BAB 65

1430 Kata
Kesan pertama Ian menyusuri ibu kota adalah melelahkan. Ya, dia lelah. “Ivander, di sana deretan toko pakaian!” “Ivander, kudengar di sebelah sana ada toko pita!” “Wah, lihatlah roti-roti itu! Tampaknya enak!” “Ivander!” Ivander, Ivander, Ivander. Bagaimana bisa dia punya tenaga sebesar itu walau baru saja sembuh, rutuk Ian lelah sambil menatap Lizzy yang sedang melahap donat di sampingnya. Ian tidak menyangkal keindahan Ophele. Semua yang terjadi di Ophele sesuai dengan bayangan Ian. Keramaian penduduk serta padatnya aktivitas mereka berhasil membuat Ian terpukau. Ian tidak akan menyangkalnya. Walaupun lelah menemani Lizzy, Ian merasa senang menyusuri ibu kota. Ada banyak hal baru yang dia temukan, jadi Ian tidak akan banyak mengeluh. Kecuali mengeluhkan tenaga besar dan kerakusan Lizzy. “Lupakah kau kita ke ibu kota untuk mencicipi parfait?” celetuk Ian di samping Lizzy, menginterupsi gadis itu yang hendak melahap donat. Lizzy menoleh ke Ian. “Aku tidak lupa.” Ian melengos sebal. “Kalau begitu, berhentilah meminta jajanan. Kau terlalu percaya diri dengan kondisi lambungmu.” “Kau tidak perlu memikirkannya. Sudah kubilang aku selalu siap untuk parfait dan makan siang.” Ian melirik Lizzy cukup sinis. “Kau pikir aku mau memiliki tunangan gemuk?” Pertanyaan lancang Ian membuat Lizzy menatap kesal. “Apa katamu? Aku gemuk?” Ian berhenti berjalan. Tubuhnya berputar ke kanan untuk menghadap Lizzy. Lizzy menerimanya, ia balas menatap Ian dengan sorot menantang. Ian mengamati tunangannya dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Lizzy tidak gentar sama sekali melihat sorot tajam Ian memindai dirinya. Lizzy sangat percaya diri bahwa dirinya tidak kelebihan berat badan. Usai Ian memindai tubuhnya, Lizzy tersenyum iblis. “Bagaimana? Apakah aku gemuk, tu-na-ngan-ku?” Diam-diam, Ian mendecak kesal. Tidak menemukan adanya bagian tubuh Lizzy yang kelebihan lemak. Nada mengejek serta senyuman Lizzy membuat Ian semakin kesal karena tertampar kekalahan. Tapi, kita semua tahu betapa tingginya harga diri Ian. Ian mencubit pipi kiri Lizzy. “Ya, ini buktinya.” Lizzy melotot kesal. “Ivander, Ivander, Aw! Apa yang kau lakukan?! Sudah kubilang jangan mencubit pipiku!” “Aku hanya menunjukkan bukti padamu,” sahut Ian datar, lagi-lagi puas melihat ekspresi wajah Lizzy yang menggemaskan setiap kali capit Ian sedikit menarik pipi kenyalnya. Lizzy mendengus kesal. “Jika kau tidak segera melepasnya, aku akan memaksamu makan donat ini.” “Oh? Sepertinya kau terlalu lama tidak memanggilku “Yang Mulia” hingga kau lupa siapa diriku, huh?” Lizzy mencebik. “Aku tidak pernah lupa, lagipula aku tidak salah.” Ian menyeringai angkuh. Dia berhenti mencubit Lizzy, kini berganti menangkup rahang gadis itu. Jari-jemarinya memencet pipi Lizzy hingga bibir gadis itu mengerucut maju seperti mulut ikan. Sukses membuat Lizzy makin berang terhadap Ian. Wajah Ian yang datar mulai berkedut, tak mampu menahan tawa melihat wajah lucu tunangannya. “Astaga, lihatlah spesies ikan macam apa ini. Pfft.” Lizzy tidak tahan lagi. Untuk pertama kalinya. dia kehabisan kesabaran terhadap kelakuan Ian. Tanpa permisi, Lizzy memasukkan donat vanila dalam genggamannya ke mulut tunangannya secara paksa. Ian yang tidak siap pun terjebak, donat vanila itu menyelusup masuk ke dalam mulutnya. Spontan saja rasa manis vanila dan kacang almond ‘meracuni’ lidah Ian. Menyebabkan sang Pangeran Mahkota itu melotot kesal kepada Lizzy dan gadis itu membalasnya tanpa takut. Ian menarik tangannya dari Lizzy kemudian berpindah ke pergelangan gadis itu. Dia menjauhkan tangan Lizzy yang menggenggam donat agar donat itu segera pergi dari mulutnya. Lizzy mengalah melihat raut jijik terpasang di wajah Ian. Ia tarik tangannya kembali. Lantas menatap Ian penuh kemenangan. “Makanlah bagian donatmu,” ujar Lizzy kembali menyodorkan donat yang terkena bekas mulut Ian. Ian terbatuk sejenak sebelum menatap Lizzy penuh emosi. “Kau benar-benar ingin membunuhku.” Lizzy menghela napas pelan. Wajah kesalnya memudar, cepat sekali merasa bersalah. “Maafkan aku, kau yang memaksaku.” Tanpa memedulikan bekas mulut Ian, secara santai Lizzy melahap bagian donat yang sebelumnya masuk ke mulut Ian. Mengejutkan tunangannya hingga sedikit melongo menatapnya. Ian hampir tidak memercayai matanya sendiri. Ia melihat Lizzy dan bagian donat yang gadis itu lahap berkali-kali, memastikan bahwa benar gadis itu melahap bekas mulutnya tanpa peduli. “Kau… apakah kau bodoh? Kau baru saja memakan bekas mulut orang lain,” ujar Ian cukup syok. Lizzy menatap Ian usai menelan kunyahan donat. Mata birunya mengerjap polos. “Aku tahu. Kenapa?” Mata merah Ian membulat melihat betapa santainya Lizzy sekarang. “Kau pasti diajarkan untuk tidak memakan bekas mulut orang lain, bukan? Bangsawan macam apa yang memakan makanan bekas orang lain?” “Iya, aku diajarkan demikian di kelas etika.” “Lalu, kenapa—“ “Ini bekas tunanganku sendiri, seorang Pangeran Mahkota Ophelia. Jadi, tidak masalah bagiku.” Tanpa diminta, pipi Ian mulai memerah. Dia panik. “Apa yang kau bicarakan, bodoh?” Lizzy nyengir kecil. “Lagipula, sayang jika dibuang. Itu donat kesukaanku di ibu kota. Beda cerita jika tadi bekas orang lain, aku akan terpaksa membuangnya.” Ian berusaha mati-matian menyembunyikan rasa malu yang meledak dalam wajahnya menggunakan raut kesal khasnya. “Huh? Kau sungguh perempuan yang—” Sebelum Ian menyelesaikan kalimatnya, Lizzy berlari meninggalkannya diiringi tawa ringan. Ian mendecak kesal melihat Lizzy mengabaikannya. Dia menoleh ke kiri untuk menatap punggung Lizzy menjauh. “Ivander! Sudah jam makan siang!” seru Lizzy nyaring dari kejauhan membuat orang-orang sekitar menatapnya dan dia tidak merasa malu sama sekali. Justru santai melambaikan tangan ke arah Ian yang lagi-lagi dia tinggalkan di belakang. Ian tidak habis pikir dengan Lizzy. Gadis itu sungguh meninggalkan seluruh etika kebangsawanannya selama menyusuri ibu kota. Tidak ada keanggunan sama sekali. Tidak ada postur tegap anggun dalam langkahnya. Tidak ada ketenangan dalam sikapnya. Tidak ada pula rasa was-was terhadap sekitarnya. Lizzy sangat terbuka dan riang selayaknya perempuan biasa. Ian tahu dirinya dan Lizzy tidak perlu beretika di ibu kota selama menyamar menjadi orang biasa. Ian pun sedikit meninggalkan etika kerajaan selama jalan-jalan bersama Lizzy. Tapi, tidak sejauh yang gadis itu lakukan. Tidak seterbuka Lizzy. “Kau ini kenapa lambat sekali? Kau tidak enak badan, Ivander?” tanya Lizzy ketika Ian telah sampai di hadapannya. Dia mengamati wajah datar lelaki itu sebelum tiba-tiba melotot syok sendiri. “Jangan-jangan kau demam! Astaga, kenapa kau tidak—“ Ian kembali menangkup rahang Lizzy, memonyongkan bibir gadis itu agar diam. “Aku tidak sakit. Aku lelah merasakan tenaga besarmu.” Lizzy mengerjap polos. “Tenaga besarku?” “Kau berlarian kesana-kemari, menyeretku kemana-mana tanpa mau menungguku. Kupikir ini bukan pertama kalinya kau jalan-jalan di ibu kota.” Lizzy mengangguk kecil. “Ini bukan pertama kalinya.” Ian mendengus. “Tapi, tingkahmu seolah ini adalah pertama kalinya. Berhentilah merayap kemana-mana.” Wajah berbinar Lizzy pudar, berganti menyesal. “Maafkan aku, aku terlalu semangat.” Ian menghela napas pendek. Tangannya berhenti menangkup wajah Lizzy. Raut kesalnya berganti datar, wajah khasnya. Dia menatap Lizzy intens dalam waktu cukup lama sebelum tiba-tiba menyentuh puncak kepala gadis itu. Lizzy mengerjap kaget merasakan tangan hangat Ian menyentuh kepalanya. Ia sedikit mendongak untuk memastikan bahwa benar tangan Ian-lah yang bertengger di sana, kemudian turun untuk menatap mata merah Ian. Baik Ian maupun Lizzy tidak ada yang bersuara. Keduanya tenggelam dalam iris satu sama lain seolah iris itu lebih menarik untuk ditatap. Tatapan intens itu membuat jantung Lizzy berdebar kencang. Tak dapat ditampik, ini adalah tatapan terinstens yang terjadi di antara Ian dan Lizzy. Lizzy tidak mampu menghindari sorot tajam iris merah Ian. Iris itu seolah menarik Lizzy untuk menyelaminya. Begitu juga yang dirasakan oleh Ian. “Ivander,” panggil Lizzy pelan, nyaris berbisik. Memecah hening. “Apa?” sahut Ian datar. Tangan kanan Lizzy terangkat perlahan. Gadis itu tampak sedikit ragu, tapi dia tetap berusaha maju. Ian diam, tidak memertanyakan sehingga Lizzy merasa diperbolehkan. Jemari hangat Lizzy menyentuh pipi kiri Ian, mengantarkan rasa hangat menjalar di wajah lelaki itu. Ian cukup terkejut melihat Lizzy menyentuh wajahnya, mulai bertanya-tanya niat gadis itu. Meski begitu, Ian tidak memberikan penolakan atas sentuhannya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ian akhirnya, menyadarkan Lizzy. Lizzy mengerjap cepat. “Ah, bukan apa-apa. Aku hanya sedikit kaget.” “Kenapa?” “Kau memiliki tahi lalat kecil tepat di bawah mata kirimu.” Alis Ian naik sebelah, cukup tidak menyangka. “Kau baru menyadarinya sekarang?” Lizzy terkekeh ringan. “Iya.” “Artinya, kau tidak terlalu memerhatikanku.” Ucapan Ian tidak bisa disangkal oleh Lizzy. Selama ini, Lizzy memang tidak terlalu memerhatikan Ian karena dirundung rasa takut terhadapnya. Lizzy tidak pernah bisa menatap Ian terlalu lama karena khawatir pangeran itu akan mengatakan atau melakukan hal-hal buruk kepadanya. Jika saja Ian masih bersikap sedingin dan sejahat dahulu, Lizzy tidak akan pernah menyadari keberadaan tahi lalat kecil itu sekarang. Memang terdengar konyol. Tapi, beginilah yang dirasakan oleh Lizzy. Sampai sekarang pun dia masih bertanya-tanya mengapa sikap Ian berubah sedrastis ini. Ian meraih pergelangan kanan Lizzy, membuat gadis itu berhenti menyentuh bawah mata kirinya yang menjadi letak tahi lalat kecil. “Dasar bodoh.” Lizzy cemberut. “Kau suka sekali menyebutku bodoh.” Ian menyeringai. “Kalau begitu kuganti lelet.” “Ivander,” protes Lizzy tidak terima.   Ian menarik Lizzy, membawanya melangkah kembali. Dia menoleh ke belakang masih disertai seringai angkuhnya. “Cepatlah, perut rakusmu selalu siap menampung parfait dan makan siang, bukan?” Pipi Lizzy menggembung, sebal diledek terus-terusan. “Ivander!” TO BE CONTINUED Ampun semua! Maaf banget telat dari jadwal update! :(
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN