“Kok kamu masukkin garam?”
Seruan keras itu, jelas mengagetkan sang puan berdiri di dekat mesin kopi. Tersadar dari lamunan, untuk mendapati bahwa ia baru saja memasukkan satu sendok penuh garam ke dalam teh yang baru saja terseduh. Dia meringis, segera membersihkan kekacauan yang baru saja dibuatnya.
“Kamu hari ini kayaknya lagi sial ya Dini.”
Celetukkan itu membuat Dini terkekeh mendengarnya. Bingung bagaimana harus menanggapi tuduhan itu, namun ucapan sang rekan kerja benar adanya. Dimulai dari sepatu hak tingginya patah tepat di lobi kantor, kartu pengenal yang ternyata tertinggal di rumah, salah mengambil materi rapat, dan sekarang ia menuangkan garam ke tehnya sendiri. Bahkan ini belum ada 5 jam ia berada di kantor. Hari ini benar-benar aneh.
“Udah, lo makan dulu aja Din. Mungkin lo laper jadi nggak fokus.” Fian menepuk kursi kosong tepat di sampingnya, tak lupa dengan baik hati memberikan kotak makan siang yang memang disediakan oleh kantor mereka. Bapak satu anak itu benar-benar terlihat khawatir akan apa yang menimpa rekan satu divisinya itu. “Lagi ada masalah lo?”
“Serius aku nggak papa, Mas, Mbak.” Dini mendudukkan diri tepat di samping Fian, menolak kotak makan yang diberi. Menunjukkan satu buah roti lapis yang sengaja ia pesan sebagai makan siang. Nafsu makannya hilang sudah. “Pekerjaan juga lagi nggak ada masalah kok. Emang kayaknya aku lagi error aja hari ini.”
“Kecapekan deh kamu kayaknya.” Natasya menyahut, mengingat ia juga yang menyaksikan bagaimana Dini terjerembab di lobi karena sepatunya yang tiba-tiba rusak. “Cuti deh, liburan gitu. Cuti kamu masih banyak loh.”
“Kalaupun cuti-“
“Halo semua!!” Pembicaraan tiga penghuni tetap pantry kantor lantai 3 tersebut, segera teralih ke asal suara. Mendapati sosok Seli telah berseru riang, dengan satu buah paper bag besar berada di tangan. “Aku kembali.”
Ketiganya berseru heboh, langsung memeriksa isi paper bag yang Seli letakkan di atas meja. Jelas tau bahwa isi paper bag itu adalah oleh-oleh yang dibawa dari perjalanan bisnis sang puan selama seminggu ini. “Wah aku kira kamu bakalan lama di Jepang, Sel.”
“Aku juga ngira gitu tau. Tau sendiri Pak Bos lagi ngajuin project yang lumayan gede, aku kira dealnya bakal lama.” Seli tersenyum lebar. “Eh Pak Bos ternyata peduli soal aku yang baru balik dari cuti melahirkan. Katanya kasihan, anakku kalau pisah terlalu lama sama ibunya. Makanya dia cepetin.”
Ardi Laksmana. Pendiri sekaligus pimpinan tertinggi Sweet Moments, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang event organizations dengan segudang acara besar telah memakai jasa mereka. Mulai dari pernikahan, hingga konser musik pernah dikerjakan oleh Sweet Moments. Berkat tangan Ardi dan teman-temannya, ia mampu membawa kejayaan pada Sweet Moments di tahun kesepuluh sejak terbentuk.
“Heran deh orang sekeren Pak Ardi kenapa belum nikah ya? Padahal aku yakin banget banyak cewek yang antri buat dapetin dia.” Komentar itu disuarakan oleh Natasya usai memakan habis mochi di dalam mulut. Ia lantas menoleh kepada Dini yang mendadak fokus kepada ponselnya. “Din, kamu kalau dikasih cowok modelan Pak Ardi mau nggak?”
Sebagai satu-satunya orang yang tidak memiliki pasangan dalam pertemanan ini, jelas Dini acap kali mendapat pertanyaan serupa. Biasanya ia akan menanggapi dengan menggebu-gebu perihal sosok yang dijadikan topik. Namun kali ini sang Puan hanya tersenyum sembari mengangguk kecil.
“Yang bilang Pak Ardi nggak ada yang mau siapa?” Fian menimpali, menatap teman-temannya itu bingung. “Kita semua tau alasan dia belum punya pasangan, karena beliau sendiri yang nolak didekatin. Sekelas pemenang lomba model skala internasional aja dia tolak.”
“Mbak Nat.”
Panggilan itu membuat pembicaraan terpotong, ketiganya kompak menoleh ke arah Dini yang akhirnya bersuara. Natasya mengerjapkan mata melihat ekspresi Dini yang terlihat aneh. “Kenapa Din?”
“Kata mbak cutiku masih banyak ya?” tanya Dini kepada kepala divisi HR kantornya itu. “Kalau aku ngajuinnya mendadak boleh nggak?”
“Ya tergantung atasanmu itu sih. Peraturannya kalau mau ngajuin cuti ya seminggu sebelumnya gitu.” Dini mengangguk paham mendengar penjelasan itu. “Tapi kalau keadaannya mendesak banget bisa kok langsung disetujuin. Kenapa? Kamu mau cuti?”
“Iya, Ibuku meninggal mbak.”
***
Hening menyelimuti perjalanan Dini ke Bandung kali ini.
Usai mendapat kabar bahwa ibunya tiada, ia segera mengurus perizinan untuk tidak berangkat ke kantor selama beberapa hari ke depan. Bergegas kembali ke apartemen, mengemasi beberapa baju lantas menunggu kabar selanjutnya dari sang ayah. Mereka tak bisa pergi begitu saja, sebab sang kakak yang tinggal di Singapura sejak 2 tahun lalu harus ditunggu kedatangannya. Maka ketika sang kakak, Dito menginjak tanah air. Ketiganya bergegas melakukan perjalanan menuju Bandung.
Tak ada airmata ataupun kesedihan yang sewajarnya nampak dari seorang anak kehilangan ibu. Baik Dini maupun kakaknya, sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Ayah mereka bermuram durja di kursi belakang, dengan airmata yang diam-diam mengalir dari pelupuk mata. Kesedihan yang dirasa aneh, sebab bagaimanapun sang ayah dan ibu telah berpisah cukup lama untuk sekedar menyisakan rasa sedih atas kepergiannya.
Tepat sebulan usai melahirkan Dini, hubungan kedua orang tuanya hancur tanpa ada pecahan-pecahan yang dapat disatukan kembali. Apapun yang terjadi saat itu menjadi sebuah rahasia, yang ditutup rapat oleh sang Ayah. Baik Dini maupun Dito hanya tau bahwa perpisahan mereka, membuat kehadiran sosok ibu yang krusial dalam setiap kehidupan manusia tak bisa mereka peroleh. Ayahnya datang ke Jakarta sembari membawa dua anak yang harus dibesarkan tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Meninggalkan apapun yang terjadi di Bandung saat itu.
Mungkin itulah sebabnya, ketika mendapati kabar bahwa sang ibu telah tiada karena penyakit diabetes yang di deritanya entah sejak kapan. Tak ada perasaan apapun yang menyelimuti kedua kakak beradik itu selain terkejut. Tak ada kenangan atau perasaan apapun yang mampu mengaktifkan perasaan sedih dan berduka mereka. Sebab sang ibu sudah terlalu asing.
Pukul 9 malam, mobil yang dikendarai Dito tiba di sebuah rumah bergaya khas 80an. Berada di salah satu bagian Lembang, tepatnya di sebuah perumahan lama yang entah sejak kapan telah berdiri. Sayup-sayup terdengar lantunan doa dari dalam rumah. Di teras rumah ada tenda berdiri dengan beberapa baris kursi plastik yang nyaris penuh. Keramaian itu, jelas menunjukkan bahwa ibunya cukup dihormati disini. Di pagar terpasang banyak sekali bendera kuning dengan satu buah nama tertulis disana. Ibu Ratih.
“Dito, Dini kenalkan ini Bibi Tini.”
Sang ayah memperkenalkan mereka ke sosok perempuan paruh baya yang menyambut mereka dengan airmata yang telah menganak sungai. “Beliau ini, tante kalian. Adik ibumu.”
Tangan keriput Tini perlahan terangkat, mengusap pipi kedua kakak beradik itu dengan teramat lembut. Jangan lupakan jejak-jejak penyesalan yang tercetak jelas di wajahnya yang telah termakan usia. Dengan suara gemetar beliau berucap. “Nak, maafkan Ratih ya.”
Masalahnya mereka tak tau apa yang harus dimaafkan dari sosok Ibu yang keberadaannya tak pernah mereka tau.
***
“Dek, bangun.”
Kesadaran Dini perlahan kembali, kala tubuhnya diguncang-guncang pelan. Ia membuka mata, mendapati sang kakak telah duduk di tepi kasur dengan sepiring ubi rebus dan segelas teh hangat di tangan. Di luar sana masih terdengar suara lantunan doa. “Makan dulu, sebentar lagi udah mau penguburan.”
Dini mengusap wajahnya, sebelum bangkit dari berbaring. Ia menyesap sedikit teh yang diberi sang kakak lantas meletakkannya ke atas nakas tepat di samping tepat tidur. Keduanya diam, sibuk akan pikiran masing-masing yang jelas berkecamuk. “Lo nggak papa?”
“Cuman masih bingung aja,” jawab sang kakak penuh kejujuran. Ia mengusap tengkuknya, kemudian menghela napas. “I feel bad didn’t feel anything about her. (Aku merasa buruk tidak merasakan apapun tentangnya)”
Seorang anak yang bahkan tak merasakan apapun akan kematian ibu mereka, jelas menjadi suatu hal aneh. Keduanya mendadak merasa menjadi manusia paling durhaka di muka bumi, karena tak merasakan apapun di dalam hati. Bukankah seasing apapun seorang ibu, ada ikatan tak kasat mata yang menghubungkan perasaan ke sang anak?
“Ini benar rumah Ibu Ratih, guru SMA Pelita Harapan?”
Pertanyaan yang digaungkan cukup keras, suara deru kendaraan yang terdengar membuat fokus Dini dan Dito teralih. Mereka terdiam sesaat, sebelum sama-sama beranjak menuju teras depan. Melewati beberapa ibu-ibu yang bersiap masak-masak untuk pengajian nanti malam. Apa yang menyambut kedua kakak beradik di teras sana, jelas menambah banyak sekali kebingungan di kepala.
Tepat di sana, ada belasan truk yang mengantri. Muatannya sama, sebuah papan bunga dengan ucapan belasungkawa. Dito mendekati sang bibi yang kebingungan menghadapi situasi tak terduga tersebut. “Ada apa ya Pak? Mencari siapa?”
Kumpulan supir truk itu langsung mengalihkan pandang pada Dito. “Ini rumah Bu Ratih, guru SMA Pelita Harapan bukan A’?” tanya salah satu dari mereka. “Saya mau nganterin papan bunga soalnya.”
“Benar, beliau almarhumah ibu saya.”
Laki-laki di depannya dengan kompak saling melirik lantas mengangguk. Kembali ke truk masing-masing, dan tanpa banyak kata menurunkan papan-papan bunga tersebut ke pekarangan, hingga teras depan rumah. Dalam sekejap mata rumah sang ibu dipenuhi oleh banyak sekali karangan bunga. Namun, yang paling mengejutkan adalah beragam nama pejabat dan artis papan atas negeri ini tertera di setiap bunga sebagai pengirim. Membuat semua orang yang ada mulai berbisik-bisik. Mempertanyakan bagaimana bisa seorang guru biasa seperti Ratih, mendapat banyak sekali papan bunga.
Keterkejutan tak hanya sampai di sana. Belum pulih kedua kakak beradik itu dari keterkejutan, mendadak suara bisik-bisik semakin terdengar ramai. Tetangga mulai keluar dari rumah masing-masing, mengintip akan sosok yang berjalan menuju rumah Ratih dengan beberapa orang mengikuti di belakang. Beberapa terperangah, sementara yang lain mulai sibuk berseru melihat sosok yang tak pernah mereka duga akan datang.
“Benar ini rumah Bu Ratih?”
Tepat setelahnya sang ayah mendadak muncul di ambang pintu. Wajahnya kusut, namun ada sebuah kertas usang yang ia pegang erat-erat di tangan. Laki-laki paruh baya itu jelas terperangah oleh banyaknya papan bunga yang datang. Namun, kehadiran sosok pembuat kehebohan pagi itu tak membuatnya lebih terkejut. Beliau mendekat, berdiri tepat di hadapan pria yang notabene anggota termuda parlemen negeri ini. Sosok yang menjadi pembicaraan satu negeri sebab pemikirannya yang kritis dan etos kerja yang patut diacungi jempol. Memperbaiki citra anggota parlemen yang sudah buruk sejak lama di mata masyarakat.
“Benar, ini rumah Bu Ratih.”
Sang pria terdiam cukup lama sebelum akhirnya menunduk. Baik Dini maupun Dito dibuat terkejut ketika bahu pria tersebut mulai bergetar, disusul airmata yang mulai mengalir di pipi. Siapapun jelas bertanya-tanya apa hubungan sang anggota parlemen dengan guru biasa seperti Ratih, hingga pria itu bersedih sedemikian hebat. Namun, sang ayah nampaknya tau. Sebab beliau berjalan mendekat, membawa sang pria dalam pelukan hangat lantas berbisik. “Dia sangat bangga melihat pencapaianmu nak.”
Siapa yang akan menyangka bahwa apa yang mereka lihat, hanyalah awalan hingga rumah itu dibanjiri banyak sekali pelayat dari berbagai kalangan. Orang penting pemerintahan hingga artis besar ibukota. Mereka datang dan bersedih sedemikian rupa akan fakta bahwa Ratih telah tiada. Menambah deretan tanya dalam benak kedua kakak beradik itu.
Apa yang telah ibu mereka perbuat hingga membuat banyak orang berduka atas kepergiannya?