BAB 70

2411 Kata
Ian dan Lizzy dibiarkan menempati ruang tamu sendirian. Joe Walter meninggalkan mereka setelah memberikan mantel yang telah Ian bayarkan. Joe tidak bercakap, hanya berbasa-basi sejenak sebelum kemudian pamit untuk mengurus toko. Begitu juga dengan Emma Jasper. Salah satu anak buah Joe itu hanya datang mengantarkan teh dan beberapa camilan lalu pergi untuk membantu Joe. Berhubung hari ini hanya Emma yang bekerja. Akhirnya, hanya tersisa Ian dan Lizzy di ruang tamu. Ditemani teh beserta camilan kecil, mereka menunggu badai salju reda. Tidak ada percakapan di antara sepasang tunangan kecil itu. Sedari tadi, fokus Ian hanya tertuju pada keadaan di luar melalui jendela. Sementara, Lizzy menyesap teh sambil melahap camilan guna menghangatkan diri. Berhubung sebelum Ian diam ia menyuruh Lizzy untuk tidak ragu menghabiskan teh dan camilan yang Emma berikan. Jadi, Lizzy mematuhinya. Ian turun dari sofa. Pangeran Mahkota itu melangkah mendekati jendela. Dia berdiri di sana seraya menundukkan kepala. Netra delimanya mengamati situasi di sekitar Jolie Clothing. Memastikan apakah lima orang yang telah mengikutinya sepanjang hari masih nekad atau tidak. Ian yakin orang-orang mencurigakan itu tidak akan menyerah begitu saja walau harus bertahan menerjang badai salju. Setelah badai, jalanan kota akan sepi. Waktu yang tepat bagi mereka untuk menangkapku dan Elizabeth, batin Ian seiring matanya beredar mencari figur orang-orang tersebut. Lizzy mengamati tunangannya dalam diam. Gadis kecil itu tidak ingin menginterupsi, pun tidak mau tahu, walau sedikit penasaran juga. Kurang lebih, Lizzy mengenal karakter Ian yang tidak terbuka kepada siapa pun. Ian suka mengatasi segala hal sendirian karena tidak mau repot-repot berurusan dengan orang lain yang ia anggap tidak berkompeten tanpa terkecuali—termasuk Marquis dan Victorique. Jadi, Lizzy yakin sia-sia untuk bertanya. Contoh kecilnya saja Ian tidak memberitahu Lizzy terkait niatnya meminta tempat berteduh kepada Joe. Ian hanya memberitahu mereka membutuhkan mantel karena suhu udara semakin rendah, tidak dengan tempat berteduh. Tahu-tahu saja Joe menyuruh mereka menemui Emma lalu Ian berkata kepada Emma bahwa mereka adalah tamu Joe. Lizzy dibiarkan kebingungan tak tahu apa-apa. Dari situ saja Lizzy dapat menyimpulkan bahwa dirinya termasuk ke dalam orang yang Ian anggap tidak berkompeten. Ian tidak ingin membicarakan ataupun meminta pendapat Lizzy terlebih dahulu. Lelaki itu memutuskan segalanya dan langsung melakukannya tanpa memedulikan Lizzy. Secara pribadi, Lizzy tidak begitu memermasalahkannya. Selama Ian berada di jalur yang aman dan tidak membahayakan nyawanya, Lizzy tidak akan komplain. Dia harus sedikit sadar diri bahwa Ian lebih tua empat tahun darinya. Ian pasti menganggap Lizzy sebagai anak kecil yang tidak perlu tahu apa-apa. Padahal Lizzy jauh lebih dewasa daripada anak tujuh tahun yang semestinya. Sudahlah, Lizzy akan diam mengikuti Ian daripada harus berdebat dengannya. “Aku akan turun.” Suara Ian cukup mengagetkan Lizzy. Menarik gadis itu dari lamunan angan-angannya. Tanpa Lizzy sadari, tunangannya telah berdiri di samping sofa. Tampak telah siap untuk keluar dari ruang tamu. Lizzy meletakkan cangkir di meja lalu menoleh ke Ian. “Turun? Ke mana?” “Toko. Kita butuh jubah,” jawab Ian seadanya. Lizzy mengernyit. “Jubah?” “Ya. Untuk perlindungan tambahan.” “Em… kurasa kita tidak perlu jubah. Mantel sudah lebih dari cukup untuk menghalau udara dingin. Terlebih, mantel yang kupilih berkain tebal.” Ian memasukkan tangan kanannya ke saku celana. “Kita perlu jubah. Aku memertimbangkan banyak hal.” Apa saja yang kau pertimbangkan? batin Lizzy sendu ingin melontarkannya secara langsung, namun dia tahu Ian tidak akan menjawabnya. Lizzy memaksakan senyum kecil. “Aku mengerti. Hati-hati, Ivander.” Ian hanya berdehem mengiyakan. Kakinya melangkah keluar dari ruang tamu. Kepalanya tidak menoleh ke belakang sama sekali walau dia tahu Lizzy sedang menatap kepergiannya. Ian tidak begitu peduli dengan apa yang dipikirkan gadis itu. Yang perlu Ian pedulikan adalah cara tercepat untuk kembali ke istana tanpa dihalangi oleh orang-orang menjengkelkan. Lagipula Ian tahu Lizzy akan selalu diam dan mematuhinya tanpa komplain. Jadi, Ian tidak perlu repot-repot menjelaskan apa pun. *** Akibat badai salju, tim pengawal Ian terpaksa menunda pencarian mereka. Empat pengawal beserta asisten pribadi Ian itu berteduh di depan toko yang kosong. Bermodalkan atap kecil yang hanya mampu melindungi kepala mereka dari atas, tidak dari samping. Tak dapat sepenuhnya dikatakan berteduh.  “Kenapa harus turun badai di saat seperti ini,” keluh Ben diikuti decakan kesal menatap angin kencang menjatuhkan jutaan salju hingga menghalangi jarak pandang. Chloe mengumpat pelan. “Kuharap Yang Mulia dan Nona baik-baik saja.” “Perkiraanku, lima belas menit lagi badai akan berakhir. Jalanan kota akan sepi, mudah bagi kita untuk menyusurinya,” ujar Chester tenang. Dale hanya mengangguk menyetujui ucapan Chester. Dia tidak memiliki tenaga untuk bersuara akibat tamparan angin badai. Sekujur tubuhnya menggigil. Jauh dalam lubuk hatinya, Dale menyumpahi dan mengumpati badai yang tidak kunjung berakhir. “Seharusnya saya memerkirakan kemungkinan semacam ini akan terjadi,” rutuk Johan menyesal di belakang Chester. Tatapan cemasnya tidak berhenti mengamati sekitar walaupun badai telah menghalangi jarak pandangnya. Chloe melengos pelan seraya menoleh ke kiri untuk menatap Johan. “Ini bukan salah Anda, Lord Asteria, ini salah kita. Kita yang cukup ceroboh.” Chester terkekeh pelan, setuju. “Benar. Kita sungguh kecolongan, bukan?” “Aku cukup bingung. Yang Mulia tidak suka keramaian, jadi dia tidak pernah berminat pergi ke ibu kota. Kenapa tiba-tiba sekarang dia pergi?” cetus Ben sambil bersedekap. Dale langsung menoleh dengan binar antusias. “Aku tahu. Kudengar Yang Mulia Pangeran Noah tiba-tiba mengajak Nona Gilbert pergi ke toko seni di Ophele tepat di depan Yang Mulia. Para pelayan membicarakannya sepanjang hari.” Ucapan Dale disambut kerutan bingung oleh rekan-rekannya beserta Johan, meragukannya. “Jadi, maksudmu Yang Mulia cemburu?” sahut Ben tidak percaya. Sekian detik berikutnya, tangan kanannya melambai. “Tidak mungkin. Yang Mulia tidak menyukai Nona Gilbert, kita semua tahu itu.” Chloe mendengus. “Apa kau sudah melupakan percakapan kita sebelum mencari Yang Mulia dan Nona? Melupakan apa yang Yang Mulia katakan saat melarang kita mengawal mereka?” Ben menjentikkan jari. Bibirnya menipis seiring raut mukanya berubah menjadi bingung. “Aku tidak melupakannya. Tapi, rasanya masih mustahil untuk menyimpulkannya seperti itu.” “Menurutku, Yang Mulia memang telah berubah. Sejak Nona Gilbert jatuh sakit, sikapnya berubah drastis. Akuilah, Ben,” cetus Dale tegas. Dia beralih ke Johan. “Lord Asteria, Anda dapat melihatnya juga, bukan? Di antara kita, Anda-lah yang paling tahu bagaimana karakter Yang Mulia. Jika ada yang berbeda sekecil apa pun, Anda pasti sangat merasakannya.” Johan langsung ditoleh oleh tiga rekan Dale yang lain. Pria dua puluhan itu langsung kikuk karena tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Padahal Johan tidak berminat membicarakan hubungan Ian dan Lizzy. Baginya, itu berada di luar ranah haknya. “Seperti yang dikatakan oleh Sir Fairley, karakter Yang Mulia sedikit berubah sejak Nona Gilbert jatuh sakit,” tutur Johan menyetujui Dale membuat Dale menyeringai puas. Ben mengernyit tidak terima. “Tapi, itu masih belum bisa disepakati. Karakter Yang Mulia tidak mungkin berubah dalam sekejap, bukan? Kita tahu betapa teguhnya Yang Mulia pada prinsip dan mindset-nya.” “Tentu saja belum dapat dipastikan. Tapi, kita tidak bisa menyangkal bahwa hari ini Yang Mulia membawa tunangannya menyelinap keluar dari istana,” tandas Johan tenang. Senyum kemenangan Dale melebar kepada Ben. Membuatnya semakin kesal dan tak butuh waktu lama bagi mereka untuk terlibat keributan. Menyisakan Chester dan Chloe si dewasa yang tidak mau repot-repot memerdebatkan masalah sepele. Terlebih Chester yang mengetahui segala sisi tersembunyi Ian yang tidak diketahui oleh Johan Asteria. “Hentikan omong kosong ini. Kita harus fokus mencari Yang Mulia dan Nona Gilbert,” tegur Chloe menengahi keributan Ben dan Dale. “Kita tidak tahu bagaimana kondisi mood Yang Mulia Ratu. Semakin lama kita menemukan mereka, semakin besar kemungkinan mood Yang Mulia Ratu memburuk.” Ben dan Dale langsung mengingat apa yang terjadi ketika Victorique sedang dilanda hati yang buruk. Bulu kuduk mereka langsung merinding mengingat wajah menyeramkan sang Ratu. Buru-buru keduanya menggelengkan kepala guna mengenyahkan ingatan buruk tersebut. *** Badai salju reda setelah lima jam melanda Ophele. Seluruh sudut Ophele tertimbun tumpukan salju tanpa terkecuali. Jalanan tidak dapat diakses oleh transportasi dan banyak atap bangunan yang hampir roboh karena volume salju. Untuk sementara, aktivitas di Ophele terhambat. Para petugas pun dikerahkan untuk membersihkan tumpukan salju. Ian dan Lizzy telah siap keluar dari toko Jolie Clothing. Sesuai kemauan Ian, dia membeli dua jubah demi menutupi area kepala. Baginya, mantel saja tidak cukup. Ian harus memikirkan bagaimana caranya untuk kabur sambil bersembunyi dari pantauan pengancam. Dengan mengenakan jubah yang memiliki tudung kepala, Ian dan Lizzy akan mudah membaur saat menemukan kerumunan orang-orang di kota. “Terima kasih banyak, Madame,” ujar Ian pamit kepada Joe dan Emma yang mengantarkan kepergiannya. Joe mengangguk diiringi senyuman hangat. “Tidak perlu. Sudah sewajarnya aku membantu kalian di tengah badai seburuk itu. Berhati-hatilah di perjalanan pulang.” Lizzy membungkuk kecil. “Terima kasih banyak Madame Walter dan Lady Jasper.” Emma tersenyum. “Sama-sama, nona kecil.” “Saya sangat menyukai éclair buatan Anda, Lady Jasper. Saya harap saya dapat memelajari resepnya.” “Syukurlah kau menyukainya. Jika ada kesempatan, datanglah. Dengan senang hati, aku akan mengajarkannya.” Lizzy mengangguk riang. “Tentu. Terima kasih banyak!” Ian menarik tangan Lizzy pergi ketika Lizzy melambaikan tangan kepada Joe dan Emma sebagai tanda pamit. Ian langsung menajamkan penglihatannya sesaat setelah keluar dari toko. Dia menarik tudung kepala untuk menutupi kepalanya. Melihat Lizzy masih melambaikan tangan kepada Joe dan Emma, Ian sigap memakaikan tudung kepala gadis itu juga. Tak dapat dipungkiri, detik ini jantung Ian mulai berpacu cepat. Adrenalinnya terprovokasi karena suasana kota sepi sesuai dugaannya. Netra Ian memindai sekitar secara seksama. Memastikan hawa keberadaan lima orang yang berniat buruk pada mereka. Dirasa tidak ada siapa pun, Ian langsung mengajak Lizzy berlari meninggalkan Jolie Clothing. Lizzy langsung menyentuh tudung kepalanya agar tidak turun diterpa angin. Kaki kecilnya berusaha menyamai tempo lari Ian. Tanpa banyak bertanya, tanpa perlu memertanyakan pula, Lizzy paham mereka sedang lari dari siapa. Untuk kali ini, Lizzy akan serahkan semuanya kepada Ian. “Baiklah, aku mengerti. Aku percaya padamu.” “Ya. Percayalah padaku.” Lizzy telah mengatakannya kepada Ian. Jadi, Lizzy harus melakukannya sesuai ucapannya. Toko Jolie Clothing berada di tengah kota. Jaraknya ke istana kerajaan sangatlah jauh, kurang lebih sekitar enam kilometer. Dalam jarak sejauh itu, Ian paham tidak mungkin ditempuh hanya dengan berlari. Terlebih Lizzy yang memiliki kondisi tubuh khusus. Maka, Ian berharap mereka akan segera bertemu dengan ksatria kerajaan. Jika tidak, setidaknya ada sebuah kerumunan orang. Apa saja yang dapat membuat mereka membaur dan menyembunyikan diri. Ketika Ian berbelok di sebuah persimpangan jalan, tiba-tiba saja Lizzy terjatuh. Tangan gadis itu terlepas dari genggaman Ian diikuti teriakan kecil. Mata Ian membulat, buru-buru menoleh ke belakang. Ian segera menghampiri Lizzy yang tersungkur di jalan. “Kau baik-baik saja? Ada yang terluka?” tanya Ian sedikit panik sembari membantu Lizzy berdiri. Matanya melirik ke sekitar memastikan kondisi. Lizzy meringis seraya bangkit berdiri. Tubuhnya langsung membungkuk saat merasakan perih menjalar dari kedua lututnya. “Ah!” Ian sigap bersimpuh di depan Lizzy. Tanpa permisi, dia menyingkap gaun Lizzy. Keningnya mengernyit menemukan kedua lutut tunangannya terluka cukup parah karena tergores jalan dan kerikil. “Ini cukup parah,” ujar Ian mengamati luka Lizzy. Lizzy mengerjap cepat, menahan ringisan. “Tidak apa-apa. Aku bisa berjalan.” Ian melengos, terkesan kesal, membuat Lizzy hampir mundur beberapa langkah. “Mana mungkin kau bisa jalan dengan luka seperti ini. Aku akan menggendongmu.” Lizzy langsung menggeleng keras, pipinya merona. “Tidak perlu. Tidak, aku bisa jalan sendiri!” Ian mendongak, masih dalam posisi bersimpuh. “Jangan mencoba berdebat denganku—“ DUK! Mata Ian membulat sempurna melihat Lizzy tiba-tiba kehilangan kesadaran tepat di depan matanya. Kelopak matanya menutup dan selanjutnya tubuhnya oleng ke depan tanpa bisa Ian cerna penyebabnya. Ian sigap menangkap tubuh Lizzy. Panik langsung menggerayangi kepalanya karena lagi-lagi menghadapi situasi pingsannya Lizzy secara mendadak. “Elizabeth. Elizabeth! Ada apa denganmu?!” panggil Ian seraya menepuk pipi tunangannya, namun tak ada sahutan. “Elizabeth!” “Akhirnya kita bisa berhenti bermain kucing dan tikus.” Ian tersentak mendengar suara pria asing memasuki gendang telinganya. Kepalanya menoleh ke depan dan sedikit mendongak. Alisnya langsung menaut tajam menemukan figur seorang pria jangkung berpakaian serba hitam berdiri di hadapannya. Lengan Ian merengkuh tubuh Lizzy seerat mungkin. Tidak perlu bertanya-tanya, pria itu pasti salah satu orang yang telah mengamati mereka sejak memasuki kota. Ian tidak ingin berbasa-basi apa pun. Tidak ada hal bagus bila Ian berlama-lama dengan pria asing itu. Jadi, Ian segera menyelusupkan lengan kanannya ke bawah lutut Lizzy dan lengan kirinya menyangga pundak gadis itu. Ian berdiri, kakinya langsung berlari menjauh. Bajingan, mereka benar-benar mengincar kami, umpat Ian dalam hati. Dia melirik Lizzy sekilas, dia pasti memukul titik vital di leher Elizabeth. Ian mulai meratapi keadaan kota yang sungguh sepi. Ambang keputusasaan mulai menggoyahkannya. “Hei, jangan mengajak kami bermain lebih lama lagi, bocah. Tidak tahukah kau orang dewasa itu mudah lelah?” Ian melotot melihat seorang pria berpakaian serba hitam lainnya melangkah keluar dari sebuah gang kecil, menghalanginya. Tidak ada seorang diri, ada tiga pria lagi. Bertubuh jangkung dan berwajah dingin. Sorot mata mereka tajam menyalang mengancam Ian untuk tidak melakukan hal bodoh lagi—melarikan diri. “Minggir,” desis Ian tajam sambil mengeratkan rengkuhannya pada Lizzy dalam dekapannya. “Baru kali ini kita menemukan bocah angkuh seperti dia. Bukankah begitu, Remy?” celetuk salah satu pria berbadan paling besar di antara lainnya. “Diamlah, Marley. Lebih baik kita segera urus mereka, tubuhku membeku,” sahut seorang pria paling kurus, Remy. Ian bergerak mundur melihat empat pria di hadapannya mendekat. “Minggir. Kami tidak punya urusan dengan kalian.” Pria berbadan paling besar yang bernama Marley terbahak remeh. “Aku suka nyalimu, bocah.” Ian mendecak dan mengumpat. Sudah menduga tidak ada gunanya berpura-pura tidak tahu di hadapan mereka. Sejak awal, mereka pasti menyadari bahwa Ian mengetahui mereka berniat buruk. Tidak mungkin mereka akan membiarkan Ian dan Lizzy pergi begitu saja setelah mengikuti dua anak itu sepanjang hari. “Bagaimana kalau kita bernegosiasi? Kami tidak akan menyakiti kalian asalkan kau tidak melakukan hal-hal bodoh,” ujar seorang pria yang diapit Marley dan Remy. Remy menoleh menatapnya. “Cliff, perlu berapa kali kami beritahu taktik negosiasi bodohmu itu tidak berguna.” Cliff menoleh ke Remy, tersenyum cemerlang. “Tidak sepenuhnya buruk. Aku berhasil membawa tujuh anak melalui negosiasi, bukan?” “Bodoh, itu karena kau memberikan mereka permen dan roti. Kau menyuap mereka, bukan bernegosiasi,” sahut Marley sewot. Dari percakapan singkat itu, Ian dapat menyimpulkan mereka adalah antek-antek penculikan anak yang ada di Felsham. Mereka adalah ancaman besar yang menghantui Ian sepanjang hari. Ancaman besar yang tidak akan bisa Ian hadapi sendirian. Ian melirik Lizzy sejenak. Memerhatikan wajah cantik gadis itu yang mulai memucat, menimbun ketakutan dan kekhawatiran dalam diri Ian. Ian melirik kanan-kiri mencari celah. Empat orang sedang menghampirinya, kurang lebih tiga puluh meter lagi mereka akan sampai di hadapan Ian. Empat orang pria jelas bukan tandingan Ian yang masih berumur sebelas tahun tanpa senjata. Ditambah pula satu orang pria lagi di belakang Ian yang entah menyusulnya atau tidak.  Maka, Ian berbelok ke kiri guna memasuki gang kecil antar bangunan. Kakinya kembali berlari berusaha melarikan diri sejauh-jauhnya. “Aish, kubilang jangan melakukan hal-hal bodoh.” DUK! Hal terakhir yang Ian lihat sebelum kehilangan kesadarannya adalah wajah pucat Lizzy. Dalam kegelapan, Ian mengumpat, Sialan kau, Tuhan. TO BE CONTINUED Kalau dikira-kira, mungkin sekitar 15 BAB lagi Season 1 selesai. Masih panjang ya, hehe :'>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN