Dia yang Berbeda

1025 Kata
[5 Bulan selanjutnya] Dentuman musik begitu keras, hampir seperti akan merobek telinga siapa pun yang baru mendengarnya. Tidak untuk mereka yang sudah menganggap tempat itu sebagai rumah kedua. Lampu disko berkelap-kelip, bersinar remang-remang menyinari setiap orang yang berlenggak-lenggok di atas dance floor. Mereka bahkan tidak akan keberatan jika saling berdesakan saat menggerakkan tubuhnya mengikuti dentuman musik yang sudah dikreasikan oleh seorang DJ. Bau alkohol dan asap rokok seperti pewangi khas bagi mereka. Kehidupan malam sudah menjadi bagian dari mereka. Terutama seorang wanita yang tengah mengapit benda panjang di sela jari telunjuk dan jari tengahnya. Kepalanya bergoyang-goyang, menikmati kerasnya musik meskipun tubuhnya hanya duduk di depan meja bar. Sesekali dia menyahut gelas kaca pendek yang sudah berisikan minuman dari racikan barista kesayangannya. "Sampai kapan kamu akan terus minum, Bee?" Barista itu mencondongkan tubuhnya dengan menggunakan kedua tangan sebagai penyangga tubuh. Tubuhnya terlihat berisi, meskipun terbungkus dengan kemeja putih panjang di mana kedua lengannya dia angkat sampai batas siku. Wajahnya terlihat begitu ramah dengan hiasan jamban tipis di dagu hingga rahangnya. Jika tersenyum, maka dia akan memperlihatkan lesung pipinya yang berada di sisi kiri. Perempuan yang dipanggil Bee tadi terdiam sesaat. Kemudian dia menyesap batang rokoknya dan menghembuskannya ke atas lalu menjawab, "Kamu seperti melihat aku minum pertama kali saja." Bee memang Bukan pengunjung baru, melainkan setiap hari dia akan memperlihatkan batang hidungnya di kelab malam itu. Minum, Bukan hal baru baginya. Mungkin dia sudah kebal dengan kata mabuk, asalkan tidak ada yang mencampurkan obat saja ke dalamnya. "Kamu ada job hari ini?" "Kapan aku akan menganggur?" "Ayolah ... aku hanya berbasa-basi denganmu. Kenapa kamu dingin sekali hari ini, hm?" "Karena sudah basi." Dia kembali meraih gelasnya, menegakknya hingga tidak tersisa dan menghantamkannya sedikit lebih keras ke atas meja bar. "Jika ada, maka aku menantikan hari itu." Bartender itu semakin mendekat ke arah Bee. Dia menundukkan kepalanya dan berbisik di telinga Bee, "Kalau ada, berikan itu untukku." Bee tersenyum miring dengan melirikkan matanya. "Kamu berani membayarku berapa?" Pria itu menegakkan tubuhnya, meraih gelas dan mengusapnya dengan kain putih sembari berkata, "Apa tidak ada tiket masuk sebagai teman dekat?" "Kamu pikir, aku makan juga hanya mengunakan belas kasihan?" "Keterlaluan sekali kamu. Aku hanya akan menghabiskan gaji satu bulanku untuk membelimu hanya semalam. Bartender itu meraih gelas Bee dan kembali berkata, "Kamu mau aku mengisinya lagi?" Bee melirik ke arah jam tangannya, sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Hanya tinggal sepuluh menit lagi. Bukan terpikir untuk pulang, melainkan jam kerjanya akan dimulai di waktu sekarang ini. "Tidak. Aku ada janji sebentar lagi." "Siapa klien-mu hari ini?" "Roy." Mendengar itu, bartender yang memasang wajah santai tadi mendadak menegang seketika. Kedua matanya memancarkan ekspresi tidak suka. Dia kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Bee dan berkata dengan lirih. "Bee, aku sudah mengatakan padamu, siapa pun asal jangan dia. Kenapa kamu keras kepala sekali?" Sedangkan Bee sama sekali tidak bergeming saat ditatap seperti itu. Wajahnya terlihat sangat santai dengan sesekali menyesap rokoknya yang sudah tinggal sedikit. Bukan santai, melainkan lebih ke arah dingin dan tidak peduli. "Kamu pikir siapa lagi yang bisa membayarku dua kali lipat, hah? Aku tidak mungkin melewatkan ini." "Meskipun dia menyiksamu?" Ada nada khwatir di perkataan bartender itu. Kedua alisnya bertaut dengan kening yang berkerut. Sungguh dia paling tidak suka jika Bee sudah berurusan dengan nama itu. Dia menatap Bee yang tidak menatapnya sama sekali. pandangan Bee hanya tertuju pada batang rokok yang dia pegang saat ini. Seperti dia melihat hal yang berbeda dari batang itu. Tatapannya sangat dalam, kedua matanya menyorot tajam penuh kebencian. "Aku merasakannya setiap hari. Apa bedanya?" "Maura," panggil bartender itu penuh penekanan. "Raksa!" bentak Bee. Dia berdiri dengan cepat saat mendengar Raksa memanggilya seperti itu. "Jangan pernah memanggilku seperti itu." Kemudian Bee berbalik dan meninggalkan Raksa begitu saja. Baginya, Maura sudah mati. Dia tidak pernah ada lagi di dunia ini sejak lima bulan yang lalu. Kejadian yang selalu menjadi mimpi buruknya setiap hari. Bee panggilan akrabnya sejak saat itu sampai detik ini. Ladies night, idola lelaki hidung belang untuk melampiaskan birahi mereka. Tubuhnya yang begitu molek dengan paras cantik rupawan, membuat dia dinobatkan sebagai gadis malam termahal di sana. Matanya yang bulat dengan retina hitam pekat, sepekat rambut hitamnya yang membuat dia bak boneka menggemaskan dengan bulu mata yang lentik dan panjang. Kulitnya begitu putih dan mulus, dan tidak ada alasan untuk melihat kekurangannya. Mungkin hanya kurang bahagia saja yang tidak dia punya. Bee berdiri di depan kelab Red One dengan menenteng tas berwarna merah terang yang senada dengan dress-nya malam ini. Dress yang seperti kurang bahan karena hanya menutup bagian d**a dengan panjang yang sangat minim dan sangat ketat. Tidak lama setelah itu, satu mobil hitam berhenti tepat di depannya. Bee sudah hafal dengan pemilik mobil itu. Dialah Roy, pelanggan setianya yang akan menggelontorkan uang berapa pun untuk menyewanya selama satu malam penuh. "Kamu cantik sekali malam ini sayang," ucap Roy dengan mulai mengelus pipi Bee penuh hasrat. Pria berumur, yang pantas dipanggil Bee dengan sebutan Om. Meskipun begitu, Roy tetap terlihat gagah dan masih muda. Gayanya sangat berkelas. Memakai setelan kemeja hitam dengan sepatu pantofel mengkilat. Rambutnya tersisir licin, dengan matanya yang licik. Di balik penampilannya itu, ada sifat dominan yang tertanam. "Apa hanya malam ini saja aku terlihat cantik?" rayu Bee dengan membalas serangan Roy. "Kamu bersemangat sekali malam ini. Apa kamu sudah siap?" "Aku selalu siap kapan pun kamu menginginkan aku." Roy semakin mendekatkan dirinya ke arah Bee. Menyesap aroma tubuh gadis itu yang sudah menguar menggelitik nafsunya. Tidak peduli masih ada sopir yang tengah membawa mobil Roy menuju hotel tempat biasa mereka berkencan. "Aku ingin menjadikanmu milikku, kenapa kamu selalu menolakku?" Mungkin Bukan miliknya, lebih tepat ke arah peliharaan untuk menghangatkan ranjang. Karena setahunya, dia sudah memiliki dua anak yang beranjak dewasa. "Aku hanya ingin bebas. Lagi pula, aku selalu ada setiap kamu menginginkan aku Bukan?" Tentu saja Bee tidak akan mau. Meskipun dia sudah jatuh tersungkur-sungkur sampai terlalu dalam, jauh di dalam dirinya masih ingin menikmati hidup yang normal layaknya gadis di luar sana. Mereka turun di depan hotel mewah, Roy menggandeng tangan Bee dan membawanya masuk ke kamar yang sudah dia reservasi selama ini. "Malam ini, aku punya mainan baru untukmu. Menjeritlah, aku sangat merindukan itu." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN