3

1346 Kata
Gadis yang ingin kucium duduk dalam diam. Tangannya sibuk merapikan rambut. Ia mengikat rambutnya dalam gelungan di puncak kepala dengan jepit plastik besar. Matanya menatap lurus ke arah jalan. Sabuk pengaman membentuk payudaranya dengan sangat bagus. Mataku terasa sakit karena terus-terusan melirik untuk memperhatikannya. "Aku Lee." Ia menatap tanganku dengan curiga seolah tanganku diolesi racun yang bisa membunuhnya. "Aku cuma ingin bersikap sopan pada penumpangku." Ia bergerak dengan kikuk. Sepertinya, dia menyadari sindiran di dalam kalimatku. "Maaf." Dia mengambil napas dalam. "Iris." Aku tersenyum mendengar namanya. Nama yang pas untuk kekuatan yang ditunjukannya. "Kau yakin itu namamu yang sesungguhnya?" Aku cuma berniat menggodanya. Tapi, dia mendengus kesal. "Tanyakan saja pada Mom kenapa memberi nama begitu." Aku tersenyum, gemas. "Aku cuma takjub. Iris itu nama yang sangat tegas dan bagus menurutku. Makanya, kupikir kau mengarangnya untuk memberi kesan." Iris menunduk sambil menggigit bibir bawah. Aku tahu, dia mencoba menahan senyum. Dia tersanjung pada pujianku. "Kau sendiri, apa Lee adalah nama belakang ayahmu?" Ah, pertanyaan yang selalu sama. "Nama belakangku Bexter." Aku mengambil napas sambil menaikkan alis. "Jangan protes padaku. Salahkan Bruce Lee." Iris tergelak untuk pertama kalinya. Ada desahan yang terdengar dari tenggorokannya setiap bicara atau tertawa, seperti gas bocor yang mendesis melodius. Suaranya, sulit untuk dilupakan. Kalau tadi aku mengatakan merasa senang saat melihatnya marah, melihatnya tertawa membuatku luar biasa girang. Rasanya, ada gelitik di dalam perutku saat melihat pipinya membentuk cekungan indah. Aku harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menyentuhnya meskipun kondisi lelaki di dalam celanaku makin mengkhawatirkan. “Lee?” Aku berpaling cepat mendengar panggilannya. Mulutku tergoda untuk menjawabnya dengan, “ya, Sayang?”. Untungnya aku bisa mengeratkan gigi agar tidak bertindak bodoh. "Di depan jalan itu ada guest house. Turunkan aku di situ." Tangannya menunjuk ke luar kaca jendela. Ya ampun, dekat sekali. Bisakah dia pindah ke Jupiter agar kami bisa bersama lebih lama? "Tadi itu bagus sekali. Darimana kau belajar?" Harus ada cara untuk membuatnya terus bicara. Aku ingin dia lupa jalan pulang. Aku ingin kami terus di dalam mobil ini. Iris tersenyum malu. Dia menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya "Aku sering menonton film action." Dia tidak menatapku. Terdengar helaan napas darinya. "Sungguh, ini pertama kalinya aku berhadapan dengan penjahat sungguhan. Aku sebenarnya ketakutan. Yang kupikirkan hanyalah Dean. Aku harus pulang untuknya." "Dean? Pacarmu?" Entah kenapa jantungku berdegup kencang seketika. Tolong katakan bukan! Iris tersenyum. "Anakku. Sekarang, sedang menunggu di kamar." Kau pernah merasakan bagaimana sensasi saat roller coaster yang kau naiki menukik turun dari ketinggian berpuluh meter? Itu yang kurasakan sekarang. Hatiku mencelos penuh kekecewaan. Gadisku sudah menikah. "Suamimu? Kenapa dia tidak menjemputmu?" "Dia sedang sibuk." Iris menggeser duduknya, lalu berpaling padaku. Senyum hilang dari wajahnya. "Sibuk menyenangkan kemaluan perempuan lain." Aku tersedak ludah. Aku terkejut dengan caranya membuat kalimat secara gamblang. Ia tidak menutupi apapun. Ia tidak berpura-pura. Ia tidak mencoba bersifat manis untuk disukai. Biasanya, perempuan akan berusaha memberikan citra baik di depan lelaki yang baru dikenalnya. Mereka memilih kata terbaik yang bertele-tele untuk menjelaskan siapa mereka. Tapi, Iris memilih kata paling efektif yang bisa dia temukan. Aku senang mendengarnya bisa lepas dari b******n yang ia nikahi. "Anakmu usia berapa? Dia sendirian?" Sebenarnya aku hanya mencari bahan pembicaraan. Aku senang mendengar suaranya. Jangan pikir aku peduli pada anaknya. "Aku tinggal di guest house. Aku menitipkannya pada penjaga. Kau tahu, Dean adalah anak terbaik di muka bumi. Enam adalah angka untuk usianya, tapi kemandiriannya setara dengan anak usia belasan tahun." "Astaga! Kau membiarkan anak enam tahun sendirian di rumah?!" Dia mengeluarkan suara seperti menahan tawa. "Kau punya ide bagaimana caranya aku bisa bekerja dengan membawa anak?" Iris menatapku dengan sebelah alis terangkat. Aku menyesali pertanyaanku. Memang, yang dilakukannya akan memicu kontroversi. Dinas sosial bisa membawa pergi anaknya jika mendengar ini. Tapi, dia tidak punya pilihan lain. Bukan hal yang bijak untuk mendebat tanpa memberikan solusi kepadanya. "Suamimu sama sekali menghilang?" Iris menghela napas. "Aku yang menghilang darinya." Laki-laki itu pecundang t***l. Itu alasan yang tepat. Meninggalkan perempuan yang begitu menarik bukanlah pikiran yang waras. "Nah! Di sini saja," ucapnya sambil menunjuk pada sebuah bangunan berlantai lima. Cozy Guest House masih belum sepi pada jam seperti ini. Masih banyak orang berlalu lalang di lobinya. Tempatnya tampak rapi dan bersih, walau bukan hunian yang mewah. Penghuninya rata-rata mahasiswa atau pekerja kelas menengah. Ini kali pertama aku masuk ke dalamnya, walau sering melihat papan namanya berpendar setiap melewati jalan ini. "Mau kuantar ke dalam?" "Jangan berharap macam-macam, Lee. Anakku pasti sudah tidur sekarang." Aku mengangkat tangan dengan gaya pasrah padanya. "Aku cuma ingin berbuat baik." Kuucapkan dengan kalimat sehalus mungkin. Kuharap dia mendengar ketulusan dari suaraku. Berbuat macam-macam memang sangat kuinginkan sekarang. Laki-laki di dalam celanaku sudah meronta sejak awal melihat gerakan akrobatik Iris. Tapi aku sudah bertekad mengurungnya. Jangan sampai nasibnya mengenaskan seperti penjambret tadi. Iris mengawasiku sebentar sebelum tersenyum. Aku menganggapnya sebagai sebuah persetujuan. Iris memimpin perjalanan menuju kamarnya yang berada di lantai tiga. Aku bersyukur ada lift sempit yang menuju ke atas, sehingga aku bisa berdiri sangat dekat dengan Iris. Aku bisa mencium aroma tubuhnya. Entah itu berasal dari rambut atau bagian lain pada dirinya. Aromanya seperti lavender, wangi dan menenangkan. Sepertinya, aku ingin tidur di dalam rambut lebatnya. Dia melepas stiletto-nya di dalam lift. Tinggi badannya menyusut. Kepalanya hanya setinggi dadaku sekarang. "Kau tidak berniat melepas yang lain, kan?" Aku tersenyum padanya. Ia menggeleng sambil tertawa. Kuharap, dia memberiku sinyal untuk maju karena bukan hanya kaki bagian tubuhku yang sedang berdiri sekarang. "Kakiku rasanya keram. Sepatu ini pembunuh berdarah dingin. Aku membencinya." "Kenapa? Kau terlihat seksi." Iris tergelak dengan suara yang membuatku merasa ingin ikut tertawa bersamanya. Aku suka bercinta dengan perempuan yang masih memakai high heels. Itu memberikan bermacam-macam fantasi dalam benakku. Kaki tegap yang berada di atas high heels itu seksi sekali. "Jangan bicara sebelum kau berjalan dua meter dengan sepatuku," tantangnya sambil tersenyum mengejek. Aku akan menggendongmu ke bulan dengan sepatu itu, Sayang. Kami berdiri berhadapan sekarang. Jarak kami sangat dekat di dalam lift sempit ini. Mungkin satu atau dua humor porno bisa membuatnya jatuh ke pelukanku. Aku ingin menggodanya lagi, tapi pintu lift sudah terbuka. Iris keluar dengan bibir yang masih tersenyum. Iris memutar kunci dengan pelan. Perhatianku terpusat pada grafir keemasan 310 di pintunya. Aku ingin mencari cara untuk memaksa masuk dan melakukan hal menyenangkan di  kamar mandinya. Ia membuka pintu cukup lebar sehingga aku bisa melihat ke dalam. Kamarnya terbilang kecil dengan pantri dan kamar mandi yang sama sempitnya. Tapi, kamar ini wangi. Aku tidak tahu aroma apa, tapi menyenangkan sekali merasakannya. Seorang anak laki-laki tidur nyenyak di atas tempat tidur dengan televisi menyala.  Aku berdiri bersandar di depan pintu, menatapnya sambil berharap dia melakukan sesuatu untuk berterima kasih. "Terima kasih sudah mengantarkanku." Iris berbisik kepadaku. Suaranya lebih mendesah dari sebelumnya. Ini seperti rangsangan yang menyiksa. Di kepalaku, ada gambaran bagaimana suara itu mendesah penuh kenikmatan memanggil namaku. Gambaran ini membuat otakku kacau, apalagi sambil menatapnya dari jarak sedekat ini. Lampu koridor yang temaram membuat kulit cokelat mudanya terlihat dramatis. Ia mendongak, menatapku dengan mata hitamnya yang bulat. Apa yang bisa kulakukan selain memelas agar dikasihani? "Apa yang kau tunggu? Ciuman selamat tinggal?" Iris tersenyum lebar kepadaku. Kupikir, tidak terlalu sulit untuk menarik pinggangnya mendekat, lalu membenamkan bibirku pada bibirnya. Dia tidak akan bisa mengatasi rasanya. Tapi, sesuatu dalam mata Iris membuatku kehilangan logika. Sesuatu di dalam dirinya membuatku kebingungan, seperti berada di persimpangan lantas aku tidak punya ide jalan mana yang harus kutempuh selanjutnya. "Ugh ... Oke ... Mmm ... Bye ...." Otakku sepertinya kehilangan kemampuan mencari kata yang tepat. Otakku seperti meleleh di tempat. Iris tidak menungguku beranjak. Dia tersenyum dan menutup pintu kamarnya tanpa mengatakan apapun atau tersenyum atau apa. Senyumku menghilang. “Apa-apaan?” bisikku pelan pada pintu di depanku. Ingin sekali kuhajar pintu itu sampai lepas dari engselnya. Baru kali ini seorang perempuan menutup pintu di depanku. Biasanya, mereka akan memohon agar aku bisa tinggal lebih lama. Mereka akan berusaha menyentuhku untuk mencoba membuatku menginginkan lagi. Lalu, mereka akan frustasi saat menyadari aku sudah terlalu tinggi untuk diraih. Sekarang, seorang perempuan telah menelantarkanku di depan pintunya. Yang benar saja! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN