Tiga

1967 Kata
Hening melanda ruangan. Remasan Dini semakin mengencang pada roknya, buah dari rasa gugup yang menyelimutinya sedaritadi. Ia melirik wajah Ardi, takut-takut kalau pertanyaannya terasa menyinggung namun sebaliknya. Wajah muram yang sempat Dini lihat di pemakaman saat itu, kembali terlihat untuk sesaat sebelum sang pria menghela napas cukup berat. Tanpa berkata apa-apa, Ardi bangkit dari duduk. Menghampiri lemari di sudut ruangan, lantas membuka salah satu laci di dalamnya. Mengeluarkan sebuah kotak dari dalam sana. Kotak itu dibuka tepat di hadapan Dini, sehingga ia dapat melihat apa isinya. Beberapa buku catatan yang sudah menguning, album foto, dan dua tumpuk surat yang diikat menjadi satu menggunakan karet. “Ini semua peninggalan Bu Ratih yang dititipkan pada saya sebelum beliau sakit.” Bersamaan dengan Dini yang melempar tatapan penuh tanda tanya padanya, Ardi kembali berbicara. “Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang dibantu beliau untuk melakukan langkah pertama dalam menggapai mimpi.” Salah satu album foto yang berada paling bawah, Ardi keluarkan lantas dibukanya tepat di hadapan Dini. Menunjukkan foto sang ibu dengan beberapa orang, semuanya diambil saat acara wisuda. Dari album foto tersebut, ia mengenali wajah beberapa orang. Salah satunya anggota parlemen termuda yang menjadi orang penting pertama yang datang pada pemakaman ibunya. Semakin banyak lembar album yang terbuka, Dini dapat melihat bagaimana paras sang ibu semakin menua tiap tahun. Namun, sang ibu yang tersenyum namun matanya menyorot kesedihan mendalam sukses membuat Dini merasa tidak nyaman. “Kamu pernah dengar tentang Daddy Long Legs?” tanya Ardi mengalihkan pandangan Dini kembali padanya. Sang puan terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Bu Ratih kasarnya seperti itu. Beliau selalu memberi bantuan finansial kepada mereka-mereka yang terhalang kondisi finansial untuk melanjutkan pendidikan. Targetnya kebanyakan para anak yatim piatu. Nama penanya Didi. Beliau tidak pernah memberi tau siapa ia selama masih membiayai pendidikan seseorang. Hingga di acara kelulusan, barulah beliau menunjukkan diri siapa ia sebenarnya.” “Bapak juga?” “Ya, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya salah satu orang yang mendapat bantuan dari Bu Ratih.” Ardi menatap tumpukan album foto di dalam kotak, sebelum menarik salah satunya. Hanya butuh waktu beberapa menit, hingga sang bos menunjukkan potret dirinya di album tersebut. Sebuah foto yang diambil depan sebuah air mancur yang sangat familiar untuk Dini. “Saya satu almamater sama kamu.” “Bagaimana bisa….” Lirih Dini teramat pelan, tanpa sadar meremat salah satu lembar album foto. “Bagaimana bisa beliau membantu banyak orang, ketika anaknya sendiri ia telantarkan.” Kalimat itu jelas menyakitkan. Ardi dibuat terdiam akan lirihan itu, namun berusaha bersikap tak mendengarnya. Mau bagaimanapun, Dini memiliki hak untuk merasa kecewa saat ini. Ibu yang tak pernah ia rasakan kehadirannya, justru menjadi penyelamat bagi orang lain jelas menyakitinya. Alih-alih anaknya sendiri yang dilimpahkan kasih sayang, justru orang lain yang merasakan kasih sayang itu. “Tentang apa yang selama ini Bu Ratih lakukan semasa hidup, bisa kamu temui jawabannya di dalam kotak ini.” Kotak tersebut kini diserahkan sepenuhnya pada Dini. “Dua tumpuk surat yang diikat menggunakan karet itu, adalah surat yang selama ini Bu Ratih tulis untuk kedua anaknya namun tak pernah beliau kirimkan.” “Baik Pak, saya ucapkan terima kasih karena sudah menjaga peninggalan ibu saya ini,” ujar Dini memasukkan kembali semua album tersebut ke dalam kotak, namun dua tumpuk surat ia keluarkan dari dalam sana. Bersiap untuk keluar dari dalam ruangan, mengingat jam operasional mereka akan segera dimulai. “Saya yang harusnya berucap terima kasih ke kamu,” balas Ardi tenang menahan diri untuk tak bertanya mengapa dua tumpuk surat itu Dini keluarkan dari dalam kotak. “Ibu kamu berjasa besar di dalam hidup saya dan banyak orang.” “Rasanya kata terimakasih itu tidak bisa saya terima Pak. Apapun yang dilakukan Ibu di masa lalu tak ada kaitannya dengan saya. Jadi bapak simpan saja rasa berterima kasih itu untuk Ibu seorang.” Walau diucapkan dengan nada tenang dan senyuman, Ardi bisa menangkap nada getir di dalam setiap kalimat Dini barusan. Sang puan bangkit dari duduknya, memegang kotak tersebut dengan erat agar tidak terjatuh. “Saya pamit ya Pak Ardi. Maaf jika urusan keluarga saya jadi menyeret bapak seperti ini.” “Tidak masalah, kalau kamu ada masalah kedepannya bilang saya. Membantu kamu dan kakakmu menjadi satu-satunya cara untuk membayar hutang budi saya kepada Bu Ratih.” Dini ingin menyanggah, namun rasanya tak sopan mengatakan itu kepada bosnya sendiri. Apalagi ketika Ardi merasa berhutang budi kepada ibunya. Ya di masa depan pun, rasanya Dini takkan meminta pertolongan kepada laki-laki ini jadi ia hanya mengangguk kecil lantas keluar dari ruangan. Langkah Dini terhenti kala suara Ardi memanggilnya kembali terdengar, mendapati bahwa sang pria menatap lekat apa yang berada dalam genggamannya. “Kalau surat-surat itu berencana kamu buang, lebih baik diberikan ke saya saja.” *** “Mbak Dini, berkasnya udah dipilah?” Pertanyaan yang diajukan kepada Dini tepat ketika dirinya hendak bersiap pulang, membuatnya tersentak. Dirinya mendapati Rijal, salah satu pekerja kebersihan di kantor menghampiri sembari menyeret sebuah troli berisi tumpukan kardus. Dini tau betul kardus-kardus apa itu, sehingga dirinya segera melirik kalender di atas meja. Sang puan menepuk dahi, diam-diam merutuki diri karena melupakan jadwal terpenting di Sweet Moments. Setiap bulan di minggu kedua, adalah hari memilah arsip. Untuk mereka yang bekerja di tim perencanaan diwajibkan memilah arsip data klien mereka untuk disimpan di ruang arsip, sehingga tidak terjadi penumpukan kertas di meja kerja. Sebuah peraturan yang dibuat oleh Hendra, sebab suatu insiden yang pernah terjadi di awal berdirinya event organizer tersebut. Insiden yang sampai saat ini masih menjadi misteri bagi mereka yang tak berada di masa-masa itu, termasuk Dini. “Kamu mau nungguin bentar nggak ya, Jal? Saya lupa banget kalau hari ini jadwalnya.” Dini memasang raut wajah tak enak, sebab meminta Rijal menunggu hingga ia selesai memilah arsip sama saja dengan meminta sang pria untuk lembur malam ini. “Nggak papa Mbak, saya tiap jadwalnya memang lembur kok. Malah dikasih uang lemburan lebih gede sama Pak Bos.” Rijal berusaha menenangkan Dini yang dengan terburu-buru melepas sepatu hak tingginya, lantas menarik keluar tumpukan arsip dari bawah meja. “Santai aja mbak, timnya Mas Axel juga belum selesai kok.” Dini menoleh ke arah tim yang dimaksud Rijal. Tim perencanaan 3 acara musik, selalu menjadi divisi terakhir yang menuntaskan agenda ‘bersih-bersih’. Sudah menjadi rahasia umum, jika divisi acara musik selalu mendapatkan klien yang banyak. Selain klien yang banyak, setiap acara yang dibuat mereka akan bekerja sama dengan banyak pihak ketiga sehingga berkas tiap acara menjadi lebih banyak. Namun, dari lima tim yang ada. Tim 3 selalu menjadi tim yang kerepotan di hari memilah arsip. Sebelum beranjak pergi mengambil kardus dari tim lain, Rijal menyempatkan membantu Dini dengan memberikan kardus siap pakai. Tindakan yang membuat Dini mengingatkan diri sendiri bahwa besok dia harus menraktir Rijal sebagai bentuk terima kasih. Untungnya, berkas yang dimiliki Dini sudah tersusun rapi. Sehingga ia tak perlu mengecek satu-persatu arsip klien mana saja yang masih ia butuhkan. Setiap tema baru nan unik diberikan klien dari hasil pemikiran mereka, Dini masukkan ke dalam satu arsip khusus tema. Sementara hasil evaluasi tiap acara, ia satukan pula. Sehingga Dini tidak perlu berlama-lama untuk mempertimbangkan arsip mana saja yang harus disimpan ke ruang arsip. Mata Dini tanpa sadar tertuju pada kotak yang diberikan Ardi pagi tadi. Kotak yang memang sengaja ia letakkan di bawah meja, sebab terlalu bimbang untuk membawanya ke rumah. Namun, entah kenapa melihat kotak itu kembali ada rasa penasaran yang menggelitik Dini. Ia tarik keluar kotak tersebut, lantas mengeluarkan sebuah album foto yang dipilihnya asal. Di lembar pertama, Dini langsung disambut oleh potret sang ibu dengan salah satu artis yang namanya sedang melambung tinggi. Potret di lembar kedua, lantas membuatnya terdiam. Tak seperti potret lainnya, potret tersebut terlihat berbeda. Alih-alih toga, sosok perempuan yang mendampingi sang ibu mengenakan jas putih. Di belakangnya ada banner besar bertuliskan “Pengucapan Sumpah Dokter”, tanpa sadar tangan Dini terkepal melihat itu. Dokter. Cita-cita yang harus ia telan bulat-bulat, bahwa sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud. Kondisi ekonomi ayahnya yang memburuk di saat dirinya hendak masuk ke jenjang perkuliahan, membuat Dini urung memasukkan pilihan itu sebagai pilihan pertamanya. Siapa sangka, disisi lain ibunya justru bisa menyokong biaya untuk anak lain hingga menjadi dokter. “Permisi.” Refleks Dini menutup album foto tersebut, mendapati sosok laki-laki dengan tubuh tinggi berdiri di depannya. Wajahnya jelas asing karena tertutup masker, namun jika mengatakan pemuda itu adalah salah satu klien rasanya tidak mungkin. Jam operasional mereka sudah selesai, front office tidak mungkin mempersilahkan klien untuk masuk ke area kantor di jam seperti ini. “Ruangan Mas Ardi di mana ya?” “Ah, ruangan Pak Ardi dari lift sana Bapak bisa belok ke kanan. Ruangan beliau ada di posisi paling ujung,” jelas Dini menunjuk lorong menuju ruangan Ardi. “Mau saya antarkan saja Pak?” “Nggak papa Mbak, saya sendiri aja. Makasih ya, maaf menganggu.” Pria itu tersenyum kecil, lantas berjalan menuju arah yang ditunjuk Dini. Menghampiri seorang perempuan yang berdiri di dekat meja tim 1 divisi pernikahan, posisinya yang membelakangi area kantor membuat Dini tidak bisa melihat jelas wajahnya. Namun, Dini terkejut bukan main kala perempuan itu menunjukkan wajahnya. Menampakkan sosok yang sama dengan perempuan yang ia lihat barusan. Sosok perempuan yang dibantu sang ibu untuk meraih gelar dokter. *** “Loh, kok kalian baru sampai?” Seruan yang diucapkan Hendra dengan lantang barusan, membuat Ardi mengalihkan pandang ke pintu. Mendapati dua orang yang sudah dinantikan kehadirannya sedari tadi telah tiba. Ardi bangkit dari duduk, ikut menghampiri. Sang puan yang raut wajahnya cerah mendadak berubah sendu lantas bergerak memeluk Ardi erat. “Kita tadi ngelayat makamnya Bu Ratih dulu, Mas.” Rio menjelaskan terlebih dahulu, sebelum orang-orang salah paham kalau dialah penyebab sang puan menangis. “Tamara merasa bersalah banget karena nggak bisa datang pas pemakaman.” “Hey, nggak masalah kalau kamu nggak bisa datang kemarin.” Ardi melepas pelukan Tamara pelan, lantas menghapus jejak airmata di pipi sang puan. “Sekarang kamu cukup doain beliau aja, itu udah lebih dari cukup.” “Dek lo nggak mau meluk gue juga?” Rio mendesah malas, menoleh ke arah Hendra yang kini menatapnya dengan kerlingan manja. Kakak kandungnya itu kini mengembangkan senyum jahil, sembari merentangkan tangan. Meminta sebuah pelukan. “Bang, geli ah.” Bagaikan mantra ajaib, tangisan Tamara terhenti ketika dua kakak beradik tersebut mulai bertengkar di depan matanya. Pertengkaran dua bersaudara yang telah ia kenal sejak masa putih biru itu, selalu lucu untuk dilihat. Sebab walau terlihat seperti tidak menyayangi satu sama lain, Tamara tau betul seberapa erat ikatan keduanya. Terbukti dari tumpukan oleh-oleh yang dibawa Rio untuk sang kakak dari perjalanan bisnis mereka. Tamara adalah satu-satunya orang dari panti asuhan yang tetap dianggap Ardi sebagai keluarga. Nasib keduanya menjadi anak yang tidak diangkat siapapun hingga umur 17 tahun, membuat mereka menganggap satu sama lain sebagai saudara kandung. Itulah mengapa, menjelang Tamara harus keluar dari panti asuhan dikarenakan usianya sudah dianggap mampu untuk hidup sendiri. Ardi tanpa ragu menyakinkan Tamara bahwa ia yang akan bertanggung jawab mengenai kebutuhannya bagaikan seorang kakak kandung. Untungnya Bu Ratih saat itu memutuskan untuk membiayai kuliah Tamara pula, sehingga Ardi hanya butuh mencukupi biaya hidup mereka. Bagaimanapun kondisi keduanya saat ini, berkat bantuan dari Bu Ratih. Itulah mengapa wajar Tamara sedih bukan main atas kepergian beliau. Terutama ketika ia tak bisa mengabarkan kabar baik yang sudah sangat ia nantikan untuk diberitahu ketika kembali ke tanah air. “Jadi sudah ada kejelasan?” Baik Tamara maupun Rio sama-sama saling melirik akan pertanyaan Ardi barusan. Mereka tau itu adalah pertanyaan basa-basi, sebab tak mungkin ia tak tau sama sekali akan kabar baik yang mereka punya. Terutama Hendra yang jelas tak pandai berakting tak tau apapun. Rio tersenyum, memeluk pinggang Tamara yang langsung menutup wajahnya malu-malu. Lantas keduanya memamerkan cincin di jari manis satu sama lain. “Kakak-kakak, bantuin pernikahan kita ya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN