Gaishan duduk di depan pintu mikrolet, tempat di mana pertama kali dia naik mikrolet tadi pagi.
Fathiyah mencebik, "Hei, ini sudah mau jam delapan, kita mau pulang dari kerja," ujar Fathiyah.
Gaishan melirik jam r*lex mahal yang dia pakai di pergelangan kiri. "Um, masih satu jam lagi, ini baru jam tujuh malam," balas Gaishan.
Fathiyah memutar bola matanya. Pria ini benar - benar kepala batu.
"Pak orang kaya, kami ingin istirahat. Ini dalam perjalanan untuk pulang," ujar Fathiyah.
Gaishan tersenyum manis.
"Lalu, kenapa mikroletnya berhenti setelah saya hentikan untuk naik kalau bukan masih mencari penumpang?"
Fathiyah, "...."
"Atau bagaimana Bang Jay?" Gaishan menaikkan sebelah alisnya ke arah Jayadi yang sedang menyetir. Telapak tangan Jayadi basah oleh keringat gugup akibat percakapan Gaishan dan Fathiyah.
"Masih cari penumpang kok," jawab Jayadi setelah berusaha menelan ludahnya.
"Tapi Bajay-"
"Oho! Harus konsisten dong, masa saya sebagai penumpang dirugikan? Apa kata penumpang lain kalau tahu mikrolet ini memperlakukan penumpang bagaikan ayam potong?" Gaishan pura - pura menegur Jayadi tegas.
Fathiyah dan Jayadi, "...." terlalu ekstrem juga perumpamaan Anda.
"Dasar lubang hidung besar," cebik Fathiyah pelan.
Gaishan, "...." perlahan jemarinya terangkat mengukur besar lubang hidungnya.
Fathiyah yang melirik ke arah Gaishan, "Pfft! Sadar juga ternyata." Fathiyah berusaha menahan tawa agar tidak menyinggung 'penumpangnya' itu.
"Ehm." Agar tidak canggung, Gaishan berdehem.
"Bang Jay, jam berapa biasa keluar untuk mencari penumpang?" tanya Gaishan.
"Biasa jam delapan … Pak …," jawab Jayadi kikuk. Dia tidak tahu harus memanggil Gaishan dengan sebutan apa.
"Panggil Gaishan saja, kita kan juga sudah akrab sebelumnya," ujar Gaishan.
"Akrab lubang hidungmu," gumam Fathiyah pelan.
Jayadi meringis. Sepupu ini benar - benar blak - blakan.
"Oh bagitu." Gaishan manggut - manggut.
"Kalau pulang jam delapan juga, yah?" tanya Gaishan lagi.
"Iya … Gai …," jawab Jayadi kikuk.
"Lah? Nama saya kok diperkosa?" Gaishan melotot.
"Sshh." Jayadi meringis ngeri.
"Maaf, saya agak gugup, tidak biasa panggil nama … kamu …," ujar Jayadi.
"Nama saya Gaishan, bukan Gai … ya ampun, kalau Mama saya tahu nama saya diperkaos, beliau akan lapor Papa saya, nama itu dicari oleh Ibu saya selama berhari - hari untuk saya," balas Gaishan.
Jayadi merasa lebih kikuk dan bersalah.
"Saya tidak ulang lagi Gai …." Nah, Jayadi macet lagi dalam menyebutkan nama Gaishan.
"Haish … panggil Shan saja," ujar Gaishan sakit kepala.
"Pfftt! Hahahaha!" Fathiyah terbahak saat duduk di depan dasar mikrolet di depan pintu.
Gaishan melirik ke arah Fathiyah yang terbahak. Dia tak bisa marah, tertawa Fathiyah membuat dirinya ikut tertawa.
Akibatnya, di dalam mikrolet itu penuh suara tawa Fathiyah dan Gaishan.
Jayadi juga merasa lucu atas percakapannya yang gugup tadi.
"Bang Jay, coba bilang Shan," ujar Gaishan setelah dia tertawa.
"Shan." Jayadi mengikuti apa yang diinstruksikan oleh Gaishan.
"Gaishan," ujar Gaishan.
"Gaishan." Jayadi mengikuti.
Gaishan mengangguk puas.
"Nah, begini kan enak dengarnya. Kalau Gai saja rasa ambigu … seperti saya itu …."
"Hahahahaha!" Fathiyah sudah terlanjur terbahak - bahak.
Mikrolet penuh dengan tawa.
Setengah jam kemudian mikrolet berhenti di depan perumahan yang ditinggali oleh Giashan.
"Untung saja kurang macet, biasa Jakarta macet, tumben hari ini jalan mulus - mulus," ujar Jayadi setelah mikrolet berhenti di depan perumahan.
"Saya kan dewa anti kamacetan." Gaishan tersenyum manis.
"Pft! Hehehe." Jayadi hanya terkekeh lucu. Dari tadi mereka tertawa terus. Selera humor tuan muda Nabhan yang ini benar - benar di atas rata - rata.
Gaishan memberi ongkosnya lalu turun.
"Terima kasih, saya turun." Gaishan turun dari mikrolet.
"Terima kasih, ini kembaliannya." Jayadi hendak memberikan kembalian.
"Oh, tidak apa - apa. Ambil saja, anggap sebagai komisi karena tadi saya agak maksa sih pas naik mikrolet. Lagipula kalian ingin pulang tapi saya tetap maksa naik," tolak Gaishan untuk tidak mengambil kembalian.
Jayadi tersenyum kikuk.
"Sadar juga," cebik Fathiyah pelan.
Gaishan hanya tersenyum.
"Saya jalan ke rumah dulu, dadah." Gaishan melambaikan tangan ke arah Fathiyah, seakan Fathiyah mau membalas lambaian tangan dari Gaishan.
"Ada - ada aje." Fathiyah geleng - geleng kepala.
"Udeh, balik, yuk. Dah mau jam delapan." Jayadi menjalankan mikrolet untuk pulang ke rumah.
°°°
Gaishan berjalan memasuki gerbang perumahan. Satpam tersenyum dan memberi salam.
"Selamat malam, Pak Gaishan," sapa satpam a dan b.
"Oh, selamat malam, Bapak - bapak. Saya mau pulang ke rumah, dari kantor," balas Gaishan ramah.
"Oh, tidak dengan mobil, Pak? Apa mobilnya mogok di tengah jalan lagi seperti beberapa hari yang lalu?" tanya satpam a. Satpam ini yang mengantar Fathiyah ke rumah Gaishan untuk membawa pulang ponsel Gaishan.
"Oh, tidak mogok lagi, cuma hanya saya bosen naik mobil terus, sekali - kali naik transportasi umum kan bagus untuk pengalaman," jawab Gaishan.
"Ah, begitu." Satpam a dan b manggut - manggut mengerti.
"Mari, Bapak - bapak, saya permisi," pamit Gaishan.
"Oh. Iya, mari Pak Gaishan, silakan." Satpam a dan b tersenyum ramah melihat kepergian Gaishan yang berjalan kaki ke arah blok rumah Nabhan yang cukup jauh.
"Nggak habis pikir dengan anak sulung Pak Busran Nabhan, nggak sombong," ujar satpam B.
"Iya sih, memang nggak sombong. Eh, ngomong - ngomong beberapa hari yang lalu ada kesalahpahaman antara Pak Gaishan dan seorang cewek loh," balas satpam a.
"Ahm-" satpam a cepat - cepat menutup mulut.
Dia keceplosan dengan menyebarluaskan kejadian kesalahpahaman antara Gaishan dan Fathiyah.
"Hum? Ada apa?" satpam b menyipit ke arah rekan kerja.
"Ah, aku salah bilang. Itu kemarin aku nonton di tv, ada lagi kesalahpahaman bos dan karyawan, bahkan sampe bosnya ditikam dengan gunting." Elak satpam a.
"Waduh, ngeri sekali."
°°°
Begitu sampai di depan gerbang rumah, sudah jam delapan malam.
Bodyguard yang menyadari bahwa pria yang berpakaian kasual di depan gerbang adalah tuan muda mereka, cepat - cepat membuka pintu gerbang.
"Tuan Gaishan," sapa bodyguard.
"Ya." Gaishan menyahut. Dia melanjutkan langkah memasuki rumahnya.
Setelah memberi salam dan berjalan masuk. Sang ibu bertanya.
"Kamu pulangnya malam jam delapan, biasa kalau makan di luar telepon Mama. Kita baru saja selesai makan malam. Ada urusan perusahaan?"
"Oh, tidak ada yang penting sih, Ma. Gaishan hanya naik angkot aja, tumben agak macet," jawab Gaishan.
"Lah? Kamu naik angkot?" Gea melotot kaget.
Sedangkan Ghifan melirik.
"Tumben naik angkot," celetuk Ghifan.
Busran tidak terlalu peduli anak sulungnya mau naik apa, yang dia pedulikan adalah anak gadisnya lagi - lagi menginap di luar.
Sial sekali. Batin Busran dongkol.
"Iya, Ma," jawab Gaishan.
"Mobil kamu mogok lagi?" tanya Gea.
"Nggak, Ma. Gaishan hanya males nyetir aja," jawab Gaishan. Alasan yang berbeda - beda hari ini kenapa dia naik angkot.
"Kamu tumben banget mau naik angkot, Shan. Panas tahu, lagian jam - jam begini masih macet, mana angkot nggak ada AC, nggak bisa bersandar santai pula," cibir Ghifan.
"Ya ampun. Eh Ghifan, kamu aja yang nggak tahu kalau aku ini jalan - jalan ngurusin kru dan karyawan wawancara dan syuting di pasar Senen, pasar Tanah Abang, ah. Pasar semua yang becek - becek juga aku pergi. Mau dapat bos baik hati dan tidak sombong murah senyum supel perhatian kayak aku dari mana?" Gaishan balas mencibir, dia membanggakan kelebihannya.
"Kamu? Hahaha! Duduk di dalam ruang AC, mana dikelilingi laki - laki semua. Lama - lama lumutan sama batang - batang yang ada," lanjut Gaishan s***s.
"Gaishan!" Ghifan meradang.
"Heh! Heh! Sudah sudah! Ngapain kalian jadi saling ribut sih hanya karena masalah Gaishan naik angkot?" Gea melerai.
"Tahu tuh si Ghifan. Nggak senang dengan kesenangan orang," Gaishan mencebik ke arah adik kembarnya.
"Heum." Ghifan mendengkus.
"Bisa diam?" Busran buka suara.
Gaishan dan Ghifan menoleh ke arah ayah mereka yang masih duduk di meja makan.
"Pokoknya Gaishan, perusahaan kamu harus lebih menaikkan investasi dan kerja sama dengan pariwisata, biar nanti kalau kerja atau apalah gitu dengan kru atau karyawan, bisa lebih dekat dengan tempat kerja Sira. Dari kemarin - kemarin Sira nginap dan kerja terus deh. Ini pihak Perancis nggak ada kerja sama lain apa selain kerja di pariwisata terus? Mana perwakilan mereka macam - macam minta Sira untuk jadi tour guide." Busran mulai mencurahkan isi hatinya yang dongkol.
Yah, sang ayah sudah dongkol lagi. Ini pasti karena adik mereka tidak pulang.
"Sudahlah, Bus. Kan tadi Sira udah telepon dan bilang sendiri kalau dia baik - baik saja, lagian juga kan Sira kerja dan nginap di hotel dengan beberapa rekan kerja. Perempuan lagi." Gea buka suara. Sang suami ini kalau menyangkut anak perempuan mereka, bawaannya dongkol terus.
Busran hanya menarik lalu menghembuskan napas, setelah itu dia berdiri dari kursi makan dan masuk ke kamar.
Gaishan berjalan lalu duduk di kursi.
Dia mulai makan apa yang ada di atas meja makan.
°°°
Jayadi sedang menghitung pemasukan hari ini yang mereka dapatkan.
"Buset! Fathi, hari ini bisa dua juta lebih kita dapat pemasukan!" Jayadi hampir berteriak girang.
Fathiyah yang baru saja selesai mandi dan sedang mengeringkan rambut dengan handuk itu duduk di kursi rotan, di teras belakang.
"Alhamdulillah," ujar Fathiyah.
"Biasanya paling tinggi satu juga, eh bukan, itupun kalau lagi banyak penumpang. Kan persaingan antar sesama mikrolet makin hari makin panas," ujar Jayadi.
"Eh, mungkin karena Si orang kaya itu, yah? Itu yang nama Gaishan. Jadi kan penumpang naik putar terus bayar dua kali. Makanya uangnya jadi dua kali lipat. Wah! Ada untungnya juga yah Gaishan itu jadi penumpang hari ini."
Plak.
Jayadi menampar senang pahanya.
Fathiyah hanya memutar matanya saja.
"Udah, setor ke Babe, terus tidur. Besok pagi narik lagi," ujar Fathiyah.
"Hem. Ah! Hari ini Encang kasih gue berapa yah hari ini?" Jayadi berseri - seri.
"Udeh, buruan setor, biar aye juga dapet bagian."
"Siap kenek!" Jayadi membuat pose siap ala - ala militer abal - abal miliknya.
Jayadi berdiri, dia pergi memasuki rumah dari arah pintu belakang ke pintu depan.
"Encang, ini, aye mau setor." Jayadi memberikan uang setor.
Nasir menerima uang. "Waduh, ini duit apa daun?" Nasir melotot senang.
"Duit, Ncang, duit, bukan daun," ujar Jayadi.
"Ah. Gue demen nih." Nasir mulai menghitung uang.
"Aeeeh, dua juta dua ratus ribu sepuluh ribu. Wah, banyak sekali. Nah, ini buat elo dan Fathi, bagi dua nanti." Nasir memberikan uang pada Jayadi.
"Wah, terima kasih, Ncang." Jayadi menerima uang yang diberikan oleh sang paman.
Dia hitung lagi, ada satu juta dua ratus.
Itu berarti jika dibagi dua, maka dia dan Fathiyah, sama - sama mendapatkan enam ratus ribu.
"Udeh, buruan mandi lalu tidur," ujar Nasir.
"Ok, Ncang." Jayadi pergi ke rumah sebelah lalu memberikan uang pada Alawiyah.
"Nyak, ini duit hari ini."
"Wah! Tumben dikasih banyak sama Bang Nasir." Alawiyah senang.
"Lagi dapat rejeki hari ini." Jayadi tersenyum.
Biasanya mereka akan dapat dua ratus ribu masing - masing atau sekitar tiga ratus ribu per hari. Itu tidak termasuk uang makan. Atau kalau memang sedang sepi penumpang. Hanya seratus ribu. Jadi, dua ratus untuk Nasri, sisanya dua ratus ribu dibagi dua untuk Jayadi dan Fathiyah.
"Alhamdulillah, rejeki hari ini. Semoga seterusnya. Nyak simpen buat ongkos nikah elu. Hahaha!" Alawiyah tertawa senang. Sedangkan Jayadi hanya geleng - geleng kepala.
"Minta perempuan buat nikah saja butuh jutaan, nah, udah terkumpul lumayan banyak. Cukuplah buat ongkos nikah." Alwiyah menghitung uang.
°°°
Pagi datang.
"Loh, ini kan masih setengah delapan, kamu tumben sekali makan pagi?" Gea melihat penampilan sang anak sulung yang berpakaian kasual.
"Mau rapat atau gimana?" tanya Gea. Dia juga sudah siap dengan pakaian kantornya. Di belakang Busran muncul dengan sedang menelepon.
"Sira, tadi malam orang yang Papa kirim untuk bawa makanan dan pakaian ganti masih ada. Dia nungguin kamu di depan pintu hotel. Jangan marah - marah dong sayang. …. iya Papa tahu kamu bukan anak kecil lagi, tapi kan kamu anak perempuan Papa … loh, terserah Papa dong mau kirim berapa orang pengawal di sana, lagian siapa yang mau hadang? Menteri pariwisata? Hadeh! Macam - macam sama Papa. … iya sayang. Oh ya, mandi, ah, makan pagi kamu sudah orang yang Papa kirim siapkan. … eh, siapa tahu makanan hotel di situ nggak higienis. Oh, lupa itu hotel kita, hahahahaha!" Busran terbahak sedang bicara dengan sang anak perempuan.
"Huum." Gea memutar bola matanya.
"Ma, Pa, Gaishan pergi. Mccuah!"
Gaishan sengaja mengecup nyaring piping kiri sang Ibu.
"Gaishan Raffasya Nabhan! Berani kamu cium istri Papa!" Busran dongkol luas biasa setelah melihat bibir Gaishan yang penuh s**u tercetak di pipi sang istri.
"Hahaha, siapa suruh sibuk ngurusin anak. Mmccuah!" Gaishan mencium lagi pipi kanan sang Ibu.
"Gaishan! Awas kamu yah! Tutup pintu rumah dan gerbang!" Busran ingin mencekik leher sang anak sulung.
"Iiissshh." Ghifan meringis ngeri. Sang kakak telah lari kabur.
"Jangan lupa, Pa. Istri Papa, Mama Gaishan. Dulu juga Gaishan sering isap mimi-nya Mama kok."
Cus!
Kabur!
"Anak kurang ajar!" Busran naik darah.
Gea menahan tawa. Cemburu akut.
"Halah, marah - marah apa sih, Bus? Kan memang wajah mereka pernah mimi di aku, kan aku Mama mereka."
Busran melihat ke arah d**a sang istri.
"Kenapa tidak tiga anak kita semua perempuan saja?"
Gea, "...."
Ghifan, "...." tiba - tiba tangannya menyentuh burungnya.
Masih ada.
"Busran, lama - lama kamu gila kalau cemburu terus."
Busran, "...." jangan salahkan dia karena cemburu. Salahkan wajahmu yang tidak pernah menua itu. Batin Busran.
Dan memang sudah sifat turun - temurun anak cucu Nabhan yang pencemburu.
Bukti konkrit saja sang ayah mereka yang sekarang biarpun sudah sembilan puluh tahun tapi masih cemburu.
°°°
"Kiri! Kiri! Ada penumpang!" Fathiyah berteriak.
Mikrolet berhenti.
"Lubang hidung besar lagi."
°°°