"Halo, selamat pagi," sapa Gaishan, dia hendak menaiki mikrolet. Namun, sudah ada orang yang duduk di tempat yang kemarin dia duduk.
Gaishan berhenti naik, dia melihat orang yang duduk di 'tempatnya'. "Maaf, Pak. Boleh saya duduk di sini?" tanya Gaishan sopan.
Bapak yang duduk di depan pintu mengerutkan keningnya. "Saya yang duluan naik mikrolet ini. Jadi, kamu duduk di belakang saja," tolak Bapak itu.
"Tapi saya ini punya kebiasaan mabuk darat, Pak. Takutnya setelah saya duduk di tempat lain, di tengah perjalanan nanti, saya mabuk," balas Gaishan sopan.
Bapak itu tetap menggeleng.
"Saya tidak peduli."
Gaishan, "...." ok, tidak apa - apa. Bukan masalah besar.
"Baiklah." Gaishan mendesah. Dia naik mikrolet lalu duduk tepat di samping kanan Bapak yang duduk di depan pintu kursi pendek.
Fathiyah hanya melirik lalu tersenyum senang. Nah, rasain kan lu, hari ini dapat batunya. Batin Fathiyah.
Dalam perjalanan masih baik - baik saja, Bapak yang tadi duduk di depan pintu terlihat dongkol, sebab sedari tadi, sang istri terus melihat ke arah Gaishan yang duduk di sebelahnya.
"c*m, elu liatin apaan?" tanya Bapak itu tajam.
Si istri itu membuang lirikan ke arah depan. "Kagak liat apa - apa," balas sang istri.
"Buuuaaaak!"
Suara Gaishan terdengar nyaring.
"Eh! Eh! Eh! Elu mau ngapain?" Bapak tadi melotot panik setelah melihat mulut plus lubang hidung Gaishan terbuka lebar ke arahnya.
"Uuuaaeeeeekk!"
"Jangan muntah di sini!" Bapak itu berteriak panik.
°°°
"Terima kasih, Pak." Gaishan tersenyum manis ke arah Bapak yang baru saja menukar tempat duduk dengan dirinya.
Bapak tadi hanya mengangguk.
Fathiyah melirik ke arah Gaishan.
Ada - ada saja lubang hidung besar ini. Batin Fathiyah. Sementara itu Jayadi hanya tersenyum kikuk melirik ke arah penumpang wanita yang sedang berusaha untuk melihat langsung wajah Gaishan dari depan. Dia melihat wajah Gaishan lewat kaca spion, membuat dirinya penasaran tampang live dari Gaishan.
Aromanya hari ini bakal dapat duit banyak nih. Batin Jayadi.
Satu jam kemudian.
Fathiyah tak bisa berkomentar lagi ke arah Gaishan. Jadi dia melihat ke arah penumpang yang lain.
"Adek - adek, mpok - mpok, Ibu - ibu, saya rasa ini sudah kalian naik putar. Apakah kalian ini sudah lupa tempat turun ataukah bagaimana?" tanya Fathiyah.
Semua mata memandang ke arah Fathiyah.
"Saya bayar dobel."
"Saya bayar dua kali."
"Ah, tiga kali, tadi saya mau turun di toko Situbondo, tapi masih tutup, jadi sekali lagi saya puter nanti bayar tiga kali."
"Bayar dua kali."
"Bayar dobel."
Fathiyah, "...." tidak masalah kalau bayar dua kali.
"Tarik, Bang!" Fathiyah berteriak semangat.
Dia melambaikan tangan pada orang yang memberhentikan mikrolet tanda bahwa sudah penuh.
Gaishan yang duduk di depan pintu mikrolet hanya bermain ponsel sambil mencium bau keringat yang berasal dari pakaian Fathiyah.
Dia mengklik, chek out, buat pesanan, konfirmasi lalu bayar sekarang.
Klik.
Paket sedang dikemas.
Berupa satu set skincare dan perawatan badan serta parfum berbau lembut untuk calon pengantin perempuan.
Gaishan tersenyum lebar lalu mematikan layar ponsel dan memasukkan ponsel ke dalam saku celana yang dia pakai.
"Saya turun di depan." Gaishan buka suara setelah dua kali melewati gedung kantor perusahaannya atau tepatnya stasiun tv miliknya.
Gaishan memberikan uang merah berdigit lima nol dua lembar ke arah Jayadi lalu mengucapkan, "Terima kasih, Bang. Saya kerja dulu."
"Loh, kembaliannya," balas Jayadi.
"Ah, nggak apa - apa, sebagai bentuk perawatan mikrolet, kasihan tempat duduk di depan pintu sudah kempes saya duduki selama lebih dari satu jam," balas Gaishan.
Jayadi, "...."
Fathiyah melirik ke arah tempat di mana Gaishan duduk. Benar saja, kempes.
"Itu p****t apa batako?" cebik Fathiyah.
Gaishan, "...." perlahan tangannya menyentuh b****g gagah permanen miliknya.
"Hum, sadar juga," gumam Fathiyah.
"Jalan, Bang!"
Mikrolet melaju meninggalkan Gaishan di depan jalan sambil meraba pantatnya sendiri.
Dia tersenyum tipis setelah melihat tingkah kenek perempuan itu.
"Antusias sekali," gimana Gaishan.
"Memang bahagia itu simpel, yah … hidup itu simpel, jangan dibuat susah." Gaishan berbalik berjalan masuk ke dalam pintu perusahaan hiburan yang sudah hampir enam tahun ini dia bangun dari nol.
°°°
"Kite istirahat makan siang dulu, Bajay. Aye udeh laper. Ini udeh jam satu, nanti baru kite lanjut narik lagi." Fathiyah memberi saran pada kakak sepupu yang merupakan sopir.
"Ok deh. Lagian ini juga di terminal. Nanti selesai makan siang, kite lanjut lagi." Jayadi mengiyakan.
Dua saudara sepupu itu pergi mencari makan di tempat terdekat dari terminal mereka memarkirkan mikrolet.
"Makan ape?" tanya Jayadi.
"Bakso aje, Bang. Aye lagi kepingin makan daging," jawab Fathiyah.
"Yaudeh, bakso aje." Jayadi mengangguk.
Mereka duduk di tempat jualan bakso.
"Mas, bakso dua, yah." Jayadi memesan bakso.
"Baik, Mas," balas tukang bakso.
Tak berapa lama, dua porsi mangkuk bakso telah siap.
Jayadi dan Fathiyah menyantap bakso itu.
"Hari ini memang penumpang itu - itu saja, tapi mereka naik muter, jadinya bayar dobel," ujar Fathiyah setelah menyeruput kuah bakso.
"Hum, bayar dobel, nggak apa - apa, justru itu yang bagus," balas Jayadi setelah menelan gigitan bakso yang dia kunyah.
"Hum. Kalau Gaishan itu jadi penumpang kite terus, Abang yakin, itu setoran kite bakal jadi jutaan terus," ujar Jayadi.
Fathiyah berpikir, dia mendongak dari mangkuk bakso ke arah sang kakak sepupu. "Bajay, jangan bahas dia terus, nanti seolah - olah dia itu jadi malaikat penyelamat. Aye jadi gerah."
Jayadi, "...."
"Masih marah yah karena masalah beberapa hari yang lalu?" tanya Jayadi hati - hati.
Fathiyah berpikir, lalu menjawab, " … kagak marah lagi sih, Bang. Tapi bawaannya aye masih agak kesel gitu lihat muka die, apalagi lubang hidungnya yang besar itu, beh, macam gua purbakala."
" … terlalu ekstrem juga perumpamaan elu, Fat."
"Hehehe, biarin. Lagian memang lubang hidungnya besar banget. Pas pertama kali kita bertemu di depan taman mekar sari, lubang hidungnya memang besar," ujar Fathiyah.
Jayadi hanya geleng - geleng kepala.
°°°
Gaishan sedang turun ke ruang penyiaran langsung.
Para kru yang bertugas memberi salam.
"Selamat siang, Pak Gaishan."
"Selamat siang, semua," balas Gaishan.
"Nah, lanjutkan, jangan hiraukan saya yang ada di sini, anggap saja saya tidak ada wujud," ujar Gaishan.
Pada kru, "...."
Lah? Tidak ada wujud?
"Ah, maksud saya, anggap saja saya angin lalu," koreksi Gaishan.
Para kru, "...."
Angin lalu ….
Bos ini ada - ada saja.
"Ah, yah, ini kan sudah jam satu, jangan lupa makan siang. Jaga kesehatan. Kerja memang boleh, tapi kesehatan nomor satu, ah, saya permisi mau ke divisi lain."
"Baik, Pak Gaishan." Kru dan karyawan menyahut.
Gaishan keluar dari ruang itu, dia pergi ke ruang lain lagi untuk memantau kerja para karyawannya.
"Pak Gaishan itu baik banget, ramah lagi," ujar karyawan a.
"Iya," sahut karyawan b.
"Sst, jangan berisik, kita lagi mau siaran langsung." Tegur karyawan c.
°°°
Gaishan melihat jam r*lex di pergelangan tangan kiri.
Jarum jam mahal itu menunjukan pukul tujuh tepat. Dia yang sedang melihat wawancara di stasiun tv miliknya itu bergegas untuk keluar dari ruangan.
Seorang staf di bagian perencanaan memberi salam.
"Selamat malam, Pak Gaishan, mau pulang?"
"Selamat malam, ya, saya mau pulang, ini sebenarnya agak telat. Karena sudah jam makan malam keluarga saya, saya sudah beberapa kali melewatkan makan malam bersama keluarga, maklumlah, Ibu saya itu khawatir semua anak - anaknya," balas Gaishan.
Staf devisi perencanaan itu tersenyum.
"Wah, Ibu Nabhan memang penyayang."
"Benar sekali, ah, saya duluan," pamit Gaishan.
"Baik, Pak Gaishan. Hati - hati menyetir," balas staf revisi perencanaan.
"Oh, saya tidak bawa mobil," ujar Gaishan.
"Oh? Jadi Bapak Gaishan naik taksi?" tanya Staf.
"Oh tidak, saya naik mikrolet," jawab Gaishan.
Staf perencanaan, "...." dia tahu bahwa bosnya ini merakyat, tapi ini benar - benar merakyat.
Ataukah ….
Menjelata?
Pura - pura jadi rakyat jelata, begitu?
Putra Nabhan mana coba yang mau naik mikrolet?
Ah, setahu dia, beberapa tahun yang lalu pewaris Nabhan juga mengambil istri orang biasa ah, pemulung dan bahkan pernah tersebar gerobak cium p****t mobil mewah. Ingat staf perencanaan.
Gaishan sedang menunggu mikrolet yang ingin dia naiki. Dia melihat ke arah mikrolet akan datang.
"Tumben lama," gumam Gaishan.
Sepuluh menit kemudian terlihat mikrolet dan nomor yang telah dia kenali. Keneknya yang unik membuat Gaishan tidak perlu menebak lagi siapa itu.
Dengan cepat Gaishan memasang gaya keren lalu melambaikan tangan untuk memberhentikan mikrolet.
Mikrolet berhenti.
Gaishan tersenyum ke arah Fathiyah.
"Halo, saya mau pulang."
"Nggak nanya," tukas Fathiyah.
Gaishan, "...."
"Hanya memberitahu, siapa tahu Bang Jay mau bertanya."
Jayadi, "...." er …. Namanya dibawa - bawa.
"Ehm, udeh naik, kan? Saya injek gas, yah?" Jayadi membuka suara.
"Sudah, Bang Jay," jawab Gaishan kalem.
Empat puluh menit kemudian.
Sudah jam delapan malam.
Gaishan memberikan uang dua ratus ribu ke arah Jayadi.
"Terima kasih, Bang Jay. Saya permisi."
"Loh, kelebihan."
"Tidak apa - apa, ambil untuk harga minum es jeruk, tadi agak panas cuacanya," balas Gaishan atas respon Jayadi.
"Terima kasih, Gaishan."
"Ok." Gaishan menaikkan jempolnya ke arah Gaishan.
Gaishan tersenyum ke arah Fathiyah, "Saya pulang, yah."
"Pulang saja," balas Fathiyah.
Fathiyah melirik tempat duduk yang kempes.
"p****t batu."
Gaishan, "...." perlahan meraba pantatnya yang legendaris.
"Tarik, Bang!"
°°°
Gaishan berjalan masuk ke rumah sambil meraba pantatnya.
"Gaishan, kamu kenapa jalan sambil pegang p****t? Diare? Oh, mencret - mencret?" Ghifan bertanya.
Gaishan mendongak ke arah adiknya.
"Ghifan, menurut kamu, p****t aku ini bentuknya bagaimana?" Gaishan berbalik lalu memperlihatkan bentuk p****t.
Ghifan, "...."
"Jangan bengong," cebik Gaishan.
"Gaishan, p****t kamu kok tepos?" tanya Gaishan.
Gaishan, "!!!"
Sret.
Berbalik ke arah sang adik kembar. Matanya menyipit.
"Kamu yang tepos. p****t kamu yang tepos lapis burung kamu juga tepos!"
Ghifan, "...." fix, ngajak ribut.
"Apa sih kalian kok kelihatan mau ribut? Gaishan, makan malam." Gea datang.
Wajah Gaishan berubah serius.
"Ma, menurut Mama, p****t Gaishan ini bentuknya gimana?" Gaishan berbalik lalu memperlihatkan bentuk p****t yang dibungkus celana khaki.
Gea, "...."
Beberapa detik kemudian.
Plak!
"Aaaauh!" Gaishan menjerit sakit. Pantatnya ditampar ganas oleh seseorang.
Dengan cepat dia berbalik.
"Kurang ajar kamu, yah! Tadi pagi bertingkah tidak wajar, sekarang malam bertingkah tidak waras! p****t kamu memang tipis tepos kempes! Sana pergi!" Busran melotot ke arah anak sulung.
Gaishan, "...." Tuan Nabhan cemburu lagi.
"Apa lihat - lihat?" Busran tambah melotot.
Gaishan berjalan ke arah meja makan lalu mencebik, "Berarti usaha Papa nanam benih ke Mama pas jadi aku adalah sebuah kegagalan hakiki."
"Gaishan!"
"Iisshshh!" Ghifan ngeri.
"Gaishan, Papa kamu lagi kesel karena adik kamu tidur lagi di hotel. Jangan dibikin tambah kesel." Gea buka suara.
"Itu menteri pariwisata main - main yah sama aku." Busran tambah emosi saat mengungkit sang anak gadis yang menginap lagi.
"Bus, mandi lalu tidur atau kerja kek. Jangan marah - marah."
"Aku masih kesal-"
"Aku yang lebih kesal, di kantor ngurusin kamu plus banyaknya karyawan, di rumah ngurusin kamu plus anak aja nggak pernah marah - marah," potong Gea.
Busran, "... sayang, jangan marah. Istirahat, yuk."
Ghifan, "...."
Apa marah?
Mama yang punya kuasa di rumah ini.
°°°
Fathiyah baru saja sampai rumah.
"Assalamualaikum."
"Wa alaikumsalam," balas Atun.
Dia cepat - cepat menghampiri sang anak yang sedang duduk di teras mengambil napas.
"Fathi, ada paket buat elu," ujar Siti Atun. Sedari tadi memang dia menunggu sang anak pulang.
"Paket apaan, Nyak? Perasaan aye kagak pernah pesan paket." Fathiyah mengerutkan kening saat Atun memperlihatkan paket.
"Lah ini atas nama elu."
Fathiyah membuka isi paket.
"Paket perawatan skincare dan badan … parfum lembut anti bau keringat … setan siapa yang kirim paket pake bawa - bawa anti keringat segala?!"
Nah, anak gadisnya ngamuk.
°°°