Delapan

1342 Kata
Dini sudah sering kali membaca cerita fiksi soal bagaimana hidup seseorang jadi jungkir balik ketika mengetahui fakta bahwa dia bukanlah anak kandung dari orang tua yang merawatnya selama ini. Masalahnya sejak awal, hubungan antara ayah dan ibunya sudah sedemikian rumit. Begitu rumit hingga ke tahap Dini dan Dito tumbuh tanpa adanya figur keluarga yang lengkap. Ayahnya seorang pekerja kantoran yang kerap lembur hingga larut malam. Lebih sering menghabiskan waktu di kantor, dan baru bisa menikmati hari-hari liburnya ketika perusahaannya mendadak bangkrut. Situasi yang tidak tepat, secara saat itu Dini baru saja akan memasuki bangku perkuliahan dan Dito baru saja lulus. Membuat si bungsu harus mengubur dalam mimpinya mengenyam pendidikan kedokteran, dan masuk ke jurusan Manajemen dengan bantuan beasiswa sebuah lembaga swasta. Memang tidak ada orang tua yang sempurna di dunia ini, itulah kenapa Dini paham akan konsep bahwa seorang anak harus memiliki hati begitu luas untuk bisa memaklumi keputusan orang tuanya. Dini telah melalui begitu banyak waktu untuk memaklumi segala hal yang terjadi, menganggap ini adalah bentuk baktinya sebagai seorang anak. Lantas, seolah belum cukup semesta membuatnya merelakan begitu banyak hal hanya untuk menempuh jalan sebagai anak yang berbakti. Semesta mengujinya dengan membuat kondisi semakin rumit. Mengungkap sebuah rahasia yang tidak pernah ia tau ada. Jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi, dan Dini masih terjaga. Memegang secarik kertas usang yang sudah sejak lama dirinya baca. Isi surat itu lebih banyak soal permintaan maaf dan rasa sesal. Lebih banyak berisi ratapan dan memohon pengampunan dosa. Sebuah surat yang bagi Dini aneh, sebab dia tidak mengerti dosa apa yang harus ia ampuni dari sang Ibu hingga suratnya sedemikian sedih. “Jam 8 pagi, ayo kita ngobrol sama Ayah.” Setelah begitu lama terdiam, Dini akhirnya beranjak dari sofa. Enggan menatap sang kakak, yang sama terpukulnya atas informasi yang baru mereka terima. “Ayah lagi sakit, jadi biarin dia istirahat dulu sebelum kita tanya soal semua ini.” Untuk beberapa saat tak ada respon dari Dito, sebelum laki-laki itu menghela napas panjang. Memberi anggukan kecil, lantas berjalan lesu menuju kamarnya. Sementara Dini mengacak pelan rambutnya, ikut masuk ke kamarnya dengan lunglai. Benar, keputusan bijak menunda mencecar sang ayah ketika dia tau betul kondisi kesehatan sang ayah belakangan ini tidak bisa dikatakan baik. Sekarang Dini hanya perlu menunggu hingga pagi tiba, memberi ruang kepada sang ayah untuk beristirahat dan berharap kondisinya sudah lebih baik. Sehingga beliau bisa menjawab segala pertanyaan yang ada. Setidaknya itu yang Dini harapkan. Sampai sebuah teriakan di pagi hari menghancurkan harapan tersebut. *** “Cuman bisa sampai sini Pak. Jalanannya makin ke dalam makinsempit.” Ardi hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada salah satu bapak-bapak yang menghadang mobilnya memasuki sebuah gang sempit. Ia menghela napas, lantas menurunkan kaca mobilnya semakin ke bawah. “Maaf pak, numpang tanya rumahnya Dini di gang ini bener ya?” “Neng Dini? Oh bapak mau ngelayat ya, kalau gitu parkir aja di depan toko saya Pak.” Bapak-bapak berperawakan gendut tersebut langsung menunjuk sebuah toko sembako yang berada tepat di seberang pintu masuk gang. “Bener kok ini gangnya.” “Nggak ngerepotin Pak?” “Nggak pak, aman-aman. Parkir di sana aja.” Setelah mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya Ardi membelokkan mobilnya ke toko tersebut. Ketika mobilnya sudah terparkir rapi, cepat-cepat Ardi melepas jas hitam berwarna biru tua yang ia kenakan. Menggantinya dengan sebuah jaket hitam di kursi belakang, sebelum keluar dari mobil tersebut. Pagi ini, kantor dibuat tersentak akan kabar duka yang kembali datang dari Dini. Setelah beberapa minggu lalu kehilangan sang ibu, pagi ini Sweet Moments mendapat kabar bahwa ayah sang puan ikut menyusul. Tanpa sakit serius, tanpa tanda apapun. Ayah Dini meninggal dengan tenang di dalam tidurnya. Setidaknya itulah kabar yang Ardi dengar dari Hendra. Sebenarnya hari ini Ardi tidak datang ke kantor sama sekali. Dia ada seminar yang harus di datangi, secara dirinya diundang sebagai pembicara. Namun, sebaris pesan yang dikirim oleh Hendra jelas tidak bisa membuat pria itu bersikap abai begitu saja. Untung tempat dia memberikan seminar dan rumah Dini tidak berjarak begitu jauh, jadi Ardi bisa segera datang untuk melayat. Sesuai arahan yang diberikan bapak-bapak tadi, Ardi mudah menemukan rumah Dini. Mungkin karena berbagai bendera kuning yang terpasang di sepanjang jalan, seolah menjadi penunjuk kemana dirinya harus melangkah. Suasana depan rumah itu sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk di kursi-kusi tepat di bawah naungan tenda. Mudah sekali untuk menerka jika orang-orang itu adalah tetangga Dini sendiri. “Temannya Dini atau Dito Pak?” tanya salah seorang bapak-bapak bertubuh kecil yang langsung menyambutnya. “Lagi nggak ada orang disini, soalnya lagi ngubur. Bapak mau nyusul ke sana aja?” “Nggak papa Pak, saya tunggu disini aja,” tolak Ardi halus sembari mendudukkan dirinya di salah satu kursi kosong. Tepat di depan gerbang rumah tersebut yang terbuka lebar-lebar, ada sebuah meja pendek berbahan kayu diletakkan begitu saja. Beberapa buku yasin, air minum, dan baskom yang ditutup serbet diletakkan di sana. Ardi yakin sekali baskom tersebut dikhususkan untuk para pelayat meletakkan uang sebagai ucapan berbela sungkawa mereka. Dari barang-barang itu Ardi memilih meraih buku yasin yang ada, lantas mulai membaca doa seraya menunggu rombongan kembali. Tepat ketika Ardi mengakhiri doanya, di saat yang sama terdengar suara keramaian dari arah gang utama. Menunjukkan beberapa orang sudah kembali, para perempuan langsung berbincang satu sama lain mendiskusikan acara tahlilan nanti malam. Sementara para bapak-bapak membicarakan soal membereskan sisa-sisa alat pemandian jenazah yang masih tertinggal. Di tengah-tengah keramaian itu, ada sepasang anak muda yang terlihat begitu mencolok. Berbeda dari sebelumnya, kedua bersaudara tersebut terlihat begitu terpukul. Mata keduanya memerah, dan pucat bukan main. Saling berpegangan tangan, menyadari bahwa kini mereka hanya memiliki satu sama lain untuk bersandar. “Pak Ardi?” Baru sadar akan keberadaan sang bos besar, Dini melepaskan pegangan tangannya dengan Dito. Berjalan lebih cepat menghampiri Ardi. “Udah lama pak datang ke sini?”tanyanya sembari menoleh ke belakang. Entah mencari apa. “Tadi rombongan dari kantor langsung pulang setelah nganter ke TPU. Berarti udah lama ya pak disini?” “Nggak, saya baru aja datang. Kebetulan saya emang nggak ikut rombongan dari kantor.” Ardi menyodorkan salah satu tangannya, mengajak berjabat tangan yang dituruti oleh Dini. “Saya turut berduka cita ya. Bapak emang udah lama sakit?” “Semenjak Ibu meninggal, kesehatan Ayah terus menurun Pak. Cuman ya demam atau flu biasa aja, saya juga kaget tiba-tiba jadi begini,” Suara sang puan terdengar begitu parau, menandakan dirinya meraung-raung sedih atas kepergian sang ayah yang begitu tiba-tiba. “Terima kasih sudah menyempatkan datang kemari Pak Ardi.” Sebuah anggukan kecil diberikan Ardi, sebelum dirinya mengalihkan pandang ke arah Dito yang telah mendekat. Pria beralis tebal tersebut tersenyum tipis, lantas menjabat tangan Ardi. “Saya ikut berduka cita ya Mas Dito.” “Terima kasih sudah datang Pak Ardi.” Hening. Tidak ada lagi yang bicara di antara mereka, namun Ardi menangkap kalau kedua bersaudara tersebut memiliki sesuatu yang hendak dibicarakan dengannya. Dito bertukar pandang dengan sang adik sesaat, lantas menghela napas berat. “Pak Ardi saya sudah dengar cerita Dini soal hubungan anda dengan mendiang ibu saya.” “Oh iya, benar dulu ibu anda membiayai pendidikan saya. Kalau bukan karena beliau, saya tidak mungkin seperti ini sekarang. Makanya saya sangat menghormati beliau,” jawab Ardi dengan begitu tenang dan lancar. “Seperti yang saya bilang sebelumnya, kapanpun dan pertolongan apapun yang anda berdua butuhkan. Hubungi saya saja, saya sebisa mungkin menolong. Ini bentuk balas budi saya.” “Kalau begitu apa anda tau seperti apa hubungan Ibu dengan saya dan Dini?” Diam. Ardi tidak langsung menjawab, melainkan memandang ke arah lain. Seolah mencoba menyadarkan kedua bersaudara tersebut bahwa mereka berada di tempat ramai. “Saya tau. Namun, saya rasa bukan hal bijak menyeritakan hal itu di saat seperti ini.” Ardi menghela napas pelan. “Tolong selesaikan urusan kedukaan anda berdua dulu. Ketika semuanya sudah lebih stabil.” Tanpa disangka-sangka, Ardi mendadak memberikan sebuah kartu berwarna putih. Berisikan nama, nomor telpon dan alamat sebuah restoran yang ada di kawasan Setiabudi. “Silahkan temui saya, dan kita bisa membicarakan apa yang saya ketahui soal Ibu Ratih.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN