Sepuluh

1561 Kata
"Aku nggak paham deh Mas." Gumaman pelan Tamara barusan, sukses menarik perhatian Ardi. Hari padahal sudah terbilang larut namun jalanan di kota Jakarta masih padat bukan main. Terbukti dari bagaimana keduanya terjebak di tengah kepadatan lalu lintas. Entah apa karena besok adalah hari libur, sehingga penduduk kota Jakarta berlomba-lomba menghabiskan waktu dengan bersenang-senang di luar rumah. Sebuah konsep kesenangan yang takkan bisa Ardi mengerti, secara dia akan lebih senang menghabiskan waktu beristirahat di rumah ketika ada waktu luang. Kembali ke topik pembicaraan, Ardi menadahkan tangannya yang langsung direspon oleh sang adik dengan mengoper es kopi s**u yang sempat mereka pesan di sebuah coffee shop sepulang dari restoran tadi. "Apa yang kamu nggak paham?" tanya Ardi dengan nada lembut setelah membiarkan rasa pahit kopi bercampur gurihnya s**u menyapa lidahnya. Membangunkan beberapa saraf otaknya yang mulai suntuk menghadapi kemacetan. Tamara membenarkan posisi duduknya jadi sedikit menyerong ke arah sang kakak. "Kamu tuh sadar nggak sih Mas? Mereka berdua tuh kayak punya aura negatif gitu setiap bahas Bu Ratih. Seolah kalau bukan karena asal usul Mbak Dini yang ternyata seorang anak tiri nggak dibongkar Ibu di dalam suratnya, mereka nggak mau tau sama kehidupan Bu Ratih." "Tamara," gumam Ardi pelan seraya menghela napas lelah. "Cara pandang kita terhadap Bu Ratih, nggak bisa kamu samain dengan mereka. Bagi kita beliau memang penyelamat dan sudah sepantasnya kita menghormati beliau. Namun, bagi Dito dan Dini berbeda. Beliau adalah seorang Ibu yang telah menelantarkan anak-anaknya sejak lama. Wajar kalau mereka punya sentimen negatif sama Bu Ratih." Cukup lama Tamara terdiam, sebelum perempuan itu kembali terduduk lemas. Tidak bisa melawan pendapat sang kakak barusan. Ardi benar. Cara pandang mereka berdua dan kedua anak Bu Ratih jelaslah berbeda. Kalau dipikir, jika Tamara berada di posisi keduanya dia mungkin akan bersikap sedemikian dingin akan apapun informasi terkait sang ibu. Toh perempuan itu memang tidak punya peranan apapun dalam kehidupan mereka. Namun, sebagai seseorang yang merasakan dan menyaksikan langsung kerinduan teramat dalam seorang ibu terhadap anak-anaknya. Sang puan tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa miris. Dibalik kehidupannya yang sederhana namun berhasil membantu banyak orang, sangat menyedihkan melihat Bu Ratih tidak begitu dihormati oleh kedua orang tuanya. "Terus semua barang Bu Ratih mau kamu apain Mas?" tanya Tamara lagi, masih mengingat jelas saat ia menyaksikan Dini menolak mentah-mentah sang kakak memberikan lagi surat-surat Bu Ratih. Ia memang sudah diberitahu kalau semua barang yang dititipkan Bu Ratih kepada Ardi, sudah diambil oleh Dini sebagai hak waris. Namun, perempuan itu hanya mengambil album foto dan buku diari. Tidak dengan dua tumpukan surat yang ditinggalkan Bu Ratih. "Mas bakal tetap simpan," jawab Ardi tanpa ragu sedikitpun. "Bagaimanapun, Mas yakin jawaban soal asal usul Dini pasti ada di dalam sana. Dini cuman perlu waktu untuk menenangkan dirinya." "Berapa lama? Berapa lama kamu mau simpan Mas? Kenapa kamu seyakin itu kalau Mbak Dini akan luluh ketika dia menyimpan 'amarah' sebesar itu untuk Ibu?" "Dini nggak sekeras itu Tamara. Mas yakin cepat atau lambat dia akan kalah dari egonya sendiri." *** Perasaan marah yang tidak tersalurkan, akan menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dini paham betul, perasaan marah yang memenuhi dadanya saat ini hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak. Namun, sang puan tidak mau hal itu terjadi. Bagaimanapun, Dini sadar bahwa ketika dia lepas kendali karena amarah maka isi kepala dan hatinya akan melakukan hal berlawanan. Sehingga dia bisa saja tanpa sadar menyakiti lawan bicara, ketika Dini tidak bermaksud demikian. Dini bahkan tidak mau mengingat kembali hari saat dia meledak oleh amarah. Penolakannya mengambil kembali dua tumpuk surat dari Ardi, adalah bentuk pengendalian diri Dini. Ia merasa, membaca surat-surat tersebut saat ini hanya akan menyulut amarahnya. Secara dia tau betul surat-surat itu pasti berisi ribuan permintaan maaf dan permohonan ampun. Sesuatu yang terasa konyol, karena dua ekspresi tersebut tidak bisa dirasakan secara tulus kecuali orang bersangkutan mengatakannya sendiri. Kenapa harus menunggu salah satu dari orang tuanya meninggal, untuk mengakui dosa yang telah mereka lakukan terhadap Dini? Kenapa kedua orang tuanya pergi menghadap yang maha kuasa, sembari memohon ampun akan kesalahan yang bahkan Dini tidak tau apa itu? "Kamu nggak papa?" Dini mengalihkan pandang dari layar komputernya, mendapati Natasya sudah berdiri di samping biliknya entah sejak kapan. Perempuan yang lebih tua dua tahun darinya itu, mengeluarkan kantong kain berlogo sebuah toko minuman favorit Dini. "Aku beliin kamu bubble tea. Kamu tadi nggak makan siang, jadi aku harap itu bisa ganjel perut kamu ya." "Makasih loh Mbak," jawab Dini sembari tersenyum kecil. Menerima satu gelas besar milk tea dengan pugasan bola-bola tapioka kenyal berwarna coklat kehitaman. "Hei." Tanpa disuruh, Natasya menarik salah satu kursi kosong terdekat. Mendudukan diri di sana, sembari menatap rekan kerjanya serius. "Kamu kalau ada masalah, bisa loh cerita ke aku." Natasya bukan hanya sekedar teman kerja bagi Dini. Perempuan itu dulu adalah kakak kelasnya di SMA, mereka pernah berada di dalam satu ekskul yang sama dan sempat menjalin pertemanan akrab. Lantas ketika dipertemukan kembali di Sweet Moments, Natasya menjadi salah satu rekan kerja yang bisa diandalkan oleh Dini, terutama jika sudah menyangkut masalah pribadi. Perempuan tersebut selalu pandai membaca perubahan sikap seseorang, mungkin karena dirinya bekerja di divisi HR yang membuat ia dituntut untuk mengetahui permasalahan karyawan. "Kamu tiba-tiba nanya begini ke aku, kenapa Mbak? Performa aku menurun ya?" tanya Dini sembari menyeruput minumannya. Mengira Natasya menghampirinya sebagai sesama karyawan dan bukan teman. "Aku kesini bukan sebagai manajer HR yang lagi ngawasin performa tiap karyawan." Natasya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lantas menatap temannya itu serius. "Performa kamu justru lagi tinggi-tingginya, jadi aku kesini bukan buat negur kamu." "Oh ya? Berarti besar kemungkinan aku dapat bonus ya?" "Din." Nada bicara Natasya berubah jadi lebih menuntut namun tetap disampaikan secara lembut. "Mau sampai kapan kamu nahan emosi kamu sendiri?" Pertanyaan yang sebenarnya simpel, namun cukup untuk meruntuhkan pertahanan Dini yang sedemikian tinggi. Awalnya sang puan masih tersenyum, mengigit-gigit kecil sedotan di mulut sebelum perlahan ujung bibirnya tampak bergetar. Lantas senyuman itu mulai memudar, seiring mata Dini mulai berlinang. "Mbak, menurutmu aku salah ngerasa-" "Nggak. Kamu nggak salah." Belum selesai Dini bicara, Natasya sudah lebih dulu menyahut tenang. "Apapun yang kamu rasain sekarang, itu wajar dan normal. Apapun emosi yang lagi kamu rasain itu bukanlah kesalahan. Kamu berhak buat ngerasain semua itu." "Mbak kamu mau tau apa yang aku alamin selama sebulan ini?" tanya Dini dengan nada sedikit serak, berusaha menahan diri untuk tidak menangis keras. Tangannya terangkat mulai menyebutkan poin-poin penting dalam hidupnya yang baru saja terjadi. "Pertama, Ibu yang nggak pernah aku tau keberadaannya mendadak meninggal dunia. Kedua, ternyata selama hidupnya beliau membantu banyak orang buat mewujudkan cita-cita mereka ketika di sisi lain aku dan Kak Dito kesusahan setengah mati buat bisa di titik ini." Natasya tidak merespon, membiarkan Dini mengeluarkan keluh kesahnya. Untung saja saat ini kantor sedang sepi, secara kebanyakan para pekerja sedang keluar entah rapat dengan klien atau bertemu vendor. Jadi Dini bisa lebih leluasa mengeluarkan keluh kesahnya. Natasya memperhatikan Dini dalam diam, membiarkan sang puan bertarung dengan isi pikirannya. Membiarkan Dini menghadapi emosi dan kepedihan yang bertumpuk di dalam hatinya, sebelum jarinya yang ketiga terangkat. Bersamaan dengan setetes air mata meluncur turun dari matanya. "Ketiga, di umur 28 tahun aku baru tau kalau aku bukanlah anak kandung mereka." Kalimat barusan sukses membuat Natasya tertegun, sang puan terdiam cukup lama sebelum akhirnya maju. Membawa Dini masuk ke dalam pelukannya. Kini tau seberapa hancur temannya itu. Dini memang tidak menangis meraung-raung. Namun, tangisan tanpa suara justru tangisan paling pedih. "Mereka pergi tanpa kasih aku penjelasan apa-apa Mbak." Suara Dini terdengar parau, membalas pelukan Natasya yang kini menepuk-nepuk pelan punggungnya dengan maksud menenangkan. "Mereka terus-terusan minta ampun untuk kesalahan yang aku nggak tau apa. Aku nggak berhak diginiin Mbak." "Aku nggak berhak dibuat terjebak dengan dihantui permintaan maaf mereka yang justru buat aku merasa sebagai anak durhaka. Ketika aku seharusnya menuntut penjelasan siapa aku sebenarnya." Dini tidak tau, dari jarak jauh Ardi memperhatikan semua itu dalam diam. *** "Sebelum bertemu ayah kamu, Bu Ratih pernah bekerja di Surabaya." Dini sedang fokus membuat rancangan anggaran pesta pernikahan Mario-Tamara, ketika mendadak Ardi mendatanginya. Kemunculan sang bos besar, jelas membuat Dini panik. Ia menoleh ke sekitar, lantas mendapati rekan kerja yang ikut lembur bersamanya sedang berkumpul di pantri. Pintu kaca menuju pantri tertutup, membuat rekan kerjanya pasti tidak sadar bahwa bos besar mereka sedang berada di ruangan. "Pak-" "Tolong jangan tolak usaha saya buat menolong kamu Dini." Entah kenapa nada bicara Ardi terdengar lelah dan frustasi. "Saya paham kamu marah ke kedua orang tua kamu karena meninggalkan kamu tanpa penjelasan lengkap setelah membongkar rahasia yang mereka simpan selama ini. Kamu juga berhak untuk menolak membaca penjelasan yang ditinggalkan mereka, karena apapun alasannya mereka nggak berhak melakukan kamu seperti ini." "Tapi, kamu juga berhak tau apa yang sebenarnya terjadi. Siapa kamu sebenarnya, dan bagaimana kamu bisa berakhir sebagai Dini Anggita. Saya siap bantu kamu Dini, tolong jangan tolak niat baik saya." Dini terdiam, menatap Ardi teramat dalam. Seolah mencoba membaca maksud terselubung dari permintaan bosnya tersebut. Cukup lama Dini terdiam, sebelum dia akhirnya menghela napas. "Bapak kalau lakuin ini karena berhutang budi sama Ibu, nggak-" "Dini." Panggilan itu terdengar begitu frustasi dan lelah, menarik perhatian Dini yang jadi terdiam. Baru kali menyadari tatapan berbeda dari sang atasan yang tak pernah ia sadari. "Kamu selama ini beneran nggak sadar ya? "Saya lakuin semua ini bukan karena perasaam hutang budi saya sama ibu kamu. Saya lakuin ini buat kamu. Saya punya perasaan lebih ke kamu Dini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN