Tujuh

1229 Kata
Aneh. Sampai ini Dini masih tidak mengerti konsep dua orang yang berpisah namun tetap bisa berduka sedemikian dalam atas kepergian salah satunya. Sudah berminggu-minggu berlalu sejak sang ibu meninggal dunia, namun selama itu pula ayahnya terpuruk dalam kesedihan tak berkesudahan. Liat saja, kesehatan ayahnya semakin hari terus menurun. Awalnya hanya sakit kepala, lalu berubah menjadi flu dan puncaknya sang ayah sudah demam selama beberapa hari ini. Setiap di ajak ke rumah sakit, ayahnya terus menolak. Lebih memilih dibelikan obat dari apotek saja, dan kalau Dini memaksa sang ayah tidak akan segan-segan mengunci diri di kamar dan tidak keluar seharian penuh meski putrinya memohon berkali-kali. Dini menghela napas, menatap termomer digital di tangan yang menunjukkan suhu badan sang ayah masih sama seperti kemarin. Makannya sore ini pun masih tersisa banyak, mungkin hanya dimakan beberapa suap saja. “Ayah, kok makanannya nggak dihabisin sih?” Sebisa mungkin Dini menjaga nada bicaranya tetap rendah, beberapa hari lalu dia sempat tak sengaja menaikkan nada bicaranya dan alhasil ia dan sang ayah bertengkar perkara obat yang tidak diminum. Ia tidak mau bertengkar lagi. “Kalau makanannya nggak habis, gimana ayah mau sembuh coba?” Tak ada sahutan, sang ayah hanya sibuk menatap foto pernikahannya dengan sang ibu sembari duduk di tepian kasur. Sebuah pigura foto yang sebelumnya hanya dibiarkan teronggok begitu saja di bagian terdalam gudang rumah mereka. Dini bahkan tidak tau mereka memiliki pigura foto tersebut, sampai sang ayah yang mengeluarkannya sendiri beberapa hari sejak mereka kembali dari Bandung. Merasa sang ayah tidak bisa diajak bicara untuk beberapa saat, Dini memilih mengalah. Ia raih piring tersebut, lantas membawanya ke dapur. Membiarkan sang ayah berkutat dengan perasaan duka yang melingkupinya. Jujur saja Dini tidak bisa mengerti kenapa sang ayah bisa sedemikian terpukul atas kepergian sang ibu ketika mereka bahkan tidak pernah lagi bertemu bahkan berkomunikasi sejak berpisah 29 tahun yang lalu. Bukankah selama ini sang ayah sendiri yang membuat mereka bertiga menjalani hidup dengan berpikir ada atau tidak adanya sosok sang ibu hidup tetap berjalan seperti biasa. Suara deru motor yang berhenti di depan rumah, menarik perhatian Dini. Ia sudah hendak beranjak menuju pintu, namun kalah cepat dari Bi Yum yang baru saja keluar dari kamarnya. Asisten rumah tangganya itu begitu cepat keluar, mungkin di depan sana adalah tukang paket yang memang sudah ditunggu Bi Yum sejak lama. Secara setiap sebulan sekali, Bi Yum memang kerap mendapat kiriman makanan dari keluarganya yang ada di kampung. Itulah kenapa Dini kembali ke kesibukannya, membuat secangkir kopi. “Mas Dito!” Bisa dibayangkan sekaget apa Dini ketika mendengar nama kakaknya diteriakkan oleh Bi Yum. Sang puan menjadi berkali-kali lipat terkejut, ketika Dito yang seharusnya berada di Singapura mendadak pulang. Tidak ada koper ataupun tas jinjing yang tidak pernah ketinggal dibawanya setiap pulang ke tanah air. Ketidakadaan barang tersebut, menunjukkan Dito pulang dengan terburu-buru dan tanpa rencana. Namun, yang menarik perhatian Dini adalah ekspresi sang kakak yang seperti menahan marah. Terlebih ketika langkah berderapnya hanya tertuju ke satu titik. Kamar sang ayah. “Mas Dito, kok kamu tiba-tiba pulang?” tanya Dini sembari menyusul sang kakak masuk ke dalam ayah mereka. “Kamu kenapa Mas? Hey, kalau mau ketemu ayah nanti dulu. Ayah lagi sakit.” Semua ucapan Dini bagaikan angin lalu buat Dito. Kakak laki-lakinya itu tidak peduli fakta ayahnya sedang terduduk lemas di ujung kasur karena semakin hari nafsu makannya terus berkurang. Dia juga tidak peduli berbagai pertanyaan yang ditujukan padanya. Pria itu menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan nada bicaranya tidak naik ketika amarah melingkupi dirinya. Satu-satunya keputusan bijak yang bisa Dito ambil di saat seperti ini. “Ayah bisa jelasin isi surat ini?” Apa yang diacungkan oleh Dito adalah sebuah amplop berwarna putih usang. Sebuah amplop yang bentuknya kusut di beberapa sisi, mungkin efek sang kakak tak henti menggenggamnya terlalu kuat entah sejak kapan. Namun, Dini paham betul surat apa yang sang kakak acungkan di depan wajah sang ayah. Surat yang sang ibu tinggalkan untuk mereka berdua. Rupanya Dito telah memilih membuka dan membaca isinya, walaupun mereka berdua sudah sepakat untuk tidak membaca satu kalimat pun. Sekarang pertanyaannya, apa yang tertulis di surat tersebut hingga sang kakak terlihat sedemikian marah? Hening. Sang ayah terdiam lama, tangannya mengetuk-ngetuk bagian belakang pigura sebelum menatap putra tertuanya begitu dalam. Lantas beralih ke surat yang teracung di ujung hidungnya. “Apapun yang kamu baca, itulah kebenarannya.” “Ayah…,” gumam Dito teramat lirih. Amarahnya yang mendidih langsung hilang begitu saja. Tergantikan ekspresi bingung, terkejut, dan kecewa menjadi satu. “Kenapa rahasia sebesar ini kalian pendam sampai sekarang? Kalian sadar apa yang kalian lakuin? AYAH SADAR APA YANG AYAH LAKUKAN?!!” “MAS!” Dini tak tahan lagi. Kakaknya itu apa tidak melihat sang ayah sedang pucat bukan main, kenapa dia memarahi sang ayah sedemikian kencang. Seingatnya sang kakak begitu menghormati sang ayah hingga ke titik tidak pernah berdebat ataupun menaikkan nada bicaranya kepada beliau. Sekarang dia malah marah-marah dengan suara kencang yang bisa terdengar sampai keluar rumah? Apa kakaknya sudah hilang akal? “Kamu udah baca surat dari Ibu?” tanya Dito dengan mata yang sudah memerah. Entah karena menahan tangis, atau saking banyaknya amarah yang ia biarkan tertumpuk di dalam hati. “Baca sekarang.” “Aku nggak mau.” Sebuah gelengan kuat diberikan oleh Dini. “Bukannya kita udah sepakat untuk nggak baca surat itu Mas? Aku paham dia ibu kita, tapi apapun isi suratnya dan apapun penjelasan kenapa dia menelantarkan kita. Kita berdua sepakat untuk nggak tau menahu soal itu, sama seperti dia yang nggak peduli sama keberadaan kita selama ini.” “Din, kamu harus baca surat itu sekarang.” Dito mencengkram bahu sang adik teramat kuat, nampak frustasi. Ia berdecak, lantas menyodorkan amplop di tangannya. “Kalau kamu nggak mau baca bagianmu. Baca punya kakak, baca setiap kata yang tertulis disana dan kamu akan paham kenapa Mas semarah ini sama Ayah.” Hening. Dini menatap amplop tersebut ragu. Ia mengigit bibir, melirik ke arah sang ayah yang semakin pucat. “Kita obrolin di luar ya Mas, Bi Yum tolong jaga ayah sebentar.” Secara sepihak Dini menarik Dito keluar dari kamar sang ayah. Melihat dari suasana di dalam kamar tadi, Dini yakin sekali apapun yang ingin dibicarakan sang kakak bukanlah hal yang baik. Ayahnya sedang sakit, jadi tidak mungkin dia membiarkan beliau merasakan pergolakan emosi. Bisa-bisa terjadi hal yang tidak ia inginkan. Ketika amplop milik Dito telah berpindah tangan, pria tersebut langsung luruh ke lantai. Terduduk sembari bersandar ke dinding, matanya menatap kosong langit-langit rumah mereka lantas membisu. Dalam hening yang terasa mencekik itu, Dini mengeluarkan selembar kertas dari dalam sana. Lantas membaca isinya dengan teramat perlahan. Memastikan tidak ada satupun kata yang terlewat. Dini tidak sadar bahwa dalam diam, sang kakak memperhatikan perubahan ekspresinya. “Mau kamu baca berapa kalipun, kalimat itu nggak akan berubah Dini.” Seolah sadar Dini tak percaya akan kalimat yang ia baca, Dito mulai berkomentar. “Sekarang kamu paham kenapa Mas marah kan?” Untuk kesekian kali hening melanda. Dini membisu, lantas menjatuhkan begitu saja surat di tangannya. Tidak percaya akan satu paragraf pesan yang tertulis disana. Berisikan kalimat berbunyi. ‘Anakku, Dito. Ibu dan Ayah punya satu dosa besar yang sampai kapanpun akan kami tanggung. Selama kami berdua hidup, Ibu akan menghormati keputusan ayahmu untuk merahasiakan dosa besar ini. Namun, jika kamu menerima surat ini, itu artinya ibu telah tiada. Dan, ibu tidak bisa menanggung beban rahasia ini begitu lama. Nak, Dini bukanlah adik kandungmu.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN