“Apa maksudmu membawaku ke sini?” tanya Anna sinis setelah lima belas menit didiamkan oleh Arthur sejak pria itu membawanya ke sebuah ruang kerja.
Arthur duduk di kursi meja kerja. Berkutat pada tumpukan laporan Black Crown Pennsylvania yang selama ini diurus oleh Earl Ernest. Tidak memberi peduli kepada Anna yang telah dia seret ke ruang kerja secara paksa. Tanpa memberi penjelasan pula.
“Hei, kau tuli?” hujat Anna tajam melihat Arthur mengabaikannya.
Arthur mendengus pelan sambil membuka halaman laporan selanjutnya. “Diamlah.”
Anna mengernyit dalam-dalam. “Permisi, perlukah kuingatkan bahwa kaulah yang telah membawaku ke ruangan ini secara memaksa?”
“Aku tahu.”
“Jadi, berikan alasan yang bagus kenapa kau membawaku ke sini, bodoh. Kau membuang waktuku.”
“Diam.”
Anna hampir melempar sepatu hak runcingnya kepada Arthur jika saja dia tidak memiliki pengendalian diri yang luar biasa. Demi menenangkan diri, Anna menyambar teh earl grey di meja lalu menyesapnya cukup rakus. Tidak memedulikan suhunya yang masih cukup tinggi. Bagi Anna, lidahnya telah mati rasa akibat terpaan emosi terhadap Arthur.
Ya, Anna mengetahui nama pria krisis moral yang telah menolongnya.
Sesaat setelah tim keamanan Black Crown meringkus William beserta kawan-kawannya, Anna digeret oleh dua ksatria atas perintah Arthur. Tanpa penjelasan apa-apa, Anna dipaksa mengikuti Arthur. Tentu saja wanita jelita itu memberontak. Walaupun Arthur telah menolongnya, Anna tidak sudi berdekatan dengannya.
Anna membuat keributan di sepanjang langkahnya mengikuti Arthur. Berkali-kali dia memberontak melawan ksatria yang menyeretnya. Anna pikir cara itu efektif untuk membuat Arthur marah karena tidak tahan dengan keberisikannya. Sayangnya, nihil. Arthur tidak berkomentar apa-apa, membiarkan Anna membuat kebisingan sampai merasa lelah sendiri.
Saat itulah Anna mengetahui nama Arthur.
“Lady Anna, tolong jangan membuat keributan. Para tamu lain akan salah sangka bila melihat Anda bersikap demikian,” tegur Evegenia dari belakang Anna.
Anna mendecak cukup kasar. “Aku tidak ingin mengikuti pria tidak berperasaan ini, tidak bisakah kau melihatnya? Aku ingin segera pergi.”
“Lady Anna, saya sarankan agar Anda tidak mencoba menyinggung Yang Mulia. Tolong Anda bersikap tenang, Yang Mulia tidak akan menyakiti Anda.”
Anna menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Tenaganya telah terkuras habis akibat dirundung banyak masalah. Usai berurusan dengan empat pria, kini harus berurusan lagi dengan satu pria yang tidak kalah merepotkannya. Anna tidak memiliki tenaga lagi untuk memberontak.
Anna menoleh ke kanan sembilan puluh derajat, bermaksud bertanya kepada Evegenia. “Siapa namanya?”
“Anda dapat memanggilnya Lord Arthur.”
Tanpa nama keluarga.
Anna tidak mau tahu mengapa Evegenia hanya memberitahu nama kecilnya. Anna hanya perlu tahu nama pria krisis moral yang telah menolongnya adalah Arthur. Jika Anna telah bebas dari cengkraman pria itu, dia akan memastikan untuk tidak bertemu, berpapasan, maupun berurusan lagi dengan pria tinggi berwajah datar bernama Arthur.
Anna berhenti menyesap teh. Diletakkannya cangkir ke atas meja. Setelah itu, kepalanya menoleh ke kiri, menatap pemandangan di luar jendela. Salju menghujani Houndswarth. Tidak deras, tidak terlalu sedikit pula. Langit pun tidak terlalu gelap, tidak terlalu cerah juga. Semuanya seimbang, tidak berlebihan. Tetapi, Anna membencinya lebih dari apa pun.
“Aku mencoba segala hal. Aku merokok, mabuk, menyetir dengan kecepatan tinggi di jalan bebas. Segalanya demi membuat jantungku berdetak seperti ketika kau berada di sampingku.”
“Lalu, apakah berhasil?”
“Tidak.”
Anna membenci musim dingin lebih dari siapa pun. Segalanya berawal dari musim dingin dan berakhir di musim dingin. Hatinya menghangat pada musim dingin, lalu di musim dingin selanjutnya hatinya telah dibekukan lalu dihancurkan. Anna merasa dipermainkan dan mungkin juga ia.
Lalu, Anna mengingat satu kalimat lain yang telah berhasil menusukkan luka permanen padanya.
“Kau tahu, sesuatu yang wajar melihat seseorang pergi. Bahkan jika mereka telah berjanji ratusan kali untuk tidak pergi.”
Ya, Anna membenci musim dingin.
Mata Anna melebar merasakan jemari kasar menyentuh dagunya. Tanpa seizin Anna, jemari itu menarik dagunya untuk berpaling dari jendela. Iris hijau pucat Anna langsung berkontak dengan iris hijau tua Arthur. Wanita itu semakin membelalak menyadari betapa dekatnya jarak di antara wajah mereka. Tak dapat dipungkiri jantung Anna berdetak cukup cepat akibat situasi aneh itu.
Di sisi lain, Anna cukup bingung. Dia tidak menyangka akan diperlakukan demikian oleh pria yang sedari awal seakan mempermainkannya. Arthur berkata tidak berniat menolongnya. Pria itu memalingkan muka dari Anna, wanita yang diserang oleh empat pria sekaligus. Anna tidak habis pikir hingga langsung menyumpahinya.
Anna sudah menyiapkan diri untuk mati di tangan William. Tapi kemudian Arthur-lah yang membunuh William Halle dan melukai Rick.
Anna merasa dipermainkan oleh Arthur.
Satu menit terisi oleh temu pandang tanpa suara, Anna kembali ke kesadarannya. Alisnya menaut tajam seiring kekesalan menghiasi wajah cantiknya. Anna memundurkan kepalanya guna terlepas dari sentuhan jemari Arthur seraya berkata sinis, “Apa yang kau lakukan?”
Alis kanan Arthur sedikit naik seakan mengherankan sikap Anna. “Kupikir kau butuh perhatian dariku?”
Anna mengernyit jijik. “Huh? Kau kehilangan kewarasanmu?”
Tangan kanan Arthur kembali meraih dagu Anna. Dia sedikit mencengkramnya agar Anna tidak memberontak lagi. “Bukankah itu sebabnya kau mengoceh? Begitukah sikapmu setelah kukabulkan keinginanmu?”
“Aku tidak pernah mengharapkan hal bodoh itu. Yang kuinginkan adalah kau mengeluarkanku dari sini.”
“Atas dasar apa?”
“Kau tidak berhak menghalangiku. Aku—“
Arthur terkekeh kecil lalu menyeringai. “Tentu saja aku berhak. Ini adalah wilayahku. Dan kau telah membuat kekacauan di sini. Sekarang katakan padaku alasan yang bagus untuk membiarkanmu keluar dari sini, Lady.”
“Jika kau berpikir kau bisa menahanku selamanya di sini, kau akan menyesalinya, Lord,” desis Anna sengaja menekankan panggilan Arthur.
Kepala Arthur maju menipiskan jarak membuat Anna tersentak dan otomatis mundur, seringainya melebar. “Tidak pernah ada yang berhasil membuatku menyesal.”
Anna mengamati wajah rupawan Arthur secara was-was. Dia mengantisipasi jarak muka mereka yang terlalu dekat. “Kau terlalu percaya diri. Kuperingatkan kau, tidak pernah ada yang berhasil bertahan denganku.”
“Kau menantangku?”
Anna tersenyum remeh. Sorot matanya lurus ke mata hijau Arthur tanpa gentar. “Kau pikir begitu?”
“Kau terlalu percaya diri, Anna.”
“Kau juga, Arthur.”
Entah mengapa, ada sensasi aneh di perut Arthur ketika bibir tipis Anna menyebut namanya untuk pertama kalinya. Padahal nada suara Anna tidak ada manis-manisnya. Penuh kesinisan dan emosi yang tertahan. Namun, entahlah, terasa seperti ada ribuan kupu-kupu berterbangan menggelitik diri Arthur. Ini membuat tatapannya intens mengamati wajah cantik Anna yang begitu dekat.
Iris emerald Arthur jatuh ke bibir tipis Anna. Bibir itu berwarna merah alami tanpa pemerah bibir. Tidak begitu atraktif bila dibandingkan dengan bibir-bibir wanita lain yang telah Arthur cicipi. Namun, lagi-lagi entah mengapa, bibir tipis itu seakan mengundang Arthur.
Anna menyadari ke mana arah mata Arthur. Dia segera menutup bibirnya menggunakan tangan kanannya. Anna sangat memahami apa yang akan terjadi jika dia tidak menutup bibirnya. Telah banyak hal yang telah dilaluinya sehingga Anna harus selalu was-was menjaga diri.
“Kenapa kau menutupnya?” tanya Arthur datar, kembali berkontak mata dengan Anna.
“Kenapa kau menatapnya?” tanya Anna balik, sewot.
“Aku memiliki mata untuk melihat apa pun yang kuinginkan,” jawab Arthur lugas, “jujur saja, itu tidak begitu menarik.”
Bola mata Anna berputar jengah. “Menarik atau tidak bagimu, aku tidak peduli. Aku sangat bersyukur bila bagimu tidak menarik. Aku tidak sudi berciuman dengan pria semacam kau.”
Seringai Arthur kembali melebar. Oh, ini pertama kalinya ada wanita yang menolak dan tidak takut padaku.
“Apa yang membuatmu begitu percaya diri berpikir aku ingin mencium bibir tidak atraktifmu itu, huh?” tanya Arthur meremehkan.
“Aku tidak perlu diberitahu oleh orang lain bahwa pria semacam apa dirimu.”
Arthur mendengus geli. “Begitukah? Jadi, kau pikir tubuhmu semenarik itu bagi pria sepertiku, hmm?”
Lengan kiri Arthur langsung menyusup melingkari pinggang ramping Anna. Tidak memberi waktu bagi wanita itu untuk memberontak. Arthur mengeratkan rengkuhannya seraya menipiskan jarak tubuh mereka. Ketika Anna hendak keluar dari belenggu Arthur, Arthur menyusupkan lengan kanannya. Kini sepenuhnya membelenggu tubuh ramping Anna.
Jantung Anna berdetak semakin keras. Berpacu cepat hingga seakan hendak meledak akibat merasakan d**a bidang Arthur. d**a bidang yang keras dan terasa hangat itu bersentuhan dengan tangan kiri Anna, satu-satunya perantara yang memberikan jarak antara d**a Arthur dan tubuhnya.
Anna memelototi Arthur. “Apha yang khau lakhukhan?!”
Arthur menunduk membalas pelototan Anna dengan sorot jenaka. “Bicaralah yang jelas. Singkirkan tanganmu.”
Anna melonggarkan sentuhan telapak tangan pada bibirnya. “Aku ingin pergi dari sini. Aku tidak memiliki urusan apa pun denganmu. Ya, sebelumnya aku telah membuat keributan. Katakan saja apa yang kau inginkan sebagai tebusannya!”
“Aku telah memiliki segalanya,” tandas Arthur angkuh. Telapak kanan Arthur bergerak mengelus punggung Anna, membuatnya tersentak. “Tidak ada tebusan yang cocok.”
“Singkirkan tangan kotormu dariku, sialan,” desis Anna tidak terima merasakan tubuhnya diraba oleh Arthur.
“Kau tidak menyadari apa pun?”
“Aku tidak akan memberikan tubuhku bahkan jika aku harus mati.”
“Ah, itu akan merepotkan. Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan.”
“Lepaskan aku—“
Anna tidak mampu menyelesaikan kalimatnya ketika merasakan sebuah benda dingin berada tepat di dekat kulit lehernya. Wanita berambut cokelat kemerahan itu sangat menyadari benda tersebut adalah sebilah pisau lipat. Sensasi dinginnya membuat bulu kuduk Anna berdiri. Anna tidak berani bergerak. Entah apa yang akan terjadi bila dia sedikit bergerak. Bisa saja pisau itu akan langsung melukai lehernya.
Anna berusaha menatap Arthur tanpa gentar seperti sebelumnya. Dalam sorot pupil emerald Arthur, tidak menyiratkan apa pun. Sorotnya masih datar. Wajahnya pun demikian walau bibirnya membentuk seringai remeh.
“Kau mudah sekali berkata mati,” cetus Arthur pelan. Suara beratnya semakin membuat Anna merinding. “Sebegitu inginnya kau untuk mati?”
Anna menggigit bibir. Dia mulai tidak mampu berkontak mata dengan Arthur. Mata hijau pria itu seolah menyelam jauh ke dalam dirinya. Mencari seluruh bagian terdalam dalam diri Anna tanpa mampu Anna halangi. Sorot mata semacam itu mengingatkan Anna pada seseorang yang tidak ingin Anna ingat. Anna membencinya.
“Aku tidak pernah berpikir bahwa terakhir berarti benar-benar akhir. Kupikir, masih ada yang lain. Kupikir, aku memiliki selamanya, ternyata tidak.”
Anna membuang muka ke kiri. “Ya, aku ingin mati.”
“Siapa yang telah menyakitimu, Anna?” tanya Arthur tanpa menjauhkan mata pisau dari leher Anna.
“Seseorang yang kupikir akan tetap tinggal di sisiku,” jawab Anna cukup lirih, sorotnya kosong menatap meja sofa. Ketika Arthur akan menyahut, Anna kembali melanjutkan kalimatnya, “dan kau yang saat ini ingin membunuhku.”
“Aku tidak akan menyakitimu.”
“Berhenti membual.”
Arthur melempar pisau lipat ke sofa lain. Pisau itu tertangkap oleh mata kosong Anna, membuatnya tersadar. “Aku menyadarkanmu bahwa kau tidak pernah siap untuk mati.”
Anna mendecih. “Kau tidak tahu apa-apa tentangku.”
Arthur menyentuh dagu Anna, menariknya untuk kembali berkontak mata dengannya. “Aku tidak perlu menanyaimu. Cukup dengan melihat mata hijau pucatmu.”
Bibir Anna menipis. Aku benci orang sepertimu. Orang yang seolah mampu mengetahui segala hal hanya dengan menatap mata orang lain.
TO BE CONTINUED
Nggak kerasa habis ini injak BAB 70. Cepet banget, huhu :'>