Marriage Proposal | PART 2

1914 Kata
Desir jantung Alesha seolah bekerja dari biasanya, tubuhnya kaku dan mematung saat melihat sosok Arka yang sudah berdiri di dalam lift sambil tersenyum ke arahnya. “Lo nggak masuk?” tanya Ale yang membuyarkan lamunan panjang Alesha dari sosok Arka yang terus menghantuinya. Alesha tersadar dari lamunannya, namun ia terkejut saat sosok Arka tidak ada lagi di hadapannya. Hal itu membuatnya semakin bingung, Alesha melihat ke sana dan kemari namun hanya ada dia dan Ale saja yang sedang menunggu lift terbuka. “Ayo Sha, capek tangan gue nahan terus.” Tak pikir panjang, Ale kembali menarik tangan Alesha agar segera masuk ke dalam llift yang telah terbuka. Lift tertutup, namun mata Alesha tetap awas untuk melihat sekitarnya. “Gak ada orang, kenapa waspada banget lo? Takut gue apa-apain?” goda Ale yang membuat Alesha langsung meninju pinggangnya. “Lo liat Pak Arka nggak sih tadi? Di sini, berdiri sambil senyum.” Alesha bertanya seraya mempraktikkan posisi Arka yang dilihatnya tadi. “Kebanyakan mikirin Pak Arka lo,” “Gue serius Ale,” “Nggak ada Alesha. Dari tadi nggak ada Pak Arka. Lo yang halu.” Jawaban Ale seolah membuat Alesha tenang, namun dirinya juga takut karena merasa diikuti oleh Arka ke mana pun ia pergi. “Masa sih?” tanya Alesha lagi untuk memastikan bahwa Ale tidak membohonginya. “Astaga, lo kira gue bohong?” Ale menatap Alesha dengan malas karena harus menghadapi pertanyaan konyol Alesha, “Lagian jangan terlalu benci deh, kalau suka mampus lo. Makan tuh ludah sendiri.” “Mulut lo gue tampol ya.” tegas Alesha dengan mengangkat tangan seolah hendak memukul Ale. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ruang BEM setelah keluar dari lift. Banyak dari mahasiswa yang menyapa mereka berdua saat sedang berjalan. “Jadi kayak seleb kampus nih gue,” Ale tertawa bangga akan pencapaiannya hingga bisa dikenal banyak oleh para mahasiswa dari semua jurusan di Fakultas Humaniora. “Mimpi lo.” Alesha tidak terlalu menghiraukan candaan Ale yang selalu mengarah ke sana. Ia kini membuka pintu yang tertutup rapat dengan sedikit tenaganya. Dilihatnya dari luar ruangan, ternyata sudah banyak mahasiswa yang berkumpul. Sebenarnya tidak terlalu banyak, hanya pengurus inti tahun ini dan beberapa demisioner yang bisa bergabung untuk hari ini. “Si kembar sampainya juga kembar ya,” olok Tarisa yang melihat Alesha dan Ale berdiri di ujung pintu. “Males banget ya punya kembaran kayak Ale.” Selama satu periode berjalan, Alesha dan Ale kerap dipanggil kembar hanya karena nama mereka yang hampir mirip. Ale untuk nama laki-laki, dan Alesha untuk nama perempuan. Namun Alesha tidak mengambil hati dan membuat semuanya hanya bercandaan, termasuk perkataannya barusan. “Bersyukur lo bisa dikembarin sama orang ganteng kayak gue,” “Orang ganteng gak narsis kayak lo.” Sarkas Alesha yang langsung beranjak untuk duduk disamping Tarisa. “Maaf ya telat, soalnya lama bujuk kembaran buat ikut kumpul BEM.” Ucapan Ale lantas membuat Alesha menatapnya dengan tajam. Ia juga tak segan untuk mengumpat dengan kasar tepat di hadapan Ale. “Memang lelaki anjing.” Sarkas Alesha. Semua orang yang mendengar hanya tertawa. Pertengkaran Alesha dan Ale sudah menjadi makanan sehari-hari mereka saat kumpul BEM. Kini mereka melanjutkan bahasan untuk membentuk struktur kepengurusan yang baru. Karena sudah saatnya Alesha dan teman-temannya undur diri dan fokus untuk mengerjakan tugas akhir. “Terus rencana buka pendaftarannya kapan Ko?” tanya Alesha menyahuti pembicaraan yang entah sudah mengarah ke mana. “Lima hari lagi Kak,” Alesha mengangguk untuk memberikan respon atas jawaban yang sudah diberikan Riko. Riko adalah Ketua BEM periode 2023 yang kini sedang dipusingkan untuk memikirkan struktur kepengurusan yang baru. “Jarak pendaftaran sama peresmian anggota baru berapa lama sih?” Alesha kembali bertanya pada Riko karena dia sendiri sudah lupa alur pendaftarannya dulu. “Dua mingguan Kak,” “Lah cepat banget? Memangnya program kerja udah kesusun semua?” “Kalau itu udah beberapa kesusun Sha, tinggal persetujuan dari Penanggun Jawab BEM,” sahut Barra Calvin yang merupakan mantan Ketua BEM tahun 2022. “Pak Adji kan?” tanya Alesha lagi. “Bukan, udah ganti sejak periode yang baru.” Balas Tarisa menyahuti pembicaraan. “Lo ketinggalan informasi terus deh,” olok Ale yang mulutnya sulit untuk diam saat melihat Alesha terpojokkan. “Lah terus siapa?” tanya Alesha tanpa menghiraukan ucapan Ale yang akan terus mengusiknya. Tok... tok… Semua perhatian kini tertuju pada pintu yang terketuk. Pikir Alesha itu adalah penanggung jawab BEM yang baru dan hendak bergabung untuk mengikuti rapat sebelum membuka pendaftaran. Alesha pun mengalihkan pandangannya saat ponselnya bergetar dan memunculkan notifikasi dari Abila. “Maaf saya terlambat,” “Tidak apa-apa Pak. Kami juga baru saja membuka rapat dengan bahasan ringan,” balas Barra. Tunggu. Jemari Alesha kaku untuk mengetikkan balasan pesan Abila. Ia mengenali suara ini dan jelas ini bukan suara yang sangat ia tunggu. Dengan sedikit keberanian, Alesha mendongak untuk melihat siapa dosen yang baru saja bergabung kali ini. Untuk kesekian kalinya, jantung Alesha kembali berdegup dengan kencang dari biasanya. Sorot matanya tertangkap basah oleh dosen yang sudah ia hindari selama seharian ini. “Sial, kenapa dia ada di sini.” Gumamnya pelan saat melihat Arka sedang menatapnya. “Lumayan banyak mahasiswa yang gabung ya,” ujar Arka melihat sejumlah mahasiswa yang sedang mengikuti rapat BEM kali ini. “Iya, Pak. Tapi ini belum semua demisioner yang bisa bergabung.” Barra menimpali. Arka pun berjalan untuk mencari tempat duduk. Sorot mata Arka sedari tadi jatuh pada bangku kosong yang ada disebelah Alesha. Ia pun melangkahkan kakinya untuk pergi duduk di sana. “Mampus gue.” Gumam Alesha. Alesha memalingkan pandangannya saat Arka berjalan untuk mendekatinya. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan kepanikannya walaupun sebisa mungkin Alesha mengontrol raut wajahnya agar terlihat biasa saja. Alesha sadar jika kursi sampingnya bergeser. Itu tandanya Arka duduk tepat disampingnya. Sepertinya ini adalah hari terakhirnya. “Muka lo kenapa risau gitu sih Sha?” Alesha mendongak saat Tarisa mengajaknya berbicara ditengah damainya ruangan. “Gue? Kenapa?” tanya Alesha balik dengan raut wajah kebingungan. “Lo mikir apa Alesha Aurora?” tegas Tarisa. Alesha menggeleng, “Gapapa.” Balas Alesha. Rapat dilanjutkan, namun pikiran Alesha sudah tidak fokus pada bahasan rapat hari ini. Saat ini dipikirannya hanyalah mencari cara untuk kabur dalam situasi yang sangat tidak menguntungkannya. Namun disaat rapat berjalan dengan kondusif, Alesha merasa ada yang terus memperhatikan gerak-geriknya. Ia memberanikan diri untuk melihat sekitar, namun semuanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tidak. Tidak semuanya, karena Alesha belum melihat posisi Arka sama sekali. Jemari Alesha sedari tadi tidak bisa diam, tanpa sadar ia memainkan jemarinya saat dalam keadaan cemas. Perasaannya sangat tidak karuan saat ini. Alesha pun memilih untuk menunduk dan memejamkan kedua matanya untuk mencari ketenangan. “Sha, lo punya pemikiran buat program kerja yang baru nggak?” Suara Barra memecahkan konsentrasinya. Alesha segera mendongak untuk bisa menatap Barra. Sedetik kemudian Alesha menggeleng tanpa mengeluarkan suara. “Tumben banget otak encer lo nggak berfungsi?” sahut Ale yang selalu mencari cara untuk mengajak Alesha bertengkar. “Kenapa nggak dibedah aja satu persatu program kerja tahun lalu? Terus dicari kelebihan dan kekurangannya, habis itu direvisi, dan kalau ada ide baru bisa dipertimbangkan lagi.” Balas Alesha. “Boleh, bagus itu.” Barra menyetujui pemikiran Alesha. Kertas arsip program kerja tahun lalu disebar oleh Tarisa, semua nampak membawa bulpoint untuk menuangkan pemikirannya. Sesi bedah proker kini berjalan. Namun otak Alesha tidak berjalan dengan sempurna. “Dulu kamu bagian apa?” Suara Arka membuatnya terkejut. Alesha pun memberanikan diri untuk bisa menatapnya dengan lantang. Alesha harus menerima resiko atas permainan yang ia perbuat sendiri. “Bapak bisa nggak sih jangan kagetin saya terus? Buat saya jantungan aja.” Cerca Alesha kesal. Arka bingung dengan perubahan emosi Alesha, “Saya kenapa? Kan saya cuma sekadar tanya ke kamu.” “Ya sama aja, saya jadi kaget. Kalau tanya itu biasa aja, jangan tiba-tiba kayak gitu.” Protes Alesha ditengah sesi bedah berlangsung. “Lo kenapa sih Sha? Dari tadi Pak Arka kalem loh. Lo aja yang gue liat salah tingkah di samping Pak Arka.” Sahut Tarisa yang membela Arka. “Dih kenapa gue harus salah tingkah di samping Pak Arka? Apa spesialnya beliau?” balas Alesha yang tidak lagi memperdulikan kondisi rapat saat ini. “Alesha jangan gitu,” tegur Barra dengan berjalan menghampiri Alesha agar bisa menenangkan gadis manis milik BEM ini. “Gue kenapa Bar?” tanya Alesha balik dengan mendongak untuk dapat menatap Barra yang berdiri sembari mengusap punggungnya agar Alesha bisa tenang. “Kita cari angin dulu yuk.” Ajak Barra sembari membantu Alesha untuk bangun dari duduknya. Alesha tidak menolak sama sekali ajakan Barra karena ia merasa jika ruangan ini terlalu panas untuk dirinya yang sudah hilang kontrol. Sedangkan Arka hanya menatap punggung Alesha dengan tatapan heran. “Maaf ya Pak, memang Alesha orangnya aneh.” Tarisa tak enak hati dengan Arka yang baru saja bergabung bersama BEM namun harus di rusak oleh Alesha. “Lo juga nggak seharusnya bilang kayak gitu ke Alesha,” tegur Ale meralat perkataan Tarisa yang tidak enak untuk di dengar. “Kan dia memang aneh.” - Alesha menarik napas dalam sembari memejamkan kedua matanya. Menikmati hilir angin sore yang sejuk sembari mendengarkan suara jalanan yang mulai padat karena berbarengan dengan orang pulang kerja. Sungguh sangat padat. Setidaknya di rooftop ini Alesha bisa menghilangkan penatnya yang terus berusaha untuk menghindari Arka. “Udah enakan?” tanya Barra yang melihat perubahan emosi Alesha lebih stabil daripada tadi. Alesha membuka matanya dan mengangguk seraya tersenyum manis ke arah Barra, “Makasih ya. Lo selalu baik ke gue,” balas Alesha. “Kenapa Sha? Lo bisa cerita ke gue.” “Hari ini gue capek banget Bar sama yang namanya Arkana Hanan Isyraf,” “Pak Arka BEM?” tanya Barra memastikan. Alesha mengangguk, “Kenapa? Lo ada masalah sama beliau?” tanya Barra lagi. Alesha menghela, “Kayaknya gue sih yang bermasalah,” balas Alesha dengan raut melas yang berpasrah kepada takdir. “Kenapa gitu?” “Dosen pembimbing gue Pak Arka, sedangkan gue malas banget sama dia.” “Ya kenapa Sha? Apa alasan lo?” “Menurut gue Pak Arka itu menjadikan gelar dosennya sebagai kesempatan untuk bisa dekat dan tebar pesona sama mahasiswi di kampus. Buktinya aja banyak mahasiswi yang naksir sama dia,” jelas Alesha dengan nada bicara yang terdengar sangat antusias saat sedang menceritakan kesannya pada Arka. Barra tercengang mendengar pengakuan Alesha terhadap Arka, “Lo serius?” tanya Barra lagi. Alesha mengangguk, “Lo nggak perhatiin fenomena kampus selama dua tahun terakhir? Sejak Pak Arka gabung jadi dosen Prodi Sastra,” lanjut Alesha dengan gambaran gamblang versi dirinya. “Sha,” panggil Barra dengan memegang kedua bahu Alesha agar ia bisa menatap Barra. “Apa?” “Fenomena yang kata lo itu memang benar adanya. Tapi bukan karena semata Pak Arka yang tebar pesona. Itu ya memang karena mahasiswinya aja yang ganjen dan gampang kebawan perasaan sama perlakuan baik Pak Arka,” jelas Barra yang memakai logika untuk berpikir dalam situasi seperti ini. “Kalau seandainya mereka bisa tahu Batasan antara dosen dan mahasiswi, ya harusnya mereka sadar kalau yang mereka lakukan itu salah. Tapi karena hati, mereka jadi buntu dan nggak bisa berpikir jernih. Di sini yang salah bukan sepenuhnya Pak Arka, Alesha. Lo harus bisa bedain itu.” Alesha diam. Penjelasan Barra rupanya sampai menuju otaknya yang kosong karena kejadian hari ini. Alesha menatap Barra dalam, seolah bingung dengan langkah yang akan ia ambil. “Terus gue harus gimana? Gue takut kalau harus bimbingan sama Pak Arka.” Lirih Alesha dengan mata berbinar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN