Bab 01 Bertemu Kembali
"Aska betah banget di luar negeri. Kasian pacarnya datang sendiri."
Seketika aku menyesal datang ke acara pernikahan teman lamaku. Ada ramai sekali mantan anggota UKM Robotik Universitas Tanujaya yang datang ke pesta pernikahan ini. Kami semua jadi berasa reuni. Dan yang paling aku kesali adalah kini aku jadi bahan olok-olokkan mereka.
"Aska gimana kabarnya, Sal? Jadi kapan kalian mau nyusul Desi ke pelaminan?"
"Mana aku tahu, aku bukan ibunya. Dan kami berdua tidak pernah pacaran," tegasku.
Mengapa rumor pacaran antara aku dan Mas Aska masih diungkit-ungkit sampai sekarang, padahal itu sudah berlalu tujuh tahun yang lalu.
Mas Aska dulu sangat populer di kampus. Dia adalah mahasiswa semester akhir dan mantan ketua umum UKM Robotik yang baru saja melepas masa jabatan. Dia memiliki wajah yang tampan, otak pintar, dan kaya raya.
Sementara aku dulu jelek, jerawatan, pendek, tidak mengerti outfit, dan miskin. Kuliah saja dulu aku mengharapkan beasiswa. Aku dulu sangat insecure ketika ada orang yang mengatakan bahwa aku adalah pacar Mas Aska. Aku sangat sadar diri, melihat kehidupanku saat itu mana mungkin Mas Aska mau denganku.
Sebelum rumor itu terjadi, aku dan Mas Aska adalah teman. Walau baru kenal beberapa bulan tapi kami merasa seperti teman akrab yang sudah kenal lama. Setelah beredar gosip tentang kami, hubungan pertemanan kami merenggang. Aku yang memutuskan menjaga jarak lebih dulu dari Mas Aska. Pria itu ikut-ikutan menjauh dariku. Aku tahu dia pasti malu karena diledek berpacaran dengan perempuan jelek sepertiku, makanya dia ikut menjauh. Sejak saat itu kami tidak pernah lagi berkomunikasi, aku bahkan menghapus nomor Mas Aska dari kontak. Kini sudah tujuh tahun aku tak bertemu Mas Aska. Dari yang aku dengar, setelah lulus Mas Aska melanjutkan S2 di luar negeri.
"Mau aku telponin Aska nggak? Siapa tahu dia kangen sama gebetannya." Kak Arhan, mantan wakil ketua umum UKM Robotik menatapku sambil nyengir. Lama-lama aku muak karena terus dikaitkan dengan Mas Aska.
Awalnya aku pikir Kak Arhan hanya bercanda, tapi ternyata dia benar-benar melakukan panggilan vidio dengan Mas Aska. Anak-anak Robotik yang lain mendekat ke Kak Arhan. Sementara aku masih tak beranjak dari tempatku berdiri, bersikap tak peduli.
"Hallo, Aska. Apa kabar, Bro?" Kak Arhan menyapa lebih dahulu.
"Baik, Bro. Wah, rame ya di sana."
Kak Arhan mengeraskan volume ponselnya, sehingga aku dapat mendengar suara Mas Aska.
"Pacar kamu juga ada nih di sini. Mau lihat nggak?"
Ketika Kak Arhan mengarahkan kameranya ke arahku, aku berdiri cepat lalu izin ke toilet. Aku merasa tak siap untuk berhadapan dengan Mas Aska.
Sebenarnya saat dulu Mas Aska menjauhiku, entah kenapa aku merasa sedih padahal aku duluan yang menjauhinya. Dan yang membuatku makin kecewa saat dia pindah keluar negeri dia tidak berpamitan ataupun mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku bahkan tahu dari orang lain tentang informasi kepindahanya.
***
Dua minggu kemudian ...
"Aku lagi di indomaret, nih. Ceritanya nanti aja, ya. Nanti sampai kos aku telepon kamu balik."
"Oke, deh. Oh iya, aku mau ingetin besok jangan sampai telat ke kantor, nanti di marahin bos baru," ucap Erika dari seberang sana. Dia merupakan manager divisi pengembangan produk di perusahaan tempatku bekerja, sekaligus teman sejurusanku saat kuliah.
"Iya, Cinta." Aku lalu menutup telepon.
Oh iya, sebelumnya perkenalkan namaku Salsabila Ayudistira. Usiaku saat ini 25 tahun. Aku asli orang Semarang yang sudah sepuluh bulan merantau di ibu kota. Dulu aku kuliah di Jakarta, tapi setelah lulus aku kembali ke kampung halaman. Sebelumnya aku bekerja di Semarang agar dekat dengan orang tua. Tapi karena lingkungan kerja di sana sangat toxic aku memutuskan untuk resign.
Kini aku bekerja di Djaya Technology, Erika yang merekomendasikanku bekerja di perusahaan ini.
Sekarang kehidupanku lumayan membaik di banding dulu. Kini aku sudah bisa merawat diri, wajahku sudah tidak berjerawat lagi, aku bisa memilih outfit yang cocok denganku, dan aku bisa memberikan kehidupan yang sedikit layak untuk keluargaku.
Cuaca di ibu kota saat ini sangat dingin karena baru saja selesai hujan. Aku mengenakan hodie berwarna army dan celana kulot berwarna coklat, wajahku polos tanpa make up, sementara rambutku dicepol. Karena aku hanya ke indomaret jadi aku merasa tak perlu terlalu cantik dan rapi.
"Waduh, cuma tinggal satu. Tumben." Pasta gigi dengan merk yang biasa aku pakai terletak di rak paling atas dan hanya tinggal satu buah.
Aku berjinjit, berusaha untuk menjangkau benda tersebut. Tiba-tiba tangan seseorang malah lebih dulu mengambilnya.
"Berhenti! Saya duluan yang lihat pasta gigi itu! Memangnya Mas nggak lihat kalau dari tadi saya berusaha ngambil pasta gigi itu," ucapku kesal pada pria yang hendak pergi setelah mengambil pasta gigi tersebut.
Langkah pria berhodie hitam itu terhenti, dia berdiri memunggungiku.
"Saya duluan yang pegang. Makanya jadi orang jangan pendek."
Aku ternganga mendengar hinaan yang ditujukan kepadaku. Aku menahan bagian belakang hodie-nya ketika dia hendak kabur. Tidak akan aku biarkan dia mengambil pasta gigi itu karena aku yang melihatnya lebih dulu. Aku juga sudah terbiasa pakai merk itu.
"Balikan nggak pasta giginya!"
"Nggak, emangnya kamu siapa ngatur-ngatur saya?"
"Tapi saya duluan yang lihat pasta gigi itu!"
"Saya duluan yang ngambil!"
Lah, kenapa makin nyolot nih cowok!
"Cuma pria pecundang yang nggak mau ngalah sama cewek."
"Saya bahkan ragu kamu ini cewek!"
Sialan! Lalu dia kira aku ini apa? Cewek jadi-jadian?
"Aska, lama banget sih–Salsa! Kalian ngapain?"
"Kak Damar!" Aku tidak menyangka akan bertemu teman Mas Aska di sini. Dia seperti terkejut melihatku. Tunggu? Dia panggil apa tadi?
Aku segera melepas hodie pria di depanku. Dia membuka tudung kepalanya lalu memutar badan.
Kakiku mendadak lemas.
"Salsa." Kini gantian dia yang terkejut melihatku. Dengan cepat aku pakai tudung hodie.
"Aku bukan Salsa, tapi Suryo."
Aku mengambil langkah cepat, berlari keluar dari indomaret. Niatku untuk berbelanja diurungku. Aku tidak siap untuk bertemu dengan Mas Aska. Kenapa disaat aku lagi kucel dan jelek begini malah ketemu orang penting? Jantungku kini berdebar, seolah baru saja melihat setan. Eh, tapi mana ada setan yang tampan.
"Kenapa nggak mau masuk, sih?" Aku masih berusaha memasukkan kunci motor.
"Salsa!" Itu suara Mas Aska. Aku makin panik melihat Mas Aska dan Kak Damar berdiri di pintu masuk indomaret. Bersamaan dengan itu seorang pria berusia kisaran 50 tahunan menghampiriku.
"Hey, kamu mau maling!"
Hah? Apa maksudnya?
"Ini motor saya!"
Ya Tuhan.
"Maaf, Pak. Saya salah motor!"
Pantas saja bau helm-nya agak lain. Buru-buru kulepas helm bapak ini, lalu setelah itu aku berpindah ke motor yang ada di sebelahnya, kali ini kuncinya masuk dan motornya mau menyala.