan ternganga. Pria itu sangat hebat dan cepat. Sungguh mengesankan.
“Kau manusia?” tanya Alysia dengan tampang konyolnya.
Zack tak menghiraukan ucapan itu dan kembali ke tempatnya berjaga. Sedangkan, Alysia masih terkejut dan takjub dengan kecepatan pengerjaan Zack.
“Mungkin.”
Alysia menatap pada Zack yang baru saja membalas pertanyaannya. Gadis itu membuat raut bodohnya dan segera memberikan tepuk tangan heboh untuk Zack.
“Kau terbaik, Zack!” pekik Alysia sembari memberikan dua jempolnya untuk Zack.
‘Jarimu saja yang terlalu kecil dan lambat, sayang.’ batin Zack terkekeh.
***
Nathan sedang berada di kamarnya. Pria itu sedang berbaring nyaman di tempat tidurnya. Hatinya berbunga-bunga layaknya musim semi di hamparan daratan.
“Satu minggu lagi, satu minggu lagi. Kuharap kau bisa menungguku, Anna. Sumpah demi Tuhan, aku akan memberikan pelajaran untuk siapapun pria yang mencoba mengambilmu dariku.”
Rasa cinta dalam hati Nathan semakin menggebu-gebu tak terkendali. Begitu besar hingga ia sendiri kewalahan menahannya.
Nathan tak pernah pacaran di umurnya yang akan menginjak dua puluh lima tahun ini. Jika ditanya kenapa? Jawabannya selalu sama, karena sudah ada seorang gadis yang menghuni hatinya. Walau beribu-ribu gadis berusaha mengetuk pintu hatinya, tetap saja hati Nathan akan selalu tertutup karena sudah ada Anna di dalamnya. Sangat jelas bahwa ia hanya menginginkan Anna, bukan yang lainnya.
“Kau tau, Ann? Aku sangat mencintaimu. Bagaimana pun nantinya wajahmu, entah itu menurut orang-orang wajahmu jelek, bagiku kau tetap yang tercantik. Sangat cantik dan kaulah ratuku. Ratu yang menghuni hati ini yang beku karenamu.”
Entah Nathan terlalu kelelahan atau memang dia mengantuk, pria itu jatuh tertidur dengan bingkai foto Anna di genggamannya. Tangan Nathan terlepas dari pegangan fotonya dan mengakibatkan foto itu terjatuh dan retak saat itu juga.
Bingkai foto Anna itu pecah tanpa sepengetahuan Nathan yang telah tertidur. Tanpa sadar, jatuhnya foto itu adalah pertanda buruk. Anna, gadis kecil yang sekarang tumbuh menjadi gadis remaja berumur dua puluh tiga tahun itu sedang mengalami hal sulit tanpa diketahui semua orang.
Termasuk mata-mata Evelyn.
***