Bab 1 Kelahiran yang di nantikan
Bab 1 kelahiran yang di nantikan
Pagi itu, keluarga besar Laksmana mengadakan syukuran atas kelahiran putrinya bernama Risa Permadani Laksmana. Semua anggota keluarga sangat menanti kelahiran sang penerus, meski terlahir sebagai wanita, Risa memiliki aura yang sangat kuat hingga membuat Wildan pamannya gentar saat melihat kelahirannya.
Saat Risa lahir bertepatan dengan hari selasa kliwon gerhana matahari merah, bahkan wajahnya memancarkan cahaya keemasan berkilau.
"Akang, liatlah putri mu!" kata Pawastri.
"Iya Nyai, akang tau dan paham. Semoga dia kuat menanggung beban kelak di kemudian hari," jawab Laksmana,
Sekilas, tampak rasa cemas di wajah sang ayah dari bayi merah itu, 'semoga kamu mampu hadapi semua yang menghadangmu, kelak,' Doa Laksmana dalam hati.
24 tahun kemudian, seorang gadis dewasa sedang menangis di makam berjejer, duduk bersimpuh di antara dua nisan bertuliskan nama Laksamana dan Pawastri. Makam itu adalah makam kedua orang tua gadis tersebut.
'Bapa dan ibu, Risa sudah wisuda seperti harapan kalian. Risa akan berusaha seperti yang kalian inginkan, doakan agar mampu hadapi semua.'
Setelah puas bercerita, Risa melangkah pergi meninggalkan makam kedua orang tuanya.
Membawa mobilnya menuju rumah besar keluarga Notoprawiryo.
"Sampur rasun," salamnya dalam bahasa jawa lama.
"Rampes, mangga neng,"
"Iya, mari neng,"
Melihat sekeliling rumah yang belum berubah semenjak dulu, bangunannya masih kokoh. Penuh ukiran kayu yang mana Risa tidak mengerti artinya.
"Maaf, apakah Rama Kakung ada mbok?" tanya Risa.
"Ada, tuan lagi istirahat di kamarnya. Mau saya panggilkan mbak?" tanya simbok.
"Nggak usah mbok, aku langsung ke kamar bapa dan ibu saja," ucap Risa.
Risa berjalan menuju kamar kedua orang tuanya, membaringkan tubuh lelahnya. Sebentar saja dia sudah tenggelam dalam mimpi dan di datangi ibunya.
"Nduk bangunlah, dengarkan pesan ibu. Kau sudah saatnya tahu, bahwa tubuhmu banyak menyimpan anugrah dari yang Maha Agung. Untuk itu pergunakanlah di jalan yang benar dan berhati-hatilah," papar Ibu.
Setelah berpesan ibunya Risa mengeluarkan sepasang tusuk konde emas dan sebilah kujang emas di telapak tangan anaknya.
"Ibu, apa ini dan untuk apa?" tanya Risa pada sang ibu, dia tidak mengerti.
"Tusuk konde ini suatu saat nanti akan berguna buatmu, dia bisa memulihkan tenagamu saat kritis. Sedangkan kujang ini akan berguna saat bertemu dengan pasangannya, jaga baik-baik ya, nak!"
Setelah berpesan pada Risa, sang ibu berdiri dan melangkah pergi ke arah cahaya yang menyilaukan, kemudian menghilang.
Risa berteriak sekencang-kencangnya, tapi suaranya seakan tidak keluar. Dia bangun terengah-engah dengan keringat deras.
"Non, buka pintunya!" ketok simbok penuh khawatir akan nonanya yang tiba-tiba berteriak.
"Ada apa ini mbok, kok ribut-ribut depan kamar Laksmana?" tanya Rama Kakung
"Tuan Besar, ini tadi terdengar si Non berteriak kencang memanggil Ibunya," jelas simbok.
Mendengar cucu kesayangannya berteriak maka Kakung membuka paksa pintu itu. Terlihat Risa duduk di tepi ranjang dengan terengah-engah penuh keringat dengan tangan menggemgam sesuatu.
"Ada apa nduk?" tanya Kakung
"Ini Akung," balas Risa sambil membuka telapak tangannya, menunjukan barang yang di pegangnya.
Perlahan Kakung mendekat, melihat dengan jelas tiga barang yang ada di telapak cucunya. Kemudian matanya menyipit mengenali barang tersebut.
"Ibumu sudah datang rupanya, ini baru sebagian yang kau terima nduk. Nanti genap usia kamu 25 tahun, makin banyak hal yang akan menghadang di tiap langkahmu. Oleh karena itu, kamu harus memiliki bekal yang cukup," papar kakek.
"Risa merasa sudah cukup ilmu pengetahuan kek, kurang apa lagi?" cicit Risa.
Kakek diam sejenak mendengar tutur cucunya, perlahan kakek berdiri menuju sebuah lukisan kedua orang tua Risa. Meraba di balik lukisan itu dan menekannya, kemudian berkata, "mari ikut kakek masuk ke dalam!"
Risa bangkit dari pembaringanya, berjalan mengikuti kakek memasuki ruang rahasia.
"Milik siapa ini kek?" tanyanya
"Ini milik ayah kamu semasa muda dulu sebelum berjumpa kekasih hidupnya," jawab kakek.
Risa memandang seluruh ruangan, matanya terhenti pada lukisan anak muda dengan pakaian serba hitam komplit dengan samurai di tangan kanannya dan pedang tangan kiri, Kakek menghampirinya,
"Itu ayahmu masa muda, dia ahli samurai dan pedang meski bukan orang jepang." kakek berkata perlahan.
"Kalau wanita cantik berbaju putih ini, pasti bunda kan, kek?" tanya Risa yakin.
"Iya, mereka berdua pendekar tanpa tanding. Sayang raga ayahmu tak mampu menampung ilmu kanuragan, jadi semua s*****a dan ilmu kanuragan ibumu yang memegang kendali."
Risa masih memandangi foto masa muda kedua orangtuanya penuh kekaguman, sang ibu cantik alami sedangkan ayah, pria gagah, tampan dengan tatapan tajam dan dingin.
"Jika ayah tak memiliki ilmu kanuragan, bagaimana bisa lindungi ibu, kek?" tanyanya.
"Seorang Laksmana sangat briliant, pandai berstrategi dalam segala hal. Ayahmu juga pandai di bidang IT," papar kakek, " sekarang masuklah!" lanjutnya
Risa masuk ke ruang yang lebih dalam mengikuti kakek, matanya terbelalak melihat seperangkat alat komputer super canggih, di ruang itu memiliki layar sebesar 32 inci sebanyak lima buah. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.
"Kakek, jangan bilang jika semua ini milik ayah juga?"
"Iya, ini milik ayahmu," jawab kakek.
Risa berjalan mendekati salah satu komputer itu, menyalakannya dan jemarinya mulai bergerak berirama tanpa kendala apapun. Bahkan semua sandi dapat dia bobol sempurna.
Kakek melihat semua apa yang dilakukan Risa, muncul senyum tipis dari bibir tuanya. 'Ternyata tidak hanya wadah yang kuat namun otak juga encer, perpaduan sempurna juniorku,' batin kakek.
"Tinggallah, di sini selama setahun. Pelajari semua dalam ruang ini, jika sudah siap hadapi kakekmu yang tua ini!" ucap kakek, kemudian berlalu pergi meninggalkan Risa sendiri dalam ruangan itu.
"Baik," jawab Risa.
Pintu ruangan tertutup, menyisakan Risa di dalam sendiri. Perlahan Risa menyusuri setiap dinding, di raba gambarnya, dirasa dan diresapi tiap ukiran. Risa mencoba gerakan yang terukir di dinding, pelan-pelan dia padukan dari gerakan pertama, kedua, ketiga sampai gerakan ke lima.
Seminggu Risa menghafalkan lima gerakan yang berbeda, semakin hari gerakan itu semakin lancar dan lembut, hari ke tujuh gerakan itu dipadukan dengan pedang tipis milik ayahnya.
Sementara di belahan bumi yang berbeda, Zildan berlatih beladiri moderen. Tubuhnya yang tegap, wajah tampan bak olahragawan sejati bergerak lincah menghadapi tiap serangan dari gurunya.
"Zildan sudah waktumu berkelana mencari pasangan kujang emas, dari radar terakhir benda itu berada di negara yang kaya akan rempah-rempah, tahukah kamu negara mana?" tanya gurunya.
"Sebelum papa meninggal, dia berpesan pergilah ke tanah kelahiran mama. Di sanalah kujang itu berada," jawab Zildan.
"Pergilah!"
Bab 1 kelahiran yang di nantikan
Pagi itu, keluarga besar Laksmana mengadakan syukuran atas kelahiran putrinya bernama Laras Permadani Laksmana. Semua anggota keluarga sangat menanti kelahiran sang penerus, meski terlahir sebagai wanita, Risa memiliki aura yang sangat kuat hingga membuat Wildan pamannya gentar saat melihat kelahirannya.
Saat Laras lahir bertepatan dengan hari selasa kliwon gerhana matahari merah, bahkan wajahnya memancarkan cahaya keemasan berkilau.
"Akang, liatlah putri mu!" kata Pawastri.
"Iya Nyai, akang tau dan paham. Semoga dia kuat menanggung beban kelak di kemudian hari," jawab Laksmana,
Sekilas, tampak rasa cemas di wajah sang ayah dari bayi merah itu, 'semoga kamu mampu hadapi semua yang menghadangmu, kelak,' Doa Laksmana dalam hati.
24 tahun kemudian, seorang gadis dewasa sedang menangis di makam berjejer, duduk bersimpuh di antara dua nisan bertuliskan nama Laksamana dan Pawastri. Makam itu adalah makam kedua orang tua gadis tersebut.
'Bapa dan ibu, Laras sudah wisuda seperti harapan kalian. Laras akan berusaha seperti yang kalian inginkan, doakan agar mampu hadapi semua.'
Setelah puas bercerita, Laras melangkah pergi meninggalkan makam kedua orang tuanya.
Membawa mobilnya menuju rumah besar keluarga Notoprawiryo.
"Sampur rasun," salamnya dalam bahasa jawa lama.
"Rampes, mangga neng,"
"Iya, mari neng,"
Melihat sekeliling rumah yang belum berubah semenjak dulu, bangunannya masih kokoh. Penuh ukiran kayu yang mana Risa tidak mengerti artinya.
"Maaf, apakah Rama Kakung ada mbok?" tanya Laras.
"Ada, tuan lagi istirahat di kamarnya. Mau saya panggilkan mbak?" tanya simbok.
"Nggak usah mbok, aku langsung ke kamar bapa dan ibu saja," ucap Laras.
Laras berjalan menuju kamar kedua orang tuanya, membaringkan tubuh lelahnya. Sebentar saja dia sudah tenggelam dalam mimpi dan di datangi ibunya.
"Nduk bangunlah, dengarkan pesan ibu. Kau sudah saatnya tahu, bahwa tubuhmu banyak menyimpan anugrah dari yang Maha Agung. Untuk itu pergunakanlah di jalan yang benar dan berhati-hatilah," papar Ibu.
Setelah berpesan ibunya Laras mengeluarkan sepasang tusuk konde emas dan sebilah kujang emas di telapak tangan anaknya.
"Ibu, apa ini dan untuk apa?" tanya Laras pada sang ibu, dia tidak mengerti.
"Tusuk konde ini suatu saat nanti akan berguna buatmu, dia bisa memulihkan tenagamu saat kritis. Sedangkan kujang ini akan berguna saat bertemu dengan pasangannya, jaga baik-baik ya, nak!"
Setelah berpesan pada Laras, sang ibu berdiri dan melangkah pergi ke arah cahaya yang menyilaukan, kemudian menghilang.
Laras berteriak sekencang-kencangnya, tapi suaranya seakan tidak keluar. Dia bangun terengah-engah dengan keringat deras.
"Non, buka pintunya!" ketok simbok penuh khawatir akan nonanya yang tiba-tiba berteriak.
"Ada apa ini mbok, kok ribut-ribut depan kamar Laksmana?" tanya Rama Kakung
"Tuan Besar, ini tadi terdengar si Non berteriak kencang memanggil Ibunya," jelas simbok.
Mendengar cucu kesayangannya berteriak maka Kakung membuka paksa pintu itu. Terlihat Laras duduk di tepi ranjang dengan terengah-engah penuh keringat dengan tangan menggemgam sesuatu.
"Ada apa nduk?" tanya Kakung
"Ini Akung," balas Laras sambil membuka telapak tangannya, menunjukan barang yang di pegangnya.
Perlahan Kakung mendekat, melihat dengan jelas tiga barang yang ada di telapak cucunya. Kemudian matanya menyipit mengenali barang tersebut.
"Ibumu sudah datang rupanya, ini baru sebagian yang kau terima nduk. Nanti genap usia kamu 25 tahun, makin banyak hal yang akan menghadang di tiap langkahmu. Oleh karena itu, kamu harus memiliki bekal yang cukup," papar kakek.
"Laras merasa sudah cukup ilmu pengetahuan kek, kurang apa lagi?" cicit Laras.
Kakek diam sejenak mendengar tutur cucunya, perlahan kakek berdiri menuju sebuah lukisan kedua orang tua Laras. Meraba di balik lukisan itu dan menekannya, kemudian berkata, "mari ikut kakek masuk ke dalam!"
Laras bangkit dari pembaringanya, berjalan mengikuti kakek memasuki ruang rahasia.
"Milik siapa ini kek?" tanyanya
"Ini milik ayah kamu semasa muda dulu sebelum berjumpa kekasih hidupnya," jawab kakek.
Laras memandang seluruh ruangan, matanya terhenti pada lukisan anak muda dengan pakaian serba hitam komplit dengan samurai di tangan kanannya dan pedang tangan kiri, Kakek menghampirinya,
"Itu ayahmu masa muda, dia ahli samurai dan pedang meski bukan orang jepang." kakek berkata perlahan.
"Kalau wanita cantik berbaju putih ini, pasti bunda kan, kek?" tanya Laras yakin.
"Iya, mereka berdua pendekar tanpa tanding. Sayang raga ayahmu tak mampu menampung ilmu kanuragan, jadi semua s*****a dan ilmu kanuragan ibumu yang memegang kendali."
Laras masih memandangi foto masa muda kedua orangtuanya penuh kekaguman, sang ibu cantik alami sedangkan ayah, pria gagah, tampan dengan tatapan tajam dan dingin.
"Jika ayah tak memiliki ilmu kanuragan, bagaimana bisa lindungi ibu, kek?" tanyanya.
"Seorang Laksmana sangat briliant, pandai berstrategi dalam segala hal. Ayahmu juga pandai di bidang IT," papar kakek, " sekarang masuklah!" lanjutnya
Laras masuk ke ruang yang lebih dalam mengikuti kakek, matanya terbelalak melihat seperangkat alat komputer super canggih, di ruang itu memiliki layar sebesar 32 inci sebanyak lima buah. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.
"Kakek, jangan bilang jika semua ini milik ayah juga?"
"Iya, ini milik ayahmu," jawab kakek.
Laras berjalan mendekati salah satu komputer itu, menyalakannya dan jemarinya mulai bergerak berirama tanpa kendala apapun. Bahkan semua sandi dapat dia bobol sempurna.
Kakek melihat semua apa yang dilakukan Laras, muncul senyum tipis dari bibir tuanya. 'Ternyata tidak hanya wadah yang kuat namun otak juga encer, perpaduan sempurna juniorku,' batin kakek.
"Tinggallah, di sini selama setahun. Pelajari semua dalam ruang ini, jika sudah siap hadapi kakekmu yang tua ini!" ucap kakek, kemudian berlalu pergi meninggalkan Laras sendiri dalam ruangan itu.
"Baik," jawab Laras.
Pintu ruangan tertutup, menyisakan Laras di dalam sendiri. Perlahan Laras menyusuri setiap dinding, di raba gambarnya, dirasa dan diresapi tiap ukiran. Laras mencoba gerakan yang terukir di dinding, pelan-pelan dia padukan dari gerakan pertama, kedua, ketiga sampai gerakan ke lima.
Seminggu Laras menghafalkan lima gerakan yang berbeda, semakin hari gerakan itu semakin lancar dan lembut, hari ke tujuh gerakan itu dipadukan dengan pedang tipis milik ayahnya.
Sementara di belahan bumi yang berbeda, Zildan berlatih beladiri moderen. Tubuhnya yang tegap, wajah tampan bak olahragawan sejati bergerak lincah menghadapi tiap serangan dari gurunya.
"Zildan sudah waktumu berkelana mencari pasangan kujang emas, dari radar terakhir benda itu berada di negara yang kaya akan rempah-rempah, tahukah kamu negara mana?" tanya gurunya.
"Sebelum papa meninggal, dia berpesan pergilah ke tanah kelahiran mama. Di sanalah kujang itu berada," jawab Zildan.
"Pergilah!"