Duka adalah konsep perasaan paling abstrak yang bisa dirasakan oleh seorang manusia.
Ketika mengalami perasaan duka, kebanyakan orang mengasosiasikan perasaan tersebut dengan rasa sedih dan kecewa akan diri sendiri. Sedih karena orang tersayang pergi dan kecewa pada diri sendiri karena tidak menghargai waktu bersama ketika yang tersayang masih hidup di dunia. Namun, seberapa dalam seseorang berduka dipengaruhi seberapa dalam suatu hubungan yang terlibat di antara mereka.
Itulah kenapa kehilangan sang ayah, menjadi berkali-kali lipat terasa sedih bagi Dini daripada kepergian sang ibu. Apalagi sang ayah pergi tanpa tanda-tanda, meninggal dalam tidur tenangnya masih dengan tangan mendekap pigura foto pernikahan beliau. Sang ayah pergi tanpa sempat memberi penjelasan atas rahasia yang telah dibongkar sang ibu dalam secarik surat usangnya. Meninggalkan kedua bersaudara tersebut dalam ribuan tanya, terkait apa yang sebenarnya terjadi di dalam keluarga mereka.
Terutama Dini yang kini jadi bertanya-tanya, siapa dia sebenarnya?
"Kamu yakin tempatnya disini?"
Pertanyaan Dito, menyadarkan Dini dari lamunan. Ia menatap ke luar jendela mobil, baru menyadari bahwa kendaraan yang ia tumpangi sudah berhenti di area parkir sebuah restoran besar. Sudah delapan hari berlalu sejak kematian sang ayah, baik Dito maupun Dini sepakat untuk segera menemui Ardi kembali setelah urusan terkait acara doa untuk sang ayah selesai dilakukan. Mengingat bahwa Dito meninggalkan pekerjaannya di Singapura, menandakan mereka tidak punya banyak waktu.
"Harusnya benar sih," jawab Dini sembari melepas sabuk pengaman. Aneh, ia tau betul nama restoran yang diberikan Ardi tempo hari. Sebuah restoran masakan rumahan, yang terkenal di kalangan para bos besar. Mengingat harga makanannya tergolong sangat mahal untuk pekerja biasa seperti Dini. Biasanya restoran tersebut akan penuh bukan main di jam-jam makan malam seperti saat ini, namun entah bagaimana parkiran restoran tersebut kosong melompong. Hanya terisi oleh mobil yang sengaja Dito sewa selama berada di tanah air untuk memudahkan mobilitas mereka.
Saat ini Ardi adalah satu-satunya kepingan puzzle yang Dini miliki. Langkah awal untuk mencari jawaban dari segala pertanyaan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Ia sangat berharap pria itu memiliki jawaban terkait asal usulnya. Mengingat dari kalimat Ardi tempo hari, sepertinya pria itu tau banyak soal cerita hidup sang ibu.
Ketika kedua bersaudara tersebut memasuki restoran, mereka langsung disambut oleh salah seorang pramusaji. Seolah sudah menantikan kehadiran mereka, Dini dan Dito di arahkan ke bagian terdalam restoran. Lebih tepatnya menuju area khusus berisi beberapa saung yang mengelilingi sebuah danau besar dengan sebuah air mancur besar di tengah danau tersebut. Cahaya lampu yang menyinari jalan setapak dan saung-saung tersebut, sungguh mempesona dan terkesan menenangkan. Seolah Dini dan Dito diajak berteleportasi ke area pedesaan, hingga sepersekian detik mereka lupa bahwa sedang berada di tengah-tengah kota dengan lalu lintas padat bukan main.
"Malam Mas Dito, Dini" sapa Ardi ketika pintu yang menutup area saung dibukakan oleh pramusaji, menyambut kedatangan tamunya. Pria itu tidak menunggu seorang diri. Ada Tamara yang duduk manis di sebelahnya, seperti biasa tampak begitu rapi dan elegan dalam setelan serba abu-abunya. "Kenalkan ini Tamara, dia adik saya. Sama seperti saya, biaya pendidikannya juga dibiayai oleh Bu Ratih."
"Salam kenal Mbak Tamara." Mengingat ini pertemuan pertama, jelas sekali Dito menyimpan lebih banyak tanya. Berbeda dari Dini yang sudah menyapa balik adik Ardi satu itu sembari melambaikan tangan kecil, dan menunjukkan keakraban. "Maaf, saya tau garis besarnya kalau selama hidup Ibu menolong begitu banyak orang untuk melanjutkan pendidikan mereka. Hanya saja baru kali ini saya merasa penasaran, apa jurusan yang anda berdua ambil?"
"Saya kebetulan mengambil arsitektur Mas," jawab Ardi begitu tenang, lantas melirik ke arah Tamara. "Adik saya kebetulan mengambil kedokteran, dia satu-satunya anak penerima bantuan Bu Ratih yang menempuh karir kedokteran."
Hening. Dini menyadari bahwa sang kakak sempat memberinya sebuah tatapan dalam. Tanpa diucapkan pun, dia tau betul apa isi kepala sang kakak saat ini. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk mereka memperdebatkan hal tersebut. Ada hal yang jauh lebih penting untuk mereka bahas.
"Hampir seminggu yang lalu, baik saya maupun Kak Dito baru berani membaca surat peninggalan Ibu untuk kami." Dini mengeluarkan dua pucuk amplop yang sedikit menguning ke atas meja. Tidak mau berbasa-basi lebih lama. "Sebenarnya, Kak Dito yang pertama membaca surat ini. Setelah itu Kak Dito langsung kembali ke Indonesia, dan menuntut penjelasan ayah saya soal isi surat tersebut. Namun, paginya ketika kami hendak membicarakan hal ini dengan kepala dingin ayah sudah lebih dulu meninggal dunia. Jadi, kami sangat berharap anda berdua bisa menjadi perantara untuk menjawab pertanyaan - pertanyaan itu. Secara Ibu sepertinya memiliki hubungan teramat dekat dengan kalian."
"Kamu mau mendengar dari mana? Dari sejak kapan Bu Ratih mulai membantu orang-orang? Siapa saja yang dia tolong? Atau cerita bagaimana beliau memiliki hubungan lebih dekat dengan kami dari banyaknya anak yang ia bantu?"
"Tidak, kami datang kesini bukan untuk menanyakan itu Mas Ardi." Kini giliran Dito yang menyahut. "Seberapa jauh anda dan Tamara mengetahui kondisi keluarga saya?"
Ardi dan Tamara saling bertukar pandang sesaat, sebelum sang pria merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. "Bu Ratih sering bercerita kalau dia memiliki dua orang anak di Jakarta. Dia tidak pernah diijinkan bertemu, tapi satu sisi dia tidak pernah menuntut mantan suaminya untuk dipertemukan dengan dua anaknya. Bu Ratih bilang dia merasa terlalu hina untuk berhadapan dengan dua anaknya tersebut."
"Ayah bilang dia yang selalu menolak dipertemukan."
"Karena beliau sampai kapanpun tidak bisa memaafkan dirinya sendiri." Kini tatapan Ardi teralih kepada Dini. "Beliau merasa bersalah telah memisahkan Dini dari orang tua kandungnya, namun perasaan kasih sayang sebagai orang tua sudah tumbuh di dalam hati Bu Ratih dan suaminya di hari Dini datang sebagai adik anda Mas Dito."
"Pak Ardi tau soal asal-usul saya?"
"Itu satu-satunya topik yang nggak mau Bu Ratih bahas sama siapapun. Termasuk saya." Satu tarikan napas dalam Ardi ambil, tau bahwa topik pembicaraan saat ini begitu berat. "Yang saya tau kamu alasan kenapa Bu Ratih dan suaminya berpisah, meski mereka masih mencintai satu sama lain. Bu Ratih mau mengembalikan anda namun Ayah kalian menolak. Beliau bilang buat apa mengembalikan anak yang sejak awal sudah dibuang dari keluarganya sendiri."
Pedih. Namun, itu faktanya. Dito diam-diam melirik ke arah sang adik, mulai memperkirakan apa yang berkecamuk dalam isi kepalanya. Adiknya itu pasti merasa bersalah. Baru mengetahui fakta bahwa dia hanyalah seorang anak tiri, kini dihadapkan pula akan fakta dirinya memang benar dibuang oleh keluarga aslinya. Sekarang diberitahu bahwa dia pulalah penyebab mereka tidak pernah hidup sebagai sebuah keluarga normal yang tumbuh dalam dekapan kasih sayang nyata sang ibu.
"Ibu benar-benar tidak menceritakan apapun soal asal-usul Dini?" Pertanyaan Dito hanya dibalas gelengan pelan oleh Ardi.
"Bu Ratih bilang, dia dan suaminya sudah berjanji satu sama lain. Jika salah satu dari mereka telah tiada, saat itu pula mereka harus memberitahukan siapa Dini sebenarnya. Mungkin itulah kenapa ketika beliau rasa dirinya yang akan lebih dulu meninggal dunia, Bu Ratih baru berani mengungkap rahasia soal Dini melalui surat yang ditinggalkan untuk anda berdua." Tamara mengigit bibir, ikut merasa iba akan situasi membingungkan yang dihadapi oleh kedua bersaudara di depannya ini. "Beliau pasti mengira Ayah kalian akan langsung bercerita kebenarannya, makanya Bu Ratih tidak bercerita secara gamblang di surat tersebut. Siapa sangka, keadaannya akan menjadi begini?"
"Dek," panggil Dito dengan nada teramat lembut. Tangannya terangkat mengelus pelan puncak kepala sang adik.
"Sepertinya semesta memang mau kamu mengetahui kebenarannya sampai sini saja. Siapapun kamu, Kakak akan selalu anggap kamu sebagai adik kandung Kakak. Jadi kita berhenti saja cari tau asal usulmu itu ya?"
***
Terkadang ketidaktahuan menyelamatkanmu dari rasa sakit. Namun, rasa ingin tahu memancing seseorang untuk mencari kebenaran meski itu berarti menyakiti dirinya sendiri.
Kalimat Dito tidak ada salahnya. Mereka berdua sama-sama sadar, bahwa hubungan keluarga yang terjalin di antara mereka sudah terlalu dalam dan mengikat. Fakta bahwa Dini bukanlah adik kandungnya, tidak serta merta membuat Dito merubah sikap. Pria itu akan selalu menatap Dini sebagai adik kecil yang harus selalu ia lindungi dan berikan tawa, tak peduli apapun yang terjadi. Hanya saja, sebagai orang yang mendadak identitasnya tidak jelas. Wajar kalau Dini haus akan informasi perihal siapa dirinya dan mengapa ia bisa berakhir menjadi bagian keluarganya saat ini.
Dini merasa tidak puas menerima fakta, dia harus menyerah sedemikian cepat. Mengingat tidak ada satupun yang bisa membawakannya kepingan puzzle untuk menyelesaikan rahasia rumit ini. Sang Ayah adalah pemegang kepingan puzzle terbanyak, namun pria itu pergi meninggalkan dunia dengan membawa kepingan-kepingan rahasia itu hingga ke liang kuburnya. Kematian sang ayah, mungkin bentuk sang Pencipta ikut campur dalam. Cara untuk melindungi Dini akan fakta menyakitkan yang dirinya temui kelak ketika menemukan jawaban siapa dia sebenarnya.
"Ada satu cara yang belum kamu tempuh untuk mengungkap rahasia itu Dini."
Suara berat itu, menyadarkan Dini dari lamunan. Mendapati Ardi sudah berdiri tepat di sebelahnya, entah sejak kapan. Tubuhnya yang tinggi, menjulang sedemikian rupa di samping sang puan. Membuat Dini yang memiliki postur tubuh lebih tinggi dari kebanyakan perempuan asia tenggara, terlihat kecil jika disandingkan dengan Ardi. Jujur, aneh rasanya bagi Dini bisa berdiri bersisian sedemikian dekat dengan bos besar di tempat kerjanya itu.
"Maksud Pak Ardi?"
Sesaat Ardi tersenyum kecil, lantas mengalihkan pandang dari pemandangan danau di depan mata. "Saya perhatiin kamu daritadi panggil saya Bapak, ya Dini. Kita bukan di kantor, tolong santai aja sama saya."
"Maksud omongan Mas Ardi tadi apa ya?" ulang Dini menyesuaikan caranya memanggil Ardi, sesuai keinginan pria tersebut. "Cara apa yang belum saya tempuh buat mencari tau soal semua ini? Saya sudah tanya semua keluarga saya, mereka bahkan tidak tau soal saya bukanlah anak kandung Ibu dan Ayah. Di titik ini, semua jalan sudah tertutup bagi saya."
"Ada satu. Satu-satunya jalan yang cuman bisa kamu cari sendiri." Ardi menatap Dini teramat dalam. "Surat dan buku diari yang Bu Ratih berikan pada saya. Isi benda-benda itu tidak pernah saya baca."
"Saya masih menyimpannya. Kamu mau?"