“Permisi,”
Alesha menengok ke sana dan ke mari untuk mencari sosok Ihsan Kafi. Dosen 30 tahun yang sangat tampan dan manis karena lesung pipi di sebelah kanan. Namun sikap dinginnya membuat Ihsan terkalahkan oleh Arka yang tampan dan terkenal humble dikalangan mahasiswi.
“Mau cari siapa?”
“Cari Pak Ihsan Kafi. Apa beliau ada?”
Alesha tersenyum segan ke arah salah seorang dosen yang tidak diketahui dengan pasti siapa namanya, karena ia belum pernah di ajar oleh beliau.
“Itu ada di mejanya,”
“Baik, terima kasih Pak.”
Setelahnya Alesha segera beralih menuju meja milik Ihsan. Meja ini bukan hanya sekadar meja milik Ihsan, namun meja ini juga menjadi meja yang paling sering Alesha kunjungi sejak ia menginjak semester 5.
“Permisi, Pak Ihsan.”
Ihsan mendongak saat ada yang memanggil namanya. Ia tersenyum ke arah Alesha yang memang ia tunggu kedatangannya sejak beberapa menit yang lalu.
“Sini duduk, Sha. Kenapa kamu cari saya?”
Alesha duduk sesuai dengan perintah Ihsan. Namun sebelum menjawab pertanyaan yang telah diajukan oleh Ihsan, sorot matanya nampak tajam untuk mengawasi ruang dosen yang tidak ada sekat ini.
“Kenapa Sha?”
Ihsan menatap bingung ke arah gadis manis yang saat ini terlihat mencurigakan. Bukan mencurigakan untuk melakukan hal jahat, namun lebih ke hal apa yang akan ia lakukan setelah bertemu dengan Ihsan.
Setelah Alesha merasa ruangan ini cukup aman, ia sedikit mencondongkan badannya ke depan agar bisa lebih dekat ke Ihsan. Tangan kanannya pun seolah menyuruh Ihsan untuk mendekatkan tubuhnya juga agar Ihsan bisa mendengar bisikan Alesha.
“Ada apa Alesha?”
Untuk kesekian kalinya Ihsan bertanya pada gadis mungil ini, namun tak kunjung mendapatkan jawaban pasti.
“Bapak mau kan jadi dosen pembimbing saya?” Alesha menatap Ihsan dengan sorot penuh pinta agar lelaki tersebut mengasihaninya.
“Memangnya siapa dosen pembimbing kamu?”
“Pak Arka. Tolong saya Pak, saya nggak mau kalau dosen pembimbing saya Pak Arka.” Pinta Alesha yang terus memasang tatapan sedih agar dapat memikat dosen kebanggannya ini.
“Pak Arka?”
Alesha mengangguk saat Ihsan kembali bertanya untuk memastikannya.
“Tapi setahu saya, Pak Arka itu bekerja sesuai dengan system kampus. Sama seperti Bu Tika.”
Alesha menghela, wajahnya benar-benar terlihat sedih karena enggan untuk bimbingan dengaan Arkana Hanan Isyraf.
“Lagian kenapa nggak mau Sha? Malah setahu saya banyak mahasiswi yang mau pindah ke Pak Arka. Hanya saja Pak Arka menolak semuanya,” jelas Ihsan yang selalu memandang semua dosen positif.
“Memang semuanya pada sinting Pak. Tapi saya bukan salah satu dari mereka. Padahal nggak ada yang bisa dibanggain dari Pak Arka.”
“Hush, kalau ngomong nggak boleh gitu Alesha. Kan dia dosen kamu juga,”
Cara berpikir Ihsan terhadap sesama manusia memang patut diacungi jempol lantaran ia tidak pernah sekalipun berburuk sangka terhadap siapapun yang ada disekitarnya. Malah ketika Alesha sedang membicarakan seseorang saat sedang bersama Ihsan, Ihsan langsung memberikan tanggapan sesuai kacamata orang yang memiliki wawasan luas.
“Ya intinya saya nggak mau Pak sama Pak Arka. Jadi Bapak harus bantu saya buat tarik saya biar jadi anak bimbingan Pak Ihsan.”
Alesha masih tetap dengan pendiriannya yang sangat enggan bertemu Arka lebih sering untuk menyelesaikan bimbingan tugas akhirnya. Karena hanya dengan melihat Arka yang tebar pesoan dihadapan mahasiswi saja sudah membuat Alesha naik pitam.
“Bapak bantu saya dong. Kan saya sering bimbingan jurnal penelitian Pak. Masa iya Bapak nggak mau bantuin saya,”
Kali ini wajah Alesha memelas untuk bisa menangkap mangsanya masuk ke dalam jerat perangkapnya. Ihsan yang sedari tadi menatap gadis dihadapannya ini sangat heran dengan perubahan singkat ekspresi yang dikeluarkan oleh Alesha.
Pada saat Alesha sedang memohon untuk kali pertamanya, matanya berbinar seolah sangat krisis bantuan untuk bisa keluar dari masalahnya. Namun saat sedang mengolok target utama atau Arka, matanya langsung berubah bersemangat.
“Pak,” panggil Alesha dengan menatap Ihsan penuh akan harapan.
Ihsan menghela napas. Gadis ini selalu seperti itu. Sedikit banyaknya Ihsan tahu tentang Alesha yang sudah dikenalnya selama satu tahun belakangan ini. Mereka dekat karena sering melakukan penelitian bersama, maka dari itu membuat Ihsan bisa menganalisis kepribadian Alesha tiap kali mereka bertemu.
“Iya, nanti saya bantu bilang ke Pak Arka. Tapi saya hanya bisa bantu bilang ya. Selebihnya kamu sendiri yang minta ke beliau agar mau mengubahnya,”
Ihsan selalu kalah dengan permintaan aneh Alesha. Bahkan sejak mereka baru dekat, Ihsan selalu mengalah pada gadis yang sangat ekspresif ini.
“Akhirnya, makasih banyak Pak. Semangat buat kita berdua.” Balas Alesha seolah menguatkan mereka yang sedang dalam medan pertempuran.
Ihsan tertawa, hal konyol yang dilakukan Alesha selalu membuat dirinya merasa lebih baik. Karena yang dekat dengannya benar-benar hanya Alesha untuk saat ini. Mereka kini menghabiskan waktu untuk berbincang sebelum kembali ke rumah masing-masing. Ihsan sudah tidak memiliki jam mengajar, begitu pun dengan Alesha yang jam perkuliahannya sudah habis.
Gelak tawa keduanya seperti seorang teman yang sudah sangat akrab satu sama lain. Bahkan mereka terlihat seperti tidak memiliki pembatas antara dosen dan seorang mahasiswa.
“Pak Ihsan,”
Alesha dan Ihsan kini mengalihkan perhatian mereka kepada orang yang sedang memanggil Ihsan.
“Loh, ternyata kamu ada di sini.”
Keringat dingin kini mengucur ke pelipis Alesha, padahal ruangan dosen sudah terpasang oleh AC. Ihsan berdiri saat melihat ada Arka yang sedang menghampirinya.
“Kenapa Pak?” tanya Ihsan segera saat melihat Alesha yang tidak begitu nyaman atas kedatangan Arka yang sangat tiba-tiba ini.
“Oh bukan masalah penting. Sekadar ingin bertanya, apa semua mahasiswa bimbingan Pak Ihsan sudah ada yang merespon?”
Ihsan mengernyit bingung mendengar pertanyaan dari Arka. Namun sedetik kemudian ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Arka.
“Sebenarnya tidak semua Pak. Ada beberapa yang belum, tapi mereka pasti akan datang setelah melakukan konfirmasi.” Balas Ihsan yang memang secara teknis lebih tua satu tahun dari Arka, dan lebih lama bekerja sebagai dosen di Universitas tempat Alesha belajar.
“Begitu ya? kalau gitu terima kasih ya Pak.”
“Kembali kasih, Pak Arka.”
Hampir saja Alesha bisa bernapas dengan lega saat melihat Arka berbalik badan. Namun kini hal itu telah menjadi hal yang mustahil karena Arka kembali berbalik untuk menatapnya dengan sosot mata penasaran.
“Kamu sudah sampaikan ke Alesha Aurora?”
Deg… jantung Alesha seolah berhenti berdetak saat Arka menanyakan janjinya. Ihsan menatap Alesha bingung namun ia tahu jika Alesha saat ini sedang panik yang terlihat dari pilinan jemarinya yang tidak bisa diam.
“Terkait Alesha, apa boleh dia jadi anak bimbingan saya?”
Ihsan menyela dan membuat Alesha bernapas lega. Kini Arka mengalihkan perhatiannya pada Ihsan yang saat ini sedang mengajaknya berbicara.
“Kenapa ya Pak? Kan di system kampus sudah jelas kalau dia jadi anak bimbingan saya,” balas Arka yang tidak memahami maksud dari Ihsan.
Alasan Arka bekerja sesuai dengan system untuk menerima anak bimbingan skripsinya adalah untuk menghindari terjadinya pembludakan seperti yang telah berlalu. Karena banyaknya mahasiswi yang rela mengganti dosen pembimbing dengan beragam alasan agar bisa bimbingan dengan Arka.
“Alesha adalah rekan penelitian saya untuk membuat jurnal, jadi saya ingin menjadi dosen pembimbingnya untuk dia bisa menyelesaikan tugas akhirnya.” Balas Ihsan dengan alasan yang sangat masuk akal.
“Kalau begitu biar saya bicara dulu dengan Alesha,”
Tidak Alesha sangka jika Arka termasuk orang yang sangat keras kepala. Dia tetap mempertahankan apa yang sudah menjadi takaran untuknya.
“Baik Pak Arka, saya tunggu keputusannya.”
“Terima kasih atas pengertiannya Pak Ihsan. Secepatnya saya akan cari mahasiswi yang bernama Alesha Aurora.”
-
Alesha berhasil bernapas dengan lega setelah bisa keluar dari ruang dosen yang sangat menyeramkan sejak kedatangan Arka. Ruangan yang semula dingin kemudian menjadi panas karena jantungnya terus berpacu dua kali lebih cepat setiap kali Arka berbicara dengan Ihsan untuk membahas namanya.
“Sial, gue jadi kayak maling gini.” Gerutu Alesha yang lelah dengan perilakunya karena harus menghindari Arka.
Alesha berjalan menyusuri lorong kampus dengan melihat pemandangan jalanan kota yang senggang saat siang hari. Rasanya malas sekali untuk pulang di tengah terik matahari yang sangat menyengat. Tapi nyawanya jauh lebih terancam saat ia harus menetap di kampus seperti ini.
“Sha,”
Alesha menghentikan langkahnya saat ada yang memanggil namanya.
“Ada apa?”
“Lo gak ikut kumpul BEM?” tanya lelaki dengan kumis tipis.
“Masih aja nih?”
“Kan lo baru demisioner, masih ada tanggungan di BEM buat bimbing adik-adik.”
“Hidup gue juga penuh tanggungan Le,” ujar Alesha dengan wajah melasnya.
“Ah elah ayo kumpul bareng sama gue,” Ale menarik tangan Alesha dengan paksa untuk mengikuti arahan perekrutan anggota BEM yang baru.
“Sakit bego, santai dong.” Protes Alesha kesal.
Jarak antara tempat Alesha berdiri dan ruang BEM tidak terlalu jauh, hanya saja menunggu pintu lift terbuka yang selalu memakan banyak waktu.
“Siapa dosen pembimbing lo?” tanya Ale sembari mereka menghabiskan waktu untuk menunggu pintu lift terbuka.
“Pak Arka,”
“Lah, sama dong.”
Mata Alesha seketika berbinar saat mengetahui bahwa dosen pembimbing Ale adalah Arka. Karena Alesha hanya berpikir jika dia memiliki teman untuk melakukan bimbingan bersama Arka apabila rencananya untuk ganti dosen pembimbing tidak disetujui oleh Arka.
“Tapi lo udah konfirmasi ke Pak Arka?” tanya Ale.
Alesha menggeleng, “Belum. Malas gue sama dia,” balas Alesha.
“Lah aneh banget nih cewek,”
“Kenapa sih bilang gue aneh? Dari tadi gue dikatain aneh mulu.”
“Lah kan cewek selalu…”
“Iya. Tapi itu bukan gue.” Tegas Alesha saat Ale hendak mengucapkan hal yang sama untuk kesekian kalinya.
“Lagian Pak Ihsan jauh lebih keren tahu daripada Pak Arka,” balas Alesha dengan tersipu malu.
“Stressnya udah gak ketolong nih cewek.”
Pintu lift terbuka, namun saat Alesha hendak melangkah masuk ia melihat sosok Arka yang sudah berdiri di dalam lift. Arka berdiri dengan tegap menghadap ke arah Alesha sambil tersenyum, membuat jantung Alesha berdegup lebih kencang.