Bee terbangun dengan semua rasa perihnya. Ngilu di sekujur tubuh, tapi dia seolah tidak peduli. Roy sudah tidak ada di sisinya lagi. Hanya ada tumpukan uang berwarna merah di sisinya dengan sebuah catatan.
"Ambil ini sebagai hadiah kepuasan yang telah kamu berikan."
Bee menatapnya dengan wajah datar. Apa dia bahagia, puas, atau sedih?
Tidak. Dia idak merasakan semua itu. Semacam mati rasa sampai lupa caranya tersenyum bahagia. Dia bahkan juga lupa caranya menangis, hingga lupa dirinya yang pernah berdiri di depan ribuan karyawan sebagai Direktur perusahaan.
Bee berjalan dengan terseok-seok menuju kamar mandi tanpa sehelai benang sekalipun yang menutupi tubuhnya. Rambutnya sangat berantakan, seperti singa yang turun bukit. Dia hanya memejamkan mata, saat perih itu begitu terasa ketika dia buang air kecil. Seperti memaksakan tubuhnya untuk beradaptasi dan menikmati rasa sakit itu. Dia terdiam di bawah shower, membiarkan seluruh tubuhnya terguyur air dingin.
Setelah membersihkan dirinya, dia keluar hanya menggunakan handuk putih yang ia lilitkan di bawah ketiak. Semua bajunya masih berserakan di lantai. Dia berjalan perlahan, matanya menatap botol minuman yang masih berada di atas meja kamarnya.
Kemudian langkahnya terhenti di depan cermin. Dia terdiam di sana, memandangi dirinya yang menyedihkan. Ada Lebam di pipi kirinya, kening dan ujung bibir yang sedikit robek. Dia telah melewatkan malam mengerikan tadi malam.
Entah apa yang dipikirkan Bee, dia tersenyum miring memandangi dirinya di depan cermin itu. Tidak ingin meratapi dirinya berlama-lama, dia menyahut semua pakaiannya dan menutupi tubuh yang tidak semulus kemarin malam.
Tidak ada acara mengeringkan rambut, dia membiarkannya tergerai basah dan keluar dari kamar hotel tepat di pukul sebelas siang. Hari ini dia tidak ingin langsung pulang, meskipun dia punya rumah, tetapi dia tidak pernah punya tempat untuk pulang.
Bee menuju ke alamat satu-satunya pria yang melihatnya sebagai manusia. Raksa, dia akan selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk dirinya.
Tiga kali bunyi bel, Raksa keluar dengan masih telanjang d**a. Tangan kanannya mengusap rambut dengan handuk putih, dan memiringkan tubuh untuk mempersilakan Bee masuk. Seolah dia bisa menebak kalau gadis itu pasti akan datang ke rumahnya.
Melihat keadaan Bee, Raksa meratapinya penuh penyesalan. Sedangkan Bee seperti tidak merasakan sesuatu sama sekali. Wajahnya selalu datar, tidak terlihat senang maupun sedih.
"Bee," panggil Raksa dengan nada lemah.
"Aku lapar. Apa kamu punya makanan untukku?"
Bee melewati Raksa begitu saja. Dia seperti tidak ingin melihat Raksa yang menatapnya dengan tatapan seperti itu. Raksa mengerjap, dia menutp pintu rumahnya dan menarik tangan Bee untuk mengikutinya.
Tanpa banyak bicara, dia membawa Bee naik ke kamar dan memaksa dia terbaring di atas kasurnya. Raksa tidak mengatakan apa pun, dia kembali berbalik dan keluar dari kamar. Tentu saja Bee tahu apa yang akan dilakukan pria itu. Ini Bukan hal baru, dan Raksa akan kembali dengan cepat setelahnya.
Benar, Raksa kembali masuk dengan membawa baskom kecil serta waslap di tangannya. Dia menarik kursi, mendekat ke arah Bee dan mulai mengompres lebam di wajah gadis itu menggunakan air dingin.
Bee tidak mengernyit, tidak mengeluh atau pun merasakan apa pun. Dia hanya diam, menatap langit kamar dan membiarkan Raksa melakukan apa yag dia inginkan.
Kemudian pandangan Raksa tertuju pada pergelangan tangan Bee. Dia meraih itu, melihat bekas merah sampai seperti darah beku di kedua pergelangan tangan kecil yang dia genggam. Seperti bekas ikatan yang sangat kuat sekali hingga membiru.
"Apa lagi yang dilakukan dia padamu?"
Bee tidak menjawabnya, dia hanya terdiam seperti mengingat sesuatu. Roy telah mengikat semua tubuhnya tadi malam. Hanya itu yang dia tahu, selebihnya dia hanya merasakan saja karena kedua matanya tertutup dengan kain penutup mata.
Karena Bee tidak menjawab, Raksa pun juga diam dan kembali mengompres semua luka-luka di tubuh dia dengan begitu telaten. Setelah selesai melakukannya, dia mengoleskan salep bening ke semua bagian memar tadi.
"Apa aku bisa mendapatkan sarapan sekarang?"
"Tunggulah di bawah, aku akan membatkanmu omlette."
"Jangan-"
"Jangan pakai bawang. Aku tau dan jangan mengingatkan aku terus."
Bee mengekor di belakang Raksa yang membawanya ke arah dapur dan duduk di meja bar, memandangi Raksa yang mulai menyiapkan telur. Kedua mata bulat itu terus mengikuti langkah Raksa yang mondar-mandir mengambil sesuatu.
Setelahnya, Raksa terlihat berbalik dan mulai menyiapkan api. Dia menyalakan itu, menaruh Teflon di atasnya dan menuangkan sedikit minyak goreng ke dalam teflon itu. Dia kembali berbalik, mengaduk telur yang berada di meja bar sembari menunggu teflonnya panas.
Raksa melupakan sesuatu. Di hadapannya sekarang masih ada Bee yang menatap api dari kompor itu dengan tatapan ketakutan. Tubuhnya kaku, keringat basah mulai membasuh kedua telapak tangannya yang sudah gemetaran.
Semakin lama, kedua mata Bee semakin menyorot ke arah api itu. Dadanya kembang kempis menahan sesuatu yang terasa menyesakkan. Mungkin dia lupa berkedip sekarang.
"Apa kamu akan langsung pulang?" tanya Rksa tanpa memperhatikan wajah Bee saat ini. Dia terlalu sibuk mengaduk telurnya. "Bee?"
Tidak ada sahutan, kemudian Raksa menolehkan kepalanya dan melihat Bee yang sudah seperti orang kerasukan. Tubuh gadis itu kaku dengan mata melotot. Raksa dengan segera berbalik dan mematikan api itu dengan cepat. Dia berputar arah dan mendekap tubuh Bee begitu erat.
"Maaf, maafkan aku. Aku tidak sadar tadi."
Raksa sampai lupa kalau Bee takut dengan api. Biasanya dia akan memasak dengan menutupi kompor dengan tubuhnya agar Bee tidak melihat api dari kompor itu. Namun dia terlalu terburu-buru karena Bee yang terus mengatakan lapar.
Cukup lama Raksa mendekap gadis itu, hingga dia merasa napas Bee kembali teratur. Bee mengalami trauma dengan api karena masa lalunya yang melihat ibunya terbakar di dalam dapur akibat ledakan tabung gas. Semenjak saat itu, dia akan kesulitan bernapas jika melihat kobaran api.
Raksa melepaskan tubuh Bee perlahan dengan berkata, "Maaf, aku lupa tadi." Sekarang, Raksa semakin terkejut saat melihat kedua telapak tangan Bee yang mengalirkan darah.
Rupanya dia terlalu kuat saat mencekram tangannya sendiri tadi, hingga jari kukunya yang Panjang itu merobek permukaan kulit telapak tangannya sendiri. Raksa kembali menarik napas dalam, lagi-lagi dia harus menjadi perawat siaga untuk Bee.
"Mungkin ini sedikit perih, tahan ya!" Raksa meneteskan obat merah ke luka-luka itu, tapi Bee seperti tidak merasa apa pun.
Raksa sampai geleng-geleng melihat tubuh Bee yang seperti tidak bernyawa. Dia hanya raga yang bergerak dengan tali menyerupai boneka kayu.
"Bee, jangan menyiksa dirimu sendiri. Tinggallah bersamaku, dan kamu tidak perlu melakukan pekerjaan seperti ini."
"Kamu pikir aku bisa keluar dari semua ini? Kalau iya, aku pasti sudah melakukannya sejak dulu."
"Aku akan membawamu pergi jauh, Bee!"
Bee berdiri dari duduknya, dan terdiam beberapa saat. Raksa pun mengikutinya dengan ikut berdiri di depan Bee. Kedua mata gadis itu menatapnya dengan dingin. "Ini duniaku, dan aku tidak menolaknya."
***