Jam telah menunjuk pukul sepuluh. Suasana di istana berjalan semestinya, tidak ada yang berbeda. Sang Raja di ruang kerjanya dan sang Ratu di ruangannya pula. Pangeran kedua mengikuti kelasnya di Istana Sapphire. Ya, semuanya normal. Kecuali ketiadaan Pangeran Mahkota. Dalam sebelas tahun sejak kehadiran seorang pangeran di istana, ini pertama kalinya Pangeran Mahkota tidak ada di mana-mana.
“Bukankah Yang Mulia dan Nona Gilbert pergi terlalu lama, Lord Asteria?” tanya Chester memecah hening akibat tidak bisa membendung kekhawatirannya lagi.
Johan mengalihkan perhatiannya dari tumpukan tugas Ian yang dia ambil alih. “Sepertinya begitu. Sudah tiga jam penuh sejak Yang Mulia dan Nona Gilbert pergi dari rumah kaca dan tidak mau dikawal.”
“Haruskah kita menyusul mereka? Aku khawatir terjadi sesuatu pada mereka,” usul Chloe cemas.
“Sepertinya itu bukan ide yang bagus, Chloe. Kau ingat apa yang dikatakan Yang Mulia saat menolak pengawalan kita?” tolak Dale.
Dale mengangguk. Dia berdehem sejenak dan memasang mimik sepersis mungkin dengan wajah Ian. “Aku ingin menikmati waktu bersama Elizabeth sendirian. Tolong hargai keinginanku.”
“Tepat sekali,” timpal Ben bangga sekaligus terharu mengingat adegan Ian mengatakan kalimat tersebut secara lantang kepada semua orang. “Yang Mulia sudah dewasa.”
Chester dan Chloe melongo pasrah di tempat melihat kelakuan bodoh Ben dan Dale yang ada benarnya. Mereka juga menyaksikan langsung tindakan manis Ian tersebut. Mereka tidak bisa menyangkalnya juga. Akan tetapi, sebagai pengawal Ian sedari kecil, Chester dan Chloe tidak terbiasa melepaskan penjagaan dari Ian. Ini adalah pertama kalinya mereka diminta untuk tidak mengawal. Menimbulkan kekhawatiran tumbuh dalam diri mereka.
Berbeda dengan Ben dan Dale. Dua komplotan yang selalu memeriahkan suasana itu tidak sekhawatir rekan mereka. Ben dan Dale justru sangat senang serta membiarkan. Tidak ada perasaan khawatir berlebih. Bahkan mereka berharap Ian akan menghabiskan waktu seharian penuh bersama tunangannya.
“Ya, begitulah. Tampaknya akan menjadi hal yang lancang jika kita menyusul,” ujar Johan memihak Ben dan Dale, walau sedikit terpaksa.
Chloe sedikit mengernyit, protes. “Aku memahami perasaan Yang Mulia. Tapi, aku tetap tidak bisa tenang. Setidaknya, kita cek sejenak keadaan Yang Mulia dan Nona Gilbert lalu kembali menjauh.”
“Aku setuju dengan Chloe,” timpal Chester diikuti anggukan.
Johan menghela napas panjang. “Kalian tahu sejak dulu betapa sensitifnya Yang Mulia terhadap suasana sekitarnya. Yang Mulia akan langsung memergoki keberadaan kalian walau dari kejauhan.”
Ben menoleh ke Chloe, manggut-manggut semangat. “Benar, Chloe. Ujung-ujungnya kita akan merusak suasana dan mood Yang Mulia. Biarkan saja, Yang Mulia sudah dewasa.”
“Umur sebelas tahun itu sudah dewasa, ya, Chester? Berarti kau sudah dewasa?!” celetuk Dale terkaget-kaget menatap Chester yang usianya setahun lebih tua dari Ian.
Chloe mendecak. “Tidak, bodoh.”
Dale melongo masih dengan wajah syok berlebihannya. “Tapi Ben bilang Yang Mulia sudah dewasa padahal usianya masih sebelas tahun.”
“Maksudku dalam banyak hal, Dale. Ah, kau masih belum cukup umur untuk mengetahui dunia orang dewasa ini,” sahut Ben menyeringai sombong, padahal dia seumuran Dale.
“Apa maksudmu “banyak hal”?” tanya Dale kesal melihat seringai Ben.
Ben bersedekap, semakin angkuh. “Sayang sekali, kau belum diizinkan untuk mengetahuinya.”
“Diamlah kalian. Jangan bicara aneh-aneh tentang Yang Mulia dan Nona Gilbert,” tegur Chloe kesal.
Chester bersedekap, mulai berpikir kritis. “Tapi, Ben ada benarnya.”
Celetukan Chester membuat ketiga rekannya menoleh kepadanya. Begitu juga Johan. Mereka sama-sama bingung menatap Chester.
“Apa maksudmu?” tanya Chloe dengan alis naik sebelah.
“Sejak kapan Yang Mulia bersikap seperhatian itu kepada perempuan? Kita semua sangat tahu sejak dulu, sejak Yang Mulia mengetahui akan ditunangkan dengan Nona Gilbert, Yang Mulia sangat menolaknya dan tidak mau tahu,” tutur Chester membuat Johan dan tiga rekannya ikut memikirkannya.
“Benar juga. Yang Mulia baru menerima pertunangan itu saat mendengar Yang Mulia Ratu menyetujuinya. Yang Mulia tidak sungguh-sungguh menerima pertunangannya. Terbukti di temu rutin lusa kemarin, Yang Mulia tidak berbicara sama sekali dengan Nona Gilbert,” timpal Johan setuju.
Ben mengernyit tidak suka. “Tapi, sesudah itu Yang Mulia menjaga dan merawat Nona Gilbert selama dua hari penuh. Yang Mulia sampai mangkir dari jadwal kesibukannya, tidur di sofa, dan memeras kain kompres dengan tangannya sendiri. Yang Mulia telah berubah.”
Dan jangan lupakan fakta bahwa Yang Mulia mematahkan kuas mahal setelah mendengar kabar Nona Gilbert dan Gideon Weasley, batin Chester melengos lelah mengingat obrolan menyebalkannya dengan Ian kala Lizzy tidak sadarkan diri.
“Jika dipikir-pikir lagi, tidakkah sikap Yang Mulia berubah terlalu drastis?” tanya Chloe meledakkan bom kesadaran.
Dale menoleh ke Chloe, mengernyit bingung. “Bukankah itu karena Yang Mulia memutuskan untuk menerima pertunangannya sehingga sikapnya berubah?”
“Tidak. Kita sangat tahu bagaimana mindset Yang Mulia dan betapa kokoh pendiriannya. Yang Mulia tidak mungkin berubah mindset dalam sekejap.”
“Jadi, apa yang hari ini Yang Mulia ingin lakukan bersama Nona Gilbert sampai selama ini selain ke-n-ca-n?” tanya Ben bernada tidak suka dan sengaja menekankan nadanya.
Chester menoleh ke rekan-rekannya. “Tunggu dulu, apakah kalian punya dugaan di mana posisi Yang Mulia dan Nona Gilbert sekarang?”
Chester meledakkan bom kesadaran untuk kedua kalinya. Ben, Chloe, Dale, dan Johan terdiam di tempat tak menemukan jawaban. Mereka menatap satu sama lain seraya mengedikkan pundak sebelum kembali menatap Chester.
“Karena arahnya ke selatan dari pintu Istana Ruby, pasti menuju ke Istana Emerald, bukan?” cetus Ben melempar pendapat.
Dale menggeleng. “Mana mungkin Istana Emerald. Tidak ada apa-apa di sini selain taman bunga biasa. Pasti mereka menuju Istana Ratu.”
“Mereka tidak berada di taman Istana Ratu. Saya dapat melihatnya dari jendela dan tidak akan khawatir jika mereka berada di sana,” tolak Johan.
“Kita tidak bisa memastikan tujuannya hanya dengan menggunakan arah perginya. Yang Mulia melangkah ke selatan dari pintu Istana Ruby, setelah itu belok ke kanan. Di situlah kita, tidak tahu apa-apa lagi karena tidak diizinkan mengawal,” ujar Chester diangguki Ben dan Chloe.
TOK TOK
Suara ketukan pintu membuyarkan pembicaraan serius mereka. Seisi ruangan langsung menoleh ke pintu, menantikan suara si pendatang.
“Saya Maria, membawakan tugas-tugas rumah dari para guru kelas Yang Mulia.”
“Masuklah,” sahut Johan memersilahkan Chester membukakan pintu untuk Maria, dayang Ian.
Maria masuk membawakan setumpuk tugas rumah yang begitu menyesakkan dipandang, saking banyaknya. Dayang Ian tersebut meletakkan tugas-tugas rumah Ian di meja sofa lalu merenggangkan sendi tubuhnya. Merasa lelah dalam sekejap hanya karena membawa setumpuk kertas.
“Lord Asteria, tolong katakan pada Yang Mulia bahwa tenggat waktu untuk tugas-tugas kelas itu sebanyak tiga hari dari sekarang,” ujar Maria kepada Johan.
Ben dan Dale menatap tumpukan pekerjaan rumah Ian dengan sorot horor. Walau ini bukan pertama kalinya mereka melihat kadar tugas Ian, mereka masih saja merasa merinding sendiri. Tidak habis pikir dan tidak pernah bisa membayangkan bagaimana bisa Ian terbiasa menerima serta mengerjakan tugas sebanyak itu dalam waktu singkat tanpa mengeluh.
“Akan saya sampaikan. Terima kasih, Lady Eferhild,” tanggap Johan.
Maria membungkuk sejenak. “Baik, saya permisi, Lord—“
Chester buru-buru maju menghalangi Maria, mengagetkan rekan-rekannya. “Tunggu dulu, Lady Eferhild.”
Maria menoleh. “Ada apa, Sir Chadwall?”
“Apakah Anda melihat Yang Mulia dan Nona Gilbert?” tanya Chester lagi-lagi mengagetkan rekannya.
“Ah, sekarang Anda menanyakannya, benar juga,” gumam Maria ambigu membuat para pengawal Ian mengernyit.
“Ada apa? Ada masalah?” tanya Chloe langsung maju.
Maria mengangguk ragu. “Sejak Yang Mulia pergi bersama Nona Gilbert tanpa mau dikawal, para pelayan mematuhinya dan tidak ada yang mengikuti. Satu jam sejak kepergian mereka, para pelayan mulai merasa sama-sama aneh.”
“Aneh?” beo Ben dan Dale.
Maria hanya mengangguk.
“Apa? Ada apa?” desak Chloe tidak sabar.
“Kami tidak melihat Yang Mulia dan Nona Gilbert sama sekali,” jawab Maria mengejutkan seisi ruangan.
“T—Tidak melihat? Maksudmu, mereka menghilang?” tanya Dale syok.
“Ya, awalnya kami tidak terlalu memikirkannya karena kita tahu betapa luasnya istana kerajaan dan mereka bisa berada di mana saja. Tapi, tiga puluh menit kemudian kami mulai mencari posisi mereka kepada seluruh ksatria, tukang kebun, peternak, bahkan koki istana. Tidak ada yang melihat mereka.”
Ben menoleh ke Johan. “Lord Asteria, bukankah ini pertanda buruk?!”
Johan berdiri. “Ya, ini buruk. Kita harus terbuka pada semua kemungkinan yang ada. Pertama-tama, kita telusuri seluruh istana. Perintahkan ksatria kudus untuk ikut mencari.”
Siang itu, istana kerajaan mendadak kacau karena ketiadaan Pangeran Mahkota beserta tunangannya, calon pemimpin Ophelia.
***
Aktivitas Ophele di pagi hari sangatlah padat. Tiap sudutnya sangat sibuk, tidak ada yang tertinggal bahkan di area pemukiman sekalipun. Sesuai dengan julukannya, Kota yang Tidak Pernah Tidur.
“Ivander, di sana ada toko permen yang menjual permen kapas! Ayo ke sana!” seru Lizzy sambil menunjuk deretan pertokoan.
Ian melengos lelah menatap Lizzy yang cukup jauh di depannya. Dia terlalu lelah untuk mensejajarkan langkahnya dengan Lizzy. “Baru saja kau menghabiskan crepes dan kau masih ingin makan, huh?”
Lizzy cemberut menunggu Ian yang tertinggal di belakangnya. “Ayolah, aku yakin kau akan menyukainya. Kau belum pernah melihat permen kapas, bukan?”
“Jika kau lupa, kuingatkan padamu bahwa aku tidak suka makan makanan manis.”
“Satu gigitan tidak akan membunuhmu.”
Ian berhenti di hadapan Lizzy. Wajah kesalnya menatap wajah cemberut tunangannya yang tidak gentar menatap balik. “Izinkan aku memberitahumu, satu gigitan dapat membunuhku.”
“Tidakkah kau berpikir bahwa kau sedikit mendrama sekarang?” balas Lizzy terheran-heran.
Ian maju selangkah, mengagetkan Lizzy hingga ia mundur selangkah. “Tidakkah kau berpikir bahwa kau terlalu banyak makan sekarang?”
Lizzy mengerjap panik melihat wajah Ian lagi-lagi terlalu dekat dengannya. Dia memberanikan diri mendorong tubuh Ian agar menjauh darinya demi menyelamatkan kesehatan jantungnya. Selain itu, demi menyelamatkan wajahnya dari rasa malu. Ini berbeda dari pondok kayu di hutan, mereka berada di keramaian perkotaan. Tidak seharusnya Ian sedekat itu dengan Lizzy di hadapan banyak orang!
Alis Ian naik sebelah melihat Lizzy menciut. “Apa? Merengek maupun ngambek tidak akan mempan padaku.”
Lizzy melirik Ian. “Ayolah.”
“Tidak.”
“Kumohon.”
“Tidak.”
“Kumohon, Ivander.”
Ian mendengus. “Tidak ada gunanya memanggil namaku.”
Lizzy mengerucutkan bibir. “Padahal aku belum makan sebanyak itu.”
“Huh? Apa katamu?”
Lizzy menatap Ian berani, walau masih ada sisa cemberut. “Aku belum makan sebanyak itu tahu.”
“Oh, begitu?” sahut Ian menantang.
“Ya, begitu!” balas Lizzy sebal, tidak lagi cemberut.
Tanpa aba-aba Ian mencubit pipi kenyal Lizzy. Membuatnya melotot dan merintih kecil. “Crepes, churros, sate barbeque, sosis bakar, dan roti panggang di istana. Kau pikir itu tidak banyak?”
“Yang Mu—maksudku, Ivander! Sakit, lepaskan! Aw!” rengek Lizzy berusaha melepaskan capit tangan Ian dari pipinya namun Ian tidak bergeming sama sekali.
“Jangan berlebihan. Aku tidak mengeluarkan tenagaku sama sekali,” ujar Ian tidak peduli.
Lizzy mengerang sebal menatap Ian yang kini berwajah iblis baginya. “Apa salahnya dengan permen kapas? Mereka tidak akan membunuhku!”
“Kau harus menjaga pola makanmu, nona rakus. Sebentar lagi jam makan siang, kau harus menyisakan tempat dalam perutmu.”
Pipi kanan Lizzy menggembung. “Semua makanan sebelumnya masuk ke perut yang lain. Aku selalu siap untuk makan siang.”
Hari ini Ian memelajari hal baru tentang tunangannya. Mengesampingkan tubuh mungilnya, Elizabeth de Gilbert memiliki nafsu makan yang besar. Sangat besar hingga Ian bingung ke mana semua jajanan itu perginya sampai-sampai Lizzy masih saja merasa lapar.
Ian melengos pelan, berhenti mencubit pipi Lizzy. Dia menggandeng tangan kiri gadis itu, membawanya kembali melangkah menyusuri trotoar pertokoan. “Satu saja.”
Lizzy tersenyum riang. “Terima kasih, Ivander!”
TO BE CONTINUED
Yang lain panik, yang dicariin asyik jalan-jalan :"