Pemakaman diadakan secara khidmat.
Ada banyak sekali airmata yang jatuh mengiringi doa untuk ia yang telah tiada. Sayup-sayup kalimat terimakasih juga mengiringi kala jasad telah dikembalikan ke dalam tanah. Dini dibuat termenung sendiri. Hingga saat sang ibu diantarkan ke peristirahatan terakhirnya, dengan sang ayah dan kakak yang meletakkan jasad beliau, rasa sedih itu tak ada. Sebuah perasaan yang ia yakini dirasakan sama oleh sang kakak. Aneh rasanya melihat banyak orang berduka untuk ibumu, ketika kamu bahkan tidak merasakan apa-apa atas kepergiannya.
“Ibu kalian meninggalkan surat.”
Kedua kakak beradik itu dibuat termenung, ketika sang ayah menyorongkan dua buah surat yang sudah mulai menguning kepada mereka. Dini yang hendak membuka surat itu, langsung mengurungkan niat kala melihat sang kakak hanya memasukkan surat itu ke dalam kantong celana. Tak berniat sama sekali membaca isinya. Ia malah menatap sang ayah penuh khawatir. “Ayah nggak papa? Pegal nggak badannya?”
“Ayah baik-baik saja Dito.” Sang ayah melirik ke arah pekarangan, di mana para pelayat masih berdatangan. “Sepertinya malam nanti yang datang mendoakan ibumu akan lebih banyak dari perkiraan. Ada banyak yang harus kita siapkan.”
“Biar itu Dito sama Dini aja yang atur. Ayah istirahat aja di kamar.” Dito mengarahkan sang ayah ke kamar yang biasa ditempati sang ibu. “Dari semalam Ayah nggak ada tidur, istirahat aja dulu.”
Ada pancaran mata penuh penolakan yang dilempar sang Ayah, namun beliau menyadari percuma saja berdebat dengan si sulung. Beliau menghela napas, sebenarnya menyadari bahwa kedua anaknya berada dalam posisi serba kebingungan. “Ayah minta maaf ya Nak, membuat kalian berdua dalam posisi seperti ini.”
“Ayah istirahat aja, nggak usah pikirin hal lain dulu.” Kini giliran Dini yang membujuk, memberi tanda kepada sang kakak untuk bergegas kembali menemui para pelayat. Tidak enak rasanya jika sang tuan rumah meninggalkan para tamu begitu lama. “Aku anterin Ayah dulu.”
Dini mengantarkan sang ayah ke kamar depan, untuk pertama kali memasuki kamar milik sang ibu setelah menginjakkan kaki di rumah tua ini. Tak banyak yang bisa dilihat di dalamnya. Ada satu buah kasur dengan sprei usang di tengah kamar, meja kerja yang menghadap sebuah jendela tertutup tirai, serta sebuah lemari baju berbahan kayu. Melihat kamar ini, membuat keanehan yang ia rasakan benar adanya. Rumah ini tak memiliki satupun foto yang menghiasi.
“Kamu dapat cuti berapa hari nak?” Pertanyaan itu mengalihkan perhatian Dini, ia menoleh kepada sang Ayah yang sudah mendudukkan diri di atas kasur. “Sama seperti kakakmu? 4 hari?”
“Sebenarnya besok aku harus udah kembali ke Jakarta, Yah.” Dini mengusap tengkuknya merasa tidak enak. “Aku punya banyak projek yang harus diselesaikan, jadi nggak bisa izin terlalu lama.”
Ayahnya terdiam, ada banyak kekecewaan yang tertera jelas dari raut wajahnya. Namun, beliau tetaplah orang yang mengutamakan sang anak daripada apapun. Ia tau bahwa putri kecilnya kini mempunyai sebuah tanggung jawab, maka ia menghela napas lantas tersenyum. “Yaudah, kamu bantu kakakmu dulu ya. Ayah mau istirahat sebentar.”
Segera setelah memastikan sang ayah mulai terlelap, Dini segera membawa dirinya menuju area halaman belakang. Ukuran dapur yang tidak begitu luas, membuat proses memasak dipindahkan ke halaman belakang. Ada berbagai kuali besar berisi makanan yang sedang dimasak, sementara di sisi lain ada pula para ibu-ibu yang sibuk menyiapkan bahan makanan lain sembari bercengkrama. Percakapan itu lebih banyak diisi dengan bahasa sunda yang tak ia mengerti, namun Dini bisa merasakan kedekatan warga di area ibunya tinggal.
“Bi Tini,” panggil Dini segera duduk di sebuah kursi kayu pendek tepat di sebelah Bi Tini. “Porsi makanan buat nanti malam kalau ditambah masih bisa kekejar nggak masaknya?”
“Masih bisa Nak, memang kamu mau tambah berapa?”
“Mungkin tambah 100 aja dulu ya Bi, soalnya tadi yang bilang mau datang lagi nanti malam sekitar segitu.” Dini mengeluarkan dompetnya, menarik beberapa lembar pecahan uang 100 ribu dan memberikannya pada Tini. “Ini Bi, buat biaya tambahannya. Nanti kalau kurang bilang aku aja.”
“Yaudah, Dini sekalian minta Dito ke rumah Pak Kepala Desa. Bilang bahwa kemungkinan nanti malam akan banyak orang yang datang, jadi beliau bisa membantu keamanan nanti malam.” Bi Tini mengulas senyum lembut. “Urusan jamuan dan acara nanti malam biar Bibi yang urus. Kalian temui saja para tamu yang datang.”
Ucapan itu dibalas anggukan pasti dari Dini. Ia sekali lagi menyampaikan maaf karena tidak bisa banyak membantu di dapur, sebelum bergerak menuju bagian depan rumah. Hendak menghampiri sang Kakak yang sedang berbicara dengan seseorang di halaman depan. Posisi lawan bicara yang membelakangi pintu masuk, membuat ia tak menyadari siapa orang tersebut.
“Kak, Bibi bilang kita harus buat laporan keramaian ke Kepala Desa. Terus tadi aku tambah porsi buat nanti malam sekitar 100 porsi itu cukup kan ya?” Tepat setelah menyelesaikan kalimatnya, Dini dibuat terdiam kala menyadari siapa lawan bicara Dito. Sosok pria berkacamata dengan baju koko putih, serta sebuah kopiah hitam di kepala. Jelas tak menyangka bahwa sosok yang kerap dijadikan gosip kantornya, akan menjadi salah satu orang yang datang melayat sang Ibu. “Pak Ardi kenapa disini?”
Ardi Laksmana. Pemilik Sweet Moments di mana ia bekerja hanya tersenyum. “Saya punya hutang budi dengan Bu Ratna, itulah mengapa saya menyempatkan untuk datang. Kamu sendiri kenapa bisa disini Dini?”
“Dini ini adik saya Mas. Seperti yang sudah saya bilang, kami adalah anak Bu Ratih.” Dito mengambil alih pembicaraan, tau bahwa sang adik terkejut bukan main melihat kehadiran sang atasan. Belum sempat, Dini sembuh dari keterkejutan ada pria lain yang datang. Ikut terkejut melihat sosok Dini.
“Loh Din, kok kamu disini?”
“Hendra, Dini anaknya Bu Ratih.”
Sekarang siapa sebenarnya sang ibu hingga dua orang penting di kantornya sendiri, sukarela datang untuk mengucapkan belasungkawa?
***
“Saya nggak tau kalau kamu anaknya Bu Ratih.”
Hanya senyum tipis yang diberi oleh Dini, kala untuk kesekian kalinya Hendra menyuarakan ketidak percayaannya. Wakil direktur sekaligus salah satu pendiri Sweet Moments itu baru saja tuntas membaca doa-doa yang diperuntukkan sang ibu. Sama seperti orang-orang ternama lainnya yang datang tanpa tangan kosong, keduanya datang dengan dua kotak besar buku doa-doa dengan nama dan potret ibunya tercetak jelas di halaman depan. Sukses menampar Dini untuk kesekian kali, bahwa ia tak lebih mengenal dan menyayangi sang ibu daripada orang-orang asing ini.
“Maaf Pak, kalau boleh tau bapak kok bisa kenal sama ibu saya?”
Pertanyaan itu membuat Hendra menghela napas, pandangannya kini tertuju pada sosok Ardi yang duduk beberapa baris di depan mereka. Masih khusyuk merapal doa. “Bu Ratih itu guru SMA saya dan Ardi dulu pas di Bandung.” Di depan sana, Ardi menuntaskan doanya lantas bangkit. Berdiri lama di hadapan potret Ratih yang memang dipajang di salah satu deretan papan bunga yang ada. “Saya tak terlalu dekat dengan beliau, tapi untuk Ardi beliau salah satu orang yang berjasa di hidupnya.”
Jawaban Hendra itu sukses membuat Dini bungkam, bingung harus berkata apa. Dari tempatnya, ia melihat bagaimana tangan Ardi terangkat mengusap salah satu sisi wajahnya. Pria itu menangis dalam diam. Airmata yang jatuh karena kepergian seseorang, jelas menunjukkan seberapa besar kehadiran orang tersebut berarti. Melihat Ardi bisa menangisi kepergian sang ibu, membuat Dini kembali bertanya-tanya durhakakah dia yang tak merasa berduka sedikitpun?
Ketika Ardi akhirnya berbalik dengan mata memerah, Dini bergegas berdiri menyambut sang bos yang menghampiri mereka. “Pak Ardi, sekali lagi saya berterimakasih karena telah datang untuk berbela sungkawa. Terimakasih juga untuk buku yasin yang bapak sama Pak Hendra bawa.”
“Sama-sama, apa yang saya beri hanyalah hal sedikit jika dibandingkan apa yang telah almarhumah berikan pada saya.” Ardi menatap untuk terakhir kali potret Ratih yang tersenyum dalam balutan seragam dinas mengajarnya. “Kamu cuti sampai kapan?”
“Besok saya sudah pulang Pak. Kebetulan masih ada banyak sekali pekerjaan yang saya tinggalkan.” Dini dapat melihat sendiri bagaimana dua orang penting perusahaannya itu tertegun mendengar jawabannya itu. Keduanya saling melempar pandang, sebelum akhirnya sama-sama menghela napas. Reaksi mereka jelas menunjukkan seberapa mereka tak percaya akan keputusan Dini yang memilih pekerjaan di kondisi seperti ini.
“Tidak perlu pusingkan pekerjaan saat ini. Selesaikan saja dulu segala urusanmu disini, saya akan memberi kamu waktu. Ini juga permintaan saya sebagai seseorang yang menghormati ibumu.” Ardi berucap final. Siapalah Dini yang bisa menolak kala atasannya sendiri sudah berkata demikian. Ia hanya mengangguk kecil sebagai balasan. “Saya dan Hendra pamit, maaf tidak bisa mengikuti acara doa nanti malam.”
“Sekali lagi terimakasih sudah datang, Pak.”
Kedua pria tersebut mengangguk kecil, sekali lagi mengucap kalimat berbelasungkawa sebelum berlalu pergi. Dari tempatnya Dini bisa melihat bagaimana keduanya menghampiri sang kakak yang baru saja kembali dari kantor kepala desa. Terlihat mereka menolak ajakan Dito untuk menetap lebih lama, sebelum akhirnya sang kakak menyerah membujuk. Mengucapkan terimakasih seperti yang Dini tadi lakukan, sebelum akhirnya mengantar kedua orang itu ke tempat di mana kendaraan mereka terparkir.
Meninggalkan Dini dengan sederet pertanyaan yang tak terjawab, namun menemui titik terang kepada siapakah ia harus mendapatkan jawaban itu.
***
Delapan hari dibutuhkan Dini untuk menyelesaikan semuanya.
Banyak sekali pemberian yang datang dalam setiap acara doa yang digelar keluarganya. Saking banyaknya, membuat beberapa pemberian itu diberikan kepada orang yang membutuhkan. Selama itu pula frekuensi Dini bertemu dengan orang-orang ternama di negeri ini meningkat tajam. Setiap harinya, akan ada dua sampai 5 orang yang datang dan menyita perhatian warga sekitar.
Rumah usang di mana ibunya selama ini tinggal, akhirnya diputuskan akan ditempati oleh Bibi Tini. Baik Dini sama Dito tak ada yang berniat untuk mewarisinya. Membiarkan rumah yang katanya tempat di mana dulu keluarganya ketika masih utuh itu tinggal, berada dalam perawatan sang bibi. Tak ada satupun ikatan yang keduanya rasakan untuk mewarisi rumah itu.
Ketika Dini tiba di kantor, semua orang berbondong-bondong menghampiri. Mengucapkan kalimat berbela sungkawa hingga sederet kalimat penghiburan yang hanya bisa ia balas dengan seulas senyum. Tak mungkin bukan ia memberi tau orang-orang bahwa dirinya tak perlu dihibur akan kepergian sang ibu yang tak pernah berpresensi dalam hidupnya.
Namun, ada sebuah daftar panjang pertanyaan yang mengakar dalam pikiran Dini saat ini. Itulah sebabnya, setelah menumpuk map berisi pekerjaan yang sempat ia tinggalkan menjadi satu. Sang puan pergi ke ruangan terujung di lantainya. Ruangan terbesar di lantai ini, ruangan direksi.
"Mau bertemu Ardi ya?"
Dini tersentak, saat Hendra mendadak membuka pintu kantornya yang berada tepat di sebelah milik Ardi. Ia jelas tak menyangka, bahwa bosnya yang satu itu akan datang sepagi ini. Lebih pagi dari kedua sekretaris mereka yang bahkan belum menampakkan diri di posisi masing-masing. Jika itu Ardi, Dini akan biasa saja secara sang pria memang terkenal suka datang pagi-pagi sekali. Berbeda dengan Hendra yang terkadang datang mepet jam masuk, atau baru datang setelah jam makan siang. Secara tugasnya lebih banyak berada di luar kantor.
"Iya Pak, kebetulan saya ingin menanyakan sesuatu sebelum jam kantor dimulai."
"Masuk aja, saya nitip ini sekalian ya." Sebuah kantong plastik berwarna merah Hendra berikan kepada Dini. "Dini mau bubur juga nggak buat sarapan? Saya bawa banyak loh."
Pintu ruangan sengaja Hendra buka lebih lebar, untuk menunjukkan tumpukan plastik yang memenuhi mejanya. Dini memang tau kalau bosnya yang satu ini suka sekali membagikan sarapan ke orang kantor, namun ini kali pertama ia melihat langsung berapa banyak yang pria itu bawa untuk berbagi makanan. Secara biasanya yang kebagian sarapan gratis dari beliau adalah orang-orang keuangan yang kantornya di lantai bawah. "Terimakasih pak, tapi nggak dulu."
"Oke, jangan lupa kasih ya. Dia kalau nggak sarapan, bisa-bisa nggak makan seharian ini." Hendra menyempatkan mengedipkan sebelah mata menggoda sebelum akhirnya menutup pintu. Membuat Dini kini fokus kepada tujuan awalnya.
Ia mengetuk beberapa kali pintu, sebelum terdengar samar suara seseorang menyuruhnya masuk. Ketika pintu terbuka, Ardi hanya menatapnya sekilas dan menyuruhnya duduk sebelum kembali fokus pada layar laptop dihadapannya. "Pasti itu Hendra yang suruh kamu bawa kan?"
Dini tersenyum kecil, lantas meletakkan kantung plastik yang ia bawa ke atas meja. "Iya Pak, katanya bapak bisa nggak makan seharian kalau nggak sarapan."
Layar laptop lantas direndahkan oleh Ardi, sebagai tanda bahwa ia kini memusatkan fokus pada lawan bicara. "Jadi, ada apa Dini kamu mau bertemu saya sepagi ini?"
"Maaf pak, kalau saya lancang menganggu sepagi ini. Cuman, saya rasa pertanyaan saya cuman bisa dijawab oleh bapak sekarang." Dini mendadak merasa bimbang, bagaimanapun orang di depannya ini adalah pemegang kekuasaan tertinggi tempatnya bekerja. Rasanya tak pantas menanyakan sesuatu yang jelas diluar ranah profesi mereka. Apalagi pertanyaannya secara tak langsung meminta Ardi untuk membicarakan kehidupan pribadinya.
"Kamu mau bertanya apa?"
"Sebenarnya apa yang Ibu saya lakukan selama hidup?"